[JungCath] L'Escalade

Cerita: Liaisons - Catherine

Bodo amat nulis pasangan ini mulu, lagi suka. :P Hitung2 latihan nulis deskripsi latar.

.

.

.

Geneva, Desember 1982

Keheningan menyeruak di antero penjuru villa megah milik keluarga Sastradireja di Geneva, Swiss, tersebut. Hanya bunyi pulpen dan kertas yang saling beradu di tangan Tanjung Jati konsisten menandakan adanya aktivitas di ruang keluarga berdinding kayu dan beralaskan karpet merah hati tersebut. Sesekali, percikan api yang menghanguskan kayu bakar, serta gesekan lembaran kertas jurnal ilmiah yang dibaca oleh Catherine Sastradireja di sofa di hadapan perapian memecahkan kesunyian yang mendominasi suasana.

Catherine berusaha fokus, tetapi pergerakan Jason mengganggu konsentrasinya. Padahal ia sudah makan, sudah beristirahat, dan sudah nyaman. Entah, sang jabang bayi yang empat minggu lagi akan dilahirkan sepertinya tidak sabar melihat dunia.

Tanjung sibuk menulis catatan di meja makan kayu di belakang sofa. Ujian akhir semester dilaksanakan minggu depan. Sesuai perjanjiannya dengan Alfred Darmadi, ia harus mengerjakan ujiannya sendiri. Ia harus berangkat ke London minggu depan untuk mengikuti ujian. Berarti ia harus meninggalkan Catherine.

Lalu bagaimana dengan liburan Natal? Sejauh ini, Indra Jati tidak tahu bahwa ia menetap di Geneva bersama istrinya. Semua karena kerja sama yang baik dari kedua mertuanya, ibunya, serta Alfred, yang menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Namun kemungkinan besar ayahnya akan mengunjunginya untuk liburan Natal. Ia pasti ingin memeriksa Tanjung. Lalu ...

"Tanjung, kemari, dong, Sayang," panggil Catherine, menghentikan pikiran runut suaminya. "Anakmu ganggu aku terus, aku nggak bisa belajar."

Tanjung mengangkat kepalanya dan tersenyum. Ia beranjak dari tempat duduknya dan pindah ke sofa di sebelah istrinya.

"Ganggu gimana, Sayang?" tanyanya.

Catherine mengambil tangan Tanjung dan meletakkannya di perutnya. "Nih, dari tadi dia goyang-goyang terus. Aku kan jadi nggak bisa baca paper," keluhnya.

"Mungkin dia mau diusap papanya," sahut Tanjung, masih tersenyum. "Kemari, Sayang." Ia melingkarkan tangan kirinya ke bahu Catherine dan membiarkan sang istri bersandar ke dadanya. Kemudian ia mengelus perut Catherine dengan tangan kanannya. "Nggak kebayang, sebulan lagi kita jadi orangtua, Cath."

Catherine mengembuskan napasnya. "Aku deg-degan membayangkannya."

"Aku pun begitu," desah Tanjung. "Tapi ... entahlah ... aku yakin kita pasti bisa jadi orangtua yang baik."

Mata pemuda berusia duapuluh tahun itu menerawang ke perapian. Ia baru saja lepas dari predikat remaja, ketika berkah sekaligus tanggung jawab baru ini datang menghadapinya tepat di wajahnya. Tanjung tak mau menyalahkan dirinya maupun Catherine. Memang Catherine yang membujuknya untuk tinggal bersama sebagai suami istri dengan alasan kebebasan seksual atau apalah -- dan ia terlalu takut kehilangan Catherine untuk menolaknya -- ah, bohong, lama-lama ia juga menikmatinya -- dan sekarang mereka harus bertanggung jawab untuk akibatnya.

Namun bagaimana pun juga, Tanjung tetap menyayangi Catherine.

