Chapter. 12

WARNING : 21+

Buat gue, hidup nggak usah dibikin ribet. Mungkin lu langsung mencibir karena gue nggak pernah susah. Kata siapa? Jangan main nge-judge kalo lu nggak tahu apa-apa.

Kesusahan hidup nggak melulu soal duit. Asal lu tahu, beban dan tekanan juga bisa datang dari tuntutan, ambisi, dan harapan orangtua.

Gue memang nggak pernah susah soal duit, juga selalu dapetin apa yang gue mau, tapi di luar daripada itu, ada banyak hal yang harus gue lakuin sebagai imbalan untuk semua kemudahan materi itu.

Bokap gue memang nggak pernah nuntut ini-itu, cuma suruh jadi bener, suruh jadi berguna, suruh jadi orang yang nggak nyusahin orangtua, dan banyak suruhan lainnya. Jadi intinya, gue adalah suruhan, dengan bokap sebagai pesuruh.

Nggak usah misuh-misuh dan makin keki sama gue yang sotoy soal hidup. Gue emang songong orangnya.

Bacotan gue barusan pun,  bukan bermaksud buat nyombong, tapi pengalihan biar nggak gampang ngecrot.

Saat ini, gue berusaha untuk nggak lepas kontrol karena mulutnya Faith bener-bener biadab. Hisapannya kenceng banget. Kalo lu mau bayangin, rasanya kayak ngilu dan nyeri, tapi enak. Anjir! Mulut Faith emang fuckable master, yang artinya juara ngisep dalam Kamus Babon.

Faith mengisap dengan kuat, dimulai dari tengah, hingga ujung kepala, dan terlepas. Buka mulut, kulum, hisap lagi dari tengah, naik ke kepala, dan terlepas.

Buat adek gemesh yang sok gede baca cerita ini, kepala yang gue maksud bukan kepala atas. Dari sini paham, ya? Jadi, gosah sok polos!

Mengerang berat, napas gue semakin memburu melihat Faith yang asik sendiri di bawah. Sial! Keseringan nyepong ato emang jago makan permen loli, mulutnya bukan cabe-cabean, tapi coli-able.

"Naik ke sini," desis gue sambil menegakkan tubuh dan mendorong bahu Faith untuk melepas hisapan.

"Kenapa? Udah mau kalah lu?" ejek Faith dengan muka sange-nya yang bikin gue makin ngaceng.

Tangan gue udah mulai meraba celahnya, lalu menusuk-nusukkan jari ke dalam vagina. Shit! So fucking wet. Erangan Faith menambah napsu yang udah membakar dalam tubuh gue.

"Basah banget," ejek gue sambil terus memainkan vagina-nya dengan memainkan jari gue dengan gerakan maju mundur. "Udah nggak tahan pengen dimasukin?"

Faith mengerang lagi, kini menggoyangkan pinggul sambil mengikuti gerakan jari gue. Dengan posisi di atas, Faith mengangkangi gue, sambil meremas sepasang payudaranya dengan bernapsu.

Anjir, kenapa tuh cewek malah asik sendiri, sih?

Menarik tangan, gue menyeringai puas melihat Faith mengerang kecewa. Kayaknya, udah mau sampe tapi ketahan. Sukurin!

"Rese lu!" desis Faith sambil mendorong gue agar bersandar di bantal yang ada di belakang.

Tanpa hambatan, doi mengambil posisi, mengarahkan penis sambil mengocok pelan, lalu memasukkan diri dalam satu hentakan kuat.

"Ahhh," desah Faith parau.

Sial! Sensasi nikmat saat cewek udah mau nyampe itu yang paling gue suka. Denyutan dinding vagina terasa di sepanjang ketegangan yang masuk ke dalam. Sempit, sesak, ketat, dan mantap. Itu yang gue rasakan sekarang.

Karena apa? Cewek kalo mau keluar, vagina-nya menyempit. Cowok justru membesar. Bisa lu bayangin sensasinya? Luar biasa! Adek gemesh dan jomblo, diharap gigit jari, karena nggak ada yang bisa lu garap selain tembok.

Faith menunggangi gue dengan hebat di atas. Mengangkat tinggi untuk menekan lebih dalam, terus berulang, dan semakin cepat, seolah sedang dalam perlombaan dengan waktu yang kian menipis.

