[CEO] Kesempatan Kedua

Cerita: My Hot, Cold, Jerk, Billionaire, Bad Boy CEO (Bonus #1)

[SPOILER WARNING] Bagi yang belum membaca My Hot CEO sampai tamat, sebaiknya tidak membaca cerita ini.

.

.

.

.

.

Tangerang Selatan, 2020

Ruko Warung Nasi Goreng Mbak Kiki di daerah Tangerang Selatan itu disesaki pengunjung. Pembukaan perdana restoran Chrystell berlangsung meriah. Chrystell telah melakukan promosi gencar di media sosial dan berita mulut-ke-mulut. Apalagi ditambah diskon limapuluh persen untuk seratus pengunjung pertama dan kerja sama dengan kartu kredit Gold Bank, semakin menarik perhatian warga untuk mencoba makanan di sana.

Ya, tiga tahun setelah Chrystell membangun bisnis restoran di Tegal, akhirnya ia membuka cabang pertamanya. Ia tak menyewa bangunan di Jakarta. Sudah terlalu mahal. Tangerang Selatan menjadi alternatif yang menjanjikan -- kota satelit di barat daya Jakarta ini ramai dan mudah dikunjungi karena adanya akses jalan tol langsung yang menghubungkannya dengan Jakarta.

Semua tokoh di cerita ini muncul (kecuali Juli). Yang pertama, tentu saja Alex, yang masih bertahan sebagai pegawai restoran Chrystell di Tegal. Lalu sahabat-sahabat Chrystell, Arum, Mina, dan Randu. Datang pula sahabat-sahabat Alex, Valdo -- yang merasa puas dan bangga karena Chrystell sudi bekerja sama dengan kartu kredit Gold Bank -- dan Renita yang membawa suami dan putrinya. Keluarga Chrystell: Pak Jordi, Bu Inem, Cindy, dan adik bungsu Chrystell, Clarissa (eh, dia belum pernah muncul, sih). Terakhir namun terbaik, keluarga Alex, yaitu Pak Acton, Bu Acton, dan Mbah Tari.

Para tokoh duduk di kelompok mereka masing-masing. Arum, Mina, dan Randu semeja. Valdo, Renita, dan suami serta putri Renita semeja. Pak Jordi, Bu Inem, Cindy, suaminya, Indah, dan Clarissa semeja. Pak Acton, Bu Acton, dan Mbah Tari semeja. Chrystell dan Alex berpindah-pindah meja, mengobrol bergantian dengan para tamu. Ucapan selamat dan canda tawa mendominasi percakapan.

"Jadi lu masih bertahan nungguin Chrystell?" tanya Valdo. "Udah setahun, Lex. Dia belum ngasih jawaban, mending lu move on aja, kali?"

"Salah, bukan dia yang belum ngasih jawaban, tapi gue yang belum nanya lagi," ralat Alex. "Lagian dia bilang mau fokus kuliah. Dia baru lulus tahun depan, gue tunggu sampai waktu itu baru ngomong lagi. Nggak enak kaya maksa-maksa. Dulu gue gitu, sekarang jangan sampe ngulang kesalahan yang sama."

"Wesss ... gue beneran nggak nyangka lu tahan. Cinta memang mengubah segalanya, ya?" ledek Renita.

Alex meneguk teh hangat yang berada di hadapannya. "Biarin, lah. Yang penting gue bisa ngelihat dia setiap hari," ujarnya sambil menatap Chrystell yang tertawa dengan keluarganya.

"Meskipun ngosek WC?" cecar Renita lagi.

"Meskipun ngosek WC," tegas Alex.

"Eh, itu teh gue, kali! Lu kan baru duduk di sini!" protes Valdo. "Idih, amit-amit gue ciuman nggak langsung sama elu!"

"Hush! Ada anak gue," tegur Renita, memandang ke kereta dorong di mana bayinya masih tertidur.

"Anak lu belum ngerti 'ciuman nggak langsung', cuy," ujar Valdo.

Renita melotot. Suaminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan aneh ketiga sahabat ini.

***

Sementara itu, di sisi lain, Chrystell mengobrol dengan keluarganya. Seperti biasa, sang ibu mendesak putri tertuanya untuk menikah kembali.

