Tiga Puluh Dua| Akhir yang Baru


Ps: Ini chap terakhir 

       Malam itu, ada yang bertemu, dan ada yang berpisah. Ada yang tersenyum, ada yang terluka. Ada yang memilih menangis dan berteduh menunggu hujan reda, dan ada yang memilih tersenyum dan menari di dalam hujan.

                                 ***

Aidan's POV

      Aku melihatnya, memperhatikan tangannya yang bergetar ketika menggenggam mikrofon.

      Lalu selanjutnya, Aku bisa merasakan Dino dan Thio mengucapkan nama Kira, bisa kudengar bayang-bayang Kira yang beberapa kali berbisik tertahan mengucapkan nama Anya.

       Namun suasana kacau di sekelilingku tidak sama sekali kupedulikan. Mataku tidak lepas dari atas panggung.

       "Eh itu Anya yang waktu kelas sebelas pindah kan?" Itu suara dari meja sebelah.

       "Gila! Dia cantik banget!" seru seorang laki-laki.

        Aku terpaku di tempatku, mataku belum juga berpaling dari sosok itu.

        "H-hai semuanya, gue Safanya Aluna." Itu suara pertama yang terdengar dari mikrofon.

         Rasanya seperti membeku. Rasanya seperti segala hal yang kurasakan sebelumnya mendadak berhenti.

      Tunggu, ini nyata?

        Lagi-lagi hadirin yang datang sibuk berbisik, memuji, dan sebagainya.

        "Gue bener-bener seneng karena sekarang, keinginan untuk ada di sini udah tercapai." Suaranya yang dulu. Suaranya yang lembut tidak pernah berubah.

      Suara yang ingin sekali kudengar selama hampir empat tahun itu, akhirnya kudengar malam ini.

        "Wah gue inget hari itu dia pergi gitu aja tanpa bilang-bilang ke siapa pun." Bising-bising samar mulai terdengar lagi.

        "Iya, iya bahkan dia gak sempet ngurus surat kepindahannya kan?"

        "Gila dia berubah jadi manis banget anjir. Kali aja ada waktu, gue mau kok minta id line dia."

        "Waktu dia pindah lo ingat gimana perilaku cowoknya kan?"

        "Hah? Cowoknya siapa emangnya?"

         "Psst! Lo jangan ribut blo'on, tuh dia duduk di meja situ dekatnya Reza sama Dino!"

         "Oh gue inget! Pacarnya si anak basket yang  populer itu kan? Siapa lagi namanya gue lupa."

         "Namanya Aidan, pas Anya pergi wah lo gak tau aja gimana perilaku dia."

        Aku menelan ludah, napasku seperti tercekat, rasanya otakku sendiri tidak bisa memercayai mataku.

       Lalu aku takut, takut ini tidak terjadi dan hanya imajinasiku karena selama empat tahun, kejadian ini bagiku adalah sebuah ketidakmungkinan yang terus kuharapkan.

         Ketika semua meja di sekitarku sibuk membicarakan gadis itu, Dino, Reza, Varo, Thio, Grace, dan Kira hanya terdiam dan terpaku, dapat kurasakan mereka semua melihatku, menunggu reaksiku, karena mereka  tahu semua kisahku dengan gadis itu. Karena mereka semua tahu persis bagaimana aku selama gadis itu pergi.

     Dapat kurasakan tangan Reza di bahuku. Dapat kurasakan tatapan cemas penasaran Varo, Thio, Kira, dan Grace.

       "Aidan...," dan dapat kurasakan Dino berbisik lirih menyebut namaku.

      Ini asli kan? Itu dia yang berdiri di sana kan? Kalau ternyata ini hanya terjadi di kepalaku saja, aku benar-benar tidak akan bisa memaafkan diri sendiri.
 
       Kutepis pelan tangan Reza dari bahuku. Lalu berdiri dari kursiku. 

       "Aidan lo mau ke mana?" tanya Dino, mewakili wajah-wajah penasaran lima orang temanku yang lain.

      Aku tidak menjawab dan mulai melangkah pergi, aku tinggal tiga langkah lagi mencapai pintu keluar Aula.
  
       "Gue bener-bener minta maaf buat orang-orang yang hari itu, kutinggal tanpa pamit, kutinggalkan tanpa alasan."

        Kakiku berhenti sebentar begitu suara dari mikrofon panggung yang arahnya kubelakangi itu mulai terdengar menggema di sekeliling aula yang sudah hening kembali.

       "Gue, gue minta maaf."

             Aku menepuk-nepuk saku jas dan begitu kurasakan kertas sketsa dan pensilku masih ada di sana,  Aku menghela napas berat, lalu berjalan meninggalkan aula.

                                 ***

Kira's POV

      Aku benar-benar tidak bisa mempercayai mataku sendiri.

      Anya berdiri di atas panggung, menyelesaikan pidatonya dan semua terasa seperti mimpi.

       "Kir, Lo gak papa?" tanya Thio lembut.

       Aku hanya mengangguk halus, namun tidak mengalihkan pandanganku dari atas panggung.

        Demi apa Anya kembali. Anya yang sekarang sangat sangat sangat cantik dengan gaun hitam selutut yang ia kenakan.

        Ingin sekali aku berlari ke sana dan menarik tangannya lalu memeluknya sambil berteriak "Wiii!" seperti anak kecil.

        Lalu suara kursi dari seberang meja bundar terdengar. Lalu dapat kulihat Aidan berdiri dari duduknya.

