Chapter. 5
Gue tahu kalo lu pasti kepo soal keadaan Faith. Sama, gue juga! Semua karena tindakan gue yang spontan, yaitu tendang kursi dengan kencang.
Gue akui baru kali ini gue lepas kendali, apalagi sama cewek. Biasanya, gue paling santuy. Tapi kali ini, nggak bisa. Heran. Apa mungkin cewek itu masuk dalam kategori orang paling hina sampe harus liat sisi terburuk gue?
Akhirnya, gue malah duduk sambil bersila tepat di depan Faith yang masih duduk meringkuk sambil menundukkan kepala di atas kedua lututnya. Doi terisak dan tubuhnya masih gemetar.
Kalo cewek udah sedih kayak gitu, cowok bisanya cuma liatin dan kasih waktu buat mereka puas-puasin nangisnya. Karena apa? Lagi sedih ato kesel, kalo dibaik-baikin, justru makin jadi. Udah gitu, cowok paling males ladenin drama cewek yang nggak pernah kelar dari zaman batu.
Kurang lebih setengah jam, Faith kayak gitu. Gue pun udah mulai bosan dan beranjak untuk segera membuka makanan yang gue beli. Gue beli lima porsi nasi Sapi Lada Hitam, buat Faith seporsi, dan sisanya buat gue.
Nggak usah kaget kenapa gue butuh empat porsi? Jalanin drama halu juga perlu asupan gizi yang seimbang, supaya kuat ngadepin kebrengsekan si Penulis. Meski sebenarnya, kalo gue lagi kumpul sama Chandra dan JoJo, kami bisa beli selusin porsi makanan dimana pun. Iya, kami emang bangsa rakus yang nggak kenal kenyang.
Makanan itu gue panasin di microwave, lalu pindahin ke piring. Sibuk dengan urusan panasin makanan di pantry kecil, pas gue balik arah, tahu-tahu si Faith udah duduk dan nikmatin makanan di meja. Cewek itu kayaknya ada kelainan jiwa. Ckck.
"Udah capek nangis, jadinya laper lu?" cetus gue tanpa beban, sambil membawa sisa makanan yang udah gue panasin.
Faith nggak menjawab, tapi makan kayak orang yang nggak pernah dapet makanan. Seporsi nasi dihabiskan dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Tanpa malu-malu atau bertanya, Faith ambil porsi kedua dan melahapnya dengan cepat.
Yang tadinya laper, gue jadi nggak napsu dan cuma peratiin sikap cewek itu yang aneh. Merasa tersinggung karena ada saingan untuk makan dengan porsi terbanyak, karena cewek itu ambil porsi ketiga. Ancuk!
"Lu lagi kesurupan atau gimana sih? Itu makanan gue, anjir! Lu cuma dapet satu porsi!" sewot gue heran.
"Gue laper. Nanti gue ganti nasinya," jawab Faith dengan mulut penuh.
"Emangnya seharian ini, lu bener-bener nggak makan?" tanya gue langsung.
Faith menggeleng. "Gue udah bilang kalo gue laper."
"Kenapa nggak cari makan sendiri aja? Kenapa malah samperin orang dan bikin bubar acara gue?"
"Gue udah bilang kalo bakal jadi cewek lu selama lu jomblo."
"Gue nggak sudi! Mau gue jomblo ato nggak, itu bukan urusan lu!"
Faith nggak membalas dan terus menghabiskan makanannya. Gue pun nggak mengoceh tapi memperhatikan cewek itu dari posisi gue. Teringat soal Joy yang mengatakan ada memar di dekat alis dan gue yang sempet menekan di dekat pelipis. Make up-nya pun berantakan dengan maskara yang udah luntur, dan cemongan dimana-mana.
"Emangnya siapa yang panggil lu Nia?" tanya gue kemudian.
Aksi makan Faith terhenti dan doi mengangkat wajah untuk menatap gue risih. "Bukan urusan lu."
"Untuk orang yang udah dibikin keki sama lu dan udah beliin makanan buat lu, rasanya gue berhak tahu meski itu bukan urusan gue," balas gue.
Faith mengerjap pelan, lalu mendengus nggak suka. "Orang rumah."
"Terus, mana badan lu yang sakit?" tanya gue lagi.
"Jangan kepo, nanti lu malah kepincut sama gue," balas Faith sinis. "Gue yakin kalo Joseph ada kasih tahu lu tentang diri gue, dan lebih baik dengerin aja apa kata temen lu."
