Bab 20 - Mampu?

"Hap! Hap! Heeeaaah!!!" suara Mey terus menggema di ruang latihan baru itu bersama Langit agar pria di hadapannya itu bisa berkembang menjadi lebih kuat. Jauh-jauh dari Jakarta, tak membuat dirinya lupa untuk tujuan awal menempa Langit. Gadis itu paham akan urgensi pertarungan Langit berikutnya sehingga ia memutuskan untuk rela menemani temannya itu di daerah terpencil itu hanya untuk kebaikan Langit seorang.

"Lebih keras lagi Mey!" Langit terus menerima pukulan dan tendangan Mey dari berbagai arah. Meski latihan ini tidak ideal karena memang secara penampakan yang lebih mendapat pelatihan adalah Mey bukan Langit, namun setiap latihan pasti ada faedah dan kebaikan baik dirinya maupun orang lain. Apalagi sejak insiden yang lalu membuatnya sadar bahwa Mey juga harus segera berkembang pula. Mimimal dapat mempertahankan dirinya kala Langit tak berada di sampingnya.

"Lang?"

"Hmm?" jawab Langit sambil terus menerima serangan Mey.

"Jangan kaget ya setelah kita selesai latihan dengan Om Guntur nanti, aku jadi lebih kuat daripada kamu Lang," Mey mengeluarkan seringainya untuk meledek Langit.

"Jangan Mey!" wajah Langit malah serius menanggapi hal tersebut. "Kali ini cukup aku saja yang berlatih dibawah bimbingan Pak Guntur. Kamu tetap latihan seperti ini saja Mey."

"Kenapa?" Mey segera menghentikan gerakannya.

"Mungkin kamu tidak sadar," Langit mulai melipat kedua tangannya pada dadanya dan melanjutkan penjelasannya, "jika kamu melihat apa yang aku lakukan tadi siang ketika memukul boneka latihan yang digunakan Pak Guntur untuk mengujiku, sangat jauh berbeda dengan boneka yang pernah diberikan ayahmu Mey. Menurutku beratnya bisa 10 kali bahkan lebih dari beban logam biasa. Itu adalah pertanda bahwa Pak Guntur kedepannya akan melatih dengan cara yang tidak biasa."

Langit melanjutkan perkataannya, "maka dari itu untuk kebaikan dirimu juga, lebih baik biar aku saja yang menerima pelatihan dari teman ayahmu itu. Kamu cukup membantuku berlatih saja sudah cukup kok Mey."

Mendengar itu, Mey segera menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai merona. Ia tak menyangka bahwa Langit begitu perhatian dengan temannya itu meski selama ini ia rasa selalu merepotkan Langit. Dan yang lebih mengejutkan adalah kenapa Mey harus tersipu malu? Kepalanya terus bertanya-tanya padahal dalam hatinya terdapat...

"Oi? Kenapa melamun Mey?"

"Eh? Tidak apa-apa Lang. Hehe. Sudahlah! Ayo lanjutkan latihan Lang! Heeeaaah!" Mey langsung memulai serangannya kembali sedangkan Langit sempat kelabakan karena belum berada pada posisi siap. Ya ampun Mey! Jangan lagi-lagi bersikap aneh di depan Langit. Malu tahu!!! Batinnya terus memarahi dirinya sendiri.

***

"Langit! Mey!" panggil Pak Guntur dari lantai atas. Segera kedua pemuda itu menghampiri lelaki tua yang tengah menyeruput teh di ruang tamu yang rupanya juga digunakan untuk ruang tengah pula. Ketika keduannya telah duduk dihadapannya, Pak Guntur mulai memberikan arahan

"Langit, nanti ketika tidur saya harap kamu mengenakan pakaian kaos dan celana training serta jangan pakai jaket ya!" pinta Pak Guntur. "Besok kita akan mulai latihan cukup berat, jadi saya sarankan kamu tidur lebih cepat.

"Siap!"

"Untuk Mey, nanti saya minta bantuanmu terlebih dahulu!"

"Hanya saya?" tanya Mey sambil menunjuk wajahnya dengan penuh keheranan.

"Iya. Tidak apa-apa kan?" senyum Pak Guntur mulai diterbitkan untuk menenangkan perempuan dihadapannya itu.

Demi Langit, mau tidak mau aku harus sabar menghadapi ini! Batin Mey. Ia kemudian menjawab permintaan dengan anggukan kepala.

