ANDROMEDA - 4

Hidup itu seperti roda yang berputar.
Kadang di bawah ... dan mungkin tidak akan pernah sampai di atas,
Jika kau membiarkannya berhenti di tengah jalan.

Setelah berdebat dengan dirinya sendiri selama bertahun-tahun akhirnya Andromeda harus menerima saran dari sahabatnya. Dia tidak bisa mendapatkan jawaban apapun hanya dengan bertengkar dengan dirinya sendiri.

“Jadi akhirnya lo sadar bahwa lo cinta sama dia?” kata Aryo setelah mendengar cerita Andromeda tentang Andrea.

“Nggak butuh waktu lama untuk menyadarinya, Yo,” jawab Andromeda.

“Tapi seperti yang selalu terjadi sama lo, selalu butuh waktu lebih lama untuk berani mengakuinya kan?”

Andromeda mengangkat bahunya. Pasrah akan tudingan sahabatnya.

“Dulu juga Andini yang duluan bilang cinta ke lo kan? Dan sekarang lo mengharapkan Andrea melakukan hal yang sama sehingga lo nggak perlu bersusah payah mempertaruhkan harga diri lo yang tinggi itu hanya karena takut ditolak kan?”

Andromeda terpaksa menerima tuduhan sahabatnya lagi. Karena memang itulah yang terjadi. Dia terlalu takut ditolak. Dia tidak pernah ditolak. Karena dia memang tidak pernah menyatakan cinta. Cinta pertamanya adalah Andini. Dan gadis itulah yang lebih dulu menyatakan cinta kepadanya. Dia tidak pernah punya pengalaman mengejar gadis manapun.

“Kalau gitu, berhenti berharap pada Andrea, Ndro. Percuma. Sia-sia,” kata Aryo akhirnya. Patah arang dia menghadapi sahabatnya yang satu itu.

“Maksud lo?”

“Kalau benar seperti yang lo ceritakan tentang masa lalunya, Andrea bahkan nggak akan menerima lo meski lo menyatakan cinta.”

“Maksud lo?”

“Dia bahkan nggak akan menerima lelaki manapun juga.”

“Hah?”

“Dia pernah dikhianati tepat di hari pernikahannya. Dia nggak akan percaya lagi sama kata-kata cinta dan pernikahan.”

“Lo harusnya jadi psikolog aja Yo.”

“Emang gue ini psikolog, Andro! Lo amnesia ya?”

Andro tertawa. Menertawakan kegoblokannya. Bisa-bisanya dia lupa bahwa sahabatnya sendiri memang seorang psikolong.

“Andai lo mengakui cintapun, dia nggak akan menerima lo. Apalagi kalau lo berharap dia yang bilang cinta duluan. Mati aja lo, Ndro! Sampai kiamat juga nggak bakal terjadi. Lo yang harus mengambil tindakan. Mau maju? Atau mundur?”

Andromeda terdiam.

“Bahkan meski lo sudah maju, kemungkinan besar dia bakal melarikan diri. Menjadikannya ibu dari Andari nggak akan semudah membuat Andini menjadi istri lo. Hanya kalau lo siap ditolak, dan siap mengejarnya, baru lo boleh menyatakan cinta padanya.”

* * *

Seperti kata Aryo, bagi Andro yang sama sekali belum pernah mengejar gadis manapun, memutuskan untuk menyatakan cinta pada gadis dengan kemungkinan penolakan 99%  adalah suatu pertaruhan yang berat atas harga dirinya. Tapi tidak menyatakannya sama sekali hanya membuatnya makin tersiksa dari hari ke hari. Akhirnya di suatu sore, selepas jam kantor sehingga para karyawan sudah pulang, Andromeda memutuskan untuk membuat suatu gebrakan dalam hidupnya.

Andromeda melihat Andrea sendirian di ruangannya. Gadis itu menatap laptopnya dengan serius. Dia suka melihat mata tajam dan kening berkerut itu.

“Pulang jam berapa, Ndre?” tanya Andromeda, sambil melangkah masuk ke ruangan Andrea dengan kebulatan tekad.

“Eh, Pak Andro! Kok belum pulang? Mau nagih rilis produk apa lagi nih?” sambut Andrea, waspada, tapi tetap tersenyum.

“Emangnya saya menemui kamu kalau nagih rilis aja?”

Andrea nyengir. “Nggak sih. Kalau nagih monthly report juga Bapak langsung datang kesini.”

“Nyindir banget deh kamu.”

Andrea tertawa. Andromeda menyukai tawa itu. Tapi dia bertanya dalam hati, apakah di semua tawa yang dilihatnya tidak pernah ada yang berupa kepura-puraan untuk menutupi kepedihan hatinya?

“Jadi, pulang jam berapa, Ndre?” tanya Andro sekali lagi.

