Janji - 12

"Inas..."

Berbeda dengan biasanya, dimana Inas lebih suka menunduk. Kali ini ia membalas tatapan penuh tanya Indra.

"Kamu pasti masih marah sama aku kan?" kata Indra, terdengar hati-hati. Inas memang sudah bilang memaafkan Indra, tapi dari sikap Inas selama ini, Indra tahu bahwa gadis itu belum sepenuhnya memaafkannya. "Aku tahu kamu belum bisa maafin aku. Tapi tolong kasih aku kesempatan menunjukkan penyesalanku, Nas. Tolong kasih aku kesempatan, sampai kamu bisa maafin aku. Ya?"

"Saya sudah maafin Om," Inas menjawab tenang.

Mata Indra membesar. "Kalau gitu kita nggak perlu pisah kan Nas? Kamu tetep mau nemenin aku terus kan Nas?"

Inas menatap Indra dengan mata memicing. Seolah pernyataan Indra aneh sekali.

Melihat ekspresi Inas, Indra mendapat firasat buruk. Ia buru-buru pindah duduk ke samping kursi Inas. Lalu meraih telapak tangan Inas dan menggenggamnya.

"Maafin aku, Nas," kata Indra lembut. "Kalau kamu belum maafin aku sekarang, nggak apa-apa. Tapi jangan tinggalin aku ya. Kasih aku kesempatan."

"Buat apa Om?"

"Buat apa, gimana?"

"Kita sudah 1 tahun menikah. Sesuai perjanjian, sudah waktunya kita pisah."

"Tapi beberapa bulan ini hubungan kita membaik kan Nas? Aku udah nggak peduli lagi sama perjanjian. Pernikahan kita layak diperbaiki dan dipertahankan kan Nas?"

"Kenapa pernikahan kita harus dipertahankan Om?"

"Karena kita saling mencintai. Kamu cinta sama aku kan Nas?"

"Om cinta sama saya?"

"Iya."

"Tapi saya nggak merasakannya."

"Nas..."

"Om cuma menunjukkan cinta saat kita berhubungan sex. Selain saat bercinta, bahkan Om malu punya istri seperti saya."

"A-aku..."

Bahkan untuk membela diri saja, Indra bingung. Hal itu membuat Inas makin yakin bahwa dugaannya tidak keliru. Dalam hati, Indra memang malu punya istri seperti dirinya.

"Dira sayang sama kamu Nas. Masa kamu tega ninggalin dia?"

"Dira yang sekarang, sudah berbeda dengan Dira setahun lalu. Dia sudah mandiri, Om. Dia hanya perlu bantuan sedikit-sedikit. Bi Mur bisa bantu. Dira sudah nggak terlalu picky dan rewel sekarang. Saya juga sudah ngobrol sama Bi Mur. Kalau Om pulang malam, Bi Mur sudah bersedia nemenin Dira sampai jam 9 malam. Jadi kalau alasan mempertahankan saya hanya untuk merawat Dira, alasan itu sudah nggak relevan lagi, Om."

Indra memandang Inas, ngeri. Sepertinya Inas sudah mempersiapkan Dira dengan baik agar siap ditinggal oleh Inas.

"Kamu... memang sudah berencana untuk pergi ya?"

Inas tidak menjawab. Ia menarik tangannya dari genggaman.

"Nas, maafin aku."

"Kalau itu tentang kemarahan Om kemarin, saya sudah maafin Om."

"Tapi kenapa kamu tetep pengen pisah?"

"Karena masalahnya bukan cuma itu, Om."

"Jadi apa masalahnya yang bikin kamu nggak bisa maafin aku?"

Indra mendesak. Tapi Inas konsisten bergeming.

"Kasih aku kesempatan Nas. Aku akan berubah. Aku akan memperbaiki sikap."

"Selama 3 bulan ini sikap Om pada saya sudah berubah. Jadi sangat baik," jawab Inas. "Tapi yang ada di dalam hati, siapa yang tahu?"

"Maksudnya?"

Inas menghela nafas.

Jika diperpanjang, Inas bisa saja menjelaskan dengan detil kepada Indra, hal-hal apa saja yang mengganjal dalam hubungan mereka. Namun menjabarkan seluruhnya hanya akan membuat mereka bertengkar dan berdebat. Bukan hanya karena mereka kini sedang berada di restoran, tapi juga karena Inas tidak ingin hubungan mereka berakhir dengan buruk, maka Inas menahan diri.

