Tiga|Sketsa Pertama
Rambut berantakan, mata bengkak, pakaian tidak terpasang rapi, penampilan serba amburadul.
"Udah bangun?"
Dan sialnya lagi, Aidan melihat semua itu.
***
Aku harus bagaimana?
Ini benar-benar gawat, Aku masih dapat merasakan tatapan Aidan walau sekarang wajahku terbenam ke dalam lipatan tanganku sendiri.
Bagaimana jika ada iler di sekitar bibirku? Siapa pun pasti tidak mau memperlihatkannya di depan orang yang ia sukai, termasuk aku.
Aku tidak mau memperlihatkan wajah bangun tidurku yang selalu kacau bukan main, sungguh aku tidak bisa anggun jika sedang tertidur.
Tapi, tunggu dulu, Sial! Aidan pasti melihat gaya tidurku, kan? Untuk yang kedua kalinya, di mana aku harus meletakkan wajahku di depannya? Aku mengutuk kecerobohanku.
"Gue tahu lo udah bangun, jangan pura-pura tidur," ucap Aidan.
DEG!
Aku harus bagaimana? Dengan terpaksa, aku bangun. Menunduk, tidak mau mengatakan apa-apa.
Sial, ini sangat memalukan.
Wajahku memanas, jantung ku berdegup kencang sekali. Aku menatap Aidan yang terlihat menahan tawa.
Lengkap sudah.
Aku memasang tampang sebal campur malu.
"Ahahahahahahahaha!" Aidan tertawa terbahak-bahak, ia sampai memegang perutnya. "Muka lo lucu banget parah."
"Ketawa aja sampe bego," gerutuku.
Sumpah ini benar-benar memalukan, aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
Aidan masih tergelak, senang juga melihatnya tertawa. "Udah, gak usah nutup muka lo, mang napa si?" Jantungku kembali berdegup tak terkontrol ketika Aidan memegang pergelangan tanganku. Berusaha melepasnya dari wajahku.
"Enggak!" Aku setengah berteriak.
"Yaelah Anya, enggak usah malu, gue udah lihat semuanya."
Aku terbelalak horor, "Lihat apa?!" Tanyaku, kuhentakkan kakiku pelan.
"M-maksud gue bukan kayak gitu!" Aidan langsung terbata-bata.
"Maksud gue juga bukan kayak gitu, kok!" seruku. Tak sadar, aku menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahku.
Aidan kembali terpingkal-pingkal melihat wajahku yang tidak tertutupi apa-apa. Mendadak, seluruh wajahku terasa panas.
"Gue masih ingat muka lo pas tidur tadi, kayak gini." Aidan menutup matanya, mulutnya ia buka setengah, kepalanya dimiringan ke samping.
Wah parah.
"Jangan ngejek, gue mau pulang sekarang." Aku buru-buru berdiri.
"Ngambek lo?" tanya Aidan, aku hanya memalingkan wajahku.
"Kenapa? Ngeledeknya bentar aja, gue capek." Aku mencibir.
"Gak, jangan pulang dulu Anya," ucap Aidan yang berhasil membuat kening ku berkerut.
loh? Aku membeku.
"Kenapa?" Tanyaku heran.
"Iler lo," jawabnya polos.
TAK!
"Aduh!"
***
"Hati-hati ya," ucap Aidan. Cowok itu melepas helm hitam dari kepalanya, ia mematikan mesin motornya "Dan maaf, gue gak bisa nganter lo sampai ke depan rumah."
Aku tersenyum hangat. "Gak apa-apa kok, rumah gue juga gak terlalu jauh dari sini." Aku turun dari motor.
"Oke, kalau gitu gue duluan ya, lo hati-hati di jalan." Aidan pamit, ia memutar motornya ke arah yang berlawanan. Aku mengangguk "Eh Anya," panggilnya lagi.
"Apa?" Aku berbalik, menunggu jawaban dari Aidan.
"Makasih, dan maaf," jawabnya singkat, langsung membuatku bingung.
"Makasih dan maaf untuk?" tanyaku bingung.
Aidan tidak menjawab, ia langsung melajukan motornya kencang. Aku mengangkat bahu, kupandangi langit senja yang menampilkan semburat jingga dari mentari yang setengah tenggelam.
Aku berbalik ke belakang, menatap punggung cowok berambut cokelat itu sambil tersenyum hangat.
***
"Serius?!" Kira melotot sempurna. "Bisa-bisanya lo ngiler!"
Sontak, sebagian besar murid-murid di taman sekolah memandangi kami.
"Pssst, enggak usah teriak-teriak, Kir." Aku berbisik tertahan, Kira sama sekali tidak memedulikan lusinan pasang mata yang kini memandanginya. "Iya dong, abis itu gue mikirin terus sampai susah tidur. Eh tapi gue hebat kan? Mana ada yang se-antimainstream gue"
"Kok lo bangga sih?!" Kira berteriak lagi, untuk yang kedua kalinya murid-murid lain memandang kami "Trus Aidan gak risih deketan ama lo?"
