Bab 27 - Serpihan Potongan... (Part 1)

"Mei..," lirih Langit menatap kawannya itu kini yang terbaring tak sadarkan diri. Infus dan alat bantu pernafasan menambah perih hati pemuda itu. Semakin lama ia memandangi, semakin banyak pula rasa penyesalan itu menyesak di dada. Hampir delapan jam Langit menemani Mey di rumah sakit tanpa tahu dimana keberadaan Pak Jenggot.

Mey, kini hanya bisa terbaring lemah di kasur rumah sakit. Tanpa ekspresi dan tanpa ada sedikitpun tanda-tanda perempuan itu akan sadar. Meski peluru yang bersarang di punggungnya sudah diangkat, namun tetap saja itu tidak dapat membangunkan kawannya yang selama ini setia menemaninya hingga ke puncak hanya demi meningkatkan ilmu beladirinya.

"Permisi mas?" sahut perawat yang datang membawa stetoskop, alat tensi darah, dan papan catatan. "Permisi ya, Mbak Mei-nya kami periksa dulu."

Tanpa menjawab apa-apa, Langit langsung menyingkir dari sana. Tak sampai dua menit, perawat itu langsung pamit kembali.

"Tunggu sus, kapan teman saya ini sadar?"

"Sebenarnya kondisi Mbak Mei stabil, hanya saja dokter juga tidak tahu kapan teman Mas ini siuman. Hanya dia dan Tuhan saja yang dapat kita harapkan Mas. Permisi ya Mas."

Lelaki berjaket biru hoodie biru itu berdesah menyandarkan tubuhnya pada tembok putih di ruangan itu. Seolah beban di pundaknya semakin berat, perlahan kakinya semakin turun menempatkan dirinya terduduk pada dinginnya lantai.

"Mei, maafkan aku. Andai aku mendengarkanmu dari awal untuk tak mengikuti KoRF, mungkin tidak akan jadi seperti ini Mei." Kepala pemuda itu tenggelam diantara kedua kakinya.

***

"Hmm?" pemuda itu masih meraba-raba dimana dirinya sekarang. Di matanya hanya ada langit-langit ruangan berwarna putih sedangkan di sampingnya sudah ada gadis dengan pakaian dress rumah.

"Hei! Kamu sudah sadar? Hei?"

"Hmm? Siapa kamu? Dimana aku sekarang?"

"Ayah!" tak lama gadis itu segera berlari keluar mencari orang yang di panggil dengan sebutan 'ayah'. Sementara pemuda itu masih memfokuskan pandangan dan pikirannya itu. Tak ada satupun yang ia tahu kenapa dirinya berakhir di ruangan itu, sedangkan tubuhnya masih sangat lemah untuk bisa bergerak.

Entah berapa waktu yang telah berlalu, barulah perempuan asing tadi masuk kembali bersama seorang pria tua berjenggot dengan pakaian yang tak lazim dipakai di dalam rumah. Memakai kacamata hitam, topi dan jaket serta celana training di dalam rumah padahal suhu ruangan yang tak begitu dingin.

"Apa yang anda rasakan sekarang?" tanya lelaki tua itu yang kemudian duduk di kursi tepat di samping tempat tidur.

Pemuda itu berusaha mengumpulkan tenaga yang ada untuk menjawab, "saya merasa begitu lemas pak."

"Begitu, siapa nama anda?" tanya pria tua itu.

"Saya.."

NGIIIIIIIIIIIIING!!!

"Aaarkh!" pemuda itu langsung saja memegangi kepalanya. "Sa-saya tidak ingat! Aaarkh sakit sekali!" Semakin lelaki itu menggali memorinya, kepalanya langsung merespon seolah akan memecahkan otaknya itu.

"Apa ada hal yang anda ingat kejadian yang menimpa sebelum ini? Baik itu kecelakaan atau kejadian yang lainnya? Atau hal yang bisa anda ingat?"

"Tak," pemuda asing itu masih terus memegangi kepalanya yang sakit, "yang bisa saya ingat..," lalu muncul bayangan berupa gelembung udara dalam sebuah kolam seolah dirinya sedang tenggelam. "A-air, gelembung dan," dalam ingatan pemuda itu samar terlihat bayangan manusia namun segera hilang. "Aaargh!"

Kemudian pria tua itu bangkit dari kursinya dan mendekati perempuan berambut sebahu itu. Tanpa banyak bicara, keduanya kembali meninggalkan pemuda itu sendirian.

Kala itu, lelaki tersebut benar-benar tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Begitu banyak pertanyaan yang ingin ia dapatkan jawabannya.

Frustasi, marah, bingung, sedih, kalap, segalanya saling campur aduk hingga semua berakhir pada teka-teki tak berujung dalam kepalanya. Semua berjalan begitu lama baginya. Tanpa ingatan, tanpa tujuan, tanpa tahu siapa dirinya. Setiap kali ia ingin mengingat sesuatu, kepalanya berdengung dengan yang sangat mencekik. Namun tubuhnya kala itu lemah.

