Chapter. 9
"Bon, gue pengen tanya sama lu," ucap JoJo dengan nada serius.
Alis gue terangkat dan memperhatikan ekspresi JoJo yang nggak senang. Chandra cuma mengerjap bingung sambil minum dari tumbler-nya.
"Apa?" tanya gue.
JoJo memperhatikan gue dengan seksama, lalu menggeleng pelan sambil menghela napas.
"Gue dapet kabar dari bokap gue kalo Tania kabur," jawab JoJo dengan mata menyipit curiga. "Udah seminggu, doi belum pulang dan nggak ada kabar sama sekali."
"Kabur?" tanya gue lagi.
JoJo mengangguk.
"Kabur ato diusir?" lanjut gue sinis.
Mata JoJo melebar dan Chandra menaruh tumbler sambil tetap menatap gue. Kami baru aja kelar modif satu mobil langganan yang cukup ribet dan lagi ada di ruang kerja.
"Jadi, bener kalo lu yang bawa doi pergi dari rumah?" tanya JoJo sambil mengangkat alisnya.
"Heh? Lu dapet ghibahan darimana? Ngomong sembarangan tentang gue, lu bisa kualat jadi temen!" hardik gue.
"Wait, Jo. Lu tahu darimana soal ini?" sela Chandra kemudian.
Jojo menoleh pada Chandra tanpa ekspresi. "Bokapnya Tania yang cerita sama bokap gue. Dia ada ngomong soal anaknya klan Sutedja yang bawa Tania kabur. Seinget gue, itu adalah hari dimana Tania samperin kita ke kafe."
Chandra auto nengok ke arah gue dengan ekspresi menuntut penjelasan. JoJo juga. Mendadak nyesel jadi orang julid karena mereka berdua udah persis kayak Jeepers Creepers, yang siap berburu setelah dighibahin abis dari dua cerita sebelumnya.
"Emangnya bener, Bon?" tanya Chandra.
"Bukan gue yang bawa pergi, tapi doi diusir sama bokapnya sendiri. Udah gitu, bokapnya menghina anak sendiri dengan bilang bawa sial," jelas gue santai.
Ekspresi JoJo dan Chandra nggak percaya, yang menatap gue dengan tatapan seolah gue sinting.
"Terus sekarang, Tania ada di mana?" tanya JoJo.
"Di tempat gue," jawab gue kalem.
"APA?" seru Chandra dan JoJo berbarengan.
"Bisa biasa aja gak, sih? Kuping gue bisa budeg!" sewot gue sambil mengusap kuping.
"Lu gila atau gimana, Bon? Mau ngapain lu simpen cewek itu di tempat lu? Kalo sampe bokap nyokap lu tahu, nama lu bisa dicoret jadi alih waris!" sembur JoJo.
"Jo, gue tahu lu nggak suka sama cewek itu, tapi lu nggak berhak ngomong seolah dia itu sampah. Gue yakin kalo Babon punya alasan," tegur Chandra pelan.
"Alasan Babon cuma satu! Biar bisa refill tanpa perlu ribet cari dispenser! Lagian, duit banyak bukannya buat bayar lonte, malah nyimpen barang gituan," balas Jojo sadis.
"Gue emang bangsat, tapi nggak gampang buat main sama lonte sembarangan. Emangnya gue udah serendah itu di mata lu sampe harus asumsi kayak gitu, Jo?" desis gue judes sambil menatap JoJo tajam.
Seperti tahu gue tersinggung, JoJo mengerjap cepat dan terlihat nggak enak hati, sementara Chandra cuma berdecak pelan.
"Gue paling males ladenin soal ginian deh. Ribut oke, tapi jangan karena cewek. Dan Jo, gue juga nggak setuju kalo lu sampe se-kaypoh itu sama Babon," tegur Chandra lagi.
JoJo mendesis geram. "Gue bukan kaypoh, tapi care. Gue tahu jelas siapa keluarga Tania, toxic banget! Gue juga tahu siapa keluarga Babon. Apa jadinya kalo keluarga Tania cari masalah sama keluarga Babon saat mereka tahu kesultanan keluarga Sutedja?"
"Ya palingan mati di tempat," balas Chandra asal.
"Bukan soal itu juga," sahut Jojo sambil liat ke arah gue. "Apa lu udah kenal siapa cewek itu? Dia tuh nakal dan liar, termasuk cewek yang gampang diajak tidur. Lu nggak geli pake cewek yang udah bekasan banyak orang?"
