Path 1.2 - Peran Ganda
PUKUL tujuh pagi. Albert sedang berjalan santai di koridor dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Sendirian saja, tak ada seorang pun teman sekamarnya di sampingnya. Padahal biasanya mereka sering terlihat bersama ke mana pun mereka pergi.
Koridor saat ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa murid yang berada di depan loker mereka. Mungkin sedang mempersiapkan buku pelajaran untuk jam pertama nanti. Ada pula seseorang berkacamata bulat yang sedang bersender, dengan khusyuk membaca buku. Albert dibuat merinding kala melihat ketebalan buku tersebut, yang bahkan buku-buku pelajaran pun kalah tebal.
Meskipun ia suka membaca buku, tetap saja ia tidak sanggup membaca buku setebal itu.
Albert sampai di depan lokernya. Ia merogoh kunci dari saku celana, memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci. Loker itu terbuka, menampakkan jejeran buku-buku yang tersusun rapi. Lokernya masih terbilang cukup bersih, jika dibandingkan dengan loker anak-anak lain yang sudah dipenuhi banyak dekorasi ataupun kertas-kertas sticky note kecil.
Albert sedang mengecek buku-buku yang ada di dalam sana, saat ia mendengar suara kerumunan yang tak jauh darinya. Rasa penasarannya terpancing untuk mencari tahu.
Baru saja Albert mengambil beberapa langkah, tangannya sudah ditarik duluan oleh seseorang menuju kerumunan tersebut. Mau tak mau, Albert harus mengikuti langkah orang tersebut.
"Air dingin! Air dingin!"
Dengan bantuan orang tersebut, Albert akhirnya berhasil sampai di depan papan mading, yang menjadi sumber kebisingan kerumunan ini. Albert melepaskan pegangan tangan orang tersebut, mengibas-ngibas tangannya. Ia meringis pelan, lantas menegok ke samping.
"Sakit tahu, Jen! Kalo mau narik orang, izin atau bilang-bilang dulu gitu, kek! Jangan asal main tarik."
"Iya, iya. Maaf." Jenna cengengesan.
"Di mana Dave? Biasanya kalian berdua selalu nempel kayak magnet beda kutub," celetuk Albert.
Jenna tertawa. "Aku? Sama dia? Kutub beda magnet? Idih, ogah!" Jenna memeluk tubuhnya sendiri, merasa jijik.
"Magnet beda kutub, oi! Terbalik!"
"Terserah aku, dong!"
Albert memijit-mijit pelipisnya, sementara Jenna menjulurkan lidah.
Kemudian, Albert teringat sesuatu. "Eh iya, kenapa kamu mengajakku ke sini? Memangnya ada apa, sih?"
"Loh? Kamu nggak tahu? Ini, kan, pengumuman hasil tes peran kita beberapa minggu lalu."
"Hasil tes peran?" tanya Albert.
"Iya! Satu kelas juga udah tahu dari lama kalau hasil tesnya akan diberitahu hari ini. Mr. William udah pernah mengatakannya juga, kok."
"Kapan? Kok aku nggak pernah dengar ...?"
Sadar, Jenna langsung menepuk jidatnya. "Aduh, maaf, maaf! Aku lupa kalau kamu lagi nggak sadarkan diri waktu itu. Mr. William mengatakannya setelah seluruh murid kelas kita sudah menyelesaikan tes. Kita dikumpulkan kembali di lapangan, sementara kamu lagi di UKS."
Albert ber-oh singkat, mengangguk pelan.
"Oh iya, ngomong-ngomong, kamu pingsan lamaaa banget. Emangnya lawanmu sekuat apa, sih?" tanya Jenna kepo.
Albert memutar bola mata. "Aku malas membahasnya lagi. Kamu cari tahu saja sendiri sana."
Jenna cemberut, tapi Albert tak memedulikannya. Pandangannya tertuju pada deretan kertas yang ditempel pada permukaan papan mading menggunakan paku payung--di bagian pojok atas kiri dan kanan kertas. Banyak nama yang tak ia kenal yang tercantum di kertas-kertas tersebut. Butuh beberapa menit baginya untuk menemukan namanya. Ia hanya memperhatikannya sekilas.
Sesuai dugaan, ia masuk dalam peran Assassin.
Pandangan Albert pada Jenna. Gadis berambut sewarna dengannya tapi sedikit lebih gelap itu tampak senang. Jelas terbukti dari senyuman lebar yang terbit di wajahnya.
"Kamu dapat peran apa?" Albert menaikkan sebelah alisnya.