"Enggak kok, ngapain? kan cuma iler, emang dia sendiri gak punya apa?" Aku memutar bola mataku, Kira sudah mengulangi pertanyaan itu berulang kali. "Malahan, dia jadi tambah deket" perkataanku sukses membuat mulut Kira menganga lebar.
"Serius?!" Tuh kan, pertanyaan yang tadi diulanginya lagi.
Aku hanya mendengus sambil memutar bola mata "Iya, iya," jawabku asal.
"Kalau gitu gue mau ngiler di depan Dino deh, kali aja langsung akrab juga." Kira melotot lagi, ia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.
Aku tersedak keripik kentang, mataku melirik jahil Kira yang kini sedang membekap mulutnya sendiri "Cieee."
"Anya, lo salah, gue enggak..." Kira berpikir sejenak "gue, gue, maksudnya gue sama Dino enggak-," ucapan Kira terpotong.
"Bilang aja lo suka Dino, kalau gak mau, gue nih yang bilangin" goda ku.
Rasain
Kira memasang wajah dongkol "Halah! Mana bisa lo ngancem gitu, Aidan lo udah lupa? Gue bisa bilang juga kali," ancam Kira.
"Yeee, lo curang, garing." Kini aku yang memasang wajah dongkol.
"Mendingan gue ke kantin beli batagor." Kira berdiri dari duduknya.
"Beliin ya." Aku cuma bercanda, tapi Kira mengangguk. Yah, apa boleh buat.
Setelah Kira berlalu, aku menyandarkan punggungku di kursi taman. Kursi yang kududuki setiap jam istirahat, tidak pernah ada orang lain yang duduk di sana selain aku dan Kira, seakan semua orang menyangka bahwa kursi ini adalah kursi pribadi milik dua orang cewek gila yang tidak berhenti berteriak setiap jam istirahat.
Kupandangi kursi taman yang terletak tidak jauh dari tempatku duduk, kursi yang selalu Aidan duduki. Tapi dia tidak ada di sana sekarang, mungkin sedang di kantin atau menggambar sketsa di suatu tempat. Aidan dan sketsa adalah dua kata yang tidak pernah terpisahkan, entah kenapa cowok itu selalu saja menggambar kapan dan dimana saja.
Buku sketsanya itu sudah seperti icon bagi dia, ciri khasnya tersendiri. Ke mana-mana selalu dibawa, dan sama sekali tidak pernah diganti dengan buku lain.
Aku merogoh keripik kentang terakhirku hingga tinggal bungkusannya saja. Karena di sekolahku ini dilarang keras membuang sampah sembarangan, aku segera bangkit dari dudukku. Berjalan ke arah tempat sampah terdekat, tempat sampah itu terletak sekitar satu meter dari kursi yang biasanya diduduki Aidan. Aku menjatuhkan bungkus keripik kentang ke dalam tempat sampah kecil yang masih kosong itu, sebenarnya tidak sepenuhnya kosong sih, ada selembar kertas yang dilipat rapi di dalam sana.
Aku mengerutkan kening.
Eh?
Kertasnya tebal dan tidak biasa, mengingatkanku pada sesuatu yang tidak asing.
Lalu bayangan tentang Aidan langsung berkelabat di pikiranku, dan ia membawa sesuatu di tangan. Buku sketsa.
Pandanganku kembali kepada kertas yang terlihat mencolok sekali di antara tumpukan daun kering di dalam tempat sampah itu.
Tidak salah lagi.
Aku melirik kertas itu, kemudian melirik bangku Aidan yang dekat dari sana.
Apa mungkin...
Iya, aku tahu ini gila. Tapi aku memungut kertas itu, lagipula tempat sampahnya kosong dan terlihat bersih, kecuali ada beberapa daun kering di sana tapi hal itu tidak membuatku mengurungkan niat. Entah kenapa, aku penasaran dengan isinya.
Aku melihat kursi yang biasanya diduduki Aidan, lalu melihat kertas yang kini kupegang di tanganku. Membuatku semakin ingin membuka lipatannya, aku mulai membuka lipatan pertama.
"DOR!" Seseorang mengagetkanku dari belakang, buru-buru aku menyembunyikan tanganku ke belakang badan.
"Kira! Ngagetin aja." Aku berbalik dan menghela napas lega ketika melihat orang itu ternyata Kira.
"Hayo, lo kenapa ngelamun di depan tong sampah?" Tanya kira. Senyumnya terkesan jahil, tapi matanya penuh selidik "Ini batagornya, gue traktir." Kira tersenyum sembari menyodorkan sebungkus batagor.
"Tumben, biasanya pelit, ini sogokan ya?" Aku terkekeh melihat Kira yang pura-pura ngambek.
"Enak aja, cepetan makan, lo enggak mau dihukum Pak Sukirman kan?"