"Kalo ngomong soal bekas,kita juga semua bekasan. Zaman sebelum lu ketemu Grace, emangnya lu nggak ganti oli sembarangan, Jo? Hanya karena lu dapetin bucin perawan kayak Grace, nggak berarti lu boleh rendahin cewek lain atas dasar nggak suka," ucap gue ketus.
"Gue nggak maksud ngerendahin, Bon. Gue cuma nggak mau lu dapet masalah dengan punya urusan sama keluarganya. It's unworthy!" balas JoJo lagi.
"Btw, ada yang mau gue tanyain tapi kelupaan terus. Joy pernah komen soal mukanya yang biru, itu kenapa?" tanya Chandra tiba-tiba.
"Dipukul sama bokapnya," jawab gue langsung.
JoJo pasang muka kaget lagi. Eneg banget gue sama bucin jilid 2 yang satu itu. Mentang-mentang udah tobat, jadinya boleh songong sekarang. Cih!
"Serius?" tanya Chandra kaget.
Gue mengangguk.
"Gue udah yakin ada yang aneh sama cewek itu. You know? Dari gayanya aja udah keliatan eneg banget sama JoJo, tapi malah dijadiin piala bergilir buat perjodohan dari kakak ke adek," komentar Chandra kalem.
Gue memperhatikan JoJo yang tampak terdiam. Emangnya kapan dia nggak diam? Cuma di cerita ini aja, bisa banyak bacot dan bikin gue keki.
"Nggak ada informasi soal Faith yang dipukul sama bokapnya?" tanya gue dengan alis terangkat sambil melihat JoJo. "Kalo lu nggak percaya, gue punya fotonya dan tahu dimana aja letaknya."
"Mau nyombong udah ngewein ceritanya?" ejek Chandra sambil nyengir.
Gue ikutan nyengir dan mengangkat bahu dengan santai. JoJo malah meringis jijik. Belagu banget jadi orang sekarang, mentang-mentang udah mau jadi manten. Pencitraan. Ckck.
"Gue cuma tahu kalo Tania nggak deket sama bokap nyokapnya. Katanya, doi disuruh kuliah malah nggak mau. Kerjaannya cuma clubbing, pulang pagi, bahkan sering nggak pulang, dan kepergok lagi di hotel," ujar JoJo.
Sebenarnya, gue nggak peduli tentang urusan orang, termasuk apa yang dilakukan Faith sebelum ketemu gue. Gue juga bukan orang yang gampang terpengaruh untuk mempercayai sesuatu dari satu sudut pandang aja.
Gue netral orangnya. Salah ya bilang salah, bener ya bilang bener. Otak gue yang di atas masih bisa pake buat mikir lah, beda sama otak bawah yang bener-bener nggak punya akhlak. Tahunya cuma ngecrot doangan.
"Bukan berarti itu nggak baik. Siapa tahu aja, doi bolak balik hotel karena emang gawe?" celetuk Chandra.
Alasan kenapa gue harus netral jadi orang adalah efek punya dua so'ib yang nggak tahu diri. Chandra dengan perspektifnya yang demokratis, sedangkan JoJo dengan pemikiran kritisnya yang statis. Unsur positif ada di Chandra, unsur negatif ada di JoJo, sedangkan gue di tengah-tengah aja. Seimbang pokoknya, cuma kebanyakan julidnya.
"Bon, lu harus pikir baik-baik soal ini. Gue nggak mau lu punya urusan yang nggak layak buat lu dapetin. They don't deserve you," ujar JoJo dengan muka busuknya.
Gue tahu apa yang bikin JoJo sampe ilfil dengan Faith dan keluarganya. Gara-gara mereka, hubungan keluarga JoJo nggak baik. Jordan, kakaknya JoJo, sampe harus keluar dari rumah demi lanjutin hidup dengan nikah sama cewek pilihannya.
Untungnya, Grace keburu ditongolin sama yang nulis di akhir cerita pertama, jadinya kan dapet cerita sendiri. Nggak kayak gue, dapetnya hibaan.
"Let me decide what I deserve for, Man," tukas gue. "Saat ini, gue nggak ada niat apa-apa ato pikir terlalu jauh. Gue cuma merasa simpati atas perlakuan bokapnya yang nggak etis sama anaknya."