"Warrior-Tank! Sebenarnya aku udah bisa tebak, sih, dari awal-awal. Soalnya aku lebih jago dalam hal defense sama durability." Jenna menyeringai lebar, bangga akan diri sendiri.
Jenna kembali memperhatikan nama-nama yang ada di sana, memuaskan nafsu keponya. Hingga pandangannya terjatuh pada sebuah nama beserta peran yang dicantumkan di sebelahnya. Ekspresi cerahnya berubah dalam sekejap.
Senyumannya memudar begitu saja. Keningnya mengerut, bingung. Dan itu sukses membuat pemuda di sebelahnya ikut bingung.
Tanpa pikir panjang, Albert memalingkan pandangan kembali ke kertas pengumuman lagi. Matanya langsung tertuju pada nama yang menjadi pusat perhatian gadis bernetra hijau itu. Diperhatikannya baik-baik. Rasa-rasanya tidak ada yang aneh ....
... Eh?
"Kenapa peranku ada dua?" Itulah yang pertama kali terlintas di benaknya.
Tidak tahu harus menjawab apa, Jenna menggeleng saja.
Albert Wilson - Assassin/Mage
Seperti patung, keduanya tak bergerak sedikit pun dari tempat mereka berpijak, bahkan ketika para murid mulai membubarkan diri dari sana. Mereka sama sekali tak memiliki niat untuk melangkah pergi, meski bel sudah berkumandang lantang--menandakan bahwa sebentar lagi kelas akan dimulai.
Hingga akhirnya ada yang menepuk pundak keduanya. Mengembalikan nyawa mereka ke dunia nyata.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Bel sudah berbunyi dari tadi, lho?"
Terkejut, keduanya langsung menengok ke belakang, mendapati sosok wanita berkacamata yang merupakan wali kelas mereka; Miss Viola. Wanita itu menatap kedua muridnya penuh selidik. Sementara yang dipandangi tersenyum dipaksakan.
Bungkam, keduanya tidak ada yang berani berbicara hanya untuk sekadar menjelaskan posisi mereka. Dan jelas terlihat bahwa kecurigaan Miss Viola terhadap mereka semakin menjadi-jadi.
Hingga akhirnya Jenna pun angkat bicara, mewakili keduanya. "A-ah, maafkan kami, Miss. Sepertinya kami keasyikan melihat pengumuman tes kami sampai-sampai kami tidak sadar waktu." Jenna terkekeh kaku di akhir penjelasannya.
Miss Viola hanya mengangguk-angguk. Ia membenahi letak kacamatanya, lantas memperhatikan kertas pengumuman yang Jenna maksud. Sekali lagi dia mengangguk, seakan mengerti apa maksud Jenna sebelumnya.
"Baiklah, kalian pergilah ke kelas kalian. Seingat Miss, yang mengajar kalian pada jam pertama itu Mrs. Hopkins. Kalian tidak mau dikenai hukuman mengerikan dari beliau, kan?" Albert dan Jenna mengangguk bersamaan.
Setelah mengucapkan salam, keduanya pun berjalan cepat menuju kelas mereka. Miss Viola masih berdiri di tempatnya, memandangi kedua punggung yang mulai menghilang ditelan jarak. Pandangannya beralih pada kertas pengumuman tersebut. Dia menyipit serius.
"Anak yang menarik ...."
~><~
Bel tanda berakhirnya pembelajaran berkumandang ke seluruh penjuru gedung. Bagaikan mendengar lantunan termerdu di dunia, euforia tercetak jelas pada wajah seluruh murid.
Setelah membereskan buku-buku yang berserakan di meja, keempat manusia itu beriringan keluar dari ruang kelas, pastinya menuju asrama. Koridor ramai sekali oleh wajah-wajah yang tak mereka kenal--yang pasti, orang-orang tersebut seangkatan dengan mereka berempat.
Mereka pun sampai di luar gedung sekolah. Tampaklah matahari dengan pendaran cahayanya yang jingga kemerahan. Begitu indah memanjakan mata yang memandang. Embusan angin yang pelan pun menyapa wajah mereka, serta membuat rambut Alice dan Jenna agak beterbangan.
"Hei, kalian sudah lihat hasil tes peran kemarin?" tanya Dave memecah keheningan.
Albert, Jenna, dan Alice mengangguk.
"Kamu dapat apa, Alice?" tanya Jenna. Gadis itu pun menyengir lebar. "Aku dapat peran Tank!"
"Dan aku dapat Fighter, lho!" celetuk Dave.
"Nggak ada yang ngajak kamu ngomong, Dave." Jenna memicing sinis.
