Day 5
Empat orang berjubah berjalan di tengah kampung kumuh di pinggiran kota metropolitan. Masing-masing dari mereka membawa sebuah kotak seukuran televisi.
Sejenak mereka berhenti dan saling bertatapan, sampai pada akhirnya mereka berempat berpencar di persimpangan jalan.
***
Keesokan harinya sebuah berita menggemparkan jama'ah subuh di masjid, bahwa ada empat kotak misterius berisi sembako dan juga sejumlah uang di teras rumah warga. Ada empat rumah yang kedapatan kotak tersebut, dan tidak ada yang tahu siapa pemberinya.
Andis dan Uchul sedang berdiskusi setelah tadarus subuh. "Menurut saksi, ada orang berjubah yang naro itu kotak di teras mereka," kata Andis.
"Dan ada saksi lain yang berkata sama. Artinya pelakunya lebih dari satu," balas Uchul.
"Maksud lu ini perbuatan kelompok?"
"Kekeke menarik. Kemungkinan besar begitu," jawab Uchul.
"Kumpulin anak-anak, Cul, kita harus bergerak juga," kata Andis.
Uchul pun mengumpulkan para anggota DKM, Dewan Kemakmuran Mantra. Kini selain mereka berdua, di sekretariat masjid ada Ajay dan juga Tama.
"Kei, Dirga, sama Tirta mana?" tanya Andis.
"Enggak nyaut, tidur lagi kali," balas Uchul.
"Jadi kenapa lu ngumpulin kita, Dis?" tanya Ajay.
Andis yang sedang duduk menatap lantai, perlahan mengangkat kepala. Ditatapnya Ajay dan juga Tama.
"Chul, jelasin ke mereka. Tentang empat warga yang rumahnya jadi sasaran."
"Ibu Rodiah, Pak Jojo, Pak Supadi, Pak Romi," kata Uchul. "Janda miskin, fakir, ibnu sabil, gharim. Mereka berempat memiliki kriteria penerima zakat."
Ajay dan Tama terbelalak. "Jadi maksud lu ...."
"Pola ini terlalu kentara." Andis memandang mereka dengan tatapan serius. "Fastabiqul khairat."
"Berlomba-lomba dalam kebaikan ...," lirih Tama.
"Gu-gua pikir, itu cuma ada di zaman Umar Ibn Khattab," sambung Ajay.
"Malam ini kita cari tau siapa identitas hamba Allah itu," balas Andis.
***
Malam pun tiba. Di saat keheningan malam merajai Bumi, empat orang berjubah muncul dari balik pekat kabut.
Mereka seperti sedang berbicara dengan isyarat, kemudian berpencar untuk bersedekah diam-diam.
Salah seorang dari mereka berjalan ke salah satu rumah dan meletakkan kotak hadiah di teras, lalu hendak mengetuk pintu.
"Aku melihatmu," ucap Andis.
Orang berjubah itu terbelalak dan kabur, tetapi Andis mengejarnya.
"Tunggu! Jangan kabur!" Andis pun mengejar.
Si pria berjubah lari terbirit-birit hingga berkumpul dengan tiga lainnya. Hanya saja mereka bertiga pun sedang dikejar, dan saat ini mereka berempat terkepung.
"Kalian tidak bisa kabur!" seru Uchul. "Tunjukkan diri kalian, wahai hamba Allah!"
Salah seorang manusia berjubah maju. "Enggak ada jalan lain." Ia membuka jubahnya bersamaan dengan ketiga orang lainnya.
Andis, Uchul, Ajay, dan Tama terbelalak menatap empat bersaudara itu.
"Martawangsa boy!" seru Andis.
Rupanya mereka berempat adalah Dirga, Tirta, Gemma, dan Frinza.
"Maaf, kami enggak bermaksud buat mendahului siapa pun dalam kebaikan," ujar Dirga dengan wajah tertunduk. "Namun, ketika melihat kesulitan yang dihadapi beberapa warga kampung, kami merasa tergerak buat membantu mereka sesuai dengan kemampuan kami."
Andis mengangguk mengerti. "Tindakan kalian sungguh mulia. Tapi mengapa kalian, para Martawangsa memilih untuk berbuat baik secara diam-diam?"
"Kami percaya bahwa kebaikan sejati itu enggak perlu dipamerin. Dan yang lebih penting, kami mau menjaga kehormatan dan harga diri mereka yang menerima bantuan. Kadang-kadang, kebaikan yang kita lakukan secara diam-diam justru lebih berarti dan memiliki dampak yang lebih besar," jawab Tirta.
Ajay mengangguk setuju. "Enggak ada yang tahu, kecuali Allah SWT. Itu adalah bentuk keikhlasan yang sejati."
Tama menambahkan, "Seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur'an, 'Dan tahukah kamu siapa yang paling baik perbuatannya? Yakni orang yang mengajak kepada Allah, dan beramal shalih, serta mengatakan: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.' QS Fushilat ayat tiga puluh tiga."
"Dan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Tujuh perkara yang akan mendapatkan naungan Allah di Padang Mahsyar ialah, seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang berkedudukan dan berpenampilan tinggi, lalu ia berkata: 'Aku takut kepada Allah', dan seorang laki-laki yang bersedekah lalu menyembunyikan sedekahnya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya,'" timpal Andis.
Andis mengulurkan tangan. "Izinkan kami bergabung, Martawangsa."
Dirga dan ketiga saudaranya saling berpandangan dan saling mengangguk, kemudian ia menjabat tangan Andis.
Sejak malam itu, banyak kotak hadiah yang berlabuh di beranda rumah warga, khususnya warga kurang mampu.
.
.
.
Penutup.
Sorry telat publish.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top