Bab 19 - Naik Gunung

"A-Ayah?" tanya Mey dengan suara terengah-engah.

"Hmm?"

"Kenapa tadi tidak diberitahu kalau kita akan melewati hutan lebat seperti ini Yah?" wajah Mey mulai memelas.

Pak Jenggot dan Langit berhenti sejenak dan menoleh ke arah bidadari yang sedari tadi berjalan di barisan belakang. "Kan tadi ayah sudah bilang tidak perlu bawa barang banyak-banyak, tapi kamu tetap saja ngotot membawa barang segitu banyak nak."

"Huuuft. Ku kira kita akan pergi menginap ke villa yang dekat dengan hutan," keluh Mey yang sudah bawa tas besar di punggungnya dan koper travelling yang ia tengah jinjing dengan kedua tangan mungilnya itu. Peluh telah membasahi seluruh wajah dan pakaian yang ia kenakan. Meski udara di hutan cukup sejuk namun dengan barang bawaan yang tengah di perjuangkan Mey agar tetap bersamanya itu benar-benar menguras energi banyak.

"Kamu mau aku bantu? Sudah dari tadi lho aku tawarkan." Tangan Langit kembali di ulurkan tanda ia ingin membantu gadis itu, namun kembali di tolak Mey.

Apa-apaan kamu Mey? Kamu tidak lihat apa? Langit setelah ini ingin berlatih jadi kuat, jadi kamu jangan bebani dia lagi Mey! Batinnya terus menegaskan. Setelah berkutat dengan pikirannya, barulah Mey menjawab, "ah Lang, yang seperti ini sudah biasa aku dapatkan ketika latihan karate di sekolah. Kamu tidak perlu khawatir ya Lang." Dari jawaban itu, Mey berusaha untuk tersenyum meski berat di pundak dan tangannya itu menyiksa. Langit dan Pak Jenggot yang melihat hal itu hanya bisa menghembuskan nafas.

"Kira-kira berapa lama lagi perjalanan kita Pak?" tanya Langit pada Pak Jenggot yang tengah memperhatikan kertas peta.

"Yah sebentar lagi kita akan sampai Tuan. Berdasarkan peta ini, setelah melewati dua sungai lagi kita akan sampai ke tujuan kita.

"HE?! Dua sungai lagi???!!!!" mendadak mata Mey membelalak mendengar pembicaraan kedua orang di depannya itu. Langit dan Pak Jenggot hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan satu gadis ini.

***

TOK TOK TOK!!!

Pintu kayu itu diketuk cukup kencang beberapa kali oleh Pak Jenggot. Sebuah rumah kecil dengan beberapa potong kayu bakar yang di tumpuk pada bangunan sebelah yang hanya berupa beberapa susun tiang dan atap. Hampir seluruh dinding rumah ini menggunakan kayu. Mungkin saja penghuninya adalah orang yang ditugaskan untuk menjaga hutan ini, atau bisa jadi ia adalah orang 'udik' yang sengaja menjauhkan dirinya dari hingar bingar kota yang begitu padat.

TOK TOK TOK!!!

"Ya-ya! Siapa yang datang siang bolong begini hah?" teriak pemilik rumah itu. Setelah dibuka, ternyata seorang lelaki tua muncul dengan perawakan tubuh tegap berotot, kumisnya yang hitam menambah kewibawaan orang itu dan rambut di kepalanya itu terlihat begitu unik dan eksentrik bagi yang melihatnya. Bagi manusia normal pasti akan mengira seperti tanduk banteng atau setan karena rambut pria tersebut di sisir ke atas namun mengarah ke kiri dan kanan. Pakaian 'Dogi' (baju dan celana khusus petarung karate) berwana hitam tanpa ada lengan membuat otot pada lengannya terlihat begitu perkasa.

"Sudah lama tidak bertemu ya Guntur," sapa Pak Jenggot pada pria asing di depannya itu.

"Hmm? Kamu bukannya si Ja..," Pak Jenggot segera menutup mulut pria bernama Guntur itu dengan telapak tangannya.

"Oke-oke sekali lagi kau melanjutkan nama itu aku takkan segan memanggil polisi kemari."

"Bwuahahahaha!!!" Pak Guntur segera menarik lengan Pak Jenggot dan tertawa begitu keras. "Setelah sekian lama tak bertemu, kau masih mau mengancamku dengan cara lapor ke pihak kepolisian? Hahaha!" Reuni itu begitu hangat bila di lihat dari mata kepala Langit dan Mey. Yang satu bersikap sangat welcome sedangkan pria bertopi itu hanya bisa diam kala pundaknya ditepuk-tepuk. Anggap saja ini adalah pertemuan.

