Chapter. 14
Faith auto berhenti nangis waktu gue duduk bersila di depannya sambil bertopang dagu.
Doi mengangkat wajah, menatap gue dengan wajahnya yang sembap. Kayaknya sih kaget juga karena gue yang datang nggak pake permisi. Lagian, ini rumah gue, ngapain juga harus pake permisi sama doi?
Matanya bengkak kayak udah lama banget nangisnya. Duduk berhadapan gini, bikin gue bisa memperhatikan garis kerutan di sekitaran mata, juga lingkar hitam di bawah mata.
"Nangis itu udah jadi hobi sejak lahir ya, Sis?"
Demi apa ya, gue nggak maksud ngejek, tapi mulut gue nggak sinkron dengan otak dan hati gue yang merasa kasian.
"Lu abis darimana? Kenapa jam segini baru pulang?" tanyanya parau.
"Mau ngapain nanya-nanya? Bukan urusan lu," jawab gue ketus.
Ekspresi muka Faith malah tambah sedih, lalu mulai terisak sambil natap gue. Anjir, kok jadi malah lebay gini?
"Lu kenapa?" tanya gue panik.
Doi nggak jawab, cuma langsung mendekat untuk memeluk gue. Kenceng banget pelukannya, sampe gue terjengkal ke belakang dan doi di atas gue.
Bagus! Gue merasa kayak lagi bergulat di WWF, dengan Faith sebagai The Rock, dan gue Triple H. Duo musuh bebuyutan yang bikin gue bego banget waktu nonton itu dan sangkain beneran. Nggak tahunya cuma rekayasa. Sial.
Bedanya, gue nggak berontak ato berusaha menggeliat, tapi cuma diem aja. Cewek itu masih nangis kayak gue udah mau mati.
"Udah, jangan cengeng. Kesambet apaan sih?" tanya gue sambil merengkuh Faith dalam pelukan yang lebih erat.
"Gue takut lu nggak pulang-pulang," jawab Faith sedih.
"Nama aing Babon, bukan Toyib, Sis," celetuk gue yang langsung kena pukulan pelan di dada.
Biar pelan, tapi ngefek juga. Napas gue sempet ketahan dan auto melotot ke arah Faith. "Sakit, anjir!"
"Biarin! Kesel banget sama lu! Jadi orang nggak ada serius-seriusnya!" sahut Faith emosi.
"Yah, kalo mau diseriusin, harus siap dibecandain duluan," balas gue keki.
"Isian mulut lu tuh mercon! Nggak pernah enak didenger, tapi meledak trus!"
"Mulut gue emang nggak enak didenger, tapi enakin buat hal lain."
Faith kayak mau mukul gue, tapi kali ini nggak dapet karena tangannya udah keburu gue tangkep, lalu berguling ke samping buat ganti posisi. Sekarang, doi yang di bawah gue.
Kami sama-sama terdiam dan saling menatap sekarang. Ada perasaan asing yang bikin gue berdebar, sesuatu yang nggak bisa gue ungkapin dalam kata-kata. Auto mikir ulang soal topik obrolan gue dengan Chandra dan Joy tadi.
"Kenapa nangis?" tanya gue pelan.
Tangan gue spontan membelai wajah Faith, karena doi kayak mau nangis lagi. Gue liatnya aja capek, tuh cewek apa nggak capek nangis mulu?
"Jawabnya jangan pake nangis bisa, gak? Gue ngomong kan udah pelan," lanjut gue jenuh.
"Karena gue sedih," balasnya lirih.
"Kenapa?"
"Gue merasa sendiri, Hans. Gue takut. Udah jam sebelas, lu nggak pulang. Biasanya, jam tujuh ato delapan, lu udah di rumah."
Fuck! Jadi, doi nangis di pojokan karena gue pulang jam segini? Kok mendadak jadi merinding gini?
"Lu bisa telepon gue buat nanya," ucap gue cepat.
