Day 4
Suasana siang yang terik menyelimuti rumah Andis. Harits kecil duduk di sudut ruang tengah dengan tatapan gelisah di wajahnya. Sebagai seorang anak yang semakin besar, ia merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan puasa sampai adzan maghrib.
Namun, saat ini pikiran Harits dipenuhi oleh godaan-godaan untuk membatalkan puasanya. Ia merasa haus tingkat dewa. Rasa ingin minum aer es begitu menggoda, dan pikirannya terus-menerus merayap pada cara-cara untuk membatalkan puasa tanpa sepengetahuan orang lain.
'Apa yang harus ku lakukan dalam situasi seperti ini?' Batinnya.
Harits memejamkan mata dan mengingat nasihat yang tersimpan dalam memorinya.
"Makan, Nak."
"Nah, eta! Harus makan juga ternyata nyahahaha kurang afdol kalo cuma minum." Ia bangkit dari duduknya dan celingak-celinguk menatap setiap sisi dan sudut rumah. Hari ini begitu sepi dan tenang. Andis dan Indri bekerja, sementara Ghina sedang bermain di luar. Harits hanya memastikan sekali lagi bahwa ia benar-benar sendirian di rumah.
Saat hendak membuka kulkas, terbayang wajah Andis dengan pakaian gamis putih dan juga mengenakan sorban putih.
"Rasulullah SAW bersabda, Nak, 'sesungguhnya setiap amal perbuatan anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali berpuasa. Sesungguhnya berpuasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.'"
Harits segera melepaskan gagang pintu kulkas sambil memejamkan mata. "Forgive me my Lord."
Ia berjalan mundur sambil membuka mata dan menatap kulkas yang perlahan menjauh. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat wajah ibunya muncul dalam pikirannya.
"Kamu udah makan belum? Makan dulu sini, abis itu baru main lagi."
Harits menggeleng, berusaha membuang pikiran itu. "Enggak, Bu, enggak bener. Enggak usah makan, minum doang enggak apa-apa kali ya." Langkahnya kembali maju mendekat pada kulkas.
Harits kecil kini berhasil membuka pintu kulkas. Angin-angin kesegaran duniawi membuatnya tersenyum. "Ah ... inilah surga."
Namun, ketika tangannya hampir mencapai botol air minum, gambaran Ayahnya kembali muncul dalam benaknya. Wajah tenang Andis, dengan kata-kata bijaknya, mengingatkan Harits akan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," gumam Harits. Ia segera menutup mulutnya dengan ekspresi terkejut. "Dari mana semua ayat-ayat itu berasal? Damn! This must be the memory of father's words."
"Alah, masa bodo!" Harits menggenggam botol marjan.
"Assalamualaikum." Ghina tiba-tiba saja pulang. Mereka saling berpandangan dalam diam. Guratan di sudut bibir Ghina membentuk kurva ke atas. "Mau buka lu ye, Tong?"
"Nyahaha masa buka? Orang lagi ngecek botol marjan, mau mastiin berkurang apa enggak, soalnya tadi sahur masih setengah botol."
"Terus berkurang?" tanya Ghina.
"Ternyata aman, berarti kita semua masih puasa nyahaha kirain udah ada yang batal."
"Kan kamu doang yang berpotensi batal, Rits," balas Ghina.
Harits menunjukkan ototnya yang kerempeng. "Nih, liat. otot tulang kawat besi."
Karena kepulangan Ghina, sirna sudah kesempatan Harits untuk membatalkan puasa. Ia pun duduk di sofa dengan tatapan kosong menahan dahaga dan mata berkaca-kaca.
***
Sore pun hadir. Kini Andis dan Indri baru saja tiba di rumah.
"Assalamualaikum." Andis mengucap salam, lalu menatap Harits yang duduk dengan tatapan kosong di sofa. "Kenapa kamu, Dek?"
"Waalaikumsalam," jawab Harits. "Father, I want to ask you about something."
"Nanya apa?" kata Andis.
"Katanya setan dibelenggu waktu bulan Ramadhan?" Harits memasang wajah jelek dan mengangkat bahu seolah tak percaya. "Mana?"
"Kamu pernah denger enggak, kalo selama bulan Ramadhan, kejahatan itu masih ada? Masih ada pencuri, masih ada yang korupsi, masih ada yang berbohong, masih ada yang ngomongin orang lain dan lain-lain."
"Termasuk yang makan di warteg di balik tirai?" tanya Harits.
Andis mengangguk. "Iya."
"Ya berarti setan masih ada dong? Buktinya banyak kejahatan, kan?"
"Min sharril was waasil khannaas, dari kejahatan setan yang bersembunyi. Al lazii yuwas wisu fii suduurin naas, yang membisikkan ke dalam dada manusia. Minal jinnati wan naas, dari golongan jin dan manusia." Andis menghampiri putranya. "Setan itu ada yang dari golongan jin, ada juga yang dari golongan manusia. Bener, setan dari golongan jin emang dibelenggu selama bulan ramadhan, tapi masalahnya setan dari golongan manusia tetep bebas berkeliaran."
"Tapi aku bukan setan," balas Harits.
Andis tersenyum. "Musuh kita itu bukan setan. Musuh terbesar kita, manusia, adalah hawa nafsu kita sendiri."
Harits memasang wajah murung. "I'm sorry father, today ...."
"Udah batal puasa kamu?" tanya Andis.
Harits menggeleng. "Belum, tapi hampir."
Andis tersenyum dan duduk di sebelah Harits, lalu mengelus kepala putranya tersebut. "Laki-laki muslim itu tugasnya berpuasa, dan itu wajib di bulan Ramadhan. Sementara, laki-laki sejati tugasnya melawan hawa nafsu. Karena hari ini kamu masih puasa, berarti kamu menang melawan kejahatan diri kamu sendiri sebagai laki-laki sejati. Ayah bangga."
Harits pun ikut tersenyum, lalu memeluk Andis. "Makasih, udah jadi Ayah Harits. Jangan pernah bosen nasehatin Harits yang baik-baik meskipun Harits selalu nakal dan sering ngelawan. Karena di saat Harits hampir kehilangan arah, di situlah nasehat Ayah datang dan nolong Harits buat enggak keluar jalur."
Indri dan Ghina ikut tersenyum, mereka pun mendekat berpelukan sekeluarga.
.
.
.
Penutup.
"Musuh terbesar kita bukanlah bisikan setan, tetapi hawa nafsu kita sendiri," ujar Andis kepada para pembaca. "Yuk terus berjuang melawan hawa nafsu kita dan menjalankan ibadah dengan ikhlas. Inget, setiap kali kita mampu mengalahkan hawa nafsu, di situlah letak kemenangan besar bagi diri kita sendiri."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top