Tujuh Belas|Tersembunyi

        Dear Penny,
 
        Rumit itu adalah ketika orang yang kausayangi menyukai orang lain yang juga kausayangi.

                                ***

   "Karena waktu itu gue pikir, gue suka sama Kirana Muthiara," ucap Aidan , diikuti dengan helaan napas yang panjang. "Udah gue beritahu, kan? Sekarang ayo pulang."

      Kirana Muthiara.

      Benakku serasa mencelos dan semuanya seperti berhenti. Ironis bahwa rasanya sekarang berlipat-lipat jauh lebih buruk daripada saat ia membentakku sewaktu aku dijebak oleh Grace namun reaksiku waktu itu malah lebih banyak dibandingkan reaksiku sekarang.

      Aku bingung. Tidak tahu lagi harus mengeluarkan ekspresi seperti apa. Aku tidak bisa menangis, juga menggigit bibir, hanya diam.

      "Kenapa lo gak ngasih tahu dari dulu?" rasanya dadaku nyeri, namun mataku hanya kosong. Tidak sekali pun melihat wajahnya.

      "Gue gak bisa dengan random, gak ada angin gak ada hujan, langsung tiba-tiba bilang kan? gue takut lo mandang gue aneh, atau buruknya, malah nganggap kalau itu alasan gue mau berteman sama lo  karena gue sama sekali gak berpikiran kayak gitu," tegas Aidan. "Udah, ayo pulang, sekolah udah sepi nih."

       Aku buru-buru membungkuk meraba lantai, memungut semua sketsa yang berjatuhan. Seorang Anya ketahuan mengumpulkan kertas sketsa Aidan dari tempat sampah.

       Aku merasa malu, walau aku yang memutuskan dan yakin mau menerima resikonya, tapi aku sama sekali tidak pernah membayangkan rasanya akan seperti ini, terlepas dari kenyataan yang ternyata jauh lebih besar dari yang kubayangkan, terlalu besar untuk ditelan begitu saja.

      Karena merasa tak enak hati, dapat kurasakan Aidan ikut membantuku memunguti sketsa itu⎯sketsa yang ia gambar sendiri⎯dengan gerakan tangan yang cepat.

      Aidan berdiri, aku juga berdiri. Lalu cowok itu mengambil dua lembar kertas sketsa yang baru selesai kupungut, dan menyatukan semuanya dengan sketsa yang ia peroleh.

       "Nih." Aidan menyodorkan sketsa-sketsa yang sudah tersusun rapi di dalam map biru muda. Cowok itu mendesah panjang. "Gue gak pernah ngasih tahu bukan cuma karena gak ada momen yang pas, juga karena kalau gue seolah lu--"

     Aku tidak mendengar apa yang ia katakan selanjutnya, entah kenapa, semua ini seolah memacu kakiku berjalan melewati cowok itu begitu saja.

     Apa masalahmu Anya? Aidan tidak melakukan kesalahan apa pun.

     Aidan langsung berlari satu langkah di depanku, lalu ia menarik tanganku erat.

     Benar-benar aneh begitu mengingat hal itu bisa membuatku senyum kemarin namun langsung membuatku merasa ingin pergi hari ini.

       Refleks, aku menarik tanganku. Dan itu membuatnya terkejut.

      Aku langsung menyesal melakukan itu. Karena detik itu juga, kening Aidan berkerut lalu cowok itu berkata, "Lo kenapa?"

      Aku menelan ludah, tidak mengalihkan wajahku yang seperti kehilangan ekspresi dari jalan di depanku, membuat Aidan yang berdiri di sebelahku menatapku lekat.

      "Minggir," ucapku datar, lalu berjalan melewatinya begitu saja.

     Sumpah, Anya, lo kenapa? Dia gak salah, perasaan lo sama sekali bukan tanggung jawabnya.

    Aku tahu itu, aku paham betul. Tapi walau begitu, rasanya sulit sekali untuk tetap tinggal di sana. 

      Baru sepuluh langkah aku berjalan sendirian, rasanya ada seseorang yang memegang bahuku.

      Aku mendongak, melihat ekspresi wajah Aidan yang berubah sepenuhnya. Matanya menajam, aliasnya menaut, dapat kulihat garis wajahnya mengeras. Tanpa kuketahui sejak kapan, Rautnya tidak hangat lagi.

      Cowok itu menyambar tanganku agak keras dari sebelumnya, lalu menggenggamnya erat sampai ke tempat parkir.