"Jason, Sayang, Papa boleh minta tolong sama kamu?" ucap sang ayah kepada calon putranya. "Mama butuh belajar, kamu tenang dulu, ya, Sayang."

Catherine tertawa. "Haduh, Jung, dengar kamu ngomong gitu ke anak, nggak ada wibawa sama sekali."

"Dia kan masih kecil, Cath, nggak boleh dikasarin," ujar Tanjung. "Gimana, apakah dia udah tenang?"

Catherine diam sejenak, meraba perut buncitnya. Putranya benar-benar anak ayahnya -- ia langsung menurut dan tak berakrobat lagi di dalam sana.

"Dasar, Jason Sastradireja," gerutu Catherine penuh kasih sayang. "Sama Papa baru nurut."

"Itulah, suara lembut nggak berarti nggak berwibawa," senyum Tanjung sambil menyingkirkan rambut yang menutupi satu mata Catherine.

"Aku ..." ringis Catherine, "... kadang-kadang marahin dia."

Namun Tanjung tidak memarahi istrinya. Ia hanya tersenyum dan memeluk Catherine lebih erat. "Kalau kamu mau marah, jangan marahin Jason. Marahin aku aja."

Catherine menggeleng. "Suasana hatiku udah baik, kok, Sayang. Walaupun kadang-kadang aku bosan di sini hanya berdua denganmu. Aku pengen keluar."

Tanjung mencium pipi istrinya yang chubby. Memasuki trimester terakhir, badan Catherine memang semakin berisi. Ia seringkali protes, tetapi menurut Tanjung ia malah semakin menggemaskan dan enak dipeluk. Biasanya Catherine pura-pura geram mendengarnya, padahal dalam hati ia senang.

"Kalau nggak ada aku, bukannya kamu lebih bosan lagi?" tutur Tanjung.

Sebelum sang suami mencium pipinya sekali lagi, Catherine menolehkan kepalanya sehingga ciuman Tanjung mendarat di bibirnya. "Jalan-jalan, yuk! Aku dengar pada bulan Desember di Geneva, biasanya ada Christmas market atau festival gitu. Aku lupa namanya apa."

"L'Escalade," jawab Tanjung. "Perayaan tentang kekalahan pasukan Katolik yang ingin merebut Geneva, yang saat itu dikuasai Protestan."

Catherine menatap suaminya heran. "Kok kamu tahu?"

"Sayangku, aku mahasiswa jurusan political economy. Tentu saja aku harus tahu sedikit tentang sejarah negara-negara di dunia."

"Ayo, Jung, bawa aku ke sana. Aku mau lihat parade itu," rengek Catherine.

"Tapi aku belum selesai belajar buat ujian," protes Tanjung.

"Kamu udah cukup banyak belajar. Anakmu minta jalan-jalan."

"Anakku atau ibunya anakku?"

"Dua-duanya. Ayo!"

***

Catherine dan Tanjung mengenakan pakaian tebal mereka untuk bertahan di cuaca musim dingin Geneva yang sudah mencapai nol derajat Celsius. Topi, syal, sarung tangan, kaos kaki atau stockings, jaket panjang, serta sepatu bot sudah menjadi pakaian wajib untuk menghangatkan diri. Apalagi tadi siang butiran salju sempat berjatuhan dari langit selama beberapa jam, menyelimuti sebagian jalanan dengan warna putih, walaupun sore ini hujan salju telah berhenti.

Tanjung membantu istrinya memasangkan jaket panjang berwarna merah menyala. Dengan syal putih dan topi putih, Catherine bercanda bahwa ia menyerupai Santa Claus.

"Santa Claus yang cantik," ucap Tanjung. "Mau sekalian kubelikan topi Santa?"

"Mau," ujar Catherine. "Habis ini kita ke Christmas market, ya?"

"As you wish, my queen," balas suaminya.