Seperti nggak puas dengan apa yang doi lakukan, kini dua tangannya berada di sisi lengan untuk menahan tubuh, agar bisa menekan dan mengentak lebih kasar dalam posisi sedikit menungging.

Ekspresi wajahnya, sange abis. Sepasang payudaranya, mengayun kasar. Hentakannya lebih keras, cepat, dan tergesa. Terus menerus dilakukan tanpa henti, sama sekali nggak berkurang, tapi justru bertambah kecepatannya.

Mulut atas coli-able, mulut bawah entotable, mukanya sangeable. Dan gue? Yah, ngecrot lah.

Kita keluar barengan. Jeritan klimaks Faith terdengar nikmat banget. Cewek itu bener-bener jago main di ranjang. Ibarat kata perang, gue udah ketemu lawan yang tangguh.

Goyangannya masih belum berhenti, padahal dia udah menguras isi peju gue. I know, kalian akan langsung komen soal hamil tuh, jadi tuh. Biasa aja kali, gosah norak. Baca mature tuh kalem aja, biar terkesan pinter dan nggak ketahuan.

"Ahhhh, H-Hanss," erang Faith saat gue mengulum satu puting sambil memeluk pinggangnya.

Putingnya mungil, dan gue suka. Apalagi kalo lagi sange, tegangnya lucu. Asik buat dimainin kayak sekarang, lewat jilat, kulum, dan hisap.

Masih di atas gue dan belum lepas, gue udah ngaceng lagi. Faith membasahi bibir sambil menyeringai penuh damba, tanda bahwa dia senang kalo bakal terus berlanjut. Satu kata tambahan buat lu. Ngewe sama Faith, extendable. Lol.

Memutar tubuh, gue mengubah posisi dengan Faith yang berada di bawah. Ofcoz, doi auto nikmat saat gue udah masuk dan keluar dengan hentakan kasar. Semakin kenceng, erangan Faith semakin berat.

Cewek emang berisik kalo lagi main. Tapi kalo nggak berisik, itu namanya nggak enak. Makin berisik, ya makin enak. Itu aja kuncinya. Kecuali kalo lu pura-pura alias fake orgasm. Beda suaranya. Jadi, kalo cowok yang peka, dia bisa tahu kalo lu cuma drama. Kalo nggak mah, hajar aja yang penting enak.

"Hans!" pekik Faith kencang, lalu menjerit dengan tubuh yang gemetar hebat di bawah gue.

Gerakan gue semakin menggila,  merasa bangga dan puas melihat Faith yang lebih dulu mencapai pelepasannya. Satu kakinya gue angkat, lalu memperdalam tekanan dan memperkuat hentakan.

Faith yang masih mengerang nikmat, memicu gerakan gue semakin cepat. Gue terus mengentak-entak, dan tangan pun nggak tinggal diam karena sibuk meremas payudaranya.

"Oh," desah gue parau, saat tubuh gue seperti mengejang, berdenyut keras di dalam, dan degup jantung berpacu gila-gilaan.

Kami saling berpelukan, juga bernapas kasar, kayak yang abis dikejer satpam komplek. Oke, nggak banget kiasannya. Intinya, capek anjir.

Tubuh Faith melemah dengan kepala terkulai ke samping. Kebiasaan jelek doi adalah pasti langsung molor kalo abis ngewe.

"Bersih-bersih dulu, baru tidur," ujar gue judes.

"Bawel," balasnya pelan dan segera mendorong gue untuk berguling ke samping.

"Bakalan balik jam berapa?" tanya gue.

"Kayaknya nggak deh," jawabnya sambil lalu.

Doi bersih-bersih di kamar mandi, sedangkan gue beranjak ke pantry buat ambil minum. Kaki gue lemes banget, kayak yang mau patah gitu. Fuck lah, cemen banget main segitu aja udah lemes.

"Makan, yuk," ajak Faith yang udah kelar bersih-bersih dan pake kaos gue.

"Demen banget sih pake-pake baju orang?" tanya gue judes.

"Lu juga demen pake gue, kenapa harus sewot kalo gue cuma pake baju lu," balas Faith nggak kalah judes.

"Ya beda lah, lu dipake kan biar nggak kering. Kurang orgasme, kulit lu jadi keriput. Coba liat sekarang, jadi segeran," ujar gue geli.

Faith berdecak sambil mengambil dua piring nasi. "Habis ngewe, pasti ngajak ribut. Kalemnya lu cuma kalo lagi sange."