       Ohiya, Aidan.

       Jika melihat Anya di sana mampu mengobrak-abrik perasaanku, lalu bagaimana dengan Aidan? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan cowok itu.

      Aidan yang ternyata cinta mati dengan Anya di saat gadis itu sudah hampir pergi. Mengingat masa-masa ketika perilaku Aidan berubah di satu-dua minggu setelah Anya meninggalkan Indonesia, tidak sama sekali terbayang bagiku bagaimana perasaan cowok itu begitu melihat Anya berdiri tak jauh beberapa meter saja dari tempatnya.

        Semua teman-teman semeja bundarku menatap Aidan dengan raut cemas campur penasaran, sementara cowok itu hanya menatap panggung seolah ia tidak bisa berpaling.

       Lalu Aidan pergi. Dino hendak berdiri menyusul adiknya itu, namun pergelangan tangannya ditahan oleh Reza.

      Alhasil Dino hanya bisa menatap Aidan yang setengah berlari ke pintu keluar.

       "Biarkan saja," ucap Reza. "Aidan memang begitu, dia mungkin butuh waktu sendiri."

       Mendengar itu, Dino kembali duduk.

       Aku menunggu antusias Anya yang perlahan-lahan turun dari panggung. Dengan cepat aku berdiri, membuat Thio sampai tersentak.

       "Kira!" Grace sampai meneriakkan namaku.

       Aku berlari menuju tepi panggung, mendapati Anya sementara turun dari tangga.

        Dengan cepat aku menarik tangannya hingga gadis itu nyaris jatuh ke depan.

        "Anyaaaaa anjir!" seruku seperti orang gila. Siapa yang tidak kesetanan jika sahabat yang sudah seperti sedarah yang pergi hampir empat tahun lalu tiba-tiba datang dan ada di depan mata.

        Aku memeluk Anya erat, gadis itu tertawa geli di belakang telingaku, ikut memelukku erat.

        "ASTAGA LO KOK GAK BILANG LO MAU BALIK!" seruku sekeras toa.  

       Aku belum melepaskan pelukanku. "Kan biar jadi kejutan hehe," ucap Anya. "Gue bener-bener rindu cincongan lo selama gue di Seattle."

        "Astogel gue serasa mau nangis," ucapku sadar kalau nada bicaraku agak lebay tapi masa bodolah, air mataku nyaris di pelupuk, kukipas-kipas mataku dengan tangan. Aku dan Anya dengan posisi begini membuatku ingat saat-saat sebelum ia pergi di bandara.

        "Ehm, Kir? Orang-orang pada liatin kita," bisik Anya lirih.

        Aku segera sadar dan melepaskan pelukanku.

        Lalu disitulah aku tertegun. Bahkan mungkin aku tidak lagi sadar jika bibirku terbuka setengah.

       Aku juga sadar baru detik itu aku melihat wajah Anya dari dekat.

       Satu kata yang tercermin di kepalaku: Cantik.

       Aku melihatnya dari atas kepala sampai ujung wedges-nya. Rambut cokelat tuanya yang diombre dengan setengah warna yang lebih lembut di ujung, posturnya yang mungil namun masih proposional, kulit cerahnya yang kontras dengan little black dress yang ia kenakan.

      Anya jauh jauh jauh lebih cantik.

      Aku tersenyum antusias seakan ingin melompat lalu segera kutarik tangannya menuju meja bundar tempat kelima bebek-bebek itu duduk.

         Rasanya, semua mata tertuju pada kami. Tepatnya pada Anya. Ada yang tersenyum, melambai, dan bahkan ada yang menaik-naikkan satu alisnya.

       "Anyaaaa!" Seru Grace tak karuan begitu melihat Anya datang.

       Anya tersenyum manis ke arah Grace hingga lesung pipi dan gigi gingsulnya terlihat.

      Anya memang cuma senyum ke satu orang.

       Namun yang terpesona melihat senyumnya ada Varo, Thio, Reza, dan bahkan Dino, mereka semua tertegun dengan bibir yang nyaris menganga.

       Aku mengetuk kepala Thio begitu ia juga ikut terpaku. Thio sadar lalu segera tertawa dan memegang tanganku, mengisyaratku untuk duduk di sebelahnya.

       Anya duduk di sebelah kiri Grace, membuat Reza yang duduk di sebelah kiri Anya jadi salah-salah tingkah.

      Thio, Dino, dan Varo tertawa cekikan.

       "Wah! Anyaaaa gue kangen banget hue! Terakhir kali gue liat lo itu pas di rumah kosong itu! Ingat gak? Gue sama Kira berpetualang seharian dan gue masih pake baju cheers! Waktu itu lo luka parah gara-gara Din--"

       Grace benar-benar--

        Mendengar itu, Varo langsung memegang bahu gebetannya itu, mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan perkataannya, membuat Grace tertunduk malu.

        Kami serentak melihat Dino yang tampaknya cuma pura-pura santai, tapi dalam hatinya, ia mungkin serasa ingin hilang ke luar angkasa saja.

        Anya tertawa, menghangatkan suasana.

        "Iya, iya gue ingat kok," ucap gadis itu, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

       "Gue ingat Grace, gue ingat Varo, kalau gak salah lo dulu anak basket kan? Thio juga." Anya tersenyum kepada ketiganya.

       "Ehehe, iya Nya, gue sama Thio dulunya anak basket. Bedanya, Thio ganteng dikit. Gue ganteng banyak," ucap Varo cekikan.

      