AGNI - 7
"Gue juga pernah denger kejadian gitu di FT, Mas."
Baru saja Agni masuk ke ruang dosen, ia langsung mendengar suara antusias tapi bernada rendah, milik Sofia.
"Denger dari Mas Attar?" Kali ini suara Rahman. Tidak terdengar jawaban Sofia. Tapi kemudian disusul suaran Rahman lagi, "Wah, parah! Nggak takut laki lo jealous kalo lo masih kontak Mas Attar?"
"Gue nggak kontak Bang Attar ya Mas. Kita ketemu doang pas rapat bareng di rektorat. Trus kita ngerumpi."
Suara Rahman terdengar tertawa lepas.
"Eh, hai, Agni!" sapa Rahman ketika menyadari Agni mendekat ke arah meja besar di tengah ruangan, tempat Rahman dan Sofia sedang berdiskusi (atau ngerumpi?).
"Ngapain Kak Rahman kesini?" Agni membalas menyapa, sambil duduk di salah satu kursi di meja besar itu juga.
"Lha, sombong! Mentang-mentang lab lo, gue ga boleh main?"
Agni dan Sofia tertawa.
Rahman adalah dosen Kimia Farmasi. Labnya ada di lantai 3. Sementara di lantai 4 ini adalah Lab Teknologi Farmasi, tempat Agni dan Sofia biasa bersarang. Tapi karena ruang dosen lab Tekfar ini memiliki meja besar ini, jadi beberapa dosen muda suka juga berkumpul disitu untuk makan siang bersama, atau sekedar ngerumpi.
Dosen juga manusia biasa. Yang suka ngerumpi.
"Ada gosip apa nih?" tanya Agni, kepo.
"Ssstt, bukan gosip!" desis Rahman. "Focused group discussion."
"Somplaque!" maki Agni. Kini giliran Sofia dan Rahman yang tertawa karena berhasil meledek Agni.
"Iya dong. Istilahnya lebih ilmiah dikit gitu kek," kelakar Rahman.
"Tapi kan intinya tetep aja ghibah," Agni cemberut.
Rahman terkekeh melihat juniornya kesal.
"Jadi apa topik FGD kali ini?" tanya Agni.
"Pengaruh citra diri terhadap kenaikan jabatan fungsional," jawab Sofia.
"Oh? Gimana tuh?"
"Temen mantannya Sofia, dosen FT, ada yang mengajukan profesorship, trus terhambat karena pernah kena tuduhan selingkuh."
DEG!
Agni menelan ludah pahit. Ia bahkan tidak bisa bicara untuk menanggapi.
"Padahal kata Bang Attar, dia nggak beneran selingkuh lho Mas," Sofia menanggapi. "Jadi dulu tuh dia dijodohin sama si cewek. Tapi dia lebih pilih melanjutkan hubungan sama pacarnya. Ndilalah, pacarnya itu mahasiswinya. Nah suatu hari si calon tunangan itu ke Fakultas, dan ngelabrak si mahasiswi, nuduh si mahasiswi sebagai pelakor, dan nuduh si calon tunangan selingkuh. Padahal statusnya baru CALON tunangan, yang ditolak. Tapi malah dia yang lebih galak.
Waktu itu sih urusannya bisa diselesaikan dan diklarifikasi. Jadi sebenarnya nggak pernah ada perselingkuhan. Palingan kasus pacaran sama mahasiswi aja. Tapi lama-lama kasus itupun closed karena setelah mahasiswi itu lulus, mereka menikah beneran.
Masalahnya, sekarang pas temennya Bang Attar itu ngajuin Professorship, kayaknya ada yang nggak suka sama dia, trus ngungkit lagi kasus perselingkuhan yang dulu. Dianggap tindakan nggak bermoral lah, sehingga nggak layak jadi Guru Besar."
Agni mendengarkan penjelasan Sofia dengan seksama.
"Profesi dosen atau guru tuh dianggap sebagai teladan dan mulia banget sih, jadi kita sama sekali nggak boleh melakukan kesalahan. Padahal urusan cinta kan ranah pribadi ya. Tapi kalau jadi dosen dan guru, ya harus siap ranah pribadi kita juga harus sesempurna mungkin. Apalagi kalau mau jadi Profesor. Wuiiii, kalau ada yang nggak suka sama kita, bisa aja lapor aneh-aneh padahal itu ranah pribadi. Akibatnya karir jadi terdampak kan. Kayak temennya Mas Attar itu," sambung Rahman.
"Emmm... temennya Pak Attar itu, akhirnya bisa jadi GB nggak?" tanya Agni hati-hati.