"Haha! Kamu segera ke luar dari sini, nanti saya menyusul. Dan Langit, sekarang kamu langsung tidur!"

***

"Satu! Dua! Satu! Dua!" suara sekelompok orang tengah membentuk barisan dan melakukan gerakan pukulan secara serentak. Langit seolah menjadi penonton dari balik sisi lapangan itu dimana peserta latihan itu hanya ada anak-anak dan remaja SMP yang sudah bercucuran keringat dan babak belur. Meski begitu, mereka semua menatap lurus ke depan dengan wajah begitu serius.

"Bagus! Sekarang lakukan latihan dengan pisau!" seru seseorang yang penampakannya tengah membelakangi Langit saat ini.

"Apa? Anak sekecil itu diperintahkan berlatih dengan pisau? Yang benar saja?" Langit berusaha berkomentar namun suaranya tak sanggup keluar dari tenggorokannya. Matanya kembali menatap anak-anak yang tengah berlatih dan ajaibnya mereka begitu mahir memainkan senjatam tersebut di tangan mungilnya itu. Meski mematikan namun entah kenapa mereka tak takut memegang benda yang suatu hari nanti akan melukainya itu.

Hingga salah satu dari anak kecil itu terjatuh. Seorang anak perempuan dengan rambut kecoklatan terikat dengan wajah begitu kelelahan. Napasnya begitu terengah-engah sampai sekujur tubuhnya mengalir keringat begitu deras.

"Kenapa kamu hah?! Bangun!" seru seorang petugas yang siap dengan tongkat pemukulnya menghampiri gadis itu. Namun sesaat sebelum tongkat itu mendarat di kepala anak perempuan tersebut, sekejap muncul bocah laki-laki yang sudah menangkap tongkat itu.

"Mau apa kau bo...," namun sayangnya petugas itu segera ditendang begitu keras pada bagian kejantanannya dan mendapat pukulan keras pada bibirnya hingga pria dewasa tersebut mundur beberapa langkah dan menghapus darah yang mengalir di tepi bibirnya itu.

"Cih!" beberapa detik kemudian barisan anak-anak itu sudah di kepung sepasukan petugas lainnya. Mereka yang tidak terlibat segera berlari hingga yang tersisa di tengah ruangan itu hanya anak laki-laki dan perempuan itu. Anak gadis kecil itu hanya bisa menangis dibelakang anak laki-laki tersebut. Matanya begitu tajam dan kedua tangannya sudah siap menghajar siapapun yang akan datang.

Langit ingin sekali membantu anak-anak itu, namun entah tubuhnya begitu berat hingga tak bisa menggerakkan satupun bagian tubuhnya. Semakin lama imaji itu mulai menjauh dan semakin jauh hingga tak ada lagi yang tersisa.

NGIIIIIIIING!!!!

***

Night Hour kembali menyelimuti malam yang pekat, terutama kota besar seperti Jakarta. Yang dapat terlihat sebagai pemandangan malam hanyalah kegelapan si sepanjang jalan-jalan utama karena tak satupun manusia yang melintasinya. Sesekali bayangan satu atau sekelompok orang melewati jalan ini tak lain hanya dengan dua alasan. Jika bukan untuk melarikan diri dari waktu terkutuk ini, pastinya dia adalah penjahat sekelas Topeng yang berkeliaran mencari mangsa.

"Tuan?" tanya pria berkacamata itu pada tuannya yang masih asyik menatap pemandangan kota Jakarta dari jendela. "Seperti biasa, pemandangan seperti ini yang anda sukai bukan?"

Pria tua itu tetap diam membelai kucing yang ia gendong. Matanya begitu sayu seperti banyak hal yang ia pikirkan saat ini.

"Untuk laporan pemasukan, kita baru saja mendapatkan suntikan dana dari menteri kelautan setelah kemenangan besar beberapa hari yang lalu. Ia menyampaikan pesan pada anda agar sering-seing mengadakan improvisasi dalam pertandingan KoRF kedepannya Tuan," kata pelayan setianya itu sambil tetap menatap tab dan membuka file-file yang lainnya. "Jika ini tetap berlanjut, maka proyek pembangunan kota tetangga sekelas Jakarta di Pulau Kalimantan akan segera rampung akhir tahun ini Tuan."

"Apa kamu menyadari sesuatu?" pria tua itu mulai angkat bicara.