"Sekadar info sedikit doang. Idih, judes amat jadi cewek. Jangan-jangan, kamu itu sebenarnya keturunan naga lagi?" Dave bergidik.
Tanpa aba-aba, Jenna menjitak Dave.
Dave mengaduh kesakitan, sementara Jenna tersenyum menang. Senangnya menyiksa lelaki itu, pikirnya.
Alice tersenyum kecil, menjawab, "Yah, sepertinya aku nggak perlu memberitahu, kalian sudah pasti bisa menebaknya."
"Mage?" Jenna dan Dave bertanya bersamaan. Mereka saling pandang, lalu membuang muka. Alice mengangguk sambil terkikik kecil.
"Dan kamu?" Dave beralih pada Albert, yang sedari tadi diam saja. "Ah, kamu pasti Assassin, ya? Kayaknya, sih, iya. Lagi pula, gerakanmu cepat dan gesit sewaktu bertarung--kriteria sempurna seorang Assassin." Dave mengangguk-angguk atas ucapannya sendiri.
Kalau udah tahu jawabannya, ngapain pakai tanya segala? batin Albert menghela napas.
Angin kembali menyapa, kali ini lebih kencang daripada sebelumnya. Menerbangkan dedaunan kering ke sana kemari. Refleks Alice dan Jenna menahan rok agar tidak mengambang dan menampakkan apa yang mereka kenakan di balik rok tersebut. Begitu angin berhenti mengamuk, Albert menoleh. Didapatinya sebuah daun kecil di rambut oranye Alice. Spontan, tangannya bergerak menyingkirkan daun tersebut.
Tindakannya itu berhasil membuat jantung seseorang berdegup cepat tak keruan.
"Cielah, kalau mau romantis-romantisan itu jangan di sinilah. Kasihan sedikit, dong, sama kita-kita yang masih mencari cinta sejati ini," ceplos Dave.
Jenna menoleh cepat pada Dave, mengernyit bingung. "Excuse me? Kita? Kamu aja kali! Ogah banget disama-samain sama kamu."
"Emangnya siapa yang mention namamu? Aku hanya bilang 'kita' doang, kok. Bisa berarti semua orang, nggak hanya kamu."
Jleb!
Emosi, Jenna menjotos Dave sekuat tenaga. Alhasil, jidat Dave benjol dan mengeluarkan asap.
"Rasain, tuh!" Jenna pun menghentakkan kaki pergi dengan kesal, meninggalkan Albert dan Alice (minus Dave karena pemuda itu sudah K.O. di tanah).
Dua sejoli itu saling berpandangan, lalu mengangkat bahu acuh tak acuh. Dengan santai, mereka berdua melangkah menyusul Jenna. Entah sadar atau tidak telah meninggalkan Dave.
~><~
Malam itu, sang rembulan menunjukkan bentuk sempurnanya yang indah. Menerangi langit gelap dengan cahayanya yang cemerlang. Namun, bintang-bintang tidak ikut menemaninya.
Seluruh penghuni asrama Skylar Academy sudah terlelap dalam alam mimpi. Terkecuali satu orang. Seorang pemuda berambut cokelat terang dan mata biru. Pemuda itu mengenakan piyama putih polos dengan lambang akademi di dada kiri. Sehelai kain bermotif kotak-kotak warna biru-merah menyelimuti punggungnya.
Ia melangkah di koridor yang sepi. Suara sandal yang dikenakannya yang mengenai permukaan lantai terdengar sangat jelas.
Ini adalah kali pertamanya berada di koridor asrama pada malam hari. Entah kenapa, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak seperti malam-malam sebelumnya. Kepalanya masih dipenuhi oleh pengumuman hasil tes peran pagi tadi.
Bagaimana tidak? Hanya dialah yang memiliki peran ganda! Mungkin kalian akan menganggapnya aneh. Bukannya bersyukur bahwa ia diciptakan unik--lain dari yang lain, tapi ia malah bingung dan terkesan tidak dapat menerimanya.
Sebab itu, Albert memutuskan untuk berkeliling dan melihat-lihat isi gedung asrama ini. Barangkali ia menemukan sesuatu yang menarik.
Jika boleh jujur, ia takut sekali. Bukan, bukan takut karena suasana sepi koridor yang gelap ini. Melainkan, ia takut tepergok oleh penjaga asrama.
Namun, ia penasaran dengan wujud sang penjaga asrama. Ia sering mendengar rumor-rumor aneh mengenai penjaga asrama ini. Ada yang bilang wajahnya garang dan menakutkan, dengan tubuh gemuk, jenggot lebat dan kasar, serta mata merah yang menyala. Bahkan ada yang bilang, dia memiliki dua taring yang mencuat keluar dari mulutnya.