"Gue takut lu marah," balas Faith sambil merangkul bahu dan menarik gue turun agar wajah kami berdekatan.
Kami kompak berciuman. Udah seminggu puasa, ciuman aja enak banget. Cuma monyongin bibir, kecup-kecup, tukeran lidah kayak gini aja, udah bikin ngilu sampe ke ulu hati. Apa kabar si Otong?
"Gue udah pulang, nggak usah sedih lagi," ucap gue serak.
"Lain kali, bilang kalo mau pulang telat," rajuk Faith.
Ada yang aneh dalam scene ini, kayak nggak ada letupan-letupan ato kesongongan ala Babon kali ini.
"Udah makan?" tanya gue dan doi auto geleng-geleng kepala.
"Kenapa nggak makan?" tanya gue ketus, lalu beranjak sambil menarik tangan Faith untuk ikut berdiri.
"Nungguin," jawabnya pelan.
"Hallah, nungguin sgala! Biasa juga makan duluan kayak kuli panggul, ini pake sok-sokan melow," cibir gue sambil menggenggam tangannya untuk keluar dari kamar.
"Tadi kan lu nanya, ya gue jawab. Kalo nggak suka sama jawaban gue, yah diem aja. Gue udah bilang kalo nggak mau adu bacot kayak gini lagi. Gue udah capek, Hans," tukas Faith.
Gue menoleh dan menatap Faith galak. "Lu kira gue nggak capek juga kalo harus adu bacot kayak gini? Lu juga susah dibilangin. Jaga diri lu sendiri, Faith. Kalo udah waktunya makan, ya makan. Nggak usah pake tunggu. Gue nggak bisa 24 jam bareng sama lu, juga sebaliknya."
"Gue nggak makan bukan karena mau nyiksa diri. Tapi karena udah terbiasa makan bareng sama lu."
"Bukan berarti nggak ada pengecualian. Contohnya kayak sekarang, apa mungkin gue belom makan sekarang? Nggak, kan? Lu ngomong gitu kayak selalu makan bareng di rumah sendiri aja."
Faith kicep. Tatapannya berubah jadi pias, lalu menghela napas. "Memang nggak, tapi lu beda dengan keluarga gue."
"Bukan berarti harus diperlakukan beda juga. Lu itu mandiri dan bisa lakuin banyak hal tanpa orang lain, Faith. Tetap jadi seperti itu dan jangan bergantung sama orang lain," tegas gue.
"Tungguin lu makan bareng, nggak berarti gue nggak mandiri. Gue lagi beradaptasi, dan sialnya udah terbiasa untuk makan malam sama lu selama beberapa bulan terakhir," balasnya.
What? Beberapa bulan? Otak gue auto inget nasi bebek, mi tek-tek, steak, sushi, sate taichan, dan masih banyak lagi jenis makanan yang kami makan bareng, waktu Faith datang ke bengkel dan JoJo nggak ada. Memang sih nggak tiap hari, tapi hampir tiap kali doi dateng, pasti kami makan bareng.
"Sori kalo kebiasaan gue mengganggu dan bikin lu jadi insecure. Tenang aja, gue nggak nuntut apa-apa," tambah Faith lirih.
"Faith..."
"Gue cuma butuh sedikit perhatian dari lu. Senggaknya, tanyain gue mau makan apa? Ato perut gue sakit, gak?"
Baru kali ini, gue merasakan capeknya jadi Babon. And now, I feel you, Jo. Gue juga pengen banget injek kepala yang nulis.
"Gue emang bukan siapa-siapa, tapi lu juga nggak berhak untuk ngocehin gue kayak gitu. Gue cuma butuh sedikit perhatian aja," tambah Faith lagi.
Menghela napas, gue menarik Faith dan memeluknya. Doi nangis lagi. Semakin gue mengeratkan pelukan, tangisannya lebih kenceng. Yang namanya cewek, mau se-barbar apa, tetep aja hobi mewek.