"Jadi ada perlu apa datang kemari? Mungkin kita bisa duduk di dalam. Tapi maaf rumah gubukku tak seindah resort villa hahaha."

"Apa kau ingat dengan orang yang ada di belakangku?" bisik Pak Jenggot.

"Hmm? Yang perempuan itu Mey, dan yang satu lagi..," Pak Guntur membulatkan matanya tak percaya, bahkan sampai kepalanya ia condongkan dan beberapa kali ia tampar pipinya merasa bahwa itu bukan mimpi. "Hei?! Itu si..."

"Ssst!"

***

"Hmm kira-kira ayahmu itu lagi berbicara dengan siapa ya? Kenapa begitu lama ya?"

"Kamu mengeluh lama? Temanmu ini lebih parah lho Lang," keluh Mey. Sesaat Langit menengok dan di dapati pemandangan gadis membungkuk kelelahan sangat hingga keringat itu bercucuran. Meski jaket tebal yang ia kenakan sudah di tanggalkan dan hanya tersisa kaos merah tanpa lengan, namun tetap saja angin segar tak membuatnya lebih nyaman menghadapi perjalanan panjang barusan.

"Yah salah siapa tidak menerima bantuanku dari tadi?" Langit membuang muka meski sindiran tadi cukup mengganggu telinga Mey. Gadis disamping Langit langsung memasang wajah merah padam dan siap mengeluarkan jurus pamungkas kapan saja.

"Kamu ini ya Lang! Mau berkelahi disini ya?" segera Mey menurunkan ransel dan koper yang ada di tangannya dan memegang lengannya bagai jagoan yang siap bertarung.

"Ingat ini bukan arena latihan seperti di rumah lho," jawab Langit dengan wajah tanpa bersalah.

"HAHA!!! Sedang asyik main ya di luar sana?" teriak Pak Guntur yang tiba-tiba saja keluar dengan tawanya yang khas. Pak Jenggot hanya bertengger di mulut pintu memperhatikan saja. "Wah ini keponakan om sudah besar ya! Haha!" sambungnya sambil melangkah mendekati Mey.

"Om siapa?" kepala Mey teleng karena di dalam otaknya tidak pernah mengenal orang seperti yang ada di depannya saat ini.

"Wah kamu pasti sudah lupa ya Mey? Haha! Wajar karena kita terakhir bertemu ketika kamu masih sangat kecil. Dan kamu..," Pak Guntur mengarahkan jari tenjuknya pada Langit, "pasti namamu Langit ya? Atau kata Jenggot tadi namamu yang lain adalah Sky. Betul?"

"Betul Pak," singkat jawaban Langit.

"Kenalkan, nama saya Guntur. Boleh kamu panggil dengan sebutan om atau pak seperti kamu dengan Pak Jenggot," Pak Guntur menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Langit. "Kalau begitu ayo masuk dulu ke dalam. Kalian pasti lelah karena telah jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk mencari saya. Haha!" tawa itu mungkin akan menjadi ciri khas Pak Guntur. Mendengar itu, senyum kembali merekah pada bibir Mey dan langsung saja tanpa berkata apa-apa ia memasuki rumah kayu tersebut.

"Maaf kalau kami merepotkan anda Pak Guntur."

"Seperti yang dikatakan Jenggot, kamu ini anak muda yang sopan ya," Pak Guntur merangkul Langit untuk mengakrabkan perkenalan mereka. "Tidak perlu sungkan, anggap saja rumah sendiri ya. Haha!"

***

Interior rumah ini cukup sederhana. Baik itu dinding maupun lantai, semua berlapis kayu. Bahkan semua perabot ruang tamu yang tengah digunakan para tamu menggunakan bahan kayu. Hanya jendela, perabotan makan dan beberapa benda yang lainnya saja yang menggunakan elemen lain seperti tanah liat, logam, kaca dll. Suasana yang disajikan begitu sunyi, namun sejuk dan asri. Hanya terdengar suara gemericik air sungai dan kicau burung yang akan membuat siapapun penghuninya akan betah berlama-lama disini. Jauh dari kepadatan kota baik itu di Bogor maupun Jakarta, membuat rumah ini sangat cocok bagi mereka yang telah berusia tua atau mereka yang memiliki kegemaran pada hal-hal yang bersifat alam.

"Jadi kedatangan kalian kemari ada apa ya?" tanya Pak Guntur yang telah menyiapkan beberapa cangkir wedang jahe di hadapan ketiga tamunya itu.