      "Gue gak tahu kenapa lo mendadak jadi sedingin ini, gue bukan cowok yang pintar dalam menilai atau menghibur lo," ucap Aidan sembari berjalan ke depan, tidak melihat wajahku. "Yang jelasnya mau lo menghindar dari gue, gue tetep gak akan ngebiarin lo pulang sendirian."

***

      "Makasih," ucapku, membelakangi Aidan dan berjalan menuju pintu depan rumah.

      "Hm," jawab Aidan lalu motornya melaju kencang.

      Ketika kurasa ia sudah jauh di depan, aku berbalik dan menatap punggungnya. 

      Aku menghela napas, berjalan masuk ke rumah.

      "Lo kenapa, Anya? Gak kayak biasanya," ucap Lya heran begitu aku menaiki tangga menuju kamarku.

       Aku hanya menggeleng lalu membuka pintu kamar, menutup dan bersandar di baliknya.

      Aku menekuk lutut lalu menundukkan kepalaku ke atas lipatan tangan.

     Aku yang tadinya datar dan tidak tahu harus berekspresi apa, detik ini langsung mengeluarkan semua yang tadi kutahan. Membiarkan pipiku sendiri basah.

      Dan aku bersyukur, karena dengan begitu, ia tidak perlu melihatnya.

***

Aidan's POV

       Aku duduk di lantai kamar, menyandarkan punggungku ke sisi tempat tidur. Musik yang kuputar terus kukeraskan hingga volume-nya mencapai 89%

       Sweet Child O' Mine dari Guns 'n Roses mengalun keras ke segala penjuru kamar. Tanganku memegang buku sketsa, di mana wajah gadis itu⎯Kira⎯terpampang jelas.

      Namun aku tidak merasakan perasaan yang biasanya kurasakan setiap menggambarnya. Entah kenapa. Sejak Grace pindah dan membuatku sadar tentang perasaanku sendiri, ketika menggambar Kira, rasanya juga sudah beda.

      "Gue gak ngasih tau lo bukan cuma karena gak ada momen yang pas, tapi karena gue seolah lupa soal dia kalau lo ada." Aku kembali mengingat ucapanku di perpustakaan tadi sore.

      Ah sial. Sial. Sial.

      Sebelum aku menyelesaikan ucapanku yang itu, Anya langsung berjalan melewatiku dan di saat itu aku benar-benar terkejut.

      Kenapa dia melakukan itu? Apa dia dengar ucapanku sebelumnya?

      Pikiranku terus diisi Anya, Anya, dan Anya.

     Mengapa cewek itu tadi mendadak dingin? Apa aku melakukan kesalahan?

      Aku memejamkan mata kuat-kuat, kudengar samar-samar suara Reza dari arah meja komputer di pojok kamar. "Woy! Earphone lo ke mana? kalau mau budek, jangan libatkan gue juga!" teriaknya.

       Aku tetap memejamkan mata, menyandarkan kepala ke tepi tempat tidur, kuubah volume musik menjadi 100% pas ketika bagian gitar listrik berdurasi panjang di bagian lagu itu terdengar. Bagian legendaris yang paling kusuka.

       "Woi, Aidan!" teriak Reza lagi. "Rese amat dari tadi, Guns 'n Roses volume 100%, tak lain tak bukan, lo pasti galau!" Reza menekan tobol pause pada game-nya.

      "Ck," Aku mendecak kesal, kembali menutup mata.

       "Jangan nyangkal! Siapa lagi di rumah ini yang kalau galau malah setel musik keras dengan volume kayak gitu? Mbok Suminah?" Tanya Reza sarkastis.

      "Ayah," jawabku, masih memejamkan mata.

      "Tapi Ayah kan gak di sinii!" Reza mulai kesal. "Jujur! Lo kenapa?! Kalah pas tanding basket? Jatuh dari motor? Tergelincir pas jadi pemimpin upacara? Atau jangan-jangan elo ... Diputusin Anya?"

      Aku tersentak, sontak mataku terbuka, dudukku tegak lagi. "Sumpah, Reza, lo kenapa sih?!"

      "Oh, jadi itu masalahnya ... yah tinggal bujuk atau tembak ulang aja!" ucap Reza "Matikan musiknya! gue sibuk." 

      Karena cukup gusar untuk menghadapi Reza, aku memilih mengenakan earphone saja.

      "Eh, tapi...," Reza kembali memutar kursinya ke arahku. "Gue serius nih, lo beneran diputusin?" tanya Reza.

      Aku tidak ingin mendengar ocehan tak penting Reza lagi. Dia sama sekali gak membantu dan aku kembali memikirkan hal yang tadi lagi.

      Anya.