"Ya tetep bisa sih. Kan setelah ada laporan itu, trus diklarifikasi kan. Cuma proses kenaikan jabfungnya jadi tertunda dan rempong kan," jawab Sofia.
"Pokoknya kita harus hati-hati sih. Kalau profesi kita non-akademik, trus kita ada cela di ranah pribadi, palingan cuma digosipin aja. Tapi kalau kita melakukan kesalahan saat profesi kita sebagai guru atau dosen, itu bukan cuma bakal digosipin aja, tapi juga menghambat karir," imbuh Rahman.
Agni hanya mengangguk-angguk sambil pasang tampang sok cool. Padahal dalam pikirannya, ia sibuk menghubungkan informasi dari Sofia dan Rahman, dengan kondisinya saat ini. Jika dirinya hanya mengikuti hati dan ego dan berakhir sebagai pelakor, bagaimana jika istri Adnan melabraknya, lalu menjadi kasus yang di kemudian hari akan diungkit lagi dan menjadi batu sandungan bagi karirnya? Dirinya harusnya memang tidak boleh main-main soal perasaannya terhadap Adnan!
Pikiran Agni teralihkan oleh getar ponselnya. Di layar tertulis nama Mbok Yum. Hal itu membuat Agni merasa tidak nyaman karena biasanya Mbok Yum hanya meneleponnya dalam keadaan darurat. Dan ini mungkin terkait kondisi Ibu.
Dan ternyata benar dugaan Agni, Mbok Yum meneleponnya untuk mengabari bahwa Ibu kembali mengalami serangan jantung dan Mbok Yum belum berhasil mendapatkan ambulans. Ini jam kerja, sehingga rumah tetangga mereka sedang kosong.
Agni segera menutup panggilan Mbok Yum dan berusaha menelepon nomer darurat ambulans dari RS yang berada paling dekat dengan rumahnya. Melihat kepanikan Agni, Rahman dan Sofia juga mencoba membantu dengan menghubungi 118, 119 dan 112. Di tengah kepanikan itu, Agni mengingat sebuah nomer ponsel yang pernah diberikan Adnan padanya. Agni memang tidak ingin lagi terhubung secara personal dengan lelaki itu, tapi ini kondisi darurat, jadi ia segera menghubungi telepon itu.
Mendengar Agni menyebutkan nama Adnan, kolega Adnan yang katanya seorang dokter itu segera membantu Agni mendapatkan ambulans yang dibutuhkan. Dan setelah Agni menutup ponselnya, Rahman segera mengantar Agni ke rumah sakit yang dituju ambulans tersebut.
Tapi takdir sudah ditetapkan. Ajal tidak bisa ditunda. Saat Agni tiba di RS, dokter yang menangani ibunya menginformasikan bahwa beliau sudah meninggal dunia.
Saat itu juga dunia Agni terasa gelap. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana, selain menangis. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untungnya Rahman ada disana, dan membantu mengurus segala hal yang diperlukan untuk membawa pulang jenazah ibunya, menanyakan kontak saudara-saudaranya untuk dikabari, juga kontak pengurus RT dan masjid di sekitar rumah Agni yang bisa membantu pemakaman.
* * *
Agni menjalani sisa hari seperti robot yang bergerak dengan separuh kesadaran. Tahu-tahu para kerabat dan tamu berdatangan, tahu-tahu ibunya telah dimakamkan, tahu-tahu kini ia sebatang kara. Ia memang masih memiliki om dan tante dari pihak ibu, salah seorang tante dan sepupunya juga memutuskan tinggal di rumah Agni hingga Agni merasa lebih tenang. Tapi tetap saja, setelah kehilangan ibunya, dirinya akan menjalani hidup sendirian kan?
Berkat informasi dari Rahman, rekan dosen dan tendik banyak yang hadir untuk takziah dan mengucapkan bela sungkawa. Beberapa mahasiswa perwakilan BEM Fakultas juga hadir, untuk mengucapkan duka cita. Diantaranya ada Gia.
"Saya besok nggak bisa hadir saat kamu presentasi KTI Pilmapres. Maaf ya," kata Agni lirih saat bicara padaa Gia.
Esok hari telah dijadwalkan penilaian presentasi KTI, dan biasanya dosen pembimbing hadir. Tapi mengingat kondisinya saat ini, Agni yakin ia tidak akan bisa hadir.
"Iya Bu, nggak apa-apa. Ibu sudah banyak membimbing saya selama ini. Mohon doa dari Ibu ya Bu."
Agni hanya bisa mengangguk, demi sopan santun.