"Kita masih ada hubungan kekerabatan, Om. Saya harap perceraian kita nggak akan merusak hubungan kekeluargaan kita. Kita berpisah baik-baik ya Om."

* * *

Inas dan Indra meninggalkan restoran tanpa kata sepakat. Indra tidak ingin berpisah, sementara Inas tidak memberi celah untuk mengubah keputusan. Indra tidak mengira perempuan pendiam seperti Inas hatinya bisa sekeras itu. Ia pikir Inas tipe perempuan yang lembut hati dan penurut. Ternyata tidak.

Sampai mereka tiba di rumah, sebelum Inas masuk ke dalam kamarnya, Indra masih mencoba sekali lagi meyakinkan Inas. Dan tetap tidak berhasil.

Semalaman Indra memikirkan caranya meluluhkan hati Inas. Ia bingung mengapa perempuan itu sulit sekali dibujuk agar tidak bercerai. Padahal Indra yakin sekali gadis itu mencintainya. Wajah malu-malu dan kemerahan tiap kali Indra menggoda dan bercinta dengannya menunjukkan bahwa Inas menikmati waktu bersama dirinya.

Indra tahu kata-katanya kemarin sangat keras. Tapi kan dia sudah minta maaf. Indra juga sudah menjelaskan, kemarahannya akibat panik, karena istrinya meninggal akibat menyepelekan gejala demam juga. Indra berharap Inas bisa memahami traumanya dan memaklumi sikapnya. Tapi mengapa tidak?

Dulu sih memang Indra juga menolak menikah dengan Inas. Karena meski Inas cantik dan tubuhnya mengagumkan, tapi dari caranya berpakaian dan berdandan, Inas bukan tipe perempuan yang penampilannya membanggakan. Tapi kini Indra berubah pikiran. Ia membutuhkan Inas sebagai istrinya.

Setelah mereka menikah, Indra melihat sendiri bagaimana kehadiran Inas memberi efek baik bagi Dira. Inas mungkin bukan istri ideal bagi Indra, tapi gadis itu ibu yang ideal untuk Dira. Karenanya, Indra ingin mempertahankan Inas.

Dalam hatinya, Indra memang masih sering menyesalkan kondisi Inas. Pada hari-hari biasa, ia memang tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi ada kalanya Indra merasa menyayangkan kondisi Inas. Dan meski barangkali tidak ada yang tahu kondisi Inas tersebut, dalam diri Indra sendiri ada perasaan malu memiliki istri seperti itu. Barangkali hal itu yang membuatnya enggan mengenalkan Inas pada teman-temannya yang lain.

Tapi Dira membutuhkan sosok Ibu. Dan Inas memenuhi kebutuhan itu dengan sangat baik. Maka meski ada sisi diri Inas yang kurang sesuai dengan keinginannya, Indra mencoba berkompromi dan menerima gadis itu.

Tapi ternyata apa? Kenapa justru sekarang Inas yang menolak dan ingin menceraikannya?! Harusnya kan Inas yang merasa beruntung memiliki suami sepertinya. Iya kan? Apa kurangnya dirinya?

Ketika makin dipikirkan, Indra makin kesal sendiri dengan penolakan Inas. Tapi di sisi lain, Dira sudah terlanjur cocok dengan Inas. Indra jadi pusing sendiri jadinya.

Keesokan harinya, mereka masih saling terdiam saat sarapan bersama. Untung saja sepertinya ibu Indra memahami ada yang berbeda dengan interaksi mereka sehingga beliau tidak bertanya-tanya soal makan malam "romantis" semalam.

Setelah sarapan bersama, Inas meminta tolong Bi Mur untuk menemani Dira. Saat itulah Inas meminta bicara dengan ibu Indra, dan dia mengungkapkan keinginannya untuk bercerai.

"Baru tadi malam kalian makan malam merayakan ulang tahun pernikahan. Kenapa sekarang ingin cerai, Nas?" tanya ibu Indra dengan wajah gusar. "Apa Indra nyakitin kamu?"

Indra yang duduk di samping Inas, merasa gusar ditanya seperti itu.

"Nggak, Ma. Bukan salah Mas Indra," Inas menjawab pelan. "Masalahnya ada di Inas. Dan selama 1 tahun ini, Inas nggak bisa mengatasi masalah Inas itu. Jadi lebih baik kami pisah aja."

"Masalah apa sebenarnya?" tanya ibu Indra menuntut. "Mas! Jelasin!" Kini ibu Indra mencecar penjelasan dari anaknya.

