AGNI - 10
Masih terlalu pagi untuk sebuah makan siang. Tapi sudah terlalu siang untuk sebuah sarapan. Jadi setelah kembali dari makam istrinya, Adnan mengajak Agni ke sebuah kedai kopi.
Mereka sudah memesan cappuccino, coklat hangat, quiche dan cinnamon roll. Tapi sejak tadi Agni baru memakan segigit quiche-nya. Selebihnya, dia masih diam sambil menusuk-nusuk quiche-nya dengan garpu kecil.
"Hari ini terlalu mengagetkan ya?" tanya Adnan, lembut.
Mendengar itu, akhirnya Agni mengangkat kepalanya dan menatap lelaki di hadapannya.
"Maaf ya," sambung lelaki itu, nyengir minta maaf.
Tapi alih-alih menerima atau menolak permintaan maaf Adnan, Agni justru berkata, "Makasih sudah memperkenalkan saya ke Ibu, Pak."
Adnan agak terkejut dengan respon Agni yang tidak ia duga. Tapi kemudian ia tersenyum.
"Maaf, butuh waktu lama buat saya meyakinkan diri, sampai bikin Agni merasa bersalah," kata Adnan.
Ketika membahas hal ini, Agni jadi malu sendiri karena itu berarti Adnan sedang membahas pengakuannya bahwa ia menyukai Adnan sampai-sampai merasa dirinya menjadi pelakor. Maka, ia kembali menunduk dan sibuk dengan quiche-nya.
"Saya bukannya nggak yakin bahwa saya sayang sama Agni___"
Wajah Agni memanas dalam tunduknya.
"___ karena untuk hal itu, saya udah yakin banget. Hanya saja, kemarin-kemarin saya masih merasa bersalah, merasa mengkhianati mamanya Gia."
"Sekarang sudah nggak merasa sedang mengkhianati beliau?" masih sambil menunduk, Agni memberanikan diri bertanya.
"Hmmm... saya nggak pernah mengkhianati dia selama pernikahan kami. Tapi sekarang, sudah tiga tahun dia pergi. Saya harus melanjutkan hidup kan?"
"Itu berarti, Bapak sudah melupakan Ibu?" tanya Agni hati-hati.
"Apa Agni mau saya melupakan mamanya Gia?"
"Bukan, bukan gitu, Pak," jawab Agni cepat. Tapi ia tidak melanjutkan dengan penjelasan.
Jujur saja, selama berbulan-bulan ia berharap bahwa Adnan seorang duda sehingga dirinya tidak perlu merasa berdosa mencintai suami orang. Tapi kini, saat tahu bahwa Adnan memang seorang duda, Agni tetap bingung, apa yang boleh diharapkannya dari seorang duda. Apalagi Adnan menjadi duda karena istrinya meninggal dunia, bukan karena berkonflik dan cerai dari istrinya. Lebih mudah bagi kita untuk move on dari pengalaman pahit dibanding move on dari kenangan-kenangan manis kan? Jadi Agni sekarang tidak yakin, ia mengharapkan apa dari Adnan. Bukankah jahat sekali jika ia berharap Adnan move on lalu melupakan mendiang istrinya?
"Dia bagian dari masa lalu saya, Agni. Saya nggak bisa menghapusnya. Yang saya miliki dari dia sekarang, tinggal kenangan dan Gia. Apa kalau saya mencintai Agni, berarti saya nggak boleh mempertahankan kedua hal itu?"
"Nggak begitu Pak," jawab Agni cepat.
Rasanya dirinya buruk sekali karena mencemburui mendiang istri Adnan yang baik hati kan?
"Maaf Agni, saya nggak bisa melupakan mamanya Gia begitu aja. Ada Gia diantara kami," kata Adnan lembut, berusaha memberi pengertian. "Tapi saya serius mencintai Agni. Seserius itu, sampai saya ingin menikahi Agni."
Wajah Agni kembali memerah. "Tapi Gia gimana Pak? Dia belum tahu kan? Kalau dia nggak setuju, gimana?"
