24 - Terkurung


Lunos kecil berlari menuju kegelapan. Sesuatu yang seharusnya tak mungkin terjadi, karena dia tak suka gelap. Saat tidur pun Lunos akan menyalakan lampu minyak atau kristal penerang, walau ukuran kecil—sekadar supaya tidak terbangun dalam gelap.

Sesuatu yang ironis, mengingat namanya berarti bulan.

Kaki-kakinya masih pendek, susah payah melewati tanah berbatu dan dedaunan kering. Aroma lembab lumut dan tanah basah yang dibencinya mengingatkan akan hutan kecil di pulau tempat desa mereka berada. Mengapa dia masuk ke tempat yang paling tidak dia sukai, Lunos tak ingat.

"Tangkapan besar!" seru suara berat dan serak sembari terbahak, memekakkan telinga. Lunos sampai merasakan denyutan di kepala saking kencangnya. "Kita dapat kalung mawar biru, sekaligus dengan pemiliknya. Bonus seekor Avian, pula!!!"

"Hei, Budak!!! Bawa lagi segentong ale!" serunya lagi.

"Segentong? Jangan pelit-pelit ... Bawa semua!!!" timpal suara kasar yang lain. "Kita toh bakal kaya-raya. Kalau hanya bir, tinggal kosongkan gudang penjual congkak itu dan lempar koin-koin emas ke mukanya."

Ucapan itu disambut oleh berbagai seruan dan lolongan rekan-rekannya.

Penasaran keributan macam apa yang mengganggu mimpinya, perlahan Lunos membuka mata. Yang pertama terlihat adalah barisan tombak berjajar. Dia perlu mengerjapkan mata beberapa kali untuk memahami bahwa yang dikira tombak, sebetulnya jeruji besi.

Masih belum mempercayai penglihatannya, Lunos mengulurkan tangan untuk menyentuh jeruji itu. Namun sesuatu yang menimbulkan suara gemerincing, menghalangi geraknya. Pemuda Avian itu menengadah, mencari tahu penyebabnya.

Kedua tangannya terbelenggu dan dirantai pada dinding belakang kurungan. Rantainya cukup panjang hingga Lunos bisa cukup bebas untuk menurunkan tangan, tetapi terlalu pendek untuk menggapai jeruji yang mengurungnya. Dia berusaha keras mengingat-ingat bagaimana bisa berada dalam situasi itu, ketika menyadari ada satu kurungan lagi di sebelahnya.

Gadis Alpaca yang waktu itu hendak dia bantu, tergeletak di lantai dengan mata terpejam. Kedua tangan gadis itu terlihat bebas, tetapi rantai membelenggu kedua pergelangan kakinya, hingga hanya bisa melangkah kurang dari setengah panjang lengan. Lunos melirik pada kakinya sendiri, menghela napas lega karena kakinya bebas.

'

Namun rasa lega itu tak berlangsung lama. Lunos segera menyadari bahwa dia dan gadis itu sudah menjadi korban penculikan dan penyekapan. Dari rasa sakit yang tersisa di rahangnya, seseorang menghantam wajah pemuda itu, cukup kuat hingga membuatnya hilang kesadaran.

Lunos merasakan sedikit asin di bibir dalam, sepertinya ada sedikit luka. Hantaman itu hampir sama kuat dengan yang dia rasakan ketika beradu jurus dengan Helios, pada masa-masa pelatihan dulu. Kakak kembarnya yang lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih bisa diandalkan untuk banyak hal.

Bahkan para tetua yang bergantian menjadi guru bagi mereka, walau tidak terang-terangan, sering menyatakan kekecewaan mereka atas kelemahan dirinya. Adik kembar Helios yang kecil, lemah, dan tak berguna.

Lunos tak terlalu peduli dengan kata-kata mereka. Bahwa dirinya adalah kembar yang lebih tak berguna adalah kenyataan. Pemuda itu lebih merasa sedih karena akibat dari kata-kata para tetua, kakaknya sempat tak mau berurusan dengannya.

