Janji - 10
"Papa berangkat duluan ya, Sayang."
"Iya Pa. Ati-ati ya."
Setelah Dira mencium punggung tangannya, Indra meraih kepala Dira dan mengecup puncak kepalanya.
"Belajar yang senang ya," kata Indra.
"Iya dong Pa! Kan sekolah baru, temen-temen baru!" jawab Dira antusias.
Sudah seminggu ini Dira jadi murid SD. Dan anak itu antusias sekali dengan sekolah dan teman-teman barunya.
Indra mengusap kepala Dira sekali lagi, sebelum pamit pada Inas dan Bi Mur. Bi Mur membalas Indra yang pamit dengan sopan, sementara Inas langsung mengikuti pria itu ke halaman rumah.
"Jangan kelewat makan siang ya Om," kata Inas sambil menyerahkan kotak bekal.
Indra menerimanya dengan senyum lebar. "Makasih, Sayang." Lalu ia menunduk dan mengecup bibir Inas dengan cepat.
"Om!" Refleks Inas, yang wajahnya sudah memerah, memukul lengan Indra. "Dira..." Gadis itu mengerling ke dalam rumah sambil berbisik.
Hubungan Inas dan Indra kini sudah membaik. Jauh, jauh, jauuuhh lebih baik. Sampai-sampai tiap pagi Inas menyiapkan bekal makan siang untuk Indra dan tiap malam Indra menginap di kamar Inas. Meski demikian, Indra belum mengatakan kepada Dira tentang hubungannya dengan Inas. Inaspun memahami, mungkin Indra sedang mencari waktu dan cara yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Dira.
Sebentar lagi ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Inas, yang sebelumnya sudah bersiap mengakhiri pernikahan setelah satu tahun, kini setelah melihat perkembangan hubungannya dengan Indra, merasa pernikahan mereka akan bertahan dan baik-baik saja.
Memikirkan bahwa dengan kondisinya yang tidak ideal, akhirnya ia bisa menikah dan mempertahankan pernikahan, membuat perasaan Inas menghangat. Meski tidak diucapkan, ia bersyukur memiliki suami seperti Indra yang bisa menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangannya.
Pernikahan mereka memang dipersiapkan dengan cepat dan dilaksanakan dengan sederhana. Waktu itu Inas pikir, pernikahan yang hanya akan bertahan selama 1 tahun, untuk apa dirayakan besar-besaran. Tapi kini setelah hubungannya dan Indra mengalami kemajuan, Inas jadi ingin merayakan anniversary-nya dan menyiapkan kado untuk suaminya.
Jadi hari itu setelah menjemput Dira pulang sekolah, Inas mengajak gadis kecil itu untuk ikut bersamanya ke sebuah mall. Setelah makan siang bersama Dira di restoran mall, Inas mengajak gadis kecil itu menemaninya mencari kado untuk Indra.
"Emang Papa ulang tahun, Kak?" tanya Dira, ketika Inas mengatakan ingin mencari kado untuk ayahnya.
"Bukan ulang tahun, Sayang," jawab Inas sabar.
"Kalau nggak ulang tahun, ngapain dikasih kado?"
"Soalnya papanya Dira sudah baik sama Kak Inas. Jadi Kak Inas mau berterima kasih."
"Kak Inas juga baik sama Dira. Dira mau kasih kado juga buat Kak Inas!"
Mendengar itu, Inas tertawa. Hatinya menghangat. Iapun memeluk gadis kecil itu.
"Kalau Kak Inas sayang sama Dira, seperti mamanya Dira sayang sama Dira, boleh nggak?" tanya Inas hati-hati setelah melepas pelukannya.
"Boleh dong," jawab Dira dengan senyum lebar, tanpa banyak berpikir.
"Kalau Kak Inas sayang sama papanya Dira, boleh juga nggak?" lebih hati-hati Inas menanyakan hal ini.
Mata bulan Dira memandang Inas dengan tatapan menilai. "Kak Inas sayang sama Papa?"
"Kalau Dira mengijinkan..."