"Bukan gue yang samperin lu sampe terjebak di situasi kayak gini."
"Oh, jadi gue yang salah karena lu yang puter balik untuk bawa gue ke sini? Antara emang niat baik buat bantu orang atau lagi sange?"
Anjir! Nggak ada untungnya bantuin cewek macam gitu. Yang ada malah dilecehin semena-mena. Sial.
"Kalo lu udah mikir jelek kayak gitu tentang gue, kenapa lu masih ikut?" balas gue sambil mengangkat alis.
"Gue nggak ada tujuan," jawabnya lantang.
"Oh, jadi lu gampang dibawa sama siapa aja kalo lagi nggak ada tujuan, gitu?" sahut gue.
Faith mengangkat bahu dengan cuek. "Gue kasih jawaban yang bener pun, lu nggak akan percaya. Jadi, gue nggak mau jawab."
"What? Kepengen bilang kalo ini pertama kalinya? Nggak usah belaga polos or suci. Mau sebagus apa pun, gue nggak bakal demen sama cewek kayak lu," ujar gue senga.
"Mulut itu dijaga, Hans. Gue nggak berani ngomong sembarangan kalo nggak yakin sama urusan kedepannya. Lu emang bukan tipe gue, tapi gue nyaman sama lu saat ini. Beda sama Joseph ato Jordan waktu itu, yang nggak usah pake mikir, gue udah nggak klik sama mereka. Tapi lu? Nggak tahu pake pelet macam apa, gue merasa lu nggak sejulid mulut level bon cabe itu."
"Jadi, lu naksir gue? Gitu? B aja, itu udah nggak heran," ujar gue santuy, sambil beranjak berdiri untuk berjalan mendekati Faith yang udah kelar makan.
"Eh, lu mau ngapain?" seru Faith waktu gue tarik dia untuk berdiri.
"Dandanan lu nyakitin mata! Sana mandi!" ujar gue sambil mendorongnya pelan ke arah kamar mandi.
"Kenapa gue harus mandi? Lagian, gue udah mau cabut! Aduh! Jangan dorong-dorong, badan gue sakit, Anjir!"
Ini udah yang kedua kali, cewek itu ngomong sakit. Nggak pake permisi, sekaligus penasaran, gue auto balikin badannya untuk berhadapan, lalu menarik turun risleting jaketnya.
"Heh, ini pelecehan! Lu nggak bisa main buka baju gue kayak gini!" sembur Faith keki, berusaha menjauh tapi nggak sempet, karena gue udah lebih cepat untuk menahannya.
Di balik jaket kegedean itu, Faith cuma pake sport bra dan stoking jaring-jaring. Gue cuma bisa bengong, bukan karena sange karena liat cewek setengah telanjang, tapi bercak kebiruan yang ada di sisi lengan, bahu, perut, dan... Shit! Waktu gue bergerak ke belakangnya, punggung Faith penuh dengan bercak kebiruan itu.
Gini aja, buat otak minimalis kayak lu, yang gue maklum kalo nggak nyampe soal bercak, gue kasih kata lain. Bercak adalah memar. Kayak bekas kena pukul.
Merasa risih, Faith kembali memakai jaketnya, tapi gue tahan. Matanya mengerjap panik saat gue udah mencengkeram dua tangannya sambil menatapnya tajam.
"Siapa yang mukul lu kayak gini?" tanya gue dingin.
"Bukan urusan lu. Lepasin!" cetusnya sambil berusaha melepaskan diri tapi gue lebih kuat menahannya.
"Jawab gue, Faith! Kalo lu masih nggak mau jawab, gue bawa lu ke polisi untuk aju tuntutan sekaligus visum! Siapapun yang lakuin ini, bakal langsung dipenjara!"
"Nggak!" seru Faith panik dan meringis pelan. "Lepasin, ini sakit."
Spontan, gue melepas cengkeraman itu dan langsung menangkap Faith yang mau kabur. Sial! Dikiranya gue bego apa dengan kasih trik gampangan kayak gitu?
"Lu masih aja batu! Sini, gue ajarin supaya bisa mikir!" desis gue keki sambil menyeret Faith ke kamar mandi.
Gue berkutat dengan Faith yang memberontak, tapi untungnya doi kalah tenaga sama gue. Padahal, udah makan banyak tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Payah.
Saat jaketnya itu terlepas, gue langsung siram Faith dengan air lewat shower yang udah terarah padanya. Tentu aja, cewek itu berteriak histeris lalu terisak karena gue mandi paksa.