Hal itu membuat Lunos melakukan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian sang kakak. Termasuk merengek pada ayah mereka, memohon supaya beliau mau menyuruh Helios kembali bermain dengannya. Kakak kembarnya tak punya pilihan lain, kecuali menurut.

Namun wajah bosan, bahkan cenderung tak peduli dari Helios membuat Lunos sakit hati. Dia yang masih sangat muda dan perasa, menjadi mudah menangis dan malah membuat Helios semakin kesal. Mereka jadi semakin sering bertengkar.

Lunos tak mengira akhirnya mereka bisa berbaikan dan kembali akrab satu-sama lain. Mungkin terlalu akrab. Kini Helios nyaris tak pernah membiarkan dirinya sendirian, sampai terasa agak menyesakkan.

"Ini pertama kalinya kami berpisah sejak saat itu," sesalnya.

Dia mengutuk kebodohannya sendiri karena tidak mendengarkan larangan kakak kembarnya. Seharusnya dia tak kehilangan kesabaran dan lebih gigih untuk membujuk Helios agar ikut dengannya. Setidaknya kalau berdua, mereka tak mungkin kalah dari para begundal yang sedang asyik mabuk-mabukan di ruang sebelah.

Di ruangan itu tak ada jendela, sulit menentukan waktu. Lunos jadi tak bisa mengetahui berapa lama dia pingsan. Rasa lemas dan haus yang dia rasakan, menandakan cukup lama sejak terakhir kali dia mengisi perut dengan makanan maupun air.

Di tepi jeruji, dekat ujung kakinya, tergeletak mangkok dan gelas usang. Dengan jijik dia melihat ransum tawanan yang disediakan. Sepotong roti yang sudah kering dan terlihat keras, dibiarkan setengah terendam dalam sesuatu yang terlihat seperti muntahan kucing dalam mangkok. Bahkan tak disediakan sendok.

Dengan mengernyit hidung, menahan rasa mual, Lunos meraih mangkoknya. Syukurlah yang terhidu hanya aroma kacang-kacangan dan roti gandum. Perlahan dia mendekatkan roti yang sudah basah oleh sup dan menggigitnya.

Hambar. Hanya ada rasa air, gandum dan rebusan kacang. Bahkan tak diberi garam. Biasanya Lunos akan membuang makanan semacam itu ke ember pakan kuda. Kali ini rasa lapar yang amat sangat, membuatnya menyeruput semua sisa sup dari mangkok hingga tandas. Dahaga juga membuatnya meneguk teh encer dalam gelas somplak yang airnya sedikit asin dan bau tanah dengan nikmat.

Setelah perut terisi, Avian muda itu kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati situasi. Lunos merasa sedikit harapan ketika melihat roti jatah si gadis Alpaca tinggal separuh dengan bekas gigitan. Gadis itu mungkin sudah bangun lebih dulu.

Ketika Lunos sedang menimbang-nimbang, apakah sebaiknya dia membangunkan gadis itu atau menunggunya bangun sendiri, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Sesosok Huma, besar dengan perut buncit dan pipi menggelambir seperti bulldog memasuki ruangan tempat kurungan mereka berada.

"Oooh, bagus sekali! Yang jantan sudah bangun juga," komentarnya dengan seringai menjijikkan. Lalu seringainya lenyap melihat wajah Lunos.

"Hoi, budak! Panggilkan tabib!" serunya menggelegar pada sosok kurus dan bungkuk, yang mengenakan kalung besi.

"Dasar babi-babi bodoh," umpat Huma itu seraya meludah dengan getir. "Bisanya cuma menghabiskan bir saja. Kapan otak-otak dungu mereka bisa mengingat hal sepele ... Kalau dagangan luka, aku yang rugi!!!"

Lunos masih diam. Menahan diri walau sebetulnya perutnya mulai melilit melihat kelakuan Huma yang seenaknya menganggap rendah dirinya. Walau dia bisa mengumpulkan cukup tenaga untuk menjebol kurungannya, dia tak tahu berapa banyak orang yang harus dia lawan nanti.

Dia harus menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top