Anak itu tidak segera menjawab pertanyaan Inas. Saat itu Inas tahu, dirinya terlalu terburu-buru.
"Yaudah, nggak usah dipikirin, Ra. Kak Inas cuma nanya doang kok," imbuh Inas akhirnya.
Setelah membeli kado untuk Indra dan sebuah buku cerita untuk Dira, Inaspun mengajak Dira pulang. Saat itulah, tiba-tiba saja tidak sengaja Inas melihat sosok Indra di sebuah restoran. Baru saja Inas ingin mengajak Dira menemui ayahnya, mata Inas menyadari bahwa Indra tidak sendirian di restoran itu. Ia sedang makan bersama seorang wanita.
"Kak! Itu Papa!" pekik Dira bersemangat. Ternyata tanpa Inas mengatakannya, anak itu juga menyadari keberadaan ayahnya di restoran itu. "Kesana yuk Kak!"
"Eh, jangan!" cegah Inas cepat. "Papa lagi kerja."
"Itu lagi makan kok Kak. Bukan lagi kerja."
"M-maksudnya, itu kan makannya bareng temen kantornya. Jadi pasti urusan kerjaan."
"Oh iya ya Kak. Itu kan Tante Cecil yang ketemu kita di Taman Safari ya Kak?"
"Iya. Makanya yuk kita pulang aja!"
Inas mengarahkan tubuh Dira untuk berbalik menuju pintu keluar mall di waktu yang tepat. Sehingga Dira tidak sempat melihat ayahnya menunjuk wajah Tante Cecil dan membersihkan tepi bibir Tante Cecil dari noda makanan.
"Ra, mau kasih surprise buat Papa nggak?" tanya Inas dengan suara yang di-riang-riang-kan.
"Mau Kak!"
"Kalau gitu, jangan bilang Papa bahwa kita ke mall hari ini ya. Supaya Papa nggak tahu kita beli kado buat Papa."
"Siap Kak!"
* * *
"Sori ya Gung. Gue nggak sadar, dokumennya kebawa sama gue. Nih!"
Indra menyerahkan satu bundel dokumen kepada Agung. Setelah Agung menerimanya, Indra ikut duduk di sofa ruang tamu bersama temannya itu.
"Sori juga, gue jadi ganggu hari libur lo," balas Agung. Ia membuka dokumen yang diserahkan Indra, memastikan bahwa itu dokumen yang ia butuhkan. "Mau gue bawa ke site Surabaya besok. Baru sadar bahwa nggak ada di tas gue. Trus gue baru inget kita meeting bareng kemarin. Makanya gue iseng konfirmasi, ternyata bener nih dokumen masuk ke tas lo. Thank you ya."
"Sama-sama."
Baru saja Indra ingin menawari Agung minum apa, Inas sudah muncul dengan membawa 2 cangkir teh hangat. Aroma strawberry tercium dari uap yang mengepul dari cangkir itu.
Gadis itu meletakkan teh dan setoples kue kering di hadapan Indra dan Agung, mempersilakan Agung dengan sopan, lalu pamit masuk lagi ke dalam rumah.
"Hoki bener lo Ndra," kata Agung, setelah yakin Inas pergi.
"Hah?"
"Duda kayak lo dapet perawan ting-ting, cantik, kalem kayak Inas. Sayang sama anak lo, pengertian, gercep. Beruntung banget lo," jawab Agung. "Tapi masih belum lo akuin juga di depan temen-temen lain? Beneran cuma gue doang nih yang tahu bahwa dia bini lo?"
Agung tahu bahwa Inas adalah istri Indra karena Agung adalah satu-satunya teman kantor Indra yang diundang pada acara resepsi sederhana setahun lalu. Makanya Agung kaget karena saat Family Gathering, Indra tidak memperkenalkan Inas sebagai istrinya kepada teman-teman lain. Teman-teman Indra yang lain yang sempat berkenalan dengan Inas mengira Inas adalah pengasuh Dira, makanya diajak ke Family Gathering, untuk membantu Indra menjaga Dira.
"Bawel lo!"