"Sama aja kan kayak lu."

"Gue mah fleksibel. Nggak bakal nyolot, kalo lu nggak mulai duluan. Lagian, gue nggak mood buat ladenin lu sekarang."

Makan malam udah disiapin, gue pun duduk buat dinner bareng Faith. Meski santuy, doi pinter masak juga. Trus, jago beberes dan bersih-bersih, semacam kayak ada bakat jadi OB nih cewek.

"Hans," panggil Faith waktu gue baru mulai makan.

Buset, beef stew bikinan doi enak banget. Entah karena gue laper ato emang doyan.

"Hm?" balas gue sambil asik ngunyah.

"Lu sayang gak sama gue?" tanyanya.

"Sayang."

"Yang bener?"

"Iya, sayang kalo nggak dimanfaatin."

Pletak!

Anjir! Kepala gue diketok pake sendok. Kampret banget nih cewek!

"Sakit!" decak gue kesal.

"Sukurin! Gue tanya serius, jawabinnya ngeselin!" sewot Faith.

"Lagian pertanyaan lu tolol abis! Baru kenal sama cowok, udah nanyain kayak gitu. Asal lu tahu, lu itu udah ketuaan jadi ABG!" ucap gue nyolot.

"Soalnya lu perhatian banget. Pake acara nggak mau gue keluar dari sini, dan mau pastiin dulu kalo gue nggak hamil karena mau tanggung jawab."

"Bukan berarti lu bisa tanyain hal itu."

"Kenapa nggak? Niatnya lu cuma bikin baper?"

"Emangnya lu baper?"

"Namanya juga cewek, ya baper lah."

"Halah, baper mulu kerjaannya. Ribet! Sama-sama doyan, sama-sama napsu, kenapa harus nyambung ke urusan sayang sgala?"

"Jadi, lu sama gue itu semata-mata karena napsu? Nggak lebih?"

"Lu ngomong apa sih?"

"Atau cuma karena kasihan sama gue?"

Ck! Selera makan gue auto ilang. Paling males ladenin obrolan yang ujung-ujungnya minta kepastian lewat omongan.

Bisa gak sih jadi cewek itu jangan terlalu impulsif? Yang main oke aja, trus udahannya baru mikir? Kalo lu udah putusin hal ini, ya udah. Nggak usah pake ragu after lu udah lakuin hal itu.

Juga, bersikaplah realistis saat cowok udah mutusin untuk stay di posisi dimana seharusnya dia berada. Dari situ, lu bisa ngerasain, pahami, dan liatin.

Saat lu sibuk dan ribet untuk denger bokisan kami tentang kepastian, kami sibuk mikirin masa depan tentang berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Halalin anak orang, bukan modal kont*l doang. Ada materi, dukungan, dan kesiapan diri buat jalanin itu semua. Nggak sesimple kayak lu yang ngarep cowoknya romantis, trus ngambek karena nggak pernah kasih bunga.

"Nggak ada yang perlu dikasihanin dari lu, jadi nggak usah kepedean," cetus gue sambil mendelik sinis.

Doi cemberut, lalu menghela napas. "Gue pernah bilang kalo gue nyaman sama lu, kan?"

Gue cuma mengangguk sambil mendorong piring yang belum kosong karena udah nggak mood.

"Gue memang senyaman itu sama lu," lanjut Faith serius. "Tapi gue takut saat gue udah terlalu nyaman, lu berubah."

Kening gue berkerut. "Maksudnya apa sih?"

"Gue kurang perhatian, Hans. Gue tumbuh sebagai orang yang suaranya nggak pernah didengar, tapi dituntut harus selalu mendengar orang lain, dan langsung terhakimi saat gue jadi diri sendiri. Akhirnya, gue jadi orang yang nggak percaya diri," jawab Faith sedih.

"Apa hubungannya sama gue?" tanya gue heran.

"Lu adalah orang pertama yang mau mendengar gue, Hans. Waktu gue ngomong, lu bener-bener dengerin gue. Bahkan, lu bisa kasih komentar, atau masukan dalam bahasa julid lu yang apa adanya," jawab Faith.

"Trus?"

"Dari situ, gue tahu kalo lu tumbuh dari keluarga yang sangat mendukung apa yang lu lakuin, dan mereka mau luangin waktu untuk mendengar suara lu. Jadi, itu yang bikin gue insecure."

"Insecure dalam hal apa?"

