Chapter. 6
Dari antara semua hari yang gue jalanin, hari ini adalah hari paling capek lahir dan batin. Gue yakin banget pas bangun tidur tadi pagi, nggak mimpi apa-apa, apalagi ngepet. Tidur gue cukup nyenyak dan kerjaan gue kelar semua.
Gue juga yakin kalo tadinya janjian sama dua temen kampret gue di kafe, tapi kenapa jadinya terjebak di sini?
Berada di depan rumah dengan bangunan yang kayaknya seumuran gue, sama sekali nggak modern tapi gede, gue masih duduk di dalam mobil bareng Faith.
Bukan karena takut, tapi Faith yang malah diem aja sambil liatin rumah itu dengan ekspresi kayak mau nangis.
"Mau sampe kapan kayak gini, anjir? Udah malem ini!" ucap gue ketus.
Males banget ladenin cewek yang punya mood berubah drastis. Pas di apartemen gue, doi bisa kayak singa. Di sini, malah cemen kayak anak kucing yang kehilangan emak. Capek ati lama-lama kayak gini. Baru chapter enam, woi!
"Gue bakalan masuk kalo..."
"Ini udah jam setengah sebelas!" sela gue galak.
"Tapi..."
"Lu mau turun atau nggak? Kalo nggak, biar gue yang turun sendiri!" sela gue lagi sambil mematikan mesin dan keluar dari mobil.
Dari samping, gue bisa denger Faith berseru pelan sambil keluar dari sana. Bomat lah, niat gue buat anter anak orang pulang sampe rumah, abis itu pengen cepet-cepet pulang buat tidur.
"Hans, please! Nggak sekarang. Gue..."
"Lagak lu kayak macan lagi beranak, tapi sekarang kayak udah mau mati. Eh, lu nggak bisa kayak gini terus, Faith! Gue nggak bisa nungguin di mobil kayak orang tolol! Gue bukan maling, anjir!" sewot gue lagi.
Faith menatap gue dengan diam, nggak membalas apa-apa selain mengangguk, meski sorot matanya kayak mau nangis. Heran banget sama yang nulis, otaknya perlu direparasi biar beneran dikit. Sengklek amat jadi orang.
"Kalo gitu, lu nggak usah ikut masuk. Gue bisa masuk sendiri. Thanks udah nganter," ucapnya pelan.
"Nggak. Gue ikut masuk. Gue..."
"Hans," sela Faith dengan nada yang sangat pelan. "Meski gue tahu lu nggak peduli, tapi nggak usah kuatir. Gue baik-baik aja."
"Baik-baik aja, my ass! Lu bisa bohong, tapi ekspresi muka lu nggak bisa bohong!" balas gue keki.
Seperti drama pada umumnya, lu pasti pernah nontonin kejadian dua tokoh utama lagi adu bacot di depan pagar, lalu ada sebuah mobil yang datang mendekat, yaitu bapaknya si tokoh utama. Jijik banget kan tuh adegannya? Nah, adegan jijik itu yang gue alamin sekarang.
Gue sempat melirik ke arah Faith yang langsung tersentak, lalu maju selangkah di depan gue, saat mobil itu berhenti persis di depan kami. Oke, drama dimulai.
Ada satu bapak-bapak keluar dari pintu belakang. Lu bisa bayangin sosok om-om dengan muka kalem dan kumis tipis, tapi postur tubuhnya agak kecil. Ekspresinya? Songong abis. Persis kayak Faith, yang udah pasti itu bapaknya yang biadab.
Dia berhenti nggak jauh dari kami, menatap Faith dengan sorot mata tajam ala tokoh antagonis, lalu mendelik ke arah gue dengan tatapan menilai dan merendahkan. Ckck. Sekaya apa sih lu sampe songong gitu, Om?
"P-Papa..."
"Pulang malam, terus nongkrong depan rumah? Apa selain kurang ajar dan bodoh, kamu juga nggak ada harga dirinya jadi perempuan?" ucap orang yang dipanggil Papa oleh Faith itu dengan sengit.
Buat gue, jadi cowok itu selain sayang sama ibunya, harus banget sayang pasangan dan anak-anaknya kelak. Lu nggak bisa pilih kasih atau lupa diri dengan nilai ego yang tinggi.
Mapan, boleh. Mau jadi kaya, silakan. Tapi nggak punya manner, itu kampret! Gue merasa malu kalo punya kenalan sesama kaum batangan kayak gitu.
"Saya anter pulang, Om. Maaf kalo kemalaman," ujar gue yang berusaha sopan, tapi dalam hati udah pengen maki-maki.
Bokapnya Faith malah cuma nyengir sinis sambil menatap gue remeh. "Apa kamu nggak punya orangtua untuk diajarin sopan santun soal..."