Mereka menumpangi taksi ke tengah kota, di mana parade l'Escalade sedang berlangsung. Dua orang pemuda berbaju putih membawa obor dengan api menyala berjalan di sisi kiri dan kanan barisan. Sekelompok lelaki bertopi hitam dengan pakaian khas abad ke-17, yakni kerah putih, rompi hitam, kaos kaki tinggi berwarna putih, serta sepatu hitam, berbaris di belakang mereka, menabuh drum yang terikat ke dada mereka. Sekelompok laki-laki lain yang mengenakan kostum serupa berjalan beberapa meter di belakang barisan penabuh drum. Hanya saja, sebilah pedang tergantung di pinggang mereka, dan sehelai jubah hitam terjuntai di bahu mereka.

Tanjung dan Catherine bergabung dengan para penonton yang berjajar di sisi kiri dan kanan jalan, sesekali mengomentari pakaian yang dikenakan peserta parade. Tidak hanya petani dan tentara, ada juga barisan yang memakai kostum bangsawan. Satu kelompok terdiri dari belasan barisan -- mereka semua mengenakan pakaian serupa. Selain drum, ada kelompok yang memainkan seruling.

Namun yang paling menarik adalah barisan perempuan dan anak kecil. Mengenakan penutup kepala dan apron putih, mereka berjalan di belakang seorang perempuan yang membawa panci hitam berhiaskan pita merah dan emas, warna khas Geneva.

"Marmite de l'Escalade," ucap Tanjung. "Di pertempuran l'Escalade, ada legenda yang menyebutkan, seorang perempuan bernama La Mère Royaume, ibu dari empatbelas anak, menuangkan sup panas kepada para prajurit Savoy. Terakhir, ia melempar pancinya ke kepala seorang prajurit hingga ia tewas."

Catherine tertawa. "Kejadiannya seperti dongeng yang pernah kubaca."

"Nama aslinya Catherine Cheynel," lanjut Tanjung sambil menyengir.

"Terus?"

"Aku teringat denganmu ketika mendengar cerita itu," jelas Tanjung. "Bukan hanya karena nama kalian yang sama, tetapi juga karena kamu sangat badass sepertinya." Senyumnya melebar. "Je t'adore, je t'aime, Madame Jati."

Catherine ikut tersenyum. Wajahnya memerah, entah karena suhu dingin atau karena ucapan suaminya, atau keduanya. "Je t'aime aussi (aku juga mencintaimu), Monsieur Jati," bisiknya.

Para perempuan dan anak-anak disusul barisan berkuda. Selanjutnya berulang -- lelaki penabuh drum, tentara, pemain seruling, perempuan dan anak-anak, dan barisan berkuda selanjutnya. Di bagian belakang parade, terdapat barisan tentara dengan senapan panjang dan tombak. Terakhir, sekelompok orang membawa bendera Geneva yang berwarna merah dan emas, bergambar elang dan kunci.

Parade berlangsung sekitar setengah jam, lalu berakhir.

"Habis ini mau ke Pasar Natal?" tanya Tanjung ketika mereka meninggalkan lokasi parade bersama para penonton lainnya.

"Ayo," sambut Catherine penuh semangat.

Pasar Natal merupakan festival yang lazim diadakan di berbagai kota di Eropa. Bahkan sebenarnya di London pun, mereka sering mengunjungi pasar Natal. Namun tentu pasar Natal di Geneva memiliki suasana yang berbeda dengan pasar Natal di London.

Seperti namanya, pasar Natal hanya diadakan menjelang Natal. Pada hari-hari lainnya, hanya ada pertokoan biasa dan lapangan terbuka. Kali ini, kios-kios berdinding kayu dan beratap terpal merah, dihiasi lampu-lampu berwarna-warni, memenuhi lapangan terbuka itu. Kebanyakan kios menjual pernak-pernik dan kerajinan tangan. Ada juga yang menjual makanan dan minuman khas Geneva.