"Look at me," ucap Faith sambil menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk gue. "And look at you. We are different, Hans."

Mengerjap cepat, gue udah paham maksud dan tujuan dari topik obrolan ini. Shit.

"Gue bukan orang yang pantes buat lu, Hans. Bagi lu emang nggak masalah, tapi nggak buat orang lain, khususnya keluarga lu."

"Faith,.."

"Oleh karena itu, gue tanya apakah lu sayang sama gue? Tentu aja, jawabannya nggak. Bener kata lu, itu adalah pertanyaan tolol yang gue tanyakan, di saat kita baru deket kayak gini."

"Kok jadi begini sih?"

"Gue bukan pilihan dalam hidup lu, Hans. Itu yang pengen gue tekanin di sini. Lu punya kehidupan yang jauh lebih baik, dan jangan sia-siain hal itu hanya karena ketemu gue. Ada keluarga yang harus lu jaga, anggap aja sebagai balas budi karena mereka udah mendidik dan menjaga lu dengan baik. Gue yakin harapan keluarga adalah ingin lu dapat yang terbaik, bukan yang terburuk."

Brak! Gue menggebrak meja dengan kasar. Mendadak marah dan nggak senang sekarang.

"Hal yang paling gue benci dalam hidup adalah orang yang selalu merendahkan diri. Hanya karena lu nggak berada di posisi yang sama dengan gue, bukan berarti lu itu sampah!" bentak gue geram.

Muka Faith udah mau nangis, tapi gue nggak peduli. Gue emang nggak suka basa basi, juga selalu to the point. Buat gue, jujur itu jauh lebih baik walau menyakitkan. Karena mau bohong atau jujur, ujung-ujungnya nyakitin, bedanya cuma di waktu.

Jika orang itu marah, tersinggung, sedih, atau dendam karena kejujuran gue, yah terserah. Gue nggak bakal komentar ato buka suara, kalo hal itu nggak mengganggu.

"Gue cuma mau lu mikir panjang, Hans! Lu nahan gue karena takut gue hamil. Iya, kan?" seru Faith sambil menangis terisak.

"Kalo iya, kenapa? Anak gue kok!" balas gue keki.

"Tapi nggak berarti lu korbanin semua..."

"Nggak usah sotoy! Korban apa yang lu maksud? Korban perasaan? Atau korban pesugihan?"

"HANS!"

"NGGAK USAH PANGGIL GUE KAYAK GITU! PANGGIL GUE BABON! BABON!"

"Gue..."

"Kita udah sepakat untuk lu tinggal sampe sebulan di sini! Kalo emang bener lu nggak hamil, just go! Lu bebas pergi tanpa larangan!" sela gue nyolot.

"Lu nggak perlu tanggung jawab, gue..."

"Awas aja sampe lu matiin anak gue!" sembur gue lagi, dengan pikiran jahat yang langsung merasuk dalam otak. "Sampe gue tahu lu sengaja nyakitin diri dengan minum, rokok, atau obat dalam waktu sebulan ini, gue bersumpah bakal bikin hidup lu jauh lebih sengsara dari yang bokap lu lakuin!"

Kalo emosi, gue emang jahat. Mulut sama otak, nyambung banget kayak setan. Dan gue nggak pernah main-main soal ucapan yang udah gue keluarin.

Ancaman gue berhasil bikin Faith kicep, bahkan pucat. Mukanya sembap, terlihat lelah, dan tatapannya menerawang. Spontan, doi berdiri sambil mengusap wajah.

"Thanks untuk waktunya. Gue balik kerja aja, dan lu nggak usah anter," ucap Faith sambil berjalan ke kamar.

"Gue juga nggak minat buat nganter lu!" balas gue keki. Masih emosi banget.

Belum sempet beranjak, atau baru aja mau ambil minum, suara keras terdengar dari dalam kamar. Kaget, juga panik, gue langsung lari ke kamar dan dengkul gue auto lemes.

Faith pingsan.

Shit!

◾◾◾

Tuesday, Oct 6th, 2020.
21.25.

"Satu hal yang perlu lu ingat. Rendah hati itu harus, tapi jangan sampai rendah diri.
Nggak ada yang namanya insecure, kecuali lu yang kasih kesempatan untuk mengasihani diri dan nggak percaya diri."
(By HolyMollyCrap )

Ngeri kalo mode evangelis-nya Babon udah keluar. Aing tatuttt 🍌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top