Day 1
Seorang gadis kecil duduk di meja makan, sambil menunggu adzan maghrib dengan perut keroncongan.
"Mah, Laper," ucapnya sambil mengayunkan kaki.
Wanita berkacamata yang merupakan ibunya pun tersenyum. "Sabar ya, kan kita lagi puasa."
"Iya, tapi Dinda laper, Mamah," balas Dinda kecil.
Seorang pria paruh baya muncul dan ikut berbaur di meja makan bersama anak dan istrinya. "Tanggung, sebentar lagi mau maghrib. Ayo semangat Dinda, jangan mau kalah sama Abang."
Deva yang sedang duduk di sofa sambil menonton pun akhirnya terdistraksi dan menoleh ke arah meja makan. "Buka aja udah, jangan dipaksain dasar lemah."
"Hus, jangan gitu sama adeknya," seru Mila pada putra sulungnya.
Dinda memicing memandang abangnya itu. "Enggak akan, meskipun Dinda ngeluh, Dinda enggak akan buka puasa sebelum adzan maghrib. Dinda enggak mau kalah sama Abang Deva."
Hari pertama Ramadan sudah tiba. Menjelang berbuka, rumah Dirga dihiasi oleh aroma makanan yang lezat di setiap sudut ruangan.
Tok ... tok ... tok
Di tengah keseruan yang terjadi, pintu rumah Dirga diketuk. Dirga pun bangkit dari kursi, lalu berjalan ke pintu depan.
"Assalamualaikum."
Dirga tersenyum mendapati sosok sahabatnya di depan pintu. "Waalaikumsalam, Ustad Andis. Mari masuk-masuk sini."
Rupanya yang bertamu adalah Andis, hanya saja kali ini ia tak mengenakan topi beanie coklat, melainkan sebuah kopiah berwarna coklat. Andis memasuki rumah Dirga dengan senyum lembut di wajahnya. Pakaian koko putihnya menciptakan kesan yang sangat religius.
Mila, istri Dirga, menyambut Andis dengan hangat, "Assalamualaikum, Ustad Andis. Sini masuk-masuk, mau buka di sini?"
"Boleh kalo maksa," balas Andis.
Kini Dirga dan keluarga duduk bersama di meja makan dengan Andis sebagai anggota tambahan. Waktu berbuka sebentar lagi tiba.
Hanya saja di antara semua orang, Dinda terlihat sangat murung. Menyadari itu Andis pun tersenyum. "Dinda kenapa murung gitu mukanya?"
"Dia mau buka, Om, tapi gengsi," celetuk Deva diiringi kekehan.
"Enggak tuh! Dinda masih kuat!" balas Dinda, tapi suara perutnya tiba-tiba berteriak.
"Tuh, laper dia, Om!" sahut Deva lagi.
Mata Dinda berkaca-kaca dan ingin menangis.
"Sudah-sudah jangan bertengkar, semua bisa dibicarakan secara kekeluargaan," kata Andis. "Rasulullah pernah bersabda, 'Barang siapa bersabar, maka Allah akan memberikan kesabaran padanya.' Jangan biarin rasa lapar menguasai kita, gunain waktu yang kita punya sebagai kesempatan untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah. Inget ya, Dinda, setiap ujian selalu mendatangkan kebaikan jika kita bersabar."
Dinda merasa lebih baik dan lebih kuat sekarang berkat kata-kata Andis. Ia menutup matanya sejenak dan mengangkat tangan. "Ya Allah, berikanlah Dinda kekuatan untuk bersabar supaya bisa kuat berpuasa sampai adzan maghrib."
"Aamiin," jawab yang lain.
"Wah pas banget nih momennya, sebentar lagi kan buka nih. Kasih kultum singkat dong, Pak Ustad Andis. Biar si Deva sama si Dinda enggak sering berantem lagi." Dirga menatap kedua anaknya. "Dengerin Ustad Andis ceramah ya."
"A-ano .... " Andis berkeringat dingin. Sebetulnya ia bukan ustad, tetapi karena tampilannya, Dirga jadi terpancing untuk mengambil momentum.
"Ustadnya ustad palsu ya?" tembak Dinda dengan polosnya.
Andis berdehem dan berusaha tenang. "Nih, Dinda, Deva, dengerin ya. Rasulullah pernah bersabda, 'Apabila datang bulan Ramadan, pintu-pintu surga terbuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.' Artinya apa? Ini adalah tanda-tanda kebesaran Allah, yang memberikan kita peluang besar untuk mendapatkan ampunan dan keberkahan di bulan yang penuh kemuliaan ini, jadi buat Deva sama Dinda jangan berantem, nanti pahala puasanya berkurang. Mending kalo punya waktu ngeluh, kalian ganti sama hal-hal yang positif, mumpung lagi bulan Ramadhan."
"Tuh dengerin," timpal Dirga. "Palsu-palsu gitu Pak Andis ini Ustad."
"Bung Dirga," panggil Andis. "Ali Bin Abi Thalib pernah berkata, Undzur ma qoola wala tandzur man qoola. Jangan lihat siapa yang berbicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan."
"Allahu Akbar, Allahu Akbar." Suara adzan maghrib pun berkumandang dengan indahnya.
"Nah, sekarang Dinda udah boleh makan dan minum," ucap Andis. "Yuk baca doa berbuka."
Dinda tersenyum. "Makasih nasehatnya Ustad Andis."
Mereka pun membaca doa berbuka puasa bersama, lalu berbuka dengan yang manis-manis. Sejak saat itu, Andis menjadi Ustad di kota ini dan dianggap sebagai pemuka agama.
.
.
.
Ramadhan day 1
Author Note's :
Hai Gayung! Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan tahun 1445 H ya! Semoga amal baik kita semua diterima oleh Allah dan Insyaallah selepas bulan Ramadhan pergi, banyak hal positif yang menempel sampai seterusnya.
Sengaja nulis 'Sketsa Ramadhan' ini buat hiburan pembaca dan juga jalan dakwah tersendiri bagi Author yang merasa kurang bermoral dalam menulis wkwkwk.
Apa yang kita tulis adalah apa yang akan kita pertanggung jawabkan.
Kalimat di atas adalah kalimat yang aku pegang teguh sehingga ga pernah main di red flag or genre-genre yang merusak moral generasi muda. Tapi meskipun begitu, tetep merasa kurang berbobot dan mungkin inilah momentum yang tepat untuk menyisipkan pesan moral sekaligus dakwah. Semoga bermanfaat.
.
Catatan : Untuk day 2 sampai 29, bakal publish ba'da ashar buat nemenin ngabuburit bareng Mantra.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top