***

"Permisi," kata gadis itu membuka pintu. "Kamu sudah baikan?"

"Em." Pemuda itu sudah terlihat lebih tenang daripada sebelumnya. Meski wajahnya kusut, namun dengan ekspresi yang damai itu menandakan bahwa akal sehatnya telah bangkit.

Gadis itu mendekat. "Hai, kenalkan," sambil menyodorkan tangan kanannya, "namaku Meylin. Panggil saja Mey." Senyum kecut yang dipaksakan itu terbit meski tatapannya masih cuek.

"Meylin, ya salam kenal juga," pemuda itu membalas salam perempuan di hadapannya itu.

"Ayah menyuruhmu makan. Ayo ikut aku keluar."

"Em."

Pemuda itu sadar bahwa orang-orang ini meman memiliki niat baik. Meski gadis ini memberi pandangan ketus dan orang yang dipanggil 'ayah' barusan juga terlihat misterius, namun perlakuan mereka tak ada yang mencurigakan, itu poin pentingnya.

Gadis bernama Meylin itu kadang memperhatikannya dengan saksama, meski ketika akan ketahuan ia segera mengalihkan pandangannya. Namun kala pemuda itu kembali memakan isi piringnya, Meylin lagi-lagi memperhatikan dengan saksama.

"Kamu jadi lebih tenang ya."

"Hmm?" pemuda asing itu berusaha menghabiskan semua lumatan yang ada di mulutnya untuk menjawab pernyataan Meylin. "Yah memangnya ada salah ya?"

"Tidak apa-apa. Kukira kamu akan mengamuk bagai orang gila." Meylin lalu memalingkan wajahnya agar tidak terlalu akrab dengan pemuda tersebut. Mendengar itu, pemuda itu tak mau menanggapi terlalu banyak dan lebih memilih tetap menikmati makanannya yang hampir habis.

"Kalau makanmu sudah selesai, aku akan mengantarmu bertemu ayah. Ia bilang ingin berbicara setelah kau selesai makan." Pemuda itu hanya menanggapi dengan sekali anggukan.

***

"Bagaimana makanmu tadi? Itu masakan Meylin lho." Pemuda itu hanya mengangguk menanggapi orang tua yang hanya berdiri melihat pemandangan dari atas loteng sebuah gedung. "Lantas apa ingatan anda sudah pulih?"

Pemuda itu hanya menggeleng kepalanya pelan, "masih tetap seperti sebelumnya. Bayangan seolah saya tengah tenggelam Pak..."

"Jenggot. Anda cukup panggil saya Jenggot."

Mata pemuda itu berdelik heran. Sejak kapan ada orang yang mau dipanggil dengan nama sesederhana itu? Untuk nama julukan bisa saja, tapi untuk sebuah nama rasanya itu tidak mungkin tertulis di KTP.

"Pak Jenggot? Begitu maksud anda?"

"Ya, anda boleh memanggil dengan begitu juga."

Suasana kembali hening. Pemuda itu kemudian juga ikut berdiri memegang pagar pembatas, memandangi langit siang yang begitu cerah tanpa satupun awan yang menghalangi birunya atap dunia. Sesekali ia menghirup nafas begitu panjang, dan selepas itu wajahnya lebih tenang seolah beban di pikirannya semakin ringan.

"Selama ingatan anda belum pulih, bagaimana kalau saya memberi nama baru untuk anda? Kebetulan nama ini baru saja terlintas."

"Hmm terima kasih Pak Jenggot. Nama apa yang ingin anda berikan?"

"Langit," jawab Pak Jenggot dengan santai. "Nama yang pas untuk anda. Melambangkan luasnya hati seorang manusia seluas dan setinggi Langit."

Pemuda itu kembali menatap angkasa yang biru cerah. "Langit, sepertinya saya juga suka dengan nama itu Pak."

"Mulai sekarang dan seterusnya, Tuan Langit tinggal dulu dengan kami dan ikut bersekolah dengan Mey..."

***

Ah, ingatan itu. Ya, itu ketika pertama kalinya bertemu dengan Mey dan Pak Jenggot. Serta namaku. Langit membuka kedua matanya dan kembali melihat kondisi kawannya. Masih tertidur pulas bagai putri tidur.

NGIIIIING!

"Argh!" Langit segera memegangi kepalanya menahan rasa sakit yang tiba bersamaan bunyi dengung di telinganya. Sebelum kehilangan keseimbangan, ia langsung berpegangan pada tiang besi pada tempat tidur Mey, mungkin begitu banyak memori yang kembali teringat juga mempengaruhi kepala Langit. "Kelihatannya aku perlu mencari udara segar," gumam Langit menatap lirih Mey.

Lelaki itu berjalan seperti bukan manusia normal lainnya. Di pikirannya saat ini hanya berisi penyesalan dan memori dirinya dengan gadis yang tengah terkulai tak sadarkan diri di dalam kamar yang ia tinggalkan barusan. Ia tak lagi memperhatikan apa-apa yang baru saja dilewatinya. Entah itu ia tersandung dengan kursi roda pasien maupun menabrak seorang dokter tua, semua itu tak lagi berefek pada Langit.