“Sebentar lagi pulang kok Pak, abis sholat Maghrib. Tinggal periksa Validation Report aja, harus rilis besok soalnya.”

“Temani saya makan malam yuk, Ndre,” kata Andromeda dengan gaya santai, padahal perasaannya nggak santai sama sekali.

“Eh? Dalam rangka apa Pak? Bapak nggak ulang tahun kan?”

“Nggak. Pengen ngobrol aja sama kamu,” jawab Andromeda sambil komat-kamit dalam hati, berdoa semoga Andrea tidak menolak ajakan makan malamnya.

“Ada masalah sama Andari ya Pak?” terka Andrea kemudian, tampak khawatir.

Melihat kekhawatiran Andrea terhadap putri tunggalnya membuat Andromeda makin mencintai gadis itu.

“Bukan mau ngomongin Ari kok,” jawab Andromeda kemudian. “Ya udah, cepat selesaikan review Validation Reportnya. Saya datang lagi setelah sholat Maghrib ya.”

Agak bengong, Andrea hanya mengangguk linglung. Kemudian melihat bosnya pergi dengan tatapan bingung.

* * *

“Saya cinta sama kamu, Andrea.”
Setelah melatihnya selama berhari-hari, akhirnya Andromeda berhasil juga mengucapkan kata-kata itu. Dia bahkan telah melatih banyak kata-kata untuk meyakinkan Andrea jika Andrea benar-benar menolaknya.

Andrea berhenti memakan bihun goreng spesialnya. Dia segera kehilangan selera atas makanan kesukaannya sendiri.

Andrea mengamati wajah Andromeda, kemudian tersenyum. Andromeda jadi salah tingkah dan makin was-was melihat senyum Andrea.

“Nggak perlu mengatakan cinta hanya demi Andari, Pak. Saya tetap menyayangi Andari meski saya bukan ibunya,” kata Andrea sambil tersenyum maklum.

“Tapi kamu nggak bisa selamanya menyayanginya.”

“Kenapa nggak bisa?”

“Kalau kamu sudah punya anak sendiri nanti ...”

“Saya nggak akan menikah, Pak,” potong Andrea cepat.

“Apa?” Andromeda kaget dan tidak mengerti.

“Saya nggak akan menikah. Dan nggak akan punya anak sendiri. Saya bisa tetap menyayangi Andari.” Ekspresi menderita terpancar di wajah gadis itu ketika mengatakan hal itu. “Jadi Bapak nggak usah mengatakan cinta kepada saya hanya karena takut Andari kehilangan saya,” lanjut Andrea.

“Saya memang takut kamu nggak akan menyayangi Andari lagi. Tapi lebih dari itu, saya sendiri yang takut kehilangan kamu.”

Andrea tersenyum sedih. “Nggak perlu mengatakan hal seindah itu hanya demi orang lain, Pak. Saya sudah bilang, Andari nggak akan kehilangan saya.”

“Ini bukan demi Andari, Ndre. Ini tentang saya dan kamu.”

Senyum Andrea lenyap. “Jangan diteruskan, Pak. Kita selesaikan makan malam kita, lalu kita anggap obrolan ngaco ini nggak pernah terjadi,” kata Andrea, serius. 

“Kenapa kamu nggak mau menikah?” tanya Andromeda, mulai mengkonfrontir.

Andrea bergeming.

“Masih trauma dengan pernikahanmu dulu?”

Andrea meletakkan sendok dan garpunya dengan dentingan keras.

“Saya nggak mau menemani Bapak makan lagi kalau kita masih membahas hal absurd ini.”

“Belajarlah mengenal saya, Andrea. Saya bukan orang brengsek seperti calon suamimu dulu itu,” Andromeda makin nekat. Bahkan meski ia telah melihat wajah Andrea makin pucat.

“Saya sudah mengenal Bapak dengan baik selama lima tahun ini. Kalau Bapak lupa, saya malah hapal bahwa setiap akhir bulan Bapak selalu meneror saya merilis produk dan tiap Bapak butuh teman curhat Bapak pasti datang membawakan martabak ke ruangan saya. Tapi itu nggak berarti apa-apa, Pak.”

“Kalau kamu sudah mengenal saya, belajarlah mencintai saya, seperti kamu menyayangi Andari. Kita nggak perlu menikah kalau ternyata kamu tetap nggak bisa mencintai saya.”

Dunia Andrea serasa lumpuh. Enam tahun lalu dia pernah mendengar kata-kata indah seperti itu. Tapi akhir ceritanya sama sekali tidak indah.

Dengan menahan air mata, Andrea menyambar tasnya. Tanpa menghabiskan makan malamnya atau pamit kepada bosnya, dia segera berdiri dan pergi dari restoran itu. Bergegas Andromeda mengejar Andrea dan menyambar tangannya sebelum gadis itu pergi lebih jauh.