"Emang enak, jadi janda kelamaan?" tegur Bu Inem.

"Ibu! Janda apanya. Aku, tuh, single, Bu. Single," balas Chrystell. "Lagian nikah cuma sebulan, nggak kerasa, tuh."

Bu Inem menggeleng. "Tetap aja, orang-orang lihatnya udah bekas. Cowok ganteng kaya apa pun, kalau tahu kamu udah pernah nikah, belum tentu mau sama kamu."

Chrystell cemberut. "Ibu kok gitu, sih? Anak sendiri malah dikatain. Maunya Ibu apa, dong?"

Bu Inem melirik ke Alex. "Kiki," bisiknya, "si Lex-Lex kan masih setia sama kamu, tuh. Mau nunggu berapa lagi? Cepet balikan sama dia aja! Toh, dia udah berubah, kan? Tapi keluarganya masih kaya. Nanti kalau dia udah pulang ke Jakarta, kamu nyesel, deh, kehilangan dia."

"Ibu, sudahlah, jangan gangguin Mbak Kiki terus," ujar Cindy. "Biar Mbak nentuin jalan hidupnya sendiri. Toh, Mbak juga udah sukses."

Bu Inem menggeleng. "Nggak bisa. Ada cowok kaya setia begitu harus digaet."

"Ah, Ibu. Nanti, deh, Bu, abis Kiki lulus kuliah, baru mikir lagi. Itu pun kalau Alex masih mau nungguin. Kiki sengaja mau lihat, dia beneran niat apa omong doang," ujar Chrystell.

Bu Inem menghembuskan napasnya. "Risa, ntar kamu jangan aneh-aneh kaya mbakmu, ya? Pokoknya kalau ada cowok ganteng kaya yang naksir kamu, langsung digaet!"

"Bu, nasihat apa itu?" tegur Pak Jordi. "Asal lelaki baik-baik, sayang sama anak kita, bisa jagain keluarga, udah cukup, tho, buat Bapak."

"Buat Bapak apa buat aku?" tawa Clarissa.

"Maksudnya Bapak bakal restuin, Ris," jelas Pak Jordi.

Bu Inem mendengus. "Kiki udah batal. Cindy juga nikah sama lelaki biasa-biasa aja. Risa, lah, harus membahagiakan Ibu."

Chrystell mendorong kursinya dan bangkit berdiri. "Maaf, Bu, Kiki harus ngeladenin tamu lain. Nanti Kiki balik lagi."

***

Setelah mengobrol dengan Valdo dan Renita, Alex bergabung dengan keluarganya. Berbeda dengan keluarga Chrystell, mereka tak menuntut Alex untuk menikah lagi, tetapi membiarkan lelaki itu mengambil keputusan sendiri. Mbah Tari apalagi, tak berani banyak bicara selain menyeletuk aneh-aneh seperti biasanya. Ia kapok menjodohkan Alex dengan siapapun.

"Alex," ujar Pak Acton.

"Ya, Pa?"

"Papa rasa, kamu udah boleh pulang ke Jakarta. Kamu udah buktiin bahwa kamu bisa berubah. Kamu nggak perlu menyiksa dirimu lebih lama dengan bekerja di restoran Chrystell di Tegal. Kamu boleh kerja di kantor Papa lagi -- mungkin nggak langsung jadi CEO, tapi manajer atau GM."

"Pa, aku masih mau memenangkan hati Chrystell," ujar Alex.

Pak Acton mengangguk. "Udah setahun, Lex. Jangan terlalu maksa. Siapa tahu dia emang nggak mau balik lagi sama kamu. Kamu harus merelakannya."

"Dia bilang, tunggu dia lulus kuliah. Dan aku akan tunggu sampai dia lulus tahun depan," kata Alex.

"Ya, pokoknya kamu coba lagi tanya sekarang. Siapa tahu dia udah punya jawaban. Daripada kamu nunggu-nunggu nggak ada kepastian. Soal nikah emang bisa nunggu lulus kuliah, tapi kamu harus yakin kalau dia mau balikan sama kamu," saran Pak Acton.

"Mama dan Mbah nggak apa-apa kalau aku memilih Chrystell lagi?" tanya Alex.

Bu Acton dan Mbah Tari saling berpandangan.