"Ada apa Tuan?"

"Aku merasa bahwa sebentar lagi KoRF akan mencapai akhir," lanjut lelaki tua itu dengan nada datar. Ada guratan kekhawatiran sehingga ia tak sanggup menatap wajah pelayan setianya itu.

"Apa maksud Tuan?"

"Apa kamu tidak menyadari pertadingan King kemarin?" lalu pria tua tersebut mulai memutar tubuhnya dan memandang pelayan tersebut yang tengah menundukkan kepalanya. "Sepertinya King akan mendapatkan lawan tangguh dan posisinya sebagai raja takkan lama lagi akan direbut."

"Maaf Tuan, tapi darimana anda bisa menyimpulkan seperti itu? Padahal kita lihat kemarin King sama sekali tidak mengalami luka sedikitpun Tuan." Pelayan itu membetulkan kacamatanya dan kembali sibuk membuka file rekaman pertandingan King yang lalu.

"Mungkin di depan kita, King memang tidak kalah. Tapi coba kamu lihat lebih jeli, di detik terakhir ia memukul lawannya dengan sangat keras dan hasilnya adalah orang yang bernama Sky itu masih berdiri. Ditambah lagi dengan kekuatannya ketika Sky memukul King hingga terdorong sedikit ke belakang. Bisa dipastikan tahta King tak lama lagi akan berganti dan kita harus mulai bersiap-siap."

Kembali keduanya terdiam hingga sang pelayan membuka suara. "Apakah mungkin Sky adalah orang yang terlibat dengan insiden 5 tahun yang lalu?"

Mendadak lelaki paruh baya itu menatap serius pelayannya itu hingga kucing yang ada di pangkuannya juga ikut jatuh dan melarikan diri. "Jangan sembarangan kamu sebut kejadian itu lagi!"

"Maaf Tuan!" pelayan itu kemudian menundukkan kepalanya tak sanggup menatap pimpinannya itu. Aura panas terpancar dari lelaki tua itu, seakan apa yang dibahasnya barusan adalah hal tabu.

***

Kelopak mata itu mulai terbuka sedikit demi sedikit. Namun ada sedikit keanehan yang pemuda itu rasakan pada tubuhnya. Setiap sendi tubuhnya seakan ditimpakan beban berat hingga tak mampu terangkat sama sekali. Langit hanya bisa menoleh ke kanan atau ke kiri dari tempat tidurnya itu. Curiga dengan apa yang menempel pada tubuhnya, dengan susah payah ia coba angkat kepalanya dari atas bantal namun hanya sedikit gambaran yang ia dapatkan. Di matanya terlihat kini pada badannya terpakai sebuah rompi yang begitu berat, pada kedua tangannya terpasang sarung tangan sesiku yang hampir mirip dengan yang biasa ia kenakan.

"Sudah bangun?" sapa pria tua yang tengah bersandar pada daun pintu kamarnya.

"Pak Guntur? Apa maksudnya ini? Kenapa saya tidak bisa bergerak? Dan pakaian apa yang anda pakaikan pada saya Pak?" tanya Langit dengan begitu tergesa-gesa.

"Hahaha! Kira-kira pas tidak rompi yang sedang kau pakai nak? Haha!" Langit sama sekali tidak menjawab. Yang ada di kepalanya sekarang adalah pertanyaan kenapa pria tua ini tega melakukan hal ini.

"Haha! Kau pasti penasaran kenapa saya memakaikan 'sesuatu' yang terlihat menyiksa?" Pak Guntur mulai melangkah mendekati ranjang tempat Langit berbaring. "Sederhananya, yang kau kenakan ini adalah pakaian khusus untuk latihan kita kedepannya. Pada lengan dan kakimu masing-masing terpasang beban pemberat seberat 50 kilogram, sedangkan yang terpasang pada badanmu khusus seberat 70 kilogram."

Mata Langit membulat mendengarkan kata-kata Pak Guntur barusan. Di tubuhnya sudah terpasang pemberat yang bahkan lebih berat daripada galon air minum. Gigi-giginya mulai beradu seiring banyaknya energi yang Langit keluarkan untuk menggerakkan tubuhnya itu. Yang tersisa bagi dirinya hanyalah menggerakkan leher untuk menengok dan jari-jari pada kaki dan tangannya.