"Kata HRD, lo juga belum lapor status baru lo? Jadi belum dapet tunjangan istri? Padahal lo kawin udah lama kan? Udah ampir setahun?"
"Wah parah! Iseng banget lo tanya-tanya tentang gue ke HRD."
"Bukan gue yang nanya-nanya," Agung membela diri. "Kemarin gue nggak sengaja denger Imelda HRD lagi ngerumpi sama Cecil. Lo tahu kan Cecil naksir sama lo? Dia mastiin ke Imelda bahwa status lo emang masih duda, belum kawin lagi. Trus kata Imel, dia confirm status lo di HRD emang masih duda. Wah parah lo, Ndra."
Indra hanya bergeming, tidak menanggapi provokasi Agung.
"Lo ada masalah sama istri lo?"
"Nggak ada masalah," jawab Indra cuek.
"Kalau hubungan kalian baik-baik aja, lo kenapa ngasih sinyal-sinyal yang bisa disalahartikan Cecil? Dia bisa salah paham, dikira lo naksir sama dia. Dan karena dia pikir lo masih duda, dia pikir sah-sah aja gencar pedekate ke lo."
Indra tidak menjawab. Dan akhirnya Agung cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Ndra, Ndra, punya istri sebaik dan sesempurna Inas kok disia-siain," Agung mengejek halus.
"Dia nggak sebaik dan sesempurna itu Gung," Indra mengoreksi.
"Oh? Apa kekurangannya? Kalo tidur ngorok? Suka kentut?"
Indra melempar banta sofa pada Agung. "Kampret lo!"
Tapi Agung hanya tertawa-tawa dikatai oleh Indra.
"Dia punya masa lalu yang... agak susah gue terima," kata Indra pelan.
Kali ini wajah Agung berubah agak serius.
"Kalo gitu, harusnya dari awal lo nggak nikahin dia."
"Gue baru tahu setelah kami nikah."
Agung mengangguk-angguk dengan dahi berkerut. "Apa masa lalunya itu memengaruhi atau mengganggu hubungan kalian saat ini atau di masa depan?"
"Nggak sih."
"Kalau gitu, harusnya bukan masalah kan? Bukan sesuatu yang harus lo permasalahkan. Toh nggak mengganggu masa depan kalian kan?"
"Iya sih. Cuma kadang-kadang, kalau gue keinget masa lalunya, gue merasa.... apa ya? Hmmm..." Kalimat Indra terdengar menggantung. Ia tidak dapat menyelesaikannya.
"Itu definisi menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan, Ndra," kata Agung. "Sebelum menikah, baiknya kita mencari tahu segala hal tentang calon pasangan. Kalau tahu bahwa calon pasangan punya kekurangan yang nggak bisa kita terima, yaudah nggak usah lanjut ke pernikahan. Itu sah-sah aja. Nggak ada keharusan menerima segala kelebihan dan kekurangan sebelum menikah.
Tapi setelah menikah, segala kelebihan dan kekurangan pasangan ya harus kita terima. Kita tuh janjinya bukan di depan penghulu atau wali lho. Kita tuh berjanji di depan Allah. Jangan main-main sama janji seperti itu. Jangan segampang itu mikir pisah kalau masalahnya masih bisa dibicarakan. Kalaupun kita menemukan kekurangan pasangan setelah menikah, ya itu tugas kita sebagai kepala keluarga untuk membimbing istri menjadi lebih baik kan? Bukannya langsung meninggalkan kalau pasangan punya kekurangan."
"Manteb! Agung Teguh!" Indra mengacungkan jempolnya pada Agung.
"Semprul! Gue ngomong serius, lo malah ngeledek!"
Keduanya kemudian tertawa ringan.
Meski demikian, meski Indra hanya tertawa-tawa saja mendengar nasehat Agung Teguh, tapi dalam hati, ia mempertimbangkan nasehat itu.
* * *
Istri yang baik adalah istri yang keberadaannya menenangkan. Suami bisa pergi bekerja dengan tenang karena percaya bahwa sang istri di rumah akan menjaga rumah dan anak-anaknya dengan baik.
Seharusnya demikian.