"Bon, dalam hal ini, mendingan lu tetep jadi juliders ato ketua nyinyir club aja. Daripada kaypoh dan berujung nggak enak," komentar Chandra serius.
"Gue tahu hati lu baik, tapi tetep pilih-pilih siapa yang perlu lu bantu," tambah JoJo.
Baik? Gue merasa jauh dari itu. Bantu? Gue nggak merasa kayak gitu. Mungkin dua temen gue cuma kuatir karena peduli.
Setelah sesi ngobrol itu berakhir, gue pun balik dengan pikiran mumet. Otak gue udah kepikiran soal obrolan tadi. Jika memang Faith terlalu bermasalah, bisa jadi gue bawa perkara ke dalam keluarga gue.
Selama seminggu, Faith tinggal di tempat gue. Meski nggak banyak obrolan, tapi gue cukup tahu kalo doi bukan orang yang ramah kayak Joy, juga nggak ceria kayak Grace. Faith adalah pendiam dan tertutup. Ngomong cuma sesuai kebutuhan.
Waktu gue pulang, Faith udah pake baju pergi. Selama seminggu tinggal, doi termasuk anak rumahan yang sibuk bersih-bersih dan beresin rumah. Baru hari ini gue liat doi mau pergi.
"Mau kemana?" tanya gue judes.
"Kerja," jawabnya cuek sambil memakai heels-nya.
"Nggak salah? Ini udah jam berapa? Kerja macam apaan yang mengharuskan lu keluar di jam 12 malam dan pake baju ketat kayak gitu?" tanya gue sambil mengamati penampilannya yang nggak banget.
Crop top t-shirt, rok pinsil warna ijo stabilo di atas lutut, juga heels. Heck! Gue yakin waktu gue gawe, doi sempet keluar buat belanja baju dan sepatu karena waktu diusir, Faith nggak bawa apa-apa.
"Lu nggak punya wewenang untuk tahu apa yang gue lakuin!" jawab Faith songong.
"Lu tinggal di rumah gue, yang artinya lu harus izin sama yang punya rumah untuk keluar dan kepentingan macam apa yang lu lakuin!"
"Kenapa harus?"
"Biar kalo ada apa-apa, nggak ada tanggung jawab yang harus gue lakuin karena sial."
Faith mengerang kesal sambil mengentakkan kaki ke lantai. "Yang maksa gue buat tinggal di sini itu lu, bukan gue! Lagian, tadi gue udah bilang kalo gue mau pergi kerja!"
"Kerja apa? Jual diri? Temenin om-om karaokean?" balas gue nyolot.
"Bukan urusan lu!" sahut Faith galak.
"Kalo gitu, lu nggak boleh pergi! Gue masih nunggu waktu buat mastiin kalo lu beneran nggak hamil. Jadi, gue nggak pengen ada kontribusi peju lain yang masuk ke dalam sarang lu!" tegas gue nggak mau tahu.
"Otak lu emang udah nggak waras, Hans! Gue bukan perek, Tai!"
"Kalo bukan, trus lu kerja apaan? Operator kelab yang bisa dipake? Supervisor lonte? Atau..."
Plak!
Anjir! Tamparan Faith kenceng banget. Gue yakin kalo pipi gue merah karena pedes banget rasanya.
"Gue emang bukan cewek baik-baik, tapi nggak berarti gue murahan, apalagi gampangan. Bisa tidur sama lu, itu karena gue yang mau dan terpaksa karena keadaan," ucap Faith dengan suara gemetar.
Gue menatap Faith dengan ekspresi dingin. Meski doi terlihat ingin menangis, tapi gue nggak merasa harus tenangin karena doi udah bisa handle perasaannya sendiri dengan mengusap wajah dan menarik napas.
"Gue udah harus jalan, Hans. Please, gue nggak mood buat adu bacot sama lu," ucapnya pelan.
"Sebelum lu jawab pertanyaan gue, jangan harap lu bisa keluar dari sini. Gue udah bilang kalo gue nggak mau ada..."
"Gue mau ke hotel, Bangsat! HOTEL! PUAS LU?" teriak Faith kesal.
Hotel? Apa ini yang tadi JoJo cerita soal Faith yang suka kepergok lagi di hotel? Fuck! Gue auto ilfil kayak gini. Kalo kayak gini ceritanya, gue lepas aja. Bomat kalo dia hamil, tinggal bilang aja bukan peju gue yang kesialan nembus ovarium-nya.