"Sorry," bisik gue pelan. "Jangan sedih lagi. Mau makan apa?"
Faith nggak jawab, cuma lanjut nangis. Itu artinya kerjaan gue makin berat.
"Kalo nangis terus, gue nggak bakal tahu lu maunya apa, Faith. Gue minta maaf, okay?" lanjut gue sambil mendongakkan wajahnya, mengusap pipinya yang basah dengan jempol, dan mengecup ringan di bibirnya.
"Pengen jalan-jalan?" ajak gue.
Faith langsung menggeleng. "Udah malem. Besok gue kerja."
Gue baru inget kalo malam ini udah Jumat lagi, dan besok adalah Sabtu.
"Nggak ada asisten buat bantuin?" tanya gue lagi.
"Nggak. Klien maunya gue yang langsung turun tangan. Emangnya lu mau ngajak kemana? Gue cuma punya kerjaan pas Sabtu aja, Minggu kosong," jawabnya.
"Nggak tahu. Kemana aja kek, yang penting jalan-jalan," balas gue jujur.
"Beneran?'
"Iya."
"Gue boleh milih?"
"Silakan aja kalo mau."
Kayak anak kecil, Faith memekik 'yeah' sambil melompat kecil. Nih cewek beneran nggak pernah diajak jalan-jalan ato gimana?
"Gue mau ke Dufan!" serunya girang.
"Apa?"
"Dufan!"
Kening gue berkerut sambil menatapnya heran. Dufan? What the hell!
"Gue nggak salah denger? Dufan itu kan buat anak kecil," balas gue.
"Buat ABG tua kayak gue juga masih bisa. Ayolah, kan tadi lu ngajak gue jalan-jalan," rengek Faith sambil mempererat pelukan di pinggang gue.
"Harus banget ke sana? Nggak ada pilihan lain? Panas ah," cetus gue.
"Tuh, kan? Nggak ikhlas ngajak jalannya, giliran kasih tahu mau ke sana, malah banyak alasan," decak Faith manyun.
Menghela napas, gue cuma ngebatin aja. Emang ya kalo mau jadi orang baek, susah dan capek banget. Jadi julid aja nggak sesusah ini.
"Emangnya nggak pernah ke sana? Enakan Universal kali," tanya gue lagi untuk memastikan.
Faith menggeleng. "Gue nggak pernah diajak liburan. Kalo libur sekolah, gue cuma ngetem di rumah dan disuruh kerjain tugas. Beda sama tiga kakak gue yang bakalan diajak kemana aja. Gue cuma kebagian ceritanya."
Anjir! Gue makin emosi denger cerita tentang keluarganya yang bener-bener nggak punya hati jadi orang tua. Nyokapnya kemana aja sih, masa nggak bisa bela anak ceweknya kalo diperlakuin gak adil sama bokapnya gitu?
"Nyokap lu ngapain aja waktu lu diperlakuin kayak gitu, Faith?" tanya gue ketus.
"Nyokap sama kayak bokap. Sayangnya ke anak laki, gue udah kayak anak pungut," jawabnya acuh.
"Selama itu, lu nggak ngapa-ngapain dan diem aja? Gitu?"
"Kan gue udah bilang kalo gue kabur-kaburan. Cuma tetep aja ketahuan sama mereka. Yang gue bingung, kali ini doang mereka nggak nyari gue. Apa karena bokap takut sama ancaman lu ya?"
Gue terdiam. Mengingat kembali semua yang terjadi sebelumnya, ditambah dengan omongan Faith barusan. Kayaknya, omongan JoJo ada benernya. Cepat atau lambat, bakalan ada perang dunia. Nggak mungkin kalo bokapnya Faith diem aja. Gue yakin itu.
"Jadi, lu beneran mau ke Dufan?" tanya gue memastikan.
Faith langsung mengangguk antusias.