"Dia belum tahu. Tapi mengingat hubungan kalian yang baik selama ini, harusnya nggak sulit memberi dia pengertian."
"Hubungan saya dan Gia itu baik sebagai dosen dan mahasiswa. Kalau sebagai anak dan ibu tiri, belum tentu Gia bisa menerima saya. Saya cuma 9 tahun lebih tua dari Gia, Pak. Saya lebih pantas jadi kakaknya."
"Saya yakin Gia adalah anak yang berpandangan___ Tunggu!"
Agni menatap Adnan dengan bingung karena lelaki itu menghentikan kalimatnya tiba-tiba.
"Apa itu artinya Agni sudah setuju nikah sama saya, dan tinggal menunggu persetujuan Gia?" tembak Adnan tepat sasaran.
"Eh..." Agni jadi salah tingkah sendiri sekarang.
Adnan meraih tangan Agni yang bertumpu di atas meja. Dan ketika gadis itu menarik kembali tangannya karena refleks, Adnan menahannya.
"Makasih, Agni! Makasih!" kata Adnan bersemangat. Senyum lembutnya kini berganti jadi senyum antusias.
"Saya belum bilang apa-apa!" koreksi Agni buru-buru. "Pak, lepasin dulu"
Tapi lelaki itu hanya senyum-senyum, tanpa mau melepaskan genggaman tangannya pada jemari Agni.
"Saya butuh waktu, Pak," kata Agni gugup. Saya perlu menyiapkan hati kalau ingin menjalani hidup dengan seseorang yang sudah punya masa lalu. Apalagi masa lalu yang indah. Kalimat selanjutnya barusan hanya ia katakan dalam hati, karena khawatir menyinggung perasaan Adnan." Bapak juga butuh waktu untuk menjelaskan ke Gia kan? Kita sama-sama butuh waktu, Pak."
Adnan mengangguk. Sepertinya sependapat dengan Agni.
"Nanti kita bicara lagi setelah Bapak mendapat respon dari Gia," kata Agni.
"Setuju," Adnan mengangguk. "Tapi sampai saat itu, WA dan telepon saya jangan diabaikan lagi ya, Ni."
Agni menatap bingung.
"Saya galau kalau Agni menolak bicara sama saya berhari-hari seperti kemarin-kemarin."
Wajah Agni berubah bengong sesaat. Lalu kemudian tertawa pelan. "Galau? Nggak pantas, Pak! Malu sama uban!"
Adnan menyugar rambutnya yang memang telah menampakkan 1-2 helai rambut putih. "Aduh berasa tua banget."
Setelahnya mereka saling menatap dengan tawa lebar.
* * *
Empat tahun kemudian...
Dengan terburu-buru Agni memasukkan passcode agar dapat masuk ke apartemennya. Bau masakan yang harum langsung menyambutnya, dan membuatnya tenang.
Agni masuk lebih dalam ke apartemen dan menemukan seorang gadis sedang sibuk di dapurnya.
"Udah mateng ya Gi?" sapa Agni. Ia meletakkan ranselnya di sofa ruang tengah lalu langsung bergabung dengan gadis di dapur itu.
Gadis itu menoleh pada Agni dan tersenyum. "Dikit lagi, Bu. Tinggal goreng krupuk doang nih. Yang lain udah mateng."
"Aduh, maaf ya, Gi. Aku jadi ngerepotin kamu," kata Agni, merasa tidak enak hati. "Ada tranplantasi liver mendadak. Aku butuh sampel livernya. Makanya harus ke hospital tiba-tiba."
"Iya, nggak apa-apa, Bu. Gia ngerti kok. Namanya riset pake jaringan manusia, ya risikonya emang begini."
"Harusnya aku yang masak. Jadi malah kamu yang repot. Thanks ya Gi."
"Sama-sama, Bu. Lagian sekalian Gia belajar masak. Biasanya nunggu dimasakin Ibu."
Mereka terkekeh bersama.
"Al mana?" tanya Agni, ketika menyadari sesuatu.
"Di kamar."