"Kerjaan lu jadi cewek panggilan rupanya," ejek gue.
"Iya, gue selalu dapat panggilan tiap weekend. Thankfully, gue laku dan semua orang puas dengan jasa gue. Untuk itulah, gue bisa bertahan hidup sejak SMA karena nggak pernah dikasih duit jajan lagi," ujar Faith lantang.
"What?"
"Gue mau bilang kalo Sabtu Minggu adalah hari kerja, itu artinya gue nggak bakalan pulang. Jumat malem kayak gini, gue akan cabut dan Minggu malem baru pulang. Kalo lu pengen gue stay di sini selama sebulan, itu adalah ketentuan yang harus lu penuhi. I stay at home for weekdays," lanjut Faith.
"Kalo gue nggak kasih?" tanya gue dingin.
"Kalo gitu, lepasin gue. Lu juga nggak usah kuatir soal tanggung jawab misalkan gue hamil. Kalo perlu, gue bisa bikin surat pernyataan dengan tulisan sendiri, juga tandatangan di atas materai sebagai bukti kuat buat lu kalo sewaktu-waktu ada yang nuntut," jawab Faith serius.
Baru kali ini, gue liat keseriusan cewek yang nggak butuh tanggung jawab. Bukannya mencak-mencak, doi malah santuy banget. Lebih penting kerja daripada mikir masa depan kalo misalnya tuh cewek hamil.
Yang nulis bener-bener niat bikin drama dalam cerita gue. Kancut bau tuh orang.
"Faith," panggil gue.
"Apa lagi sih? Gue udah telat nih. Kalo jalan sekarang, gue masih bisa tiduran bentar buat istirahat. Kalo telat, gue udah harus kerja sampe pagi. Apa lu lupa kalo kesangean lu bikin gue kerja keras tiap malem?" decak Faith.
"Tapi lu juga nagih."
"Ya enak, gimana nggak nagih?"
"Udah tiap malem dikasih enak, ngapain juga lu harus tetep kerja kayak gituan?"
"Gituan apa sih, Hans?"
"Lu janjian sama om-om kaya? Atau langganan yang lu dapetin dari kelab?"
Faith mendengus sambil menatap gue galak. "Mulut lu kalo sembarangan lagi, bisa gue gampar lebih kenceng dari yang tadi!"
"Yah ngomong aja lu kerja apa, Tai? Nggak usah bikin gue capek nungguinnya! Yang baca juga geregetan daritadi. Cuma yang nulis, kepengen banget mainin emosi orang!" sembur gue keki.
"Serius lu mau tahu?" tanya Faith tegas.
"Kalo nggak, ngapain daritadi gue tanya?"
Fuck! Pegel banget hati gue emosian mulu, anjir. Udah kelarin aja napa? Chapter belum sepuluh tapi udah kayak berpuluh-puluh. Ancuk.
"Kalo gitu, lu ikut gue!" putus Faith sambil mengambil saddle bag-nya.
"Mau ngapain? Minta dianter lu?"
"Buat kasih lu tahu apa yang gue kerjain. Kalo cuma ngomong, lu nggak bakal percaya. Keahlian mulut lu selain ngisep dan jilat, yah julid," balas Faith sambil menarik gue untuk mengikutinya.
Gue mengumpat sambil mengambil kunci mobil. Sial banget nih cewek, pinter banget bikin orang tambah keki.
"Lu nggak bisa terus-terusan menghina sebelum tahu kebenarannya, Hans. Meski sebenarnya, bukan hak lu untuk tahu siapa gue, tapi rasanya gue perlu kasih tahu beberapa hal tentang diri gue yang orang lain nggak tahu," ucap Faith saat kami udah di dalam lift.
"Kenapa begitu?" tanya gue nyolot.
Faith terdiam, lalu menatap gue dengan senyuman tipis. "Karena lu satu-satunya orang yang bersikeras untuk tetap menunggu jawaban dari mulut gue, meski udah berpikir negatif tentang gue."
◾◾◾
Friday, Sep 25th, 2020.
16.10
Buku JoJo dalam proses pengiriman, jadi sabar aja.
Lu jomblo bertaon-taon aja sanggup, masa nunggu buku sebiji aja kaga? Malu-maluin.
Haqhaqhaq 🍌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top