Day 3
Suasana pagi di pinggir jalanan pasar agak mendung. Seorang pengemis buta dengan pakaian hitam duduk dengan tenang di pinggir trotoar, menggantungkan tongkatnya di sampingnya. Ia meletakkan kardus bertuliskan 'sayang anak' dengan harapan bisa mendapat sedekah dari para pejalan kaki yang lewat.
Di sisi lain jalan, seorang gadis kecil bernama Nada berdiri dengan tatapan sedih di wajahnya. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin memberikan sedekah kepada pengemis itu, tetapi apa daya, Nada tidak punya uang.
Tak sengaja Andis yang kebetulan berjalan di daerah itu melihat Nada dan menghampirinya. "Liatin apa kamu, Nad?" tanya Andis pada gadis itu.
Nada menunjuk pengemis di sebrang jalan.
"Hus, jangan ditunjuk-tunjuk," kata Andis.
"Biarin, Om. Orang dia enggak bisa liat," balas Nada.
"Oh iya bener juga. Ngomong-ngomong kenapa kamu liatin Pak Mikail pake wajah murung gitu, Nada?"
Nada menghela napas dan berkata, "Om, tadi malam bunda cerita tentang pengemis itu. Katanya, dia itu mantan ketua padepokan ghaib yang udah tobat. Dia rela hidup miskin ngemis-ngemis untuk lepas dari ilmu hitam. Nada kasian, Nada mau sedekah, tapi enggak punya uang."
Andis mengangguk pelan, lalu sejenak menatap pengemis buta itu dan kembali menatap Nada. "Nih, Om Andis kasih uang, nanti Nada yang kasih."
Nada menggeleng. "Nada mau sedekah pake uang Nada sendiri." Gadis itu berjalan pergi dengan wajah murung.
Andis hanya bisa menghela napas. Ia menatap uang yang sempat ingin ia berikan pada Nada. Adis pun menyebrang jalan dan memberikan uang itu pada Mikail.
"Nih, Pak, dari anak itu." Dengan sok keren, sehabis berkta seperti itu, Andis pun pergi.
Mikail memicing. Ia kan tidak bisa melihat. "Hah? Anak yang mana?" Namun, Andis sudah tak berada di sana. "Woy, siapa sih tadi? Woy?! Kepo tau."
***
Sore pun tiba. Menjelang berbuka, Andis berkumpul bersama keluarganya di meja makan. Ada Indri, Ghina anak sulungnya, dan Harits si bungsu.
"Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api," kata Andis dengan wajah serius.
"Oh nooo, it's kultum time!" celetuk Harits. "Run!"
Indri menjitak kepala Harits. "Dengerin noh babeh lu ceramah, dasar bocah badung."
"Tadi di jalan Ayah ketemu sama Nada, anaknya Pak Tama. Dia mau sedekah, tapi enggak punya uang. Karena itu dia sedih," kata Andis.
"Sedih enggak punya duit?" celetuk Harits.
"Rits, diem dulu," balas Ghina.
"Sedih enggak bisa sedekah dong, keren dia tuh," sahut Andis. "Keluarga kita enggak boleh kalah sama Nada."
"Kenapa?" tanya Harits.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya di surga ada delapan pintu. Salah satunya bernama Ar-Rayyan, yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.' Kemudian beliau ditanya, 'Siapakah mereka, wahai Rasulullah, yang berhak masuk pintu itu?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang sering berpuasa.' Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya lagi, 'Apakah mereka juga berpuasa pada hari yang panas, dan pada saat berperang?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Tidak, kecuali orang yang memperbanyak sedekah.'"
"Tuh, dengerin kata si Ayah," ucap Indri pada kedua anaknya.
"Bayangin, kalo kita sedekah setiap hari di bulan Ramadhan. Setiap pintu surga akan terbuka lebar buat kita. Karena sedekah bukan cuma sekadar memberi dari harta yang kita miliki, tetapi juga ada keikhlasan di situ. Semoga kita semua bisa menjadi orang-orang yang gemar bersedekah, dan mendapatkan keberkahan yang melimpah di bulan Ramadhan ini," lanjut Andis.
"Katanya kalo kita sedekah, harta kita bukannya berkurang tapi malah bertambah, Yah?" tanya Ghina.
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah itu seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, dan di setiap tangkainya ada seratus daun. Secara hitungan matematika itu berarti seribu dikali tujuh, dikali seratus, maka sama dengan tujuh ratus ribu."
Andis mengambil uang dari kantong celana dan membeikan uang itu pada Harits. Besok tolong kamu kasih uang ini ke Pak Mikail ya.
***
Keesokan harinya, Harits berjalan ke pasar untuk bersedekah pada Pak Mikail, hendak menunaikan amanah sang bokap. Hanya saja, langkahnya tiba-tiba berhenti saat menangkap kehadiran Nada di sebrang jalan.
Gadis kecil itu sedang memberikan uang pada Mikail dengan wajah riang gembira. Melihat senyumnya membuat Harits terpana.
"Cantik ...," gumam Harits. Dalam sepersekian detik, ia sadar kembali dari jeratan aurat dan menggeleng. "No! Wala taqrabu zina! Jaga pandangan cuy."
Harits mengambil pensil tumpul dari kantong celana dan menuliskan sesuatu di uang yang ia bawa. Setelah itu ia berjalan menghampiri Nada.
"Nada," panggil Harits.
Nada menoleh, lalu diam dengan tatapan seolah berkata, "apa?"
"Kata Ayah, orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah itu seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, dan di setiap tangkainya ada seratus daun."
Nada memicing. "Terus?"
Harits tampak berpikir perihal perumpamaan angka yang Andis sampaikan, tetapi ia lupa. "I-itungannya ... tujuh ratus ribu dah."
"Terus?" tanya Nada.
"I-ini balasan dari Allah buat kamu." Harits memberikan uang yang diberikan Andis untuk Mikail pada Nada.
Nada mengambil uang itu. "Kata kamu tujuh ratus ribu? Kok ini cuma seribu?"
"Oh, nanti minta sisanya aja ke Ayah ku," balas Harits. "Jangan lupa, di situ ada akun IG aku, follow ya."
.
.
.
Penutup.
Andis menatap langsung ke arah para pembaca, senyumnya hangat menghiasi wajahnya.
"Makasih ya buat yang udah baca cerita ini. Inget, setiap sedekah yang kalian berikan, sekecil apa pun, itu akan menjadi investasi terbaik yang kalian berikan untuk kehidupan akhirat. Mari kita terus berbuat kebaikan, karena setiap langkah kecil bisa membawa perubahan besar dalam hidup orang lain. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya, semoga kita semua diberkahi oleh Allah SWT. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top