"Tidur?"
Gia mengangguk.
"Makasih juga, udah jagain Al, Gi."
"Bu, Al itu adiknya Gia. Jangan kebanyakan makasih ah. Nanti makasihnya ga muat lagi di kantong."
Agni tertawa. "Kalau dikonversi ke kartu debit, masih muat ga?"
Kali ini Gia yang tertawa. "Wah, muat banget Bu! Tapi nanti Papa yang marahin Gia, dikira Gia menganiaya dan memeras ibu tiri."
Kedua perempuan itu kembali tertawa bersama.
Gia baru saja mematikan kompor karena sudah selesai menggoreng krupuk, ketika bel pintu apartemen mereka berbunyi.
Gia mengendikkan bahu, member kode pada Agni. Dan Agnipun segera memahami itu. Ia melangkah antusias untuk membukakan pintu.
"Lupa lagi passcodenya?" tegur Agni.
Begitu pintu terbuka, tubuh Agni langsung terdorong oleh tubuh besar seorang lelaki yang memeluknya dengan tidak sabar.
"Udah 2 bulan aku nggak kesini. Lupa lah passcodenya," gerutu lelaki itu, di leher Agni. "Sayang, kangeeeeennn!"
Agni tertawa sambil memukul punggung lelaki yang sedang memeluknya itu. "Astaga, Papa!"
"Masuk dulu!" suara Gia terdengar menegur dari dalam apartemen. "Disini emang Singapore, tapi nananinu di depan pintu apartemen tetap bukan pemandangan normal disini."
Agni tertawa selagi sang suami masih ndusel-ndusel di lehernya. "Anak siapa sih? Gitu amat menyambut Bapaknya," gerutu lelaki itu.
"Anakmu lah!" jawab Agni.
Masih sambil terbahak, Agni memaksa Adnan untuk melepaskan dirinya. Lalu menarik tangan kanan lelaki itu untuk masuk bersamanya, sementara tangan kiri sang lelaki menggerer kopernya.
* * *
"Enak, Pa?" tanya Agni, setelah Adnan mencicipi nasi soto di piringnya.
"Masakan Ibu mah selalu enak," puji Adnan.
"Itu Gia yang masak, Pa," kata Agni memberi tahu. "Tadi aku mendadak harus ke hospital, ambil sampel liver. Jadi akhirnya Gia yang masak."
Adnan menoleh pada anak gadisnya. Sementara anak gadisnya mencibir. "Kenapa kaget banget gitu sih Pa? Nggak percaya amat ama kemampuan anak sendiri?"
Adnan tertawa. "No! Papa percaya. Dan Papa senang. Keputusan Papa melepaskan kamu untuk studi disini bareng Ibu, ternyata tepat. Kamu bisa belajar masak sama Ibu."
Sudah satu tahun ini kedua perempuan itu tinggal bersama di satu apartemen, di Singapura. Selagi Gia melanjutkan studi masternya di NUS, Agni melanjutkan PhDnya di NTU.
"Tasty!"
Sebuah suara lucu terdengar dari high chair di samping Agni.
Semua mata beralih pada bocah lelaki berusia 2.5 tahun itu. Lalu kompak tertawa bersama.
Di Singapura, Agni memang bukan cuma tinggal berdua dengan Gia. Tapi juga bersama Al, putranya bersama Adnan. Ketika dirinya diterima di NTU, Agni dan Adnan sepakat bahwa putra mereka Aqmar Alfatih, yang dipanggil Al, akan ikut ibunya ke Singapura. Adnan tentu saja tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Jadi ia hanya bisa menjenguk ke Singapura sebulan sekali. Beruntung tidak jadi PhD di Belanda lagi, seperti program masternya dulu. Kalau Agni ke Belanda kan Adnan yang pusing kalau mau sering-sering menjenguknya.
Setelah makan malam bersama, Adnan bermain bersama Al di ruang tengah, sementara Gia menonton TV. Setelah selesai membereskan meja makan, Agni juga bergabung dengan mereka.