    Mengingat itu, aku kembali lesu. Saat cewek itu menunduk, saat ia menendangku tak jelas, saat ia mendongak, aku lihat matanya. Dan itu membuat perasaanku semakin tidak enak.

       Sial! Aku menyesal memberitahukan semua padanya, menyesal telah memperlihatkan buku sketsaku. Jika dugaanku benar, bagaimana perasaannya?

      Tunggu dulu.

       Kenapa aku begitu peduli?

       Kenapa aku terlalu memikirkan itu?

       Apa pun pikiran dia tentang gue sekarang, seharusnya itu gak jadi masalah selama dia baik-baik aja, kan? Tujuanku seharusnya cuma itu.

      "Tapi ... Tapi kenapa, kenapa gue benar-benar masalahin hal ini?! Kenapa gue malah gak bisa tenang di saat gue udah pastiin kalau dia aman? Kan cuma tingkah lakunya yang beda, dia kan gak dicelakain, dia kan baik-baik aja," batinku.

     "Eh apa gue nanya aja dia baik-baik aja di rumah atau gak ya? Apa perlu gue telfon?"

     Aku mulai meraih ponsel, lalu kemudian kembali meletakkannya di lantai.

       Aku mengacak-ngacak rambutku sambil mengumpat tak karuan. Refleks aku ingin berteriak. "WHERE DO WE GO NOW!" Aku menyanyi, lebih tepatnya berteriak. Bertepatan dengan lirik pada lagu itu.

       "WOI!" Reza benar- benar kesal. "Ngajak balikan aja kali!"

      Benar-benar tidak membantu.

       Aku memejamkan mata, hanyut ke dalam lagu yang sudah berganti itu. Knockin' On Heaven's Door mengalun. Aku mulai curiga, ini pasti playlist milik Ayah. Lagu-lagu seperti ini yang dulu ia ajarkan ke kami waktu kami masih balita.

      Saat sampai di tengah lagu, tiba-tiba musiknya berhenti sesaat, digantikan dengan nada dering tanda masuknya chat. Lalu musik yang sempat terhenti tadi kembali berlanjut.

     Dengan malas, aku membuka mata dan mengecek isi pesan itu. Namun mataku yang tadinya setengah terbuka, berubah terbelalak penuh begitu melihat nama pengirim, dan juga pesannya.

     Refleks, jantungku memacu.

     Aku langsung berdiri dan segera meraih jaket hitam yang tergeletak di atas tempat tidur dan memakainya.

     "Rez, gue harus pergi sekarang, buru-buru," ucapku pada Reza sembari mengambil kunci motor.

      "Lo mau ke mana?" tanya Reza bingung. "Ini udah jam setengah sembilan malam!"

     "Pokoknya gue mau pergi, kunci pintu rumah!"

***

        Aku menajamkan penglihatan, berusaha mencari celah di antara dempetan kendaraan. Jalanan malam memang tidak padat, tapi tetap saja sulit mencari jalan yang tak macet apabila kita berada di daerah kota.

      Lenganku bergetar dan dingin, aku juga mulai berkeringat. Terus memikirkan mengapa si brengsek  memanggilku ke tempat itu.

      Pasti penting sekali. Itulah sebabnya aku tidak ingin melewatkan ini.

      Aku menginjak pedal gas, mengalihkan seluruh fokus ke jalanan malam.

      Perlahan-lahan, mobil dan motor mulai berkurang begitu roda mobilku menapaki daerah itu, suara klakson digantikan dengan hembusan daun dari pohon-pohon bambu, lampu kota dan kerlap-kerlipnya digantikan dengan hanya cahaya bulan yang pucat, suasananya berubah. Tak ada lagi suara lain di daerah ini selain suara mesin mobilku yang menderu.

      Gelap, dan tidak asing. Tempat di mana semua kenangan itu terbuang.

      Mesin mobil kumatikan ketika roda telah menapaki tanah kering yang ditumbuhi rumput layu. Aku menghela napas pelan, menghilangkan segenap ragu.

      Kubuka pintu mobil, lalu pemandangan miris itu terlihat. Terpampang jelas walau sama sekali tidak ada lampu jalan. Pohon-pohon tua menambah kesan suram, tidak ada orang sama sekali.

      Aku menelan ludah begitu mataku menangkap sebuah papan kayu penanda yang sudah lapuk, entah sudah berapa tahun papan penanda itu berdiri di sana, dan belum pernah dicabut selama itu.

     papan kayu itu bertuliskan: DIJUAL.

