SLEEPING BEAUTY


.

.

.

Tine selalu menatapnya dalam diam akhir-akhir ini, pemuda yang tengah hamil itu tak pernah lagi bertanya pada Bright tentang apapun juga. Siklus yang terjadi pun seolah menjadi begitu wajar adanya. Tine tampak seperti manusia biasa tanpa sindrom anehnya. Apa yang terjadi? Apa yang harus Bright lakukan? Apa dia harus memberitahu Sarawat?

Atau...

"Tine, kau mau berjalan-jalan hari ini?" biarkan saja semua berjalan dengan apa adanya, biarlah Bright menikmati peran sementara sebagai Sarawat suaminya. Biarkan Tine tenggelam dalam kebohongan yang dimulainya. Sebab, Bright pun tahu kenapa Sarawat pergi meninggalkan Tine yang tengah hamil tua di rumah megah mereka.

Bright mengerti apa yang tengah pemuda itu lakukan diluar sana dan meninggalkan Tine bersama orang asing semacam dirinya. Bright tahu, dia mengerti tapi toh dia tak bisa memungkiri jika sesuatu yang lain telah tumbuh dalam hatinya.
Tine berbalik, menarik selimut sampai ke dagu dan bertanya. "Apa maksudnya itu?"
Bright memandangi wajah cantik Tine dengan senyum lembut terpatri di wajahnya, dia menyukainya. Bright menyukai pemuda pengidap sindrom langka ini tanpa alasan apapun juga. "Maksudnya.. kau mau pergi keluar bersamaku hari ini, cuacanya begitu cerah akhir-akhir ini."

"Sungguh?"

Bright mengangguk, Tine masih menatapnya namun tak menunggu lama Bright membawa kedua tangannya mengusap sisi wajah Tine dan menautkan kedua maniknya sendu. "Ayo kita kencan, Tine."

.

.

.

.

.

Tangannya keduanya saling bertaut, Bright menuntun Tine dengan kehati-hatian ekstra tinggi agar tak terjadi apapun padanya serta sang bayi. Ada dorongan magis yang membuat Bright rela melakukan hal itu dan kenyataannya Bright pun tak keberatan. ia merasa begitu nyaman, begitu sempurna saat Tine menyambut semua perlakuannya dalam diam.

"Lihat, Tine." Bright menunjuk kearah bianglala yang berada dipusat taman bermain; kelopak sakura berlomba-lomba jatuh menutupi setapak jalan. "Kau mau naik?"

Tine mengangguk, tapi tidak bergerak. Ia hanya menatap bianglala dengan matanya yang berbinar indah. Ada sirat kerinduan yang setipis cadar di dalamnya, berselimut dalam diam dan tak pernah tersampaikan. Tine dan semua hal yang membuat Bright jatuh secara sukarela.

"Apa kau akan menungguku?" satu pertanyaan melucur dari bibir Tine, membuat Bright menoleh dan menatapnya bingung.

"Menunggu?" tanyanya kemudian, Bright tak mengerti apa yang tengah bergelayut dalam pikirannya. Dia tak mengerti apa yang sedang Tine ingat dan mengerti sekarang. Namun, Bright tidak akan membiarkan siapapun menunggu. Ini adalah hari mereka, mereka akan bersenang-senang meskipun keesokan hari Tine tidak akan mengingat segalanya. "Untuk apa aku menunggumu? Aku akan ikut bersamamu. Tine."

Dan untuk saat yang begitu indah ini. Untuk semua hal indah yang tak pernah bisa Bright bayangkan terjadi dalam hidupnya, ia ingin menyimpan segala hal itu dalam hatinya.

Tentang Tine dan dirinya yang pernah begitu gelak. Tanpa mengkhawatir esok maupun lusa. Tanpa memperdulikan bagaimana akhirnya keduanya akan bermuara, karena cinta yang ada dalam hatinya tak akan pernah bisa dipaksa. Bright akan membiarkan segalanya berjalan seperti air yang mengalir, menyusuri setiap jalan walaupun menyakitkan. Menunggu dan menyimpan setiap tawa yang tercetak begitu menakjubkan dari sosok yang tak pernah di pikir akan menjadi satu yang begitu dia khawatirkan.

Tine, bisakah kau tidak mengingat Sarawat untuk selamanya?

"Sarawat.." suara tipis Tine menyentak kewarasan Bright yang perlu dipertanyakan, ia adalah Sarawat bagi Tine. Ia hanyalah bayangan Sarawat dalam ingatan Tine yang kacau balau. Bright tersenyum pahit, menatapnya penuh perhatian dan bertanya. "Heum, apa yang kau butuhkan?"

"Aku ingin pipis."