Sampailah ia berada di sebuah pintu yang menghubungkan dirinya dengan lantai teratas gedung rumah sakit. Namun sebelum Langit medorong daun pintu, samar-samar terdengar suara yang tak lagi asing.

"Prof! S masih bisa kita andalkan. Tanpa S, operasi kita takkan sejauh ini Prof!"

"A-5! Saya sudah berulangkali mengatakan bahwa operasi yang kalian lakukan sangat berbahaya! Saya tidak mau S kembali seperti dulu. Itulah kenapa saya tidak setuju S diikutkan dalam KoRF!"

"Hah! Yang saya lihat saat ini, anda lebih takut S suatu saat membuka 'kotak' itu. Iya kan? Itu kan tujuan anda menghalangi S lewat tangan Mey. Yang jelas saya akan tetap mengikutkan S dalam rencana ini!"

"A-5! Kau tahu betapa berbahayanya bila..."

CKLEK!

Ketika pintu terbuka, orang yang tengah berdebat disana telah Langit kenali. Terbesit di benaknya bagaimana mungkin kedua orang ini bersama dalam satu tempat. Pria tua yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri, bersama dengan wanita yang selalu bersikap misterius. Siapa lagi kalau bukan Pak Jenggot dan Alice alias Erika. Wajah kedua orang itu juga sama terkejutnya kala pembicaraan mereka mungkin terdengar oleh Langit. Sempat terdiam beberapa detik akibat rasa tak percaya diantara ketiganya.

"Apa yang kalian lakukan di sini? Dan apa maksud pembicaraan barusan mengenai KoRF?" mata Langit kali ini begitu serius menatap kedua orang dihadapannya. Erika tampak gusar mendengar pertanyaan barusan, sedangkan Pak Jenggot sendiri lebih memilih diam.

"Begini Lang, kami bisa menjelaskan. Ini hanya pertemuan antar...," ujar Erika, namun kata-katanya segera terhenti kala Langit segera memegang kedua lengan wanita itu.

"Erika," ujar Langit tanpa lagi menggunakan panggilan 'Bu' di depan namanya, "aku tahu kamu sudah kenal diriku sejak lama. Bahkan sejak pertarungan pertama kita bukan?"

Mata Erika seolah ingin mengalihkannya, namun sorot mata pria di hadapannya itu tak bisa ia tolak. "Lang, eh, bagaimana aku menjelaskannya ya?" entah bagaimana, tubuh Erika mendadak kaku dan jantungnya berdegup kencang dengan posisi Langit dan dirinya saat ini.

"Atau sepertinya kamu dan Pak Jenggot memang sudah saling kenal jauh sebelum kita bertemu di KoRF? Benar begitu Pak Jenggot?" nada Langit semakin meningkat.

Pria tua itu hanya bisa tertunduk dengan apa yang dikatakan Langit tadi. Erika-pun demikian lebih sesak hingga ia menggigit bibirnya. Dengan diamnya kedua orang itu, Langit semakin penasaran dengan apa yang telah mereka sembunyikan selama ini.

Perlahan tangannya melepaskan genggamannya dari lengan Erika dan mulai mendekati Pak Jenggot yang masih berdiam diri di belakang wanita yang mengenakan tanktop hitam berlapis balzer biru gelap dan celana jeans dengan warna serupa serta high heels putih.

"Pak saya mohon," Langit langsung berlutut tepat di hadapan lelaki paruh baya itu. Mata Erika melebar melihat pemandangan itu. "Saya mohon dengan sangat, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Beritahu siapa saya yang sebenarnya dan segala sesuatu yang telah kalian tutupi dari saya." Kepala Langit tertunduk, tanda dirinya memang sungguh-sungguh memohon pada orang yang sudah selama ini berjasa menjadi orang tuannya meski hanya sebatas wali.

"Lang! Apa-apaan ini? Ayo bangun Lang, jangan berbuat sampai seperti ini!" Erika berusaha mengangkat bahu Langit. Ia juga merasa tak tega dengan apa yang diperbuat Langit sampai melakukan hal sejauh itu demi mendapatkan kebenaran yang ia cari.

"Anda ingin tahu semuanya?"

Erika dan Langit sontak bersamaan menengok ke sumber suara berasal. Pa Jenggot yang kala itu hanya melipat kedua tangannya masih bertahan dengan ketenangannya. Dorongan untuk ingin tahu segalanya itu tak mau hilang hingga dirinya berdiri dan mendekati pria tua itu.

"Pak, saya harap tidak ada lagi yang anda tutupi."

Pak Jenggot hanya mengangguk pelan menanggapi perkataan Langit. Matanya kemudian beralih pada wanita di belakang Langit. "Erika, sekarang kamu yang jaga Mey di kamarnya. Saya perlu mengobrol banyak dengan Langit sekarang."

Bersambung...

Ingin tahu lebih lanjut siapa Langit yang sebenarnya? Ikuti terus Sky hingga akhir ya...!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top