"Kata Pak Jenggot, saya akan di bawa kepada seseorang untuk dilatih menjadi lebih kuat Pak." Langit mulai menampakkan wajahnya yang serius. Pak Jenggot dan Mey hanya bisa diam mendengarkan pembicaraan itu secara saksama.

"Hmm jadi kamu ingin menjadi kuat daripada sebelumnya, begitu?" tanya Pak Guntur yang mulai duduk di hadapan ketiga orang itu dengan ekspresi santai.

"Ya benar Pak."

"Kalau begitu, saya ingin menguji seberapa besar tekadmu untuk menuntut ilmu. Silahkan kamu habiskan minuman itu, kemudian datang ke lantai bawah." Pak Guntur segera beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya pada sebuah tangga yang mengarah ke bawah.

Tak berapa lama setelah itu, Langit, Mey serta Pak Jenggot menuruni tangga yang barusan di lewati Pak Guntur. Tak sampai 3 meter jarak yang ditempuh, terlihatlah sebuah ruangan besar yang lebih luas ketimbang keseluruhan lantai atas rumah tersebut. Tidak seperti ruang bawah tanah yang selalu Langit datangi di Asrama SMA Angkasa, ruangan ini masih memiliki jendela yang menghadap langsung pemandangan di luar rumah berupa rimbunan pepohonan serta ventilasi udara yang membuat udara di luar ruangan dapat masuk dan menyejukkan penghuni di dalamnya. Rupanya bangunan ini terdiri dari dua lantai dengan posisi tepat di tepi jurang, sehingga meski mendapatkan ke asrian dari alam luar namun tetap mengerikan juga bila menatap langsung ke bawah. Pada ruangan itu terdiri dari dua tempat, setengah dari ruangan itu berisi beberapa boneka latihan, karung tinju dan papan sasaran untuk melakukan tendangan dan pukulan. Sedangkan sisa ruangan lainnya berupa tempat kosong yang mungkin digunakan untuk sparring dan di tepi lantai ini terdapat beberapa lemari kayu berisi perlengkapan rumah dan latihan. Meski begitu tempat ini tidak terlihat sempit oleh barang-barang tadi karena luasnya ruangan ini sehingga benda-benda disini juga memiliki jarak cukup jauh antara satu dengan lainnya.

"Selamat datang di ruang latihan!" sambut Pak Guntur yang sudah berdiri tegap di tengah ruangan. Langit hanya tetap berjalan mendekati orang yang akan ia anggap sebagai gurunya itu. "Apa kamu siap menerima latihan yang akan saya berikan?"

"Siap Pak!" jawab Langit dengan lantang.

Pak Guntur kemudian mengarahkan jarinya kepada wood dummy terbuat dari logam serupa dengan yang ada di ruang bawah tanah di asrama. "Kalau begitu, coba kamu lewati ujian ini! Haha!" kemudian pria kekar itu mundur beberapa langkah dan melanjutkan perkataannya, "pukul boneka besi ini dengan semua kemampuanmu. Pukul sampai saya bilang berhenti, baru nanti kita tentukan apa kamu pantas berguru pada saya atau tidak. Paham?"

"YA!" Langit segera memasang kuda-kuda siap tempur. Matanya begitu tajam seolah-olah apa yang ada di hadapannya adalah lawan tarung yang ia pernah hadapi.

Beberapa pukulan dan tendangan mulai dilayangkan pada setiap lengan-lengan logam pada boneka tersebut hingga menyebabkan tiang-tiang yang melekat pada boneka itu mulai berputar seiring efek dari serangan Langit. Namun berbeda dari boneka logam yang pernah Langit pakai, yang satu ini 3 kali lebih berat sehingga ayunan setiap tiang besi tersebut bergerak begitu lambat.

"Ayah, apa ini hanya perasaanku saja atau kehebatan Langit tidak sekeren di ruang bawah tanah ya sekarang ini?" Mey keheranan melihat kawannya itu.

"Bisa jadi ada alasan kenapa seperti itu, atau memang boneka yang dipukul Langit saat ini lebih berat ketimbang sebelumnya."

Baru beberapa menit tapi Langit sudah bercucuran keringat. Padahal udara di ruangan itu begitu sejuk namun suara napas Langit sudah begitu terengah-engah. Setiap pukulan, tendangan, dan cengkraman yang ia tujukan serasa lebih berat, namun ini bukan karena fisiknya yang baru saja sembuh. Pemuda it uterus berpikir, apa yang menjadi alasan lemahnya ia hari ini?