"Baiklah selagi kamu masih berusaha, saya akan menjelaskan latihan yang akan kamu jalankan selama berada di bawah bimbingan saya. Jadi jangan pasang kedua telingamu itu ya nak!" pinta Pak Guntur. Langit tak menjawab apa-apa dan hanya bisa menatap wajah gurunya itu.

"Latihan awal yang harus kamu lewati yang pertama adalah," Pak Guntur mengarahkan jarinya menunjuk tubuh Langit lalu melanjutkan penjelasannya, "bangun dari posisi tidurmu dan keluar dari kamarmu! Kuberi kamu waktu tiga hari, bila tak berhasil atau menyerah di tengah jalan maka kamu saya perbolehkan untuk melepas pakaian itu dan pulang dengan cepat."

Itu adalah tantangan bagi Langit yang mengubah air wajahnya menjadi begitu serius. Ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dengan susah payah.

"Om Guntur! Ini lebih seperti siksaan ketimbang latihan!" suara Mey mengagetkan kedua manusia di dalam ruangan tersebut. Gadis itu masuk dengan tergesa-gesa menghampiri Langit.

"Kalau temanmu membantu dirimu untuk bangun, maka kamu saya anggap gagal dalam latihan ini dan harus mengulang latihanmu dari awal nak!" seru Pak Guntur yang kemudian meruntuhkan niat Mey untuk mendekati Langit.

"Untuk Mey, kamu boleh membantu Langit untuk menyuapi makan dan minum saja. Haha!" Pak Guntur segera pergi meninggalkan kamar Langit dengan tawanya yang membuat jengkel Mey. Sedangkan Langit hanya bisa terus menggerakkan tubuhnya untuk bisa bangun dari ranjang yang ia tempati saat ini.

"Lang?"

"Hmm?" Langit kemudian menengok ke arah Mey yang tengah duduk diatas ranjangnya itu.

"Maaf ya Lang," Mey mulai menundukkan pandangannya dan melanjutkan perkataannya, "semalam aku diperintahkan untuk membantu Om Guntur untuk memasangkan rompi, sarung tangan dan sepatu ini Lang. Aku tidak tahu kalau kamu tidak bisa mengangkat beban ini dan Om Guntur hanya berkata bahwa kamu pasti bisa bangun besok dengan keadaan sehat bugar. Tapi nyatanya..."

"Tenang Mey," Langit menampakkan senyum itu pada Mey meski beban yang ia tanggung begitu berat. "Aku berprasangka baik bahwa apa yang dilakukan Pak Guntur adalah yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku pasti bisa bertahan Mey." Langit paham bahwa temannya itu sangat menyalahkan dirinya dan tak mungkin ia ikut mengeluh pula, maka yang hal yang bisa dilakukan pemuda itu adalah menampilkan senyum itu agar Mey tidak sedih.

Perlahan Mey mencoba untuk tetap tegar menatap kawannya itu dan menghapus air matanya yang mengalir di wajahnya. Sedikit demi sedikit senyum simpul itu terbit dari bibir Mey, "kamu mau makan apa Lang untuk sarapan pagi ini? Aku akan ambilkan untuk kamu Lang."

***

Bagaimana ini?! Aku sama sekali tidak bisa bergerak dan tidak memiliki kekuatan sebesar itu untuk mengangkat beban pada pemberat ini. Ini terlalu berat! Langit masih berkutat dengan pikirannya karena pemberat pada tubuhnya itu. Ia masih terus meronta-ronta padahal hampir seharian ini ia terus saja berbaring.

"Lang? Kamu yakin mau meneruskan latihan ini?" wajah Mey sangat mengkhawatirkan temannya itu.

"M-Mey, t-ti-tidak-k apa-apa. Huft-huft.... Aku pasti bisa segera bangun dari sin-ni," Langit sudah bercucuran keringat.

"Kalau mau buang air, dibawah tempat tidur sudah aku buatkan pisspot. Nanti Mey yang bersihkan ya! Hahahaha!" Pak Guntur yang sengaja lewat hanya untuk memprovokasi Langit dan Mey.

"Om Guntur!!!! Jijik tahu!!!!" Langsung saja Mey keluar mengejar lelaki tua itu. Sedangkan Langit hanya bisa diam dan meratapi kondisinya yang tak bisa apa-apa saat ini.

