08 - Pulau, Mimpi Buruk, Gantungan Kunci


Gemerincing dari tiga buah lonceng mungil beradu satu sama lain, mengiringi setiap langkah ringannya. Dari satu pijakan ke pijakan lain, melompat ringan seperti tak ada beban.

"Masih jauh di depan sana, bertahanlah!" ujar gadis itu. Telinga runcingnya naik turun beberapa kali. Lalu mulai melompat lagi, mendahului dua pemuda yang mengikutinya.

"Apa kita masih harus jalan?" keluh Lunos, mengusap peluh yang menetes di dagu.

"Lunos, dilarang terbang."

Kakak kembarnya mendarat dengan suara berat di pijakan lain, persis di sampingnya.

"Aku taaahuuu, tapi melompat-lompat gini juga sama lelahnyaaa ... Mending terbang, lebih cepat sampai."

Pandangan Lunos diedarkan ke sekeliling. Sebelah kanannya hamparan laut luas, terlihat jauh lebih tenang dari samudera yang mengelilingi pulau mereka dulu. Sebelah kirinya tebing karang landai, berbatu-batu tetapi tak seberapa jauh dari situ sudah masuk daratan yang rimbun dengan tanaman.

Alasan mereka harus melompat dari satu pijakan ke pijakan lain, karena tempat tujuan mereka ada di tanjung yang jalan setapaknya terendam air pasang.

"Kau sendiri yang tak ingin sepatumu terendam air laut." Helios kembali mengingatkan. Membuat adik kembarnya mengerang panjang, sebagai ganti gerutuan.

"Helios, ingatkan aku kenapa kita harus bersusah payah begini?"

"Insomnia selama seminggu lebih."

"Ah, ya ... Kutukan maling cilik itu. Ringan tapi menjengkelkan."

Lunos mengambil napas beberapa kali, lalu melanjutkan melompat sebelum pemandu mereka terlalu jauh. Kalau dia berlama-lama, obat anti kantuk yang diberikan oleh pendeta akan keburu hilang pengaruhnya dan dia bisa tercebur ke air asin begitu kesadarannya terbang.

"Andai saja untuk menghilangkan kutukan mimpi buruk ini aku hanya perlu menerima jimat kuilnya, tanpa harus pergi ke sana sendiri," keluh Lunos.

"Jimat harus diambil sendiri oleh- ...."

"AKU TAHU!" bentak Lunos pada kakak kembarnya, kesal. "Tak perlu kaku begitu, aku cuma ingin sedikit mengomel."

"Sejak tadi kau sudah banyak mengomel."

Komentar Helios itu membuat Lunos makin dongkol, dia pun bergegas menambah kecepatan lompatnya. Mencoba menjauh dari orang yang dapat dengan mudah menyalipnya, tetapi tetap menjaga kecepatan supaya bisa mengawasi keselamatan adik kembarnya.

"Di situ!" seru gadis pemandu mereka, melompat ke area datar dan cukup luas untuk dikatakan sebagai pulau kecil, seandainya tidak ada jalan batu yang tersambung dengan pulau utama. "Cuci wajah dan tangan kalian dengan pancuran dari mata air. Baru naiki tangga menuju kuil."

"Kenapa juga ... Ada yang bangun kuil ... di tempat yang susah dicapai begini," keluh Lunos sembari berusaha memulihkan napasnya yang putus-putus.

"Dewa pelindung pulau hanya mau menurunkan setetes kekuatannya secara langsung di sini," timpal gadis pemandu, agak ketus.

"Hanya tangan dan wajah sajai?" Helios memastikan sebelum mulai mengambil air dari baskom batu yang menampung pancaran air dari tumpukan batu setinggi pinggang orang dewasa. "Kaki tak perlu?"

"Untuk alas kaki, ada tempat berkeset."

Pemuda Avian tinggi besar itu menurut. Lunos pun tak punya pilihan lain kecuali mengikuti kakak kembarnya.

Setelah melewati puluhan anak tangga, tibalah mereka di hadapan kuil mungil. Bangunannya terbuat kayu dan batu. Dengan lebar dan tinggi hanya sekitar 2-3 meter. Lebih cocok dibilang altar daripada kuil karena kedalaman ruangan hanya sekitar satu meter. Mereka bahkan bisa melihat langsung lautan di belakang sana, karena dinding bagian belakang tidak ada.

"Tepat waktu matahari terbenam," ujar seorang perempuan dengan jubah serba kuning. "Atas restu pendeta kuil, kami memberikan jimat ini pada pemuda Lunos!"

Dengan suara gemerincing yang nyaring, gadis yang memandu jalan mereka sedari tadi mengangkat benda yang sedari tadi ada dalam kantong yang tersemat di ikat pinggangnya, tinggi-tinggi. Membiarkannya diterangi cahaya matahari senja yang menerobos melalui pintu kuil. Pendeta berjubah kuning memukulkan tongkat kayu pada jimat di tangan pemandu, beberapa kali. Kemudian gadis pemandu menyerahkan jimat itu kepada Lunos.

Tertegun, Lunos mengamati jimat yang terbuat dari cincin logam yang melingkar dua setengah kali. Rantai yang terhubung dengan cincin itu mengikat tiga butir lonceng mungil dengan tiga ukuran berbeda. Tidak bisa tidak, dia merasa pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Benda yang digunakan oleh ayah mereka untuk menandai dan mengumpulkan kunci-kunci rumah supaya tidak mudah hilang.

"Itu ... gantungan kunci?" celetuk Helios, datar.

Jerih payahnya hari ini hanya demi sebuah benda yang banyak dijual di toko cinderamata, membuat Lunos ingin melolong saking kesalnya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top