Anggap aja gue kepo, karena yang nulis emang sengaja bikin gue hina kayak gini. Tapi, ada satu hal yang mau gue buktiin, yaitu supaya bisa liat mukanya Faith tanpa make up-nya
yang tebal.
Persis kata Joy, kalo di mukanya Faith ada memar. Cukup gede. Itu bisa gue pastikan kalo doi kena bogem mentah. Brengsek! Gue emang bangsat, tapi kalo ada orang yang main kasar sampe mukul cewek kayak gini, gue nggak bisa tinggal diam.
"Siapa yang mukul lu kayak gini, Faith? NGOMONG!" sembur gue emosi.
Sesi mandi paksa, nggak cuma Faith aja yang basah, tapi gue juga. Bedanya, gue masih pake baju lengkap, sedangkan Faith udah setengah telanjang.
Merasa percuma jika gue ngotot, akhirnya gue diem aja sambil bawa Faith keluar dari kamar mandi dengan menggendongnya. Nggak peduli dengan lantai yang udah basah karena kami, gue ambil handuk bersih untuk mengeringkan tubuh Faith yang mulai menggigil.
Faith masih terdiam sambil menundukkan kepala, membiarkan gue mengeringkan tubuhnya dan pasrah. Nggak ada baju ganti, selain kasih Faith pake kaos gue.
Udah kelar urusin Faith, giliran gue yang ganti baju dan balik untuk melihatnya yang masih duduk dengan posisi yang sama. Terdiam dan menunduk.
Menaruh kain kering di lantai, gue mengeringkan lantai yang basah, dan mengambil satu kantong berisi obat-obatan yang gue beli di apotik tadi. Menarik kursi untuk duduk di depan Faith, gue mulai bekerja untuk memakaikan krim khusus untuk luka lebam.
Perlu gue akui, Faith lebih cantik tanpa make up. Rambutnya lurus panjang, bentuk wajahnya mungil, dan tampak polos. Kalo doi make up, wajahnya berubah jadi nakal. Mungkin emang sengaja mau dandan kayak gitu.
"Hans," panggil Faith lirih.
Gue cuma melirik singkat dan kembali mengoleskan krim ke sisi lengannya, setelah selesai dengan wajah dan bahu.
"Kenapa lu baik banget sama gue?" tanyanya pelan.
"FYI, gue jauh dari kata baik sama lu. Sebagai manusia, gue cuma berempati, nggak lebih," jawab gue ketus.
Nggak ada balasan dari Faith, cuma helaan napas panjang, dan membiarkan gue mengoles krim itu di punggungnya.
Ada emosi yang tertahan dalam diri gue saat melihat lebam yang lebih banyak di punggung. Anjir banget yang nulis, kenapa gue harus dikasih drama ribet kayak gini sih? Nggak bisa tentang ngecrot aja gitu?
"Gue adalah orang yang terbuang, Hans," ujar Faith tiba-tiba. "Gue dianggap nggak ada gunanya buat keluarga, jadi sering diperlakuin semena-mena."
"Siapa yang lakuin?" tanya gue nggak sabaran.
"Bokap," jawabnya lirih.
Gerakan gue terhenti dan langsung balik untuk duduk di depan Faith, menatap dengan tajam. "Serius?"
Faith mengangguk. Fuck!
"Alasannya kenapa dia sampe mukul lu?" tanya gue.
"Seminggu lalu, orangtua Joseph udah kabarin soal dia yang mau nikah sama ceweknya," jawabnya.
"Terus?"
"Mereka marah dan lampiasin ke gue yang nggak mau ngerebut Joseph dari ceweknya."
"Anjir! Sekalipun lu cuma anak cewek, tapi nggak berarti mereka berhak untuk ngejual lu! Lu itu anaknya, bukan lonte!" pekik gue kesal.
Mata Faith yang kembali berkaca-kaca, menandakan kalo doi nggak sanggup membalas, selain membenarkan apa yang gue ucapin barusan.
Gue paham kalo masih banyak orangtua yang nggak begitu menyukai kehadiran seorang anak perempuan. Jangan heran, ada yang kayak gitu di zaman milenial kayak gini. Apalagi kalo keluarga yang kolot dan memegang teguh soal tradisi.
Umumnya, anak cowok dianggap sebagai keberuntungan dan penerus nama keluarga. Sedangkan cewek? Sering dianggap pembawa sial dan nggak berguna, selain menjual mereka ke cowok yang dianggap berduit. Sadly but true, that's the fuckest reality.