“Jangan bergaya seperti remaja, Pak. Lepasin tangan saya!” kata Andrea mengancam.

“Kenapa nggak bisa belajar mencintai saya, Andrea?”

“Cinta bukan hal yang bisa dipelajari, Pak. Dan saya pernah bertemu dengan laki-laki seperti Bapak yang meminta saya belajar mencintai. Dia mengatakan cinta pada saya demi orang tuanya. Bapak mengatakan cinta demi putri Bapak. Kalian sama sekali nggak ada bedanya! Brengsek!”

Andromeda terpukul dengan kata-kata Andrea. Dia sudah sering mendengar Andrea marah, tapi baru kali itu ia mendengar Andrea memaki. Jika bukan karena terlalu terluka, tidak mungkin Andrea berkata sekasar itu.

Andromeda kehilangan semua jurus yang telah dipersiapkannya untuk meyakinkan Andrea tentang cintanya. Lelaki di masa lalu gadis itu sudah begitu menanamkan kenangan buruk tentang cinta rupanya.

Andrea menatap Andromeda dengan tatapan pedih.

“Kenapa Bapak nggak menikah lagi sejak ibunya Andari meninggal?” tanya Andrea akhirnya.

Andromeda bengong, tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba seperti itu.

Dan sebelum Andromeda sempat menjawab, Andrea menjawab sendiri dengan asumsinya, “Karena Bapak masih mencintai ibunya Andari kan? Orang tidak bisa memulai yang baru kalau tidak pernah melepas yang lama, Pak.”

* * *

“Belajarlah mencintaiku, seperti aku akan belajar mencintaimu. Kita nggak perlu menikah kalau pada akhirnya kita tetap nggak bisa saling mencintai.”

Setelah bertahun-tahun tidak pernah menangis lagi, tangis Andrea akhirnya pecah ketika dia masuk ke mobilnya. Mendengar kata-kata yang pernah diucapkan lelaki itu kini diucapkan lagi oleh Andromeda membuat hatinya merasa sakit lagi.

Dan rasa sakit atas kata-kata Andromeda belum seberapa dibandingkan kebungkaman Andromeda ketika Andrea mengkonfrontirnya tentang mendiang istrinya. Andromeda sama sekali tidak menjawab atau mengelak ketika ia menanyakan cinta Andromeda kepada mendiang istrinya. Andromeda tidak mengingkarinya, berarti ia memang masih sangat mencintai mendiang istrinya kan? Jadi mengapa Andromeda harus menyatakan cinta padanya sementara cinta lelaki itu masih selalu untuk perempuan itu?

Laki-laki tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Apalagi jika wajah wanita pertamanya itu selalu hadir di hadapannya dalam rupa putri tercintanya. Tidak ada yang bisa menghapus cinta macam itu. Tidak ada yang akan bisa menggantikan cinta sedalam itu. Andrea merasa tidak mungkin menang bersaing dengan cinta pertama Andromeda itu.

Maka demi melindungi hatinya sendiri, meski ia sendiri mencintai Andromeda, Andrea menolaknya. Pernyataan cinta lelaki itu pasti semata karena Andari. Dan Andrea tidak bisa menerima cinta semacam itu. Dia sudah pernah merasakan sakitnya cinta yang dijalani hanya demi orang lain.

* * *

Sudah satu jam lamanya Andromeda sampai di rumahnya. Dia sudah mematikan mesin mobilnya, tapi tidak juga keluar dari mobilnya. Dia masih syok dengan pertanyaan Andrea. Dan dia memaki dirinya sendiri karena dia sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan itu, tapi dia tahu bahwa dia tidak berhak menjawab begitu.

Kamu pintar, Andrea, aku memang masih mencintai Andini. Tapi tidak bolehkah aku mencintaimu selagi aku mengenangnya?, tanya Andromeda dalam hati, frustasi.

* * *

Kata orang, makin dewasa seseorang, biasanya makin bijak dalam mengambil keputusan. Jadi harusnya, laki-laki seusia Haris, Erlang dan Andromeda, udah nggak sepantasnya galau-galau soal perasaan lagi.

Tapi kenapa saya srg nulis cerita ttg om2 galau?

Hmmm... entahlah. Mungkin karena om-om yg saya kenal masih suka galau? Hahaha. Berinteraksi sm beliau bikin saya mikir, sebenarnya semua orang punya kegalauan masing-masing. Ada yg ditampakkan, ada yg tersembunyi. Ada yg nampak jelas, ada yg terkamuflase dg sikap agresif. Hahaha. Aduh dasar aku, mainnya sama om2 mulu.

Semangat hari Senin, Kak!

Btw, Kakak2 udh tahu kan bhw Eugenia udh bs dipesan sekarang? 🤭🤭🤭

Yg berminat bs hub Karos Publisher di 0818-0444-4465

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top