"Cukup!" Pak Guntur menghentikan Langit memukul boneka logam itu.

"Apa saya bisa di terima menjadi murid anda, Pak Guntur?"Langit berusaha berdiri mempertahan kedua kakinya kendati lelah yang sangat ia rasakan sekarang.

"Jawab dulu pertanyaan saya. Menurutmu, apa yang terpenting dalam bela diri?"

Langit menundukkan kepala, berusaha mencari tahu apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang diajukan Pak Guntur barusan. Memang selama ini ia selalu berlatih bela diri di ruang latihan. Semua jurus, pukulan, tendangan dan yang lainnya pun sudah ada di dalam memorinya. Lalu apa yang terpenting dari semua itu?

"Yang saya ketahui dari setiap pertarungan yang saya lewati." Langit mencoba menegakkan tubuhnya dan melanjutkan jawabannya, "hal terpenting dalam bela diri adalah kekuatan, kecepatan dan teknik!"

Mendengar itu, Pak Guntur tertawa sangat keras. Langit, Mey dan Pak Jenggot hanya bisa melihat kelakuan pria tua ini dengan tatapan heran. Bukannya memberi konfirmasi apakah jawaban Langit barusan benar atau salah, malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan semakin lama Mey merasa jengkel sendiri. Mana mungkin orang seperti ini pantas dijadikan guru untuk Langit?

"Oke, nanti kamu istirahat yang cukup karena besok kita akan latihan cukup berat. Persiapkan dirimu ya Nak Langit!" seru Pak Guntur.

"Baik Pak!"

"Kalau begitu, saya dan Mey akan pamit pulang ke Jakarta ya..," belum selesai Pak Jenggot berkata, segera saja Mey memotong pembicaraan.

"Aku tidak mau pulang Yah!" seru Mey. Mendengar itu, Pak Jenggot dan Langit terkejut dengan pernyataan satu-satunya perempuan di ruangan ini.

"Lho? Kamu tidak sekolah Mey?"

"Tenang," Mey segera membuka tas kecil yang ia selempangkan di bahunya itu. Lalu keluar sepucuk surat di tangannya, "aku sudah membuat surat izin untuk menjaga Langit untuk satu bulan ke depan kok dan sudah di setujui pihak sekolah." Mey kemudian menjulurkan lidah untuk meledek Langit yang kala itu hanya bisa menggelengkan kepala melihat ulah perempuan tomboy ini.

"Haha! Jenggot, serahkan padaku ya. Kedua anakmu ini akan aku jaga ya. Jadi kamu tidak perlu khawatir ya. Haha!" lagi-lagi Pak Guntur menepuk pundak kawannya itu. Mendengar itu, Pak Jenggot hanya bisa menghembuskan nafasnya saja.

"Ya sudah, ayah izinkan kamu temani Langit disini. Tapi jangan buat repot Pak Guntur dan Langit selama ia berlatih ya nak!"

"Serahkan padaku Yah! Ayah bisa pulang dengan tenang deh ke Jakarta nanti."

***

Selama perjalanan menyusuri hutan, pria tua itu tak menunjukkan rasa khawatir atau gelisah ketika anak asuh dan anak perempuannya itu tidak lagi membersamainya. Pak Jenggot hanya terus berjalan hingga pada suatu persimpangan jalan ia berhenti sejenak dan melihat sekitarnya.

"Terima kasih ya sudah membantu menunjukkan arah jalan ke rumah Guntur."

"Hmph, selama aku tidak di paksa untuk bertemu dengan dia lagi ya tak masalah bagiku." Muncullah sosok misterius dengan jaket hitam dan kepalanya di tutup dengan tudung dari jaket itu sendiri.

"Ya ampun, kamu masih saja bersembunyi. Tenang saja, tidak akan ada orang yang melihatmu disini." Dari kata-kata Pak Jenggot itu akhirnya mendorong orang tersebut untuk membuka tudung jaketnya hingga nampaklah wajah perempuan cantik dengan tatapan dingin itu dengan rambut panjang terurai.

"Sekarang sudah puas? Bisa melihat wajah saya?" jawab gadis itu dengan begitu ketus.

"Ya ampun kamu selalu saja dingin ya Erika. Atau kamu lebih suka kusebut Alice atau A-5?"

Bersambung...

Siapa yang masih setia dengan Sky? Hehe. Nantikan terus ya perjuangan Sky dan ajak teman-temanmu yang lain untuk follow akun penulis, lalu read Sky Re : Member, beri vote serta komentar terbaik kalian ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top