"Keberatan gimana, Cu. Wong Mbah yang milih dia buat jadi istrimu," ujar Mbah Tari.

"Mama nggak keberatan. Yang penting kamu bisa bikin dia bahagia sekarang," sahut Bu Acton.

Alex tersenyum. "Makasih, Mbah, Mama."

***

Chrystell berbohong pada ibunya. Ia bukannya meladeni tamu lain, namun duduk menyendiri di dapur. Para koki dan pegawainya sibuk berlalu lalang melayani pesanan pengunjung, namun Chrystell tak terganggu dengan keramaian itu. Pikirannya melayang ke ucapan ibunya. Salah satu alasan mengapa ia memilih tinggal di kos di Tegal, tak lagi bersama orangtuanya di kabupaten, yaitu karena sang ibu selalu mengatakan hal-hal yang menyakitkan dirinya. Meskipun Chrystell berlagak kuat di hadapan semua orang, tentu saja ia ingin dibanggakan oleh orangtuanya. Namun sepertinya Bu Inem hanya memandangnya sukses jika menikah dengan lelaki kaya.

Mending aku cari laki paling miskin trus kunikahin, cuma biar Ibu kesel, pikirnya.

"Tel!" Suara Alex mengejutkan lamunannya. "Dicariin Arum sama Mina, tuh!" Lalu ia menatap wajah Chrystell yang murung. "Loh, kenapa kamu, Tel?"

Chrystell menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Jangan bohong. Kalau cewek ngomong nggak apa-apa, itu artinya ada apa-apa."

Chrystell mencebik. "Itu artinya ada apa-apa tapi aku nggak mau kasih tahu kamu," ujarnya sambil menjulurkan lidah. Lalu bangkit berdiri. "Udah, aku keluar. Biar nggak ditanyain terus."

Ia menemui Arum, Mina, dan Randu, lalu ber-haha hihi dengan teman-teman lamanya. Arum sudah berhenti bekerja sebagai office girl. Ia bekerja di laundry sebagai tangan kanan bosnya, di Tangerang Selatan juga, tak jauh dari restoran baru Chrystell. Sedangkan Mina masih bertahan di kantor perusahaan Acton di Jakarta Barat dan diangkat menjadi supervisor para office girl dan boy. Mereka berdua sudah menikah dan memiliki anak, namun tak membawa serta suami dan anak-anak mereka. Randu masih tinggal di Brebes dan berjualan telur asin. Peternakannya semakin besar dan sukses. Chrystell paling sering bertemu Randu, meskipun lelaki itu tak lagi mengunjungi restorannya setiap hari.

Jam sepuluh malam, akhirnya restoran tutup. Berbeda dengan daerah, rata-rata restoran di Tangerang Selatan memang buka sampai larut malam. Bahkan di Jakarta, ada yang buka sampai dini hari. Chrystell duduk di salah satu kursi sambil mengamati pegawainya bekerja. Ada yang membersihkan meja. Ada yang menyapu lantai. Alex termasuk golongan yang menyapu lantai.

Alex menarik kursi dan duduk di sebelah Chrystell. "Tel, yakin nggak mau cerita sama aku?"

Chrystell menggeleng. "Nyapu dulu sampai selesai, Lex."

"Oke, oke." Alex pasrah. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Setelah restoran ditutup dan dikunci, Alex mengantar Chrystell ke rumah saudaranya di mana ia menginap selama berada di Jakarta. Ia menggunakan salah satu mobil lamanya, bukan Mercedes seperti dulu, melainkan Toyota Camry.

Sambil menyetir, Alex memikirkan ucapan ayahnya. Mungkin tak ada salahnya jika ia bertanya lagi kepada Chrystell, meminta kepastian. Namun ia sedikit takut. Takut jika Chrystell menolaknya. Mengatakan tidak hanya karena ia masih belum berhasil meyakinkannya. Siapa tahu jika ditunda lebih lama lagi, Chrystell mungkin menjawab iya. Namun Alex berpikir ulang, Chrystell bukan perempuan seperti itu, yang suka main tarik ulur dengan hati lelaki.

"Chrystell!" "Alex!" Mereka berucap bersamaan.

"Kamu dulu," ujar Alex.