Seharusnya Indra bisa tetap bekerja dengan tenang meski anaknya sedang demam, karena yakin sang istri dapat menjaga anaknya dengan baik.
Tapi kenyataannya sore itu ketika Indra pulang kerja, ia tidak mendapati sang istri di rumah. Padahal Dira sedang demam. Indra pikir Inas akan selalu mendampingi Dira dalam kondisi seperti ini. Kalau Inas seperti ini, bagaimana ia bisa tenang bekerja dan mempercayakan anaknya pada Inas?
Indra mengecek suhu tubuh Dira. Dan ternyata sudah 40°C. Kenapa Inas diam saja, dan bahkan pergi kelayapan saat Dira demam setinggi ini? Indra jadi geram sendiri.
Bayangan mendiang istrinya yang meninggal setelah demam tinggi, membuat Indra panik menghadapi kondisi Dira yang kini serupa dengan kondisi mendiang ibunya dulu. Dengan cepat Indra memutuskan membawa Dira ke rumah sakit.
Baru saja mobilnya keluar dari komplek perumahannya, dari arah berlawanan, Indra melihat sosok Inas sedang naik motor menuju ke arah rumahnya. Gadis itu bukan naik motornya sendiri, melainkan dibonceng oleh seorang laki-laki yang bukan tukang ojek. Laki-laki itu adalah Rizki, karyawan yang kos di rumah Bu Asmoro.
Sial! Saat anaknya sedang demam tinggi, gadis itu malah pacaran dengan laki-laki lain!
Dengan perasaan marah, Indra mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju IGD rumah sakit di dekat rumahnya. Sesampainya di IGD RS, Dira segera ditangani dengan baik. Karena ini baru hari kedua Dira demam, dokter menyarankan Indra untuk membawa kembali Dira pulang dan merawatnya di rumah saja. Tidak perlu terlalu khawatir dulu. Jika sudah lebih dari 3 hari tidak ada perbaikan kondisi, barulah perlu dibawa ke RS lagi.
Tapi pengalaman buruknya dengan mendiang istrinya dulu membuat Indra berkeras ingin Dira dirawat di rumah sakit saja. Dengan dirawat di RS, Indra bisa merasa lebih tenang, karena kalau ada perburukan kondisi mendadak, dapat segera ditangani paramedis. Ia tidak mau terulang lagi seperti Inggrid dulu yang terlambat ditangani sehingga menyebabkan kematian.
Karena Indra berkeras meminta Dira dirawat, pihak rumah sakitpun menerima. Dokter memutuskan melakukan tes darah untuk mengetahui penyebab demam tinggi tersebut. Sambil menunggu hasilnya, Dira dipindahkan ke ruang rawat.
Saat itulah, setelah Dira dipindahkan ke ruang rawat, Inas datang.
"Om, maaf. Kenapa Dira dibawa kesini? Apa parah banget? Tadi sebelum saya pergi, suhunya baru 38. Saya cuma seb____"
"Jadi begini cara kamu menjaga anak saya?" potong Indra ketus.
Inas yang masih panik karena ternyata kondisi Dira separah itu sehingga harus dirawat, bungkam seketika.
"Sudah tahu anak sedang demam tinggi, bukannya selalu menjaga, malah asik keluyuran sama laki-laki. Kalau Dira kenapa-kenapa, kamu mau tanggung jawab, hah?!
Kamu nih, sudah punya pengalaman buruk sama laki-laki, bukannya lebih hati-hati sama laki-laki, malah makin genit. Apa mentang-mentang udah nggak perlu jaga keperawanan lagi, jadi santai aja bergaul sama laki-laki? Inget, kamu tuh masih punya suami! Tolong hormati saya!
Pantes aja belakangan ini kamu selalu nolak saya. Ternyata kamu punya laki-laki lain? Kalau kamu memang sudah nggak mau bersama saya, jangan gini caranya. Ngomong baik-baik! Kalau kamu minta cerai, saya juga nggak bakal menghalangi! Tapi jangan pacaran diam-diam, apalagi justru pas anak saya sakit parah gini dong!"
* * *
Mau komen apa nih enaknya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top