"Besok kelar kerja jam berapa?" tanya gue lagi.
"Jam tiga, gue udah bisa cabut!"
"Punya passport?"
"Hah? Passport? Ada sih. Gue selalu bawa kemana-mana. Emangnya kenapa?"
Gue mengangkat bahu dengan santai dan melepas pelukan untuk menarik Faith ke dapur. "Gue gak suka Dufan, kalo mau, kita ke Universal aja. Kurang lebih sama, tapi permainan jauh lebih banyak di sana."
"You got to be kidding me! Lu mau ngajak gue ke Singapore?" seru Faith histeris, yang bikin kuping gue auto berdenging.
"Ngomong biasa aja, bisa gak? Gue nggak budeg!" sewot gue sambil mengusap kuping.
"Gue nggak bisa biasa aja, Hans. Ini tuh bikin bahagia banget," balas Faith sambil peluk pinggang gue lagi, dan lompat-lompat kegirangan. Etdah.
"Ya udah, lu mau jalan jam berapa ke tempat kerja? Hotel dimana malam ini?" tanya gue pasrah.
"Kempinski," jawabnya senang.
"Oke, lu makan dulu, nanti gue anter. Gue drop aja ya, karena mau pesen tiket buat berangkat besok sore. Abis dari Universal, kita tinggal nyebrang ke Johor buat ke Legoland. Di sana juga banyak permainan dan gue yakin lu suka," ucap gue lugas.
Muka senangnya Faith berubah jadi mau nangis lagi. Astaga, perlu banget nangis di tiap kesempatan? Pengen gue amplas mukanya yang nulis kalo kayak gini. Bollywood banget, Tai!
"Apa lagi sekarang? Kenapa harus pake nangis?" tanya gue bosan.
"Terharu. Lu itu baik banget sama gue," jawabnya serak.
"Terlalu telat buat ngomong kayak gitu sekarang," cetus gue langsung.
"Iya, tahu. Lu cuma terpaksa dan kasian sama gue," balas Faith sambil tersenyum hambar dan mengusap matanya yang sembap. "Tapi tetep aja gue terharu dan menganggap lu lebih dari sekedar orang baik buat gue."
Alis gue terangkat dan memiringkan wajah untuk melihat Faith yang kini membalas tatapan gue dengan sumringah.
"Jadi, gue itu apa?" tanya gue.
"Lu adalah kiriman Tuhan yang ingetin gue kalo masih layak dapet perhatian kayak gini," jawabnya pelan.
Gue tersenyum dan membalas, "Sedangkan lu adalah pengingat bahwa gue masih punya kesempatan untuk berbuat benar, Faith. Better things are coming, because we're still healing, Faith."
Gue mengusap kepala Faith dengan lembut, lalu tersenyum lebar sambil menepuk bahunya. "You did good, Dummy. Lu udah hidup sampai hari ini dan tetap kuat seperti sekarang adalah cool."
Doi menatap gue dengan mata yang kembali berair, kali ini dengan senyuman tulus dan memberi arti tersendiri.
"Mau makan apa? Telor dadar aja, yah," tanya gue lagi.
"Kenapa cuma bisa nawarin telor dadar kalo makan?" tanya Faith sambil tertawa pelan dan mengusap matanya yang basah.
"Cuma itu yang bisa gue bikin, selain indomie."
"Oke, gue mau telor dadar. Plain aja, nggak usah masukin macem-macem."
"Nggak usah kepedean, gue emang cuma bisanya bikin telor dadar tanpa isian," sewot gue yang bikin doi auto ngakak.
Kami sama-sama tertawa dan berdamai malam itu. Ngobrol ringan, nggak pake ngotot, apalagi sindiran. Pokoknya hepi-hepi aja.
Ternyata, damai itu asik juga.
◾◾◾
Friday, Oct 16th, 2020.
23.20.
Gosah nguber update, gue bakal lanjut qlo sempet.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top