Memang hari sudah senja, terlihat dari rona mentari yang sudah menunjukkan cahaya jingganya. Suara hembusan angin sedari tadi tetap setia menemani kesendirian Langit yang masih berusaha mengangkat tubuhnya itu. Sudah ratusan kali, atau mungkin tak terhitung lagi jumlah usaha yang sudah ia lakukan demi setidaknya menggeser tubuhnya itu minimal tangannya saja.

Langit mencoba untuk memejamkan matanya sejenak. Jika aku tak segera bangkit, maka semakin jauh pula usahaku! Aku... Aku...

Kemudian dalam benaknya ia kembali melayang, mengarungi setiap momen yang ia telah lewati hampir 4 bulan ini. Mulai dari pertemuannya dengan keluarga kecil ini, bersekolah bersama teman-temannya meski tak seakrab yang ia harapkan, hingga bertarung pada pertandingan demi menyelamatkan sekolahnya. Semua memang memiliki kenangan masing-masing hingga ia hanyut dalam rasa bahagia, dapat bertemu dan merasakan hal-hal itu meski tak selama yang Langit harapkan.

HATI!

Mata itu mendadak terbuka, memancarkan api semangat. Sedikit demi sedikit kedua tangan Langit mulai terangkat. Begitu pula dengan tubuhnya yang masih kaku itu ia bangkitkan hingga posisi duduk ia dapatkan meski susah payah. Peluh itu terus membanjiri pakaian yang dikenakan Langit, namun tak menyurutkan dirinya untuk terus dan terus bangkitkan tubuhnya.

Gigi pada rongga mulutnya terus beradu seiring bangkitnya kekuatan baru yang lahir dalam tubuhnya itu. Seluruh ototnya yang semula tak memiliki tenaga seakan mendapat energi baru yang terus mengalir dan mendorong dirinya hingga batas yang selama ini tak pernah ia lewati. Kedua kakinya juga perlahan dapat diangkat dan dipindahkan.

Harus! Aku harus segera bangkit dan melanjutkan latihan ini! Untuk Sekolah Angkasa! Untuk Pak Jenggot, Mey....

***

BRUK!!

Perhatian Pak Guntur dan Mey langsung teralihkan pada sumber suara yang berasal dari kamar Langit. Segera saja perempuan itu berdiri hendak berlari namun segera ditahan Pak Guntur. Saat Mey menatap lelaki tua itu, yang ia dapati hanya kepala Pak Guntur yang menggeleng perlahan memberi tanda agar gadis itu tetap di tempat.

"Kita lihat apa yang akan keluar dari pintu itu ya Nak." Suara Pak Guntur sengaja lebih pelan untuk menenangkan Mey.

Setelah menunggu beberapa menit, gagang pintu Langit mulai bergerak hingga daun pintu itu bergerak perlahan. Penampakan bayang-bayang hitam mulai menembus dan imaji manusia yang tengah berdiri semakin jelas Nampak hingga terlihat secara utuh bahwa itu adalah Langit yang tengah bersusah payah berjalan sambil terus menopang tubuhnya agar tetap berdiri.

Sungguh bila tangan Pak Guntur tak menghalangi Mey, mungkin ia akan segera berlari menghampiri Langit dan membantunya berjalan saat ini. Namun pemandangan ini begitu menakjubkan sekaligus mengundang haru bagi gadis muda itu. Menyaksikan perjuangan kawannya itu untuk mendapatkan kekuatan baru demi menyelesaikan pertandingan yang ia hadapi dan melindungi dirinya.

Sedangkan Pak Guntur juga tak menyangka anak muda yang baru saja menginap kemarin bisa segera menyelesaikan pelatihan tahap pertama. Meski belum begitu sempurna namun ia paham semangat juang pemuda ini begitu besar hingga ia sanggup menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu hari. Senyum itu semakin mengembang melihat pertunjukkan di depan matanya itu.

"Pak Guntur," Langit mencoba menarik nafasnya dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan kata-katanya, "saya siap untuk pelajaran berikutnya Pak!"

Menarik! Mantan pasukan khusus memang menakjubkan! Pak Guntur bangkit dari tempat ia duduk dan memberi tepuk tangan atas perjuangan Langit.

"Kalau begitu, bersiaplah untuk latihanmu yang sesungguhnya nak! Selama itu jangan pernah kamu lepaskan pemberat yang ada di tubuhmu ya! Hahaha!"

Bersambung...

Yuk dukung terus Sky - Re:Member dengan read, vote dan komentar kalian ya. Nantikan kelanjutan Sky berikutnya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top