"Itu ... yang mengganggu pikiranku ... Ibu."

"Ibumu kenapa?"

"Ngatain aku macem-macem karena belum menikah lagi. Bilang aku nggak bakal laku karena status jandaku."

Alex mendengus. "Kenapa kamu nggak lapor dari tadi? Udah aku dempul mulut ibumu." Kemudian ia melirik ke arah Chrystell. "Maaf, maksudnya aku akan bilang ke ibumu kalau kamu tetaplah kamu yang keren, apapun statusmu. Lagian emang kamu barang? Dibilang laku segala."

Chrystell tersenyum kecut. "Yah, gitu, deh. Bikin aku kesel dikit. Tapi ya sudah, Ibu emang masih kolot."

"Tel," ujar Alex sambil menggenggam tangan Chrystell dengan satu tangannya. "Ada, kok, lelaki yang mau sama kamu meskipun kamu udah pernah bercerai."

"Siapa?" Chrystell mengangkat kepalanya dan menoleh ke Alex. "Oh, aku tahu. Kamu, kan?"

Alex meringis. Ia merasakan jantungnya berdetak cepat. "Gini, Tel. Papaku bilang aku udah boleh pulang ke Jakarta."

"Oh. Terus?" tanya Chrystell.

"Aku sebenarnya masih nungguin kamu, cuma papaku suruh aku nanya, gimana denganmu? Kamu ... kamu mau ngasih kesempatan kedua untukku atau enggak? Kalau enggak, biar aku mundur teratur dan pulang ke Jakarta aja."

"Kalau ... kalau aku terima kamu balik ... keenakan Ibu!" gerutu Chrystell.

Alex menghentikan mobilnya di tepi jalan agar dapat berkonsentrasi lebih baik pada Chrystell. Dengan keadaannya yang berdebar-debar seperti ini, ia khawatir akan menabrak.

"Kalau nggak ada Ibu ... kalau nggak ada siapapun di dunia ini kecuali kamu dan aku ... apa jawabanmu, Chrystell? Aku masih mencintaimu. Aku ingin kembali bersamamu. Kecuali kamu nggak mau."

Jantung Chrystell ikut berdebar-debar. Bersama Alex, ia merasa telah nyaman, telah terbiasa. Selama setahun, lelaki ini telah membuktikan bahwa ia mampu bersikap sabar, mampu bertahan dalam kesulitan, mampu bekerja keras. Namun apakah ini semua benar? Apakah Alex bukan hanya sedang mengejarnya, makanya ia menahan diri? Jika ia mengatakan ya, apakah Alex akan kembali seperti semula?

"Lex ... kamu nggak bersikap baik, sabar, dan tahan selama ini ... cuma buat menangin hatiku, kan? Aku khawatir, kalau kamu dapetin aku, nanti kamu berubah jadi kaya dulu lagi. Aku masih ragu, Lex."

Alex menggeleng kuat. "Nggak, Chrystell. Kenapa kamu bisa berpikiran kaya gitu? Aku hanya ingin buktiin ke kamu, aku benar-benar udah berubah. Bahkan aku nggak berani berharap bakal dapetin kamu lagi. Aku cuma tunjukin perasaanku. That's it. Terserah kamu mau terima aku balik atau enggak."

"Omonganmu meyakinkan, tapi aku nggak tahu itu cuma di mulut atau dari hati," ujar Chrystell.

"Ketidakpercayaanmu menyakitkan, Tel," ujar Alex.

"Suruh siapa dulu jadi playboy cap kardus. Kalau dari dulu kamu lelaki baik, aku bakal percaya sama kamu."

"Iya, aku dulu emang brengsek. Tapi apakah aku nggak layak dapat kesempatan kedua? Aku nggak maksa kamu langsung nikah sama aku, Tel. Kalau kamu ngerasa nggak bisa percaya sama aku lagi, kita bisa putus."

"Tapi itu jahat namanya, Lex. Pacaran buat coba-coba. Nggak cuma kamu, aku juga bakal sakit."

Alex meraih kedua tangan Chrystell dan menggenggamnya. "Berarti kamu ... juga ada sedikit suka padaku, kan?"

Chrystell menarik tangannya dan menutup wajahnya. "Akhir minggu ini ... sebelum aku balik ke Tegal ... aku akan berikan jawabanku, Lex."

