[JungCath] Kekacauan di Dapur
Seharusnya aku ga nulis ini. Makin gamon sama keluarga Jati. Tapi idenya ngalir terus gimana dong? Sekalian bikin cuplikan kesulitan JungCath ngurus anak, karena kurang ditunjukin di Liaisons.
Paris, Januari 1985
"Jason!" seru Catherine.
Balita berusia dua tahun itu menoleh ke arah ibunya dengan mata bulatnya. Tak ada penyesalan di wajahnya, walaupun cupcake yang tadinya berbaris rapi di loyang kini serempak mencium lantai. Krimnya belepotan ke mana-mana, mulai dari sisi oven hingga puncak kepala Jason.
"Mama!" balas putranya, mengulurkan kedua tangannya yang juga berlapis krim.
Catherine menarik napas dalam-dalam, berusaha tidak melampiaskan kekesalannya terhadap sang kriminal cilik. Terbayang di benaknya bagaimana ia harus membereskan semua kekacauan itu. Memandikan Jason. Membersihkan dapur. Lalu memanggang cupcake lagi. Ada acara potluck nanti sore dan ia sudah berjanji membawa cupcake buatannya. Sedangkan Tanjung masih belum pulang dari kampus.
Ia ingin mengamuk atau menangis. Jason yang menggemaskan itu termasuk anak baik yang mudah dinasihati, tetapi ia belum paham banyak hal. Catherine merasa Jason mengacaukan hidupnya. Seharusnya ia masih bebas sendirian, bukan menjadi ibu di usianya yang keduapuluh tiga tahun.
Catherine menghentikan aksinya mengelap kompor. Ia duduk di lantai dapur lalu menangis. Tak dihiraukannya Jason yang masih menikmati krim kue dari jari-jari mungilnya. Bocah lelaki itu terpana melihat ibunya, lalu mulai panik.
"Mama?" Ia mendekati Catherine dan mengusap bahunya dengan tangan. Lalu mulai ikut menangis.
Catherine mengguncang bahu Jason perlahan. "Jason, Mama sayang kamu tapi Mama kesal, tahu?" ujarnya di sela-sela air matanya. "Dan sekarang ayahmu yang nggak berguna itu malah entah ada di mana!"
Tangisan Jason semakin keras. Ia memeluk Catherine sehingga krim di tangannya kini mengotori rambut ibunya.
Hati Catherine melunak. Ia balas memeluk Jason dan mengusap punggungnya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mama maafkan kamu." Ia menghapus air mata Jason lalu air matanya sendiri. "Tapi kamu nggak boleh keluar dari boks sampai Papa pulang. Ngerti?"
Jason hanya menenggelamkan wajahnya di dada Catherine. Krim di mulutnya kini melumer di kaos ibunya.
"Haduhhh ..." desah Catherine.
"Aku pulang!" seru Tanjung dari pintu apartemen. "Wangi sekali, Cathy, Sayang. Mana Jason?"
Lelaki itu membelalakkan matanya melihat istri dan putranya duduk di lantai dapur dikelilingi cupcake yang hancur, dengan krim di rambut Catherine dan hampir seluruh tubuh Jason.
Melihat Tanjung dengan wajah terkejutnya, Catherine malah menangis lagi.
"Loh, Cath, ada apa, Sayang?" tanya sang suami.
"Aku kesal melihatmu enak-enakan ke kampus sementara aku harus mengurus Jason sendirian di rumah!" adu istrinya. "Aku bebersih rumah, ngurus Jason, bikin cupcake ...."
Padahal Catherine dan Tanjung sudah bersepakat untuk bergantian mengurus Jason. Sekarang Tanjung mulai mempersiapkan penelitiannya untuk tesis, sehingga Catherine lebih banyak mengambil alih tanggung jawab itu. Namun kalau diingatkan begini, tentu saja Catherine akan semakin mengamuk.
"Biar aku yang beresin," potong Tanjung sambil menjatuhkan ranselnya lalu menggendong Jason. "Dapur juga, biar aku bersihin. Cupcake beli di luar saja."
"Papa! Mama mayah ..." keluh Jason sambil melingkarkan tangannya ke leher Tanjung.
"Iya, gara-gara Jason mainan kue. Siapa bilang boleh Jason jatuhin cupcake? Hmm?"
Jason menunduk lalu menggeleng. "Ga boyeh, Papa."
"Bener, nggak boleh, Sayang. Sudah, sekarang kamu mandi dulu."
Tanjung melepaskan baju Jason dan memasukkannya ke dalam bak mandi yang masih kosong. Lalu menyalakan shower dan menyiram tubuh Jason sehingga bersih dari krim kue. Setelah selesai, ia membungkus Jason dengan handuk dan memakaikan baju bersih.
"Jason di boks dulu. Papa mau bersihin dapur," tegas Tanjung sambil memasukkan anaknya ke dalam boks.
"Papa, ga mau ..." protes Jason.
"Kamu harus di boks, nanti Mama marah lagi." Tanjung memasukkan buku anak ke dalam boks. "Nih, Jason baca dulu, ya."
Mendengar kata 'Mama marah', Jason langsung terdiam. Ia pura-pura sibuk membolak-balik halaman bukunya, tetapi sudut matanya mengawasi ayahnya. Tanjung segera keluar dari kamar dan kembali ke dapur.
Catherine masih duduk di lantai, tampaknya bergeming sejak tadi. Air mata turun membasahi pipinya. Bercampur dengan krim dan wajah cemberut, ia terlihat mengerikan.
"Sayang ..." panggil Tanjung. Ia langsung berlutut di sebelah Catherine dan memeluknya. "Tenang saja, aku yang beresin semua." Ia mengusap kepala Catherine, yang menyeka wajahnya dengan kemeja suaminya.
"Untung kamu cepet pulang, kalau nggak ..." desah Catherine.
"Tidur di sofa?" lanjut Tanjung.
"Ihh!" gerutu Catherine, kesal diledek.
"Sana mandi, biar aku bersihin dapur," ujar Tanjung. "Atau kamu mau aku mandiin juga kayak Jason?" Ia menyengir dan mengedipkan satu matanya.
"Kamu kira ini lucu, Tanjung Jati? Coba kamu yang ngalamin." Catherine menghela napas. "Kita belum siap punya anak, Jung. Segimana pun kamu bantu, tetap saja aku yang lebih repot. Perempuan selalu lebih dirugikan dalam urusan rumah tangga."
Tanjung meletakkan kedua tangannya di bahu Catherine. "Jika ada yang bisa kulakukan untuk meringankan bebanmu, pasti kulakukan. Aku sudah coba melakuan semua yang kubisa. Kalau itu masih kurang, bilang padaku, jangan menyalahkanku seperti ini."
"Aku mau waktu untukku sendiri," keluh Catherine. "Lihat ini, aku masih belum sekurus dulu." Ia mencubit sisi pinggangnya sendiri. "Lalu aku ingin keluar malam dan bersenang-senang, berdua denganmu saja. Tapi itu nggak mungkin ...."
"Mungkin, kalau kita mengajak Rina kemari ...."
Rina adalah nama pengasuh Jason selama mereka masih di Inggris.
"Nggak, sudah kubilang, kita harus lepas dari orangtua kita."
"Kalau begitu, permintaanmu agak susah, Sayang. Kita berkorban sedikit lagi, ya, sampai Jason sekolah dan bisa ditinggal sendirian."
Tanjung mengulurkan tangannya untuk menarik Catherine berdiri. "Kalau kamu nggak mau kumandiin ..." ia tersenyum.
"Nggak usah, deh," ujar Catherine setengah tersipu. "Lain kali aja, kalau mood-ku udah baik."
"Ya, tenangin diri dulu, Sayang. Kalau kamu mau me time, pergi ke potluck sendiri, nggak apa-apa juga. Biar aku dan Jason di rumah aja."
Catherine menggeleng. "Maunya sama kamu juga."
Tanjung tertawa dan memeluk Catherine lagi. "Aduh, istriku manja sekali sama aku." Ia mengusap rambut Catherine dan mencium keningnya. "Nggak apa-apa, aku senang."
"Ih, padahal kamu juga manja ke aku," balas Catherine.
Tanjung melingkarkan lengannya ke bahu Catherine dan menggiringnya ke kamar mandi. "Kalau nggak dianter, kamu nggak mandi-mandi."
Catherine mengusap matanya dan mengamati Tanjung dengan saksama. "Itu kemejamu kotor banget. Padahal merek Hugo Boss."
"Kan kebiasaanmu, Cath," cengir Tanjung. "Kamu ingat gimana kamu ngerobek kemejaku waktu 'itu'? Lalu setelah menikah, kamu basahin jas Armani-ku. Tapi semua itu nggak sebanding, Cath. Sentuhanmu dan air matamu lebih berharga dari semua kemejaku."
"Emang kamu jago gombal, ya," cibir Catherine. Namun jarinya sudah sibuk melepas kancing kemeja Hugo Boss suaminya.
Tanjung menyengir lagi. "Katanya nggak mau dimandiin?"
"Aku berubah pikiran."
.
.
.
(31 Desember 2018)
1000++ kata
Nulis cuma 1 atau 1,5 jam, di hp pula XD
Btw itu Tanjung pake kemeja Hugo Boss ke kampus gara2 semua kemejanya emang bermerek. Dia belum beli kemeja baru yang lebih sederhana, wkwkwk.
Potluck: Acara seperti piknik, setiap pesertanya harus membawa makanan sendiri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top