Di belakangku, kertas itu kupegang erat-erat.
***
Siapa yang tidak kenal Pak Sukirman? Guru killer yang hobi menghukum murid-muridnya. Suaranya keras, tampangnya sangar, dan bicaranya cepat tapi kadang juga modusan. Yang paling menyebalkan karena beliau adalah guru matematika. Jangankan nyontek, bicara saja tidak ada yang berani.
Tapi kali ini entah karena aku nekad atau apa, tapi aku jadi tidak fokus karena memikirkan kertas yang kutemukan di taman tadi, tidak salah lagi, itu kertas yang khas sekali. Kertas dari buku sketsa Aidan.
"Anya kamu keluar, kamu tidak mencatat materi saya sedari tadi!" Pak Sukirman berbicara tanpa spasi. Membuatku ternganga seketika.
"Sa-" aku baru akan berbicara, mulutku sudah terbuka setengah.
"Jangan bicara lagi, keluar sekarang!" Ucap Pak Sukirman tanpa spasi, kulihat Kira yang memelototi ku. Aku balas memelolotinya "Safanya Aluna!"
Aku buru-buru keluar dari kelas dengan wajah dongkol.
Aku bersandar di lokerku, karena tidak jauh dari kelasku, aku memutuskan menunggu jam pelajaran Pak Sukirman di sini saja. beberapa saat kemudian, aku langsung teringat sesuatu.
Waktu itu ngapain dia di sini?
Aku teringat kejadian dua hari yang lalu, ketika Aidan menatap lekat lokerku ini di saat koridor sudah sepi.
Kejadian yang membuatku kepikiran sampai sekarang.
"Anya? Lo ngapain berdiri di sini?" Tanya suara yang tidak asing itu.
Panjang umur.
Aidan berdiri di depanku, menatapku dengan tatapan heran.
"Eh, Aidan, gue...," Aku bingung mau menjawab apa.
"Lo dihukum Pak Sukirman ya?" Aidan memberikan tatapan jenaka. Sepertinya percakapan memalukan yang lain akan segera dimulai. "Lo dihukum kan?"
"Empang kenapa?" Cibirku ketus.
Aidan tertawa kecil.
"Lo ngapain di sini?" Tanyaku sambil melirik buku sketsa yang dipegang Aidan, kuperhatikan ukurannya lekat-lekat.
Refleks, tanganku merogoh saku rok seragamku, syukurlah kertas itu masih ada.
"Gue tadi abis ke ruang guru," jawab Aidan.
"Aidan, itu buku apa?" Tanyaku, mengganti topik, sembari menunjuk buku sketsa yang ia pegang, berpura-pura-pura tidak tahu.
"Ini buku sketsa, kenapa?" Aidan bertanya balik.
"Ah, gak kok," jawabku salah tingkah.
"Kalau gitu gue balik ya, semangat jalanin hukumannya." Aidan melambaikan tangannya sembari berjalan melewati ku, aku hanya memasang tampang sebal. Baru beberapa langkah, Aidan berbalik lagi "Ohya, jangan sampai ketiduran ya, muka lo jelek kalau lagi tidur."
ledeknya sebelum ia ngacir dan hilang di balik pembelokan koridor.
Aku tidak sadar, bibirku telah mengukir senyum hangat begitu punggungnya semakin jauh.
***
Aku sedang tiduran di atas tempat tidurku, menikmati pemandangan langit biru cerah dari jendela kamarku yang terbuka di lantai dua.
Angin sepoi-sepoi masuk, menggerakkan rambutku ke satu arah, menutupi mataku.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, Ohiya! Kertas itu!
Aku langsung melompat dan buru-buru mencari rok seragamku di lemari. Begitu menemukannya, aku langsung merogoh ke dalam sakunya dan menemukan kertas yang ku dapatkan tadi siang.
Melihat kertas itu, aku menelan ludah.
"Kok gue gugup ya?" batinku.
Aku membuka lipatan pertama, mataku langsung melebar.
Ada gambar di atas kertas itu!
Separuh gambar dari torehan pensil mulai terlihat. Setengah gambar indah yang sangat detail dan nyata. Walau tanpa warna, gambar itu sudah terlihat begitu lembut.
Walau hanya terlihat setengah, gambar itu sudah terlihat begitu sempurna.
Sekilas bayangan muncul di kepalaku, Aidan. Tepatnya buku sketsanya, kertas ini mengingatkanku pada buku sketsa itu.
Ukurannya bisa dibilang hampir sama dengan buku itu.
Apa benar?
Perlahan, kubuka lipatan kedua dari kertas itu. Dan gambar yang utuh itu kini sudah terlihat jelas. Begitu lipatan kedua itu terbuka, Aku membeku, seketika mataku langsung melotot sempurna melihatnya.
***
Yeah, aku tau chapter ini berantakan, maaf kalau kalian sampai bingung karena paragrafnya "lari-lari" :v
This story will be on editing after it completed. So, stay tune;)
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top