Catherine membeli ornamen kayu untuk menghiasi pohon Natal-nya di rumah. Tanjung, suami yang baik hati dan selalu mengalah, hanya mengikuti istrinya dan membawakan barang-barang belanjaannya. Namun ketika Catherine sibuk memilih lukisan kanvas di tengah-tengah keramaian, ia menyadari bahwa Tanjung menghilang dari sisinya. Ia segera membayar, lalu mencari-cari Tanjung.

Lima menit yang lalu dia masih di sini, seharusnya belum jauh, gumamnya dalam hati.

Matanya menyapu keramaian di pasar, mencari sosok pemuda berkulit kecoklatan dengan baju dingin berwarna biru tua, tetapi ia tidak menemukannya. Catherine terpaksa turun dari pelataran kios dan berbaur dengan pengunjung lainnya. Kepalanya celingukan. Tiba-tiba seseorang menyenggol lengannya yang membawa kantong berisi lukisannya hingga terjatuh.

Catherine mengembuskan napasnya. Dengan keadaannya sekarang ini, ia nyaris tak dapat membungkuk. Sedikit pasrah, ia berjalan ke arah kanvasnya, berharap tak ada yang menginjaknya dan merusakkannya. Ketika ia membungkuk perlahan untuk mengambil benda miliknya, sebuah tangan yang dibungkus kaos tangan berwarna hitam meraihnya terlebih dahulu.

"Kamu ke mana?" gerutu Catherine ketika ia menatap wajah suaminya.

"Aku beliin kamu ini," ujar Tanjung sambil menunjukkan topi Santa berwarna merah. "Maaf, aku nggak bilang-bilang. Kukira kamu masih lama. Aku mau memberikan kejutan."

"Oh," ucap Catherine sambil tersenyum kecil. "Kalau begitu kumaafkan."

Sambil mengapit lukisan di bawah lengannya, Tanjung melepas topi putih istrinya -- yang lebih pendek 15 cm darinya -- dan memasangkan topi Santa ke kepala Catherine.

"Tinggal ditambah kumis dan jenggot putih," candanya.

"Tanjung Jati! Kamu kira aku mau jadi Santa sungguhan?" Catherine menepuk bahu suaminya keras-keras.

"Kalau mau, aku carikan," ujar suaminya tanpa penyesalan. "Ayo, kamu mau ke mana lagi? Kutemani." Ia merentangkan tangannya dan merangkul Catherine.

"Makan," sahut Catherine.

"Aku juga udah lapar," kata Tanjung.

Mereka berkeliling ke daerah kios yang menjual makanan, melihat-lihat apa saja yang tersedia di sana sebelum menentukan pilihan.

"Ngomong-ngomong, Cath, libur Natal nanti, ayahku akan datang ke London," ujar Tanjung.

Catherine terdiam sesaat. Indra Jati adalah musuh bebuyutannya. Ia tak mau bertemu ayah mertuanya, tetapi ia juga tak mungkin melarang Tanjung menemuinya.

"Lalu?"

"Aku akan bilang pada Ayah, aku mau berlibur di Geneva," lanjut sang suami. "Bersamamu."

"Gimana kalau dia melarang?"

Tanjung mengedikkan bahu. "Aku akan memaksa. Kurasa, Ibu pasti akan mendukungku. Lagipula, bukankah itu wajar kalau aku mau menemui istriku sendiri? Ayah kan nggak tahu kalau selama ini aku ada di Geneva bersamamu." Ia menempelkan bibirnya ke puncak kepala Catherine yang tertutup topi merahnya. "Tenanglah, Cath. Ketika aku bilang, us against the world, always and forever, I really meant it."

Catherine melingkarkan lengannya ke pinggang Tanjung. "That's why I love you."

.

.

.

[27 November 2018]

1700++ kata

Latihan nulis parade l'Escalade, kok susah ya. :P Yah sesekali manis2 dikit dong mereka, pada masanya mereka romantis juga kok hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top