"Cukup, Pa. Nia udah pulang. Dia cuma nganter," sela Faith cepat, lalu berbalik untuk menatap gue dengan tatapan memohon. "Thanks, Hans. Lu bisa pulang."
Gue mengerutkan kening sambil mempelajari ekspresi Faith dengan seksama, lalu melirik pada bokapnya yang berdecak malas. Katanya, Faith itu anak kandung, tapi kenapa perlakuannya nggak manusiawi?
"Kenapa kamu masih diam di situ? Sana pergi! Selama kamu nggak punya kepentingan untuk bawa anak itu pergi dari sini, mendingan kamu nggak usah datang dengan alasan antar pulang. Saya nggak kasih anak saya untuk pacar-pacaran!" usirnya lantang.
Anjir! Gue bener-bener panas sekarang. Siapa dia berani usir gue kayak anjing?
"Papa! Nggak boleh ngomong kayak gitu sama temen Nia! Dia bukan pacar Nia!" seru Faith nggak terima.
"Bukan pacar, lalu apa? Apa kamu jual diri dan dia salah satu customer? Ckck, kamu benar-benar memalukan! Pantas kalau Joseph nggak mau sama kamu. Murahan!" balasnya sengit.
"Papa nggak pantas ngatain Nia kayak gitu!" sahut Faith gemetar.
"Untuk anak pembawa sial dan nggak tahu diuntung kayak kamu, kenapa nggak?" balasnya nyolot.
Saat gue melihat orang itu mengangkat tangan seperti hendak memukul, di situ gue menarik Faith mundur dan bergerak cepat untuk berada di depan, lalu menangkap tangan yang terangkat.
Mata bokapnya Faith terbelalak dan terlihat bengis. Tipikal bangsat yang pengen banget gue abisin, kalo perlu gue tarik sampe ke pintu neraka.
"Lepaskan!" desisnya geram, saat gue mengetatkan cengkeraman.
"Denger saya baik-baik, Om. Saya nggak peduli apa yang mau Om lakuin ke anaknya sendiri, tapi kalo itu udah di depan saya, maka saya nggak tinggal diam. Saya juga liat semua lebam yang ada di muka, lengan, dan punggungnya. Saya bisa bawa ini ke polisi sebagai bukti, karena saya punya fotonya," ucap gue dingin.
Mata si Om makin terbelalak, kalo perlu melotot aja terus, biar bola matanya keluar sekalian. Gila ya, kenapa gue emosian banget dari chapter satu ampe sekarang? Yang nulis apa nggak pegel? Gue aja udah capek ati kayak gini. Yang baca apa kabar?
"Kamu nggak bisa ancam saya! Saya pun bisa bawa kamu ke kantor polisi atas tuduhan pelecehan pada anak saya sampai bisa tahu ada apa di tubuhnya? Kamu..."
"Silakan, Om. Saya nggak takut. Nanti kita lihat siapa yang menang, asal Om kudu ikhlas kalo terbukti bersalah dan dipenjara. Soalnya saya pendendam, yang nggak bakal tarik tuduhan atau mau berdamai. Saya suka keributan, apalagi ngejulidin orang," sela gue santuy.
Dengan kasar, gue melepas cengkeraman dan mundur sambil membawa Faith menjauh darinya.
Berang, itulah yang terlihat darinya saat ini. Sumpah! Kalo nggak mikir itu orangtua, gue udah pengen kasih bogem mentah ala Babon.
"Papa usir kamu dari sini! Pergi sana! Nggak usah pulang ke sini lagi!" desisnya geram.
Wah, nih orang sih bener-bener bikin keki. Yang nulis juga, pengen banget gue matiin.
"P-Papa!" seru Faith dengan nada nggak percaya. "A-Aku boleh keluar dari sini?"
Si Bego! Dia malah shock karena kesenangan diusir, bukan karena sedih. Kayaknya gue yang tambah nggak waras di drama halu ini.
"Kamu boleh keluar tanpa bawa barang apa pun! Sebelumnya, balikin semua barang yang udah kamu beli dari uang Papa, juga fasilitas kartu kredit! Jangan harap juga kamu bisa pake apartemen atau rumah yang lain, karena kamu nggak berhak mendapatkan apa pun!"
Anjir! Ada yah bokap macam gitu? Udah ngusir, terus disuruh ngegembel?
"Om, ini tuh anaknya!" desis gue gemas.
Dia berdecak sinis dan bertolak pinggang. "Emang kenapa? Apa yang saya lakuin, nggak ada urusannya sama kamu!"
"Hans, udah. Biarin aja," bisik Faith pelan sambil berusaha menahan gue yang udah maju.