***

Anya's POV

     "Anya! Kecilin volume musiknya!" kudengar teriakan Lya dari lantai bawah, namun aku tak mempedulikannya. Aku memegang semua kertas sketsa yang kukumpulkan. Andai saja semuanya tidak berceceran, aku pasti tidak akan merasa seperti ini. Setidaknya pertanyaanku sudah terjawab.

     Aku memandang sketsa pertama. Seorang cewek yang sedang bersandar di batang pohon, digambar dari sudut belakang.

     "Lo ke mana sih, Anya? Dari tadi gue nungguin lo di taman! Pasti lo ngerjain PR di kelas lagi, kan? Hayoloh, ngaku kamu!" seru Kira. 

      Ohiya, aku ingat pohon ini. Pohon yang ada di taman. Pohon yang tumbuh tepat di samping bangku taman yang sering kududuki bersama Kira. Aku menelan getir, mengernyit keras menahan nyeri.

      Kusingkirkan sketsa pertama itu, lalu kubuka sketsa yang kedua. Gambar seorang cewek yang sedang mengambil buku-buku pelajaran dari dalam loker.

      Kulihat Aidan berdiri menatap lokerku lekat-lekat. Sekolah sudah sepi, apa yang ia lakukan di sana? Aku bersembunyi di balik dinding, takut jikalau cowok itu menyadari keberadaanku.

      Pantasan loker ini familiar. Aidan pasti sering melihatnya sebelum menggambarnya, itulah sebabnya gambarnya persis sekali. Dan aku juga ingat, lokerku bersebelahan dengan loker Kira, jadi waktu itu Aidan bukannya menatap lokerku, melainkan loker di sebelahnya.

     Aku tertawa hambar.

     Aku pasti keliru karena keduanya bersebelahan.

      Sketsa ketiga, seorang cewek yang berdiri di sudut lapangan.

     "Anya, maaf gue gak bisa pulang bareng, ada latihan eskul olahraga."

     Aku ingat beberapa kali pernah tidak pulang bareng Kira karena ia ingin latihan untuk eskul olahraganya. Bukannya lupa, aku hanya tak menyangka ternyata cewek yang berdiri di lapangan ini adalah Kira yang sedang latihan untuk eskul olahraga.

      Segera kubuka sketsa keempat, terdapat gambar seorang cewek yang tengah membuka pintu mobil, diambil dari sudut menyamping.

      Aku mengayuh sepeda berwarna peach itu, rodanya berjalan mulus di atas trotoar. Tapi tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan kala sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan.

     Aku teringat saat di mana aku menaiki sepeda, nekad ke rumah Aidan untuk meminta maaf padahal masih sakit. Aku teringat mobil yang hampir menyambarku di saat aku mengayuh sepeda.

     Ternyata benar-benar mobil milik Dino yang datang dari arah rumah Aidan, dan aku ingat sewaktu Kira bercerita tentang dirinya yang juga nekad ke rumah Aidan bersama Dino. Hanya untuk memberikan cincin Grace pada Aidan, untuk membuktikan bahwa bukan aku yang sebenarnya mencuri buku sketsanya.

      Pasti Aidan melihat Kira membuka pintu mobil Dino saat cewek itu hendak pulang bersama Dino.

       Itulah sebabnya gambar ini diambil dari sudut belakang. Karena jika dilihat dari arah pintu rumah Aidan, orang yang membuka pintu mobil di jalanan pasti hanya terlihat punggungnya saja.

      Bukan aku yang pernah pergi ke festival bersamanya naik mobil, kali ini dugaan pertamaku salah.

     Bukan juga Grace sewaktu ia hendak pergi bersama Aidan ke jalan Merak Biru dan naik mobil juga, dan untuk itu, dugaan keduaku pun salah juga.

      Sketsa kelima, gambar seorang cewek di bangku taman. Sketsa yang membuatku berangan-angan, membuatku merasa paling senang. Namun akhirnya membuatku menjadi paling sedih juga.

      Aku memandangi sketsa yang kini tidak lagi kupandang sebagai petunjuk.

       Aku mengusap pipiku kasar.

      Aku melihat ke atas nakas, Buku Diary itu masih terletak rapi di sana. Buku Diary bernama Penny yang Aidan berikan padaku sewaktu kami pergi ke festival kembang api tempo waktu.

      Refleks, aku mengambil buku itu dan mulai membaca isinya, menertawai getir tingkahku sendiri di dalam hati.

       Selama aku membacanya, titik-titik air yang susah payah kutahan dari pelupuk mataku akhirnya jatuh juga, membasahi permukaan kertas buku itu sembari terus kubaca setiap tulisan yang tertera di atasnya.

***

Anya sorry ya huhuhu  

   🌹,
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top