"InsyaAllah ibu kuat ya Bu," kata Gia sambil menggenggam tangan Agni lebih kuat.
Lagi-lagi Agni hanya bisa mengangguk. Ia memang tidak punya pilihan lain selain menjadi lebih kuat kan.
Agni tidak tahu siapa yang menyebarkan kabar ini sehingga ayahnya hadir sore hari itu, setelah jenazah ibunya dimakamkan. Sebagai bentuk tanggung jawab, sang ayah bahkan "berbaik hati" menawarkan Agni untuk tinggal bersamanya, setelah sang ibu tiada. Tapi tentu saja Agni menolaknya. Kalau memang lelaki itu bertanggung jawab, ia tidak akan meninggalkan Agni dan Ibu dulu, demi perempuan lain. Kenapa baru ngomongin tanggung jawab sekarang? Telat sekali kan.
Agni tahu bahwa ajal adalah takdir yang sudah ditetapkan Tuhan bahkan sebelum seseorang dilahirkan. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Tapi bagaimanapun ia tidak bisa menghapus praduga dalam dirinya bahwa serangan jantung ibunya sedikit-banyak disebabkan oleh kesedihan beliau sejak berjumpa kembali dengan mantan suaminya itu. Pikiran itu yang membuat Agni enggan lama-lama berbasa-basi dengan ayahnya sendiri.
* * *
Setelah seharian kemarin tidak membuka ponselnya, ketika hari itu ia membuka kembali ponselnya, ia menemukan banyak ucapan duka cita di WhatsAppnya. Salah satunya dari Adnan. Pasti lelaki itu mendengar kabar dari temannya yang dokter itu.
Pak Adnan: Maaf saya belum bisa datang ke rumah Agni. Saya masih di SG.
Agni sudah beberapa lama tidak lagi membalas pesan Adnan. Tapi kali itu ia merasa perlu membalasnya. Setidaknya untuk mengucapkan terima kasih.
Nggak apa2 Pak.
Btw, makasih atas no.hp
dr. Yudha yg waktu itu Bapak kasih.
Kmrn dr. Yudha sgt membantu saya
utk mdptkn ambulans utk Ibu.
Meski akhirnya Ibu berpulang,
saya tetap berterima kasih.
Sebuah telepon masuk beberapa detik setelah pesan itu terkirim. Dari Adnan. Agni mengangkat panggilan telepon itu, tapi tidak mampu bersuara.
"Agni...."
Hanya mendengar suara lembut Adnan itu saja, Agni sudah menangis sesenggukan. Lelaki di seberang telepon itu memutuskan untuk membiarkan Agni menuntaskan tangisnya.
* * *
Dua hari setelah sang Ibu berpulang, Agni sudah kembali bekerja. Meski semua orang akan maklum jika ia mengambil cuti lebih panjang, tapi Agni merasa kesibukan akan membantunya melalui kesedihan ini. Hari ketiga setelah kepergian sang ibu, tante dan sepupunya tidak bisa berlama-lama lagi menginap di rumah Agni. Mereka menawari Agni untuk tinggal bersama mereka agar tidak sendirian. Tapi Agni menolak dengan sopan. Ia ingin berada di rumah tempat sang ibu membesarkannya selama ini.
Kesibukan pekerjaan memang pengalihan yang baik bagi hati yang kosong. Setidaknya otak yang penuh bisa mengalihkan perasaan kosong di hati. Hampir 1 pekan sejak ibunya berpulang, Agni masih sering tiba-tiba menangis jika otaknya tidak memikirkan pekerjaan dan teringat ibunya. Seperti Minggu pagi itu misalnya. Akhir pekan biasanya ia habiskan bersama sang ibu untuk nonton drama Korea bersama. Tapi kali Minggu pagi ini ia duduk sendiri di ruang tengah.
Agni masih menangis selama beberapa lama, sampai pintu rumahnya diketuk. Mbok Yum yang membukakan pintu, memberitahu bahwa ada tamu untuk Agni. Gadis itupun mencuci wajahnya agar tidak terlihat habis menangis. Tapi upaya itu percuma. Karena begitu melihat sang tamu, mata Agni kembali memanas dan berembun lagi.
"Maaf saya baru datang," kata lelaki itu.
Agni tahu ini salah. Tapi sekali ini saja, Agni ingin meminjam kekuatan yang ditawarkan lelaki itu. Sekali ini saja, ia membiarkan lelaki itu memeluknya saat dirinya menangis. Setelah ini, tidak akan lagi. Karena ia tahu, ini salah.
* * *
Labil si Agni.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top