"Ma..." Inas menyela.

"Apa Dira belum bisa nerima Inas?" tanya ibu Indra berasumsi. "Apa karena itu, dia masih belum mau manggil kamu Mama? Tapi selain masalah panggilan, Mama lihat Dira sayang sama Inas?"

"Bukan masalah Dira juga, Ma," kata Inas.

"Jadi apa?!"

"Maaf, Inas nggak bisa bilang, Ma."

"Ya kalau kamu nggak bilang dan Mama nggak tahu masalahnya, gimana Mama bisa bantu mendamaikan kalian?"

"Inas dan Mas Indra nggak bertengkar, Ma. Kami memutuskan berpisah baik-baik."

"Mas!" Tiba-tiba ibu Indra menatap Indra sambil membentak. "Kamu setuju Inas minta pisah?! Kamu gimana sih?! Bukannya mempertahankan rumah tangga, kamu malah setuju pisah? Kalau ada masalah tuh diomongin dulu! Apa sih kesalahan Inas yang bikin kamu mau melepaskan Inas?"

"Ma, ini bukan salah Mas Indra," Inas membela.

"Ya jadi salah siapa?!"

"Salah Inas, Ma."

"Apa kesalahan kamu?!" Ibu Indra akhirnya membentak. "Kamu selingkuh? Kamu suka laki-laki lain? Apa?!"

Mendengar bentakan itu, Inas spontan menunduk. Air matanya siap mengalir.

"Ma... Ini salah Indra..." kata Indra akhirnya bersuara.

"Iya udah jelas ini salah kamu, Mas!" sambar ibu Indra cepat. Matanya nyalang menatap putera sulungnya. "Mama udah tahu Inas ini gadis baik. Jadi kalau sampai dia minta pisah, ya itu salah kamu!"

Kini gantian Indra yang kicep.

"Rumah tangga rusak itu, kalau bukan karena suaminya brengsek, ya karena suaminya nggak bisa didik istri. Pada prinsipnya, gagalnya suatu rumah tangga ya memang kesalahan suami," Ibu Indra menatap puteranya dengan sinis. Membuat pria 36 tahun itu mengerut.

Kini kedua orang itu duduk berdampingan, menunduk. Bagai dua anak kecil yang sedang dimarahi ibu mereka.

"Nas... jangan pisah ya," kata ibu Indra kemudian. Suaranya melunak. "Kasihan Dira. Nanti siapa yang ngurus dia? Kamu kan tahu..."

"Dira sekarang sudah mandiri, Ma," potong Inas, takut-takut.

"Secara fisik, dia bisa mandiri. Tapi secara batin, dia butuh sosok ibu, Nas."

"Inas bukan perempuan yang cukup baik untuk jadi ibunya Dira, Ma. Mas Indra pasti nanti dapat perempuan lain yang lebih baik," jawab Inas.

Tapi respon ibu Indra berikutnya di luar dugaan.

"Kamu selingkuh ya Mas?!" tuduh ibu Indra spontan.

"Hah?!" Tentu saja refleks Indra melongo.

"Kalau perempuan udah bilang bahwa pasangannya layak dapat yang lebih baik, itu pasti perempuan itu selingkuh, atau dia mergokin pasangannya selingkuh!" kata ibu Indra tajam. "Inas nggak mungkin selingkuh. Berarti kamu yang selingkuh ya Mas?"

Indra membenamkan wajahnya ke kedua telapak tangannya. Kenapa sekarang ibu kandungnya sendiri yang tidak percaya padanya.

"Ma..." Inas menginterupsi. Gadis itu bergeser dan meraih kedua telapak tangan ibu mertuanya. "Tolong ijinin Inas dan Mas Indra pisah baik-baik ya Ma? Kita kan masih keluarga jauh. Inas nggak mau hubungan keluarga kita jadi rusak."

Ibu Indra menghela nafas berat. "Inas mau gimana Nak?"

"Inas mau pulang ke rumah orangtua Inas, Ma."

Wajah ibu Indra menunduk dengan muram. "Mama malu sama orangtua kamu. Dulu Mama yang melamar kamu buat Indra. Sekarang Mama harus memulangkan kamu." Perempuan berusia hampir 70 tahun, tapi masih terlihat sehat itu, menghembuskan nafas berat. "Yaudah kalau Inas butuh waktu. Inas boleh pulang dulu. Sehari, dua hari. Atau seminggu, dua minggu. Sampai hati Inas tenang. Baru balik sini lagi. Tolong dipikirin lagi rencana itu ya Nas. Pikirin baik-baik."