"Lu terima aja diperlakuin kayak gitu? Lu bukan binatang!" decak gue kesal.
"Gue cuma pengen pergi dari sini," bisik Faith lagi, dalam nada yang sangat pelan supaya bokapnya nggak denger.
"Terus jadi gembel, gitu?" balas gue sinis.
"Kalau kamu memang peduli, sana bawa aja! Saya nggak butuh anak sial kayak gitu," sahut orang itu yang bikin gue makin panas ati.
"Jaga bacotnya, Om! Saya bisa laporin atas tuduhan penyiksaan! Saya juga bisa jadi saksi buat tindakan abusif yang Om lakuin sekarang! Dan saya nggak main-main!" bentak gue galak, dan sama sekali nggak peduli dengan Faith yang udah nangis.
Bokapnya Faith justru bersidekap sambil menatap dengan tatapan merendahkan. "Kamu nggak kenal saya? Saya punya relasi yang bisa jeblosin kamu ke penjara karena udah berniat ikut campur urusan keluarga saya."
Daritadi gue heran, udah adu bacot kayak gini, kenapa orang rumah atau tetangga, nggak ada satu pun yang keluar? Budeg atau gimana?
Bukannya mau kabur atau butuh bantuan, tapi senggaknya, ada yang bisa nyaksiin sekampret apa dan sejulid apa sosok bokapnya Faith ini.
Sial banget sih kalo gue dibikin jadian sama Faith dengan dapetin mertua model kayak gini!
"Emangnya saya perlu kenal?" tanya gue sinis.
"Udahlah, Hans," mohon Faith.
"Saya itu Thomas Tjahjadi, dan..."
Bokap Faith yang bernama Thomas itu menyombongkan diri dengan mengaku sebagai pengusaha kaya, yang punya kenalan beberapa polisi, yang artinya cuma punya kenalan kopral aja udah bangga banget.
Belum lagi bacotan soal usahanya, jumlah rupiah yang nggak seberapa, dan koneksi-koneksi yang dia sebutin, yang artinya doi main kotor dengan kasih suap menyuap biar bisnis lancar.
Mungkin dia pikir kalo ngomong kayak gitu, gue bakalan takut. Tapi gue justru cuma bisa ngakak sambil merangkul bahu Faith dengan santai.
"Selain brengsek, bokap lu itu bego," bisik gue malas.
Faith nggak menjawab dan hanya menatap gue dengan ekspresi memelas. Kayak yang mau bilang kalo bokapnya serius. Emang dia kira gue lagi main-main sekarang? Cih.
"Sebutin nama kamu, nanti saya bawa kamu ke penjara buat belajar lagi!" ucap orang itu.
Akhirnya, kelar juga ngebacot.
"Yakin mau disebutin?" tantang gue balik.
"Kenapa? Takut? Orang jelata kayak kamu, udah seharusnya tahu diri untuk nggak berurusan sama saya?"
"Ya udah, kalo Om maksa. Nama saya Barlow, kaum jelata yang nggak punya apa-apa," jawab gue kalem.
Mata Om Thomas menyipit, tampak nggak suka. "Udah saya duga kalau kamu itu sejenis gelandangan yang nggak punya masa depan!"
"Gitu?"
"Lalu siapa keluarga kamu?"
"Papa, udahlah! Aku akan keluar dari sini dan nggak bawa apa-apa! Nggak usah bawa-bawa orang lain!" sela Faith cepat.
"Berani-beraninya kamu ja..."
"Sutedja, itu nama keluarga saya, Om!" sela gue sengit. "Cuma keluarga biasa yang nggak sesukses Om."
"Apa pekerjaan orangtua kamu? Biar saya datengin dan buat perhitungan karena kamu udah cari masalah sama saya!"
"Opa saya eks marinir, dan pernah menjabat sebagai Letnan waktu masih aktif. Papa cuma punya perusahaan odong-odong yang bergerak di bidang otomotif dan TI. Mama cuma advokat biasa. See? Nggak berkelas dan cuma sejenis gelandangan kayak yang Om ngomong barusan."
Gue menyeringai puas waktu liat muka bokapnya Faith yang berubah jadi pias dan tolol abis, saat gue menyebut nama perusahaan keluarga yang udah dikenal banyak orang.
Kicep kan lu? Lu mau sombong, gue bisa lebih sombong lagi. Babon gitu loh.
◾◾◾
Friday, Sep 11th, 2020.
11.15
Udah tahu kenapa gue gak gitu bahas Babon di dua cerita sblmnya?
Dia anak sultan yang beraknya bukan tai tapi duit.
Cuma di sini aja, gue bisa bebas ghibahin si Tai Kuda 🤣
Ampun sama Opa dan bokapnya. Aing ngeriii...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top