Menjelang jam 9 malam, Al akhirnya tidur karena terlalu seru bermain bersama ayahnya, hingga tertidur di pangkuan ibunya.
Merasa tidak ada lagi tontonan seru di TV, Gia akhirnya memutuskan untuk tidur. Sebelum pergi dari ruang tengah, ia menggendong Al dan membawa anak itu ke kamarnya.
"Al bobo sama aku aja, Pa, Bu," kata Gia. "Udah 2 bulan nggak ketemu kan? Takutnya Al nggak bisa tidur gara-gara gempa."
"Astaga Gia!" protes Adnan.
Gia tergelak, sebelum masuk ke kamarnya.
"Anak siapa sih itu?"
Agni tertawa. "Anaknya Papa Adnan."
"Kok dia makin pengertian aja sih? Dia belum punya pacar kan? Pergaulannya nggak macem-macem kan? Nggak pernah minta ijin nginep di rumah temen kan?"
Tidak menjawab, Agni hanya tertawa saja.
"Kamu jangan ketawa-ketawa doang dong! Kan jadi makin cantik."
"Apaan sih Mas, gombal bener!" Agni mencibir. Saat tidak di hadapan anak-anak, Agni memang memanggil lelaki itu "Mas".
"Aku kan jadi makin nggak tahan." Adnan mendekatkan wajahnya ke tempat favoritnya, leher Agni. Telapak tangannya yang besar sudah membelai lutut Agni naik-turun, lalu makin naik.
Agni bergerak-gerak kegelian karena rambut di rahang Adnan menggesek kulit lehernya. "Kalau gitu jangan ditahan, Mas," Agni menjawab, berbisik.
Mendapat jawaban seperti itu, Adnan langsung bangkit dan menggendong Agni ke kamar mereka. Sering Agni berpikir, selain rambut Adnan yang makin banyak yang memutih, sebenarnya lelaki itu masih sangat fit. Di usianya sekarang, lelaki itu bahkan masih sanggup menggendong Agni, tanpa keluhan encok di pinggang. Luar biasa!
"Mumpung nggak ada Al," Adnan merangkak mendekati tubuh Agni yang sudah dilemparnya ke ranjang. "Would you like to try the rough one?"
Agni menyeringai. Ia menaikkan kedua tangannya ke atas, dengan kedua pergelangan tangan yang menyatu, seolah terikat.
"Oh, yes, please, Master."
Ah, sial! Perempuan ini!, rutuk Adnan bersemangat.
* * * E N D * * *
Yeaayyy, akhirnya cerita ini selesai juga! Sesuai janji, ceritanya ringan dan singkat aja kan. Hehehe.
Meski ini cerita singkat n ringan, smg ada pesan yg tetap bs tersampaikan.
Kalau bagi Kakak2, apa yg Kakak2 peroleh dr cerita AGNI ini?
* * *
Ada yg tanya, kenapa nggak dibikin cerita panjang aja? Harusnya sekalian cerita ttg perjuangan Adnan meyakinkan Gia, perjuangan mendapatkan kepercayaan Agni, perjuangan menemui wali nikah Agni, malam pertama, kelahiran anak pertama.
Hahaha, tapi saya lagi ga ada waktu buat nulis serius n mikir alur yg rumit, jadi ya cm bs begini aja tulisan iseng2 saya.
Utk menjadi penulis yg baik dan menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis harus melakukan riset yang adekuat. Masalahnya, saya lg ga pny waktu utk itu. Saat ini, saya menulia cm sbg pelarian dr kesibukan di dunia nyata. Jadi tujuannya buat stress-release. Lha kalo pake riset, malah saya jd stres dong hahaha. Jadinya saya memutuskan untuk menulis yg santai2 gini aja, tanpa riset, karena based on kehidupan yg sehari2 saya amati aja.
Makasih sdh mendukung cerita ini Kak.
Setelah ini, kita akan mulai dg cerita baru ya, Kak.
Kakak2 ada request cerita ky gmn ni? Kmrn udh ada bbrp yg usul jg sih hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top