Sebab apapun yang terjadi sekarang tidak akan pernah berdampak apapun untuk Tine, Bright seolah mendapat ribuan keping puzzle yang berantakan. Semua bagian itu tak pernah bisa disatukan dan dia hanya akan menjadi satu yang terabaikan. "Ayo, Aku akan mengantarmu."
Tanpa pikir panjang Tine mengenggam telapak tangan Bright, mengikuti pemuda itu dengan begitu patuh hingga Bright menyadari satu hal. Dia tak akan bisa menggenggam erat tangan Tine untuk selamanya. Dia tak bisa menjaga Tine selamanya disini..

Jadi, haruskah dia memiliki Tine untuk dirinya sendiri?

.

.

.

.

.

Sarawat tak pernah lagi memikirkan Tine akhir-akhir ini sebab Pam berhasil menyita seluruh perhatiannya secara telak. Pam dan segala hal indah yang membuat Sarawat terlena. Mungkin itu memang cinta, atau sebuah afeksi lain yang membuat Sarawat merasakan bahagia. Entahlah, yang Saawat ketahui hanyalah dia merasa telah menemukan tempat untuk beristirahat bersama Pam. Dia tak pernah menunggu Pam untuk bangun dan mengingat betapa bahagianya waktu yang telah mereka lalui bersama. Dan Tine, sosok itu telah menjelma menjadi udara baginya. Ada namun sama sekali tak terpikirkan untuk sekali saja dia kenang ataupun ingat jika sosok itu pernah begitu berarti dalam hidupnya.

"Sarawat?" namun, Tuhan tidaklah seapatis itu. Dia tidak seegois itu dalam menentukan jalinan takdir keduanya. Kisah yang belum usai itu memang harus diakhiri, dengan mempertemukan dua hati yang pernah begitu saling mencintai. Tuhan menyisipkan kuasanya dalam waktu yang terus berdetak angkuh menuju menit. Sarawat tertegun, menatap sosok Tine yang berdiri tenang dengan perut membesar dihadapannya. Ya, itu adalah Tine. Tine, suami yang begitu dia cintai..

"Hey, kau sudah selesai?" dan pemuda lain menghampirinya, pemuda yang Sarawat ingat bernama Bright. Seseorang yang sengaja dia sewa untuk menjaga serta merawat Tine saat dia memilih pergi mencari kebahagiaan lain bersama Pam.
Ada sesuatu yang lain, Sarawat merasakannya. Dia masih merasakan detak samar dalam relung dadanya. Membuncah menjadi desakan yang Sarawat sendiri tak mengerti. Namun Pam datang menghampirinya, membawa suara yang akhir-akhir ini selalu membuat senyum bahagia itu hinggap di wajahnya.

"Sarawat, Aku menunggumu begitu lama─"

Sarawat tertawa getir, bukan untuk aduan Pam yang seolah angin lalu ditelinganya. Dia tertawa pada dua orang yang kini ada dalam jarak pandangnya. Bagaimana Tine begitu menatap pemuda itu penuh puja, bagaimana sang pemuda itu tersenyum sembari memeluk Tine bahagia, bagaimana keduanya membuat Sarawat merasa tidak suka. Sial, bukankah Sarawat yang melepaskannya. Bukankah ini yang dipilihnya?

Tidak, dia masih belum bisa... Sarawat masih menunggu Tine, dia masih menunggunya..

.

.

.

.

.

Bright memiringkan kepalanya, "Ada apa,Tine?"

Tine mengkerjabkan pelupuk matanya, menatap kelopak sakura berjatuhan dengan wajah datar. Genggaman tangan Tine luruh dan Bright merasakan sebuah firasat ketika bibir itu menyerukan satu nama. "Sarawat.."

Bright menatapnya tak mengerti, ia coba tersenyum sembari berkata. "Aku disini Tine, aku disini.."

"Sarawat.." namun Tine tetap menyebut nama itu dengan mata yang begitu sendu.
Sarawat.

Bright berhenti menatap Tine, membawa kedua netranya menuju arah dimana Tine memandang sendu seseorang yang dia sebut sebagai Sarawat-nya. Sarawat. Tine mengingatnya. Dia mengingat segala hal dan hanya diam saat mendapati Bright berbohong padanya.

Sebab, ada saat-saat dimana Tine akan terbangun dengan semua kenangan indah tentang Sarawat dan dirinya. Dimana Tine tak akan bertanya siapa dia, kenapa mereka berdua, dan mengapa. Saat yang selalu ditunggu seorang Sarawat dalam hidupnya. Saat ini, saat Bright memutuskan untuk tak melepaskan Tine, agar ia tidak merasakan sakit walaupun toh tak ada jaminan Tine akan mengingat esok berikutnya.

Sejenak Bright menatap sosok itu tajam, Sarawat bersama orang lain. Dia memilih orang lain dari pada Tine dan anak mereka. Maka, biarkan Bright memberi pilihan lain untuk akhir keduanya.

"Kau tidak boleh pergi Tine, dia tidak lagi mencintaimu. Saarawat mu itu telah lama pergi meninggalkanmu." Tine meronta, dekapan Bright mengerat tak membiarkan Tine lolos darinya. "Dia lelah menunggumu Tine, Sarawat telah memilih untuk berhenti menunggumu."

"Tidak, Sarawat.. tidak." Tine meracau, air matanya telah luruh mengawali semua akhir dari kisah mereka.

"Tenanglah, ada aku.. aku bersamamu. Tine, aku bersamamu." Bright berusaha tenang dan membiacarakan ini pelan-pelan. Sebab dia... sebab Bright ingin menolongnya. Sambil mengusap punggung itu Bright melonggarkan rengkuhan, menekankan sebuah kecupan pada puncak kepala Tine yang hanya disambut dengan sentakan. Tine pergi, dia berlari meninggalkannya hanya karena Sarawat.

Lalu, satu lagi tersisa disudut sana...
Dia sang pemilik nama yang selalu menjadi alasan Tine berusaha keras berlari dan bangun dalam setiap harinya tampak terkejut dengan apa yang Tine lakukan.

Sarawat tak mengacuhkan Pam yang masih berbicara apapun padanya. dia terlalu kaget, terlalu khawatir pada Tine dan anak yang ada dalam kandungannya. Kenyataannya, Sarawat masih menginginkan impian hidup bahagia bersama Tine yang telah dia kubur dalam-dalam. Ia masih mencintai Tine dengan semua perlakukan brengsek yang dia perbuat. Dan langkah kaki itu adalah bukti nyata. Sarawat mencoba berlari menggapai Tine dengan asa yang telah setipis kelopak sakura.

Tine─ "Awas!!!"

.

.

.

.

.

Jadi, beginilah akhirnya...

Karena Sarawat memilih meninggalkan satu-satunya hal yang dia cintai untuk menggapai bahagia yang lain, sekarang yang tersisa dalam dekapannya hanyalah Tine yang tengah merenggang nyawa dalam gendongan.

Sarawat berlari kesetanan, dia bahkan tidak perduli tatapan ngeri bercampur simpati yang kini tengah beberapa orang layangkan padanya ketika dirinya dengan kemeja berlumuran noda darah berlari tunggang-langgang dan berteriak sepanjang lorong memanggil para petugas medis yang berjalan tergopoh-gopoh menujunya.
Segera Sarawat membaringkan tubuh ringkih Tine yang berlumuran darah, para petugas medis segera melakukan tindakan, mereka memasangkan ambu bag pada wajah Tine guna membantu pernapasannya, dan segera membawanya menuju emergency room. Meninggalkan Sarawat yang kini hanya bisa berdiri mematung dengan tangan bergetar dan kemeja berlumuran darah menatap pintu tertutup yang menyembunyikan sosok Tine dari pandangan.

Menunggu..

Menunggu bagaimana takdir menentukan akhir dari kisah mereka..

.

.

.

.

.

Desember, minggu ketiga.

Sarawat menatap bunga daisy dalam genggamannya pias. Bunga kesayangan Tine itu bermekaran dengan begitu indah di halaman rumah mereka. Sarawat ingin memberitahu Tine jika mereka begitu indah sama seperti dirinya. Sarawat ingin melihat tawanya saat memberikan bunga-bunga itu padanya.

Sarawat ingin menemuinya...

dia ingin bertemu mereka..

Langkahnya tersaruk, ada banyak batu yang coba memberitahunya. Batu-batu itu berjajar dengan begitu taat seolah mencemooh yang tengah Sarawat lakukan dengan senyum diwajahnya. Langit yang begitu cerah, matahari yang begitu hangat, dan bunga daisy ditangannya. Ini adalah waktu yang begitu sempurna. Sarawat tak bisa menunggu terlalu lama untuk menemui mereka.

"Tine..." ada desing suara yang begitu nyaring menyapanya.

Satu langkah, dua langkah...

Melewati palang tanpa peduli petugas kereta api berseru padanya, Sarawat berjalan dengan senyum mengembang bahagia. Dari kedua netranya dia bisa melihat Tine dan anak mereka. Keduanya tersenyum mengulurkan tangan menunggunya.

"AWAAS!!!" Suara asing dan desing kereta yang menderu tak membuat Sarawat menghentikan langkahnya.

Sarawat diam, dia sama sekali tak menoleh pada kereta yang berderu begitu cepat menuju arahnya. Mendongak, menengadahkan wajahnya pada langit untuk menyapa kedua orang yang dia cintai yang menunggunya.

"Aku datang, Tine.."

Tanpa pikir panjang Sarawat menutup mata. Dari belakang dia masih bisa mendengar suara asing berteriak memanggilnya.. teriakan itu bersahutan dengan suara kereta yang semakin mendekat namun Sarwat tidak goyah.. ini adalah satu-satunya yang bisa dia lakukan.. demi kata maafnya.. Sarawat akan melakukan apapun.. apapun itu..

.

.

.

.

"Aku datang, Tine... Maaf, membuatmu menunggu begitu lama..."

"Sarawat..."

"Ya, ini aku... Sarawat, Suami mu.."

.

.

.

.

.

[ END ]

Note : tisyu saya kemana ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top