Tanpa bisa dicegah, Inas menangis. Dan hal itu menular. Ibu Indra juga menangis. Jadi kedua wanita itu menangis sesenggukan di hadapan Indra yang makin pusing menghadapi semua hal ini.

* * *

Sudah dua minggu Inas pergi dari rumah. Di awal kepergiannya, Indra dan Dira memang harus beradaptasi dengan rutinitas baru. Meski demikian, benar kata Inas, Dira memang sudah sangat mandiri dan bertanggung jawab pada diri sendiri sekarang. Ia sudah tahu buku apa yang harus dibawa untuk hari apa. Mana buku PR yang harus dibawa. Dia bisa mandi dan pakai baju sendiri. Bi Mur tinggal bantu merapikan seragamnya. Dira juga bisa makan dan pakai sepatu sendiri. Indra tinggal mengantarkan ke sekolah. Sepulang sekolah, menurut Bi Mur, rutinitas Dira sudah teratur. Ia juga mengerjakan PRnya tanpa disuruh.

Dira juga tidak terlihat menangis setelah kepergian Inas. Sebelum pergi, Inas memang sempat bicara empat mata dengan Dira di kamarnya. Entah apa yang disampaikan Inas pada Dira hingga akhirnya Dira bisa melepas Inas tanpa drama.

Indra pikir semua baik-baik saja. Sampai suatu ketika, saat mereka makan malam berdua, Dira menanyakan sesuatu yang aneh.

"Pa, Kak Inas pergi gara-gara Dira ya Pa?" tanya Dira tiba-tiba.

Indra meletakkan sendok-garpunya dan serius menanggapi pertanyaan Dira.

"Kok Dira nanya gitu? Kak Inas bilang apa kemarin sebelum pergi?" tanya Indra.

"Cuma bilang... kalau Dira sayang Papa, Dira harus jadi anak kuat dan mandiri."

Indra terhenyak. "Dira sayang sama Kak Inas?"

"Sayang, Pa."

"Kenapa?"

"Karena Kak Inas nggak pernah sok baik dan perhatian." Ini adalah jawaban yang pernah disampaikan Dira juga dulu. "Dulu setelah Mama meninggal, semua orang lihat Dira kayak Dira tuh anak kasihan banget gitu Pa. Trus jadi banyak yang merhatiin Dira. Dira nggak suka! Tapi kalo Kak Inas, dia diem aja. Nggak pernah nyoba deketin dan baik-baikin Dira. Nggak pernah kasihan sama Dira. Tapi Kak Inas perhatian sama Dira."

Hati Indra menghangat mendengar cerita itu.

"Trus kenapa Dira pikir Kak Inas pergi karena Dira?"

"Waktu itu Kak Inas tanya ke Dira, apa Kak Inas boleh sayang ke Papa. Tapi Dira nggak jawab," kata Dira. Wajahnya khawatir. "Apa Kak Inas marah ke Dira, karena Dira nggak jawab ya Pa?"

Lagi-lagi Indra terhenyak. Kalau Inas menanyakan hal itu, berarti Inas memang benar mencintainya kan? Jadi kenapa perempuan itu berkeras bercerai?

"Kapan Kak Inas nanya gitu?"

"Sebelum Dira masuk rumah sakit Pa," jawab Dira. "Waktu itu kita lagi ngobrol di mall. Kak Inas abis ngajak Dira beli kado buat Papa. Aneh ya Pa, ngapain ngasih kado buat Papa, padahal Papa nggak ulang tahun."

Kado? Sebelum Dira masuk RS? Apa itu artinya Inas membeli kado untuk anniversary mereka?

Berarti, hingga sebulan lalu, Ina masih ingin mempertahankan pernikahan ini kan? Jadi kenapa tiba-tiba ia berubah pikiran?

"Kapan kalian ke mall?"

"Lupa Pa. Pokoknya sebelum Dira dirawat. Kayaknya beberapa hari sebelum Om Agung waktu itu dateng kesini ya."

DEG!

"Oh iya!" imbuh Dira tiba-tiba, seperti baru ingat sesuatu. "Waktu itu pas kita jalan di mall, kita juga lihat Papa kok."

"Hah?"

"Waktu itu Papa lagi makan siang sama Tante yang kita ketemu di Taman Safari itu lho Pa. Tante Cecil ya?"

MAMPUS!

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top