"Kenapa lu nggak keluar aja dari rumah? Atau senggaknya, ngadu ke sodara untuk kasih tahu kelakuan bokap lu," balas gue.
"Gue pernah kabur, tapi mereka bisa dapetin gue, dan gue bakal dipukul lebih banyak dari sebelumnya. Selama gue masih belum berhasil dapetin cowok yang mau terima gue, mereka bakalan terus nyiksa gue," ujarnya pelan.
What the fuck! Misalkan doi nggak laku, bakalan dipukul sampe tua, gitu? Atau mukul doi sampe mati?
"JoJo nggak tahu soal ini?" tanya gue lagi.
Faith hanya tersenyum getir dan menggelengkan kepala. "Dia nggak pernah mau dengerin gue. Berkali-kali gue samperin, itu karena gue butuh bantuannya, sampe akhirnya gue capek sendiri."
"Bukannya nggak mau bantuin, tapi lu itu nggak bisa minta bantuan dengan cara yang bener! Selain itu, lu nggak bisa bedain yang namanya perhatian dengan sekedar kepo. Contohnya kayak tadi, lu mau pukul Joy!" sewot gue.
"Gue nggak pernah dapet perhatian. Sebaliknya, gue merasa insecure karena ada yang tiba-tiba kayak gitu, apalagi orang asing."
Kalo dipikir-pikir, gimana bisa bedain antara perhatian atau kepo? Orangnya aja nggak pernah diperhatiin. Etdah, ribet amat, sih.
"Trus, kenapa lu bisa cerita sama gue?" tanya gue.
"Bukannya bisa, tapi lu maksa. Kalo nggak nyadar, coba lu baca lagi di awal part cerita ini," jawabnya ketus.
Ngeselin!
"Kalo gue nggak maksa, nanti dikiranya gue julid dan tega sama perempuan," elak gue.
"Lu emang gitu orangnya. Tapi gue akui, lu udah kasih gue kenyamanan yang nggak gue sangka. Cowok yang sama sekali bukan tipe, kebanyakan emang gitu kali ya? One pack frozen asshole, ckck."
Cewek ini emang sialan.
"Karena lu udah kenyang, udah mandi, dan udah diobatin, sekarang waktunya pulang!" tegas gue sambil beranjak.
"Nggak mau! Sekarang masih jam sembilan! Gue mau tunggu tengah malam biar..."
"Gue anterin lu sampe ke rumah!" sela gue cepat.
Faith menggeleng sambil menatap dengan sorot mata cemas. "Gue bisa mati di tempat, kalo ada cowok yang anter gue pulang dalam keadaan kayak gini."
"Gue bakal beli baju baru di mall deket sini," ujar gue sambil menariknya berdiri.
"Nggak, Hans. Lu nggak tahu bokap gue kayak gimana. Nanti kalo lu diapa-apain, gue..."
"Gue bakal panggil mertuanya sepupu gue, yang punya bintang berjejeran di bajunya. Sodaranya Bu Tejo, tahu?" sela gue lagi.
"Tapi, nanti kalo lu balik, gue bakal kena pukul lagi," rengek Faith sambil menggeleng, kayak anak kecil yang ketakutan diajak pulang ke rumah.
Menatapnya dengan penuh penilaian, rasa iba gue muncul. Begini amat ya jadi orang baik, mendingan terus julid aja, biar nggak ada beban dan cerita ini pun nggak bakal ditulis sebagai ajang pembalasan.
"Gue jamin lu nggak bakal diperlakuin kayak binatang lagi sama bokap lu sendiri, Faith," ucap gue meyakinkan.
Mata Faith udah basah, doi udah menangis tanpa suara. Ketakutan terjeplak jelas di ekspresinya yang terlihat pucat dan lelah.
"Sekalipun di depan lu terlihat gelap, tapi percaya kalo ada sumber cahaya dalam hati lu, Faith. Let your faith be bigger than your fear, and let me be your hope now," ucap gue setelah berpikir lama.
"Hans..."
"There's a written : where there is hope, there is faith, and then miracle happens. So, let's make that damn miracle."
◾◾◾
Monday, Sep 7th, 2020.
14.00.
Satu kesan yang nggak bakal terlepas dari Babon adalah keyakinannya terhadap satu hal. Gak nyangka? I know.
Dari antara kami, dia itu paling beriman. Chandra dan JoJo? Lebih banyak khilaf. 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top