Terdengar konyol dan mengada-ada. Maka dari itu, ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Akan ia buktikan bahwa rumor-rumor itu hanyalah bualan belaka.
Ia menyalakan ponsel akademi, melihat jam yang muncul pada layar.
12:30 AM.
"Sudah jam segini, ya ...." Albert membuang napas.
"Kalau sudah tahu, kenapa kau belum juga tidur?"
Albert tersentak, tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup cepat tak keruan. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia ingin menengok ke belakang, tapi tak bisa. Tubuhnya seakan dibekukan oleh pemilik suara itu.
Ia mengambil napas pelan, mengumpul sisa keberanian yang ia miliki. "S-siapa kau ...?"
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang pasti, kau harus segera tidur. Kau sudah melanggar jam malam," ucap orang itu tenang. "Tenang saja, aku tidak akan memberimu hukuman. Lagi pula, ini kali pertamaku melihatmu. Kurasa, kau anak yang baik."
Albert menelan salivanya. "M-memangnya apa hakmu m-mengaturku?"
Astaga! Nekat banget kamu, Bert! Kalau mau nyari mati, mah, jangan sekarang! batin Albert. Ingin rasanya ia memukul dirinya sendiri atas kenekatannya yang salah waktu.
Hening. Tak ada balasan dari orang tersebut. Bukannya lega, Albert justru merasa waswas. Dadanya terasa agak sesak. Pikirannya mulai mengeluarkan berbagai spekulasi buruk yang bisa saja terjadi padanya.
Albert mulai mendapat kembali kendali atas tubuhnya. Perlahan, ia menolehkan kepala ke belakang.
Tidak ada seorang pun di sana.
Kembali ia menoleh ke depan, didapatinya sesosok serba hitam dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya. Wajahnya tidak bisa terlihat dikarenakan pencahayaan yang minim. Tanpa basa-basi, orang itu langsung menerjang ke arahnya, tidak memberi kesempatan bagi Albert untuk bersiap-siap. Alhasil, Albert terjatuh ke lantai.
Tubuhnya telentang di lantai yang dingin. Di sisi lain, orang itu berada di atasnya, mencengkeram kedua tangannya erat-erat. Pergerakannya terkunci. Sekuat tenaga, Albert berusaha memberontak. Sayangnya, usahanya sia-sia. Orang itu lebih kuat darinya.
"... Padahal aku sudah berbaik hati dengan tidak memberikanmu hukuman. Tapi apa balasanmu? Dasar tidak tahu diri," desis orang itu.
Tak lama kemudian, orang itu melepaskan cengkeramannya, lantas berdiri dan melangkah pergi. Tidak memedulikan pemuda bernetra biru itu yang masih syok di lantai.
Albert perlahan bangun, memperhatikan punggung orang itu yang sudah agak jauh darinya. Terdapat simbol yang cukup menarik pada punggung jaket yang dikenakan orang itu. Ia belum pernah melihat simbol seperti itu selama bersekolah di akademi ini. Atau Albert saja yang terlalu cuek dengan sekitar? Sepertinya tidak.
Setelah punggung itu sudah menghilang ditelan kegelapan di ujung sana, Albert bangkit berdiri. Ia memungut kain yang menyelimutinya tadi, lalu berjalan menuju kamarnya. Kejadian tadi membuatnya merasa sedikit kapok.
Selama perjalanan menuju kamar, pikirannya terus saja dipenuhi oleh sosok orang berjaket itu. Orang itu sukses membuat Albert penasaran setengah mati.
"Mungkin akan kucari tahu besok." []
~><~
Hello, everyone! Maap yak update cerita ini ngaret pake banget. Maklum, tugas sekolah ;) /halah alasan/
Sebenernya saia ada niatan mau bikin prolog baru buat cerita ini. Udah dapet idenya dari beberapa bulan lalu, sih, cuman belum kesampean aja nulisnya.
Kalau menurut kalian? Kira-kira setuju nggak? Saia nggak bisa janjiin up prolog barunya dalam waktu dekat. Cuman, saia bakal usahain secepetnya. Itu pun kalau kalian mau.
Silakan kalian taro pendapat kalian di kolom komentar, ya! Saia nggak bakal gigit, kok! Saia, kan, raja kalem sejagat raya. /dikeroyok massa/
Ya udah, deh. Itu aja. Terima kasih bagi yang udah setia mantengin lapak berdebu ini. Jangan lupa pencet tombol bintang di kiri bawah, ya! See u when i see u!
With lots of oreos,
anomaliez.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top