***

Beberapa hari kemudian, Chrystell mengajak Alex berjalan-jalan di taman sakura AEON Mall BSD. Karena masih siang dan hari biasa, tempat itu tak begitu ramai. Padahal kalau malam hari, ketika lampu-lampu pink menyala dalam bentuk bunga sakura, taman itu akan dipenuhi pengunjung yang ingin berfoto atau sekadar menghabiskan waktu.

Alex pasrah. Apapun jawaban Chrystell, ia berusaha melapangkan dada. Memang sulit membuat orang percaya padanya. Makanya ada pepatah, kepercayaan lebih berharga daripada kekayaan. Selain karena kepercayaan sulit diraih, kehilangan kepercayaan juga dapat menyebabkan kehilangan kekayaan.

"Lex," Chrystell membuka suaranya, "aku akui, aku emang suka sama kamu. Dari dulu. Tapi hubungan yang baik nggak cuma berdasarkan perasaan suka. Harus dilandasi rasa saling percaya. Dan aku akui, aku emang nggak gampang percaya sama kamu. Aku nggak bisa nyerahin kebahagiaanku begitu aja ke tanganmu.

"Tapi ... terlalu jahat kalau aku bohongin diriku sendiri. Bohongin kamu. Cuma karena aku nggak ngasih kesempatan kedua sama kamu. Karena itu ..."

Ia berhenti sejenak. Memandang ke hamparan kabel listrik dan lampu yang tak menyala. Berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar semakin cepat.

"Aku akan kasih kamu kesempatan, Lex. Aku mau mulai percaya lagi sama kamu."

Alex tak mempercayai telinganya. "Oh, Chrystell, makasih banyak. Aku janji nggak akan ngecewain kamu."

"Lebih baik dibuktikan, Lex," ujar Chrystell.

Alex ingin memeluk Chrystell, namun diurungkannya. Mereka hanya berdua di siang bolong -- bisa-bisa diciduk kalau kelihatan berpelukan. Maka ia mengajak Chrystell berjalan-jalan di dalam mall saja, beradem ria sekaligus menunggu malam hari tiba, untuk melihat lampu-lampu di taman sakura.

Beberapa jam kemudian, matahari mulai turun. Lampu-lampu di taman sakura mulai menyala. Chrystell melihat ke luar pintu dan mengajak Alex kembali ke sana. Mereka baru saja menghabiskan seharian di dalam mall, jajan sushi dan es krim mochi, melihat-lihat pakaian di department store, serta membaca buku di toko buku. Alex membawakan belanjaan mereka yang tak terlalu banyak ke dalam mobil sebelum berjalan-jalan di taman.

"Wah, bagus, ya! Aku belum pernah lihat, soalnya aku baru pertama kali ke sini," ujar Chrystell.

"Aku juga belum. Sebelum ini, baru sekali ke AEON Mall. Habis mall-nya jauh dan nggak keren-keren seberapa gitu," kata Alex. "Tapi sushi-nya enak, sih. Murah lagi."

Chrystell mengangguk. "Aku mau foto-foto, dong, Lex. Fotoin aku," pintanya sambil menyerahkan ponselnya.

Alex menuruti permintaan perempuan itu. Chrystell berulah seperti biasanya, memamerkan berbagai wajah aneh selama di foto. Setelah puas, ia tertawa sendiri melihat hasil fotonya di ponselnya.

"Kenapa kamu suka bikin muka aneh-aneh gitu, sih?" tanya Alex.

"Biar lucu. Kamu nggak gaul, nggak kekinian," kata Chrystell.

Alex mengangkat bahunya. "Kegantenganku ilang kalau aku aneh-aneh."

"Berarti kegantenganmu kurang haqiqi," tawa Chrystell.

Diam-diam Alex memotret Chrystell yang tersenyum memandangi ponsel. Lalu menunjukkan hasilnya kepada Chrystell. "Nah, kalau gini, kan cantik. Lebih cantik daripada lampu-lampunya."

"Huuu, gombal!" cibir Chrystell.

"Masa nggak boleh gombal, sih, Tel?"

.

.

.

Bersambung.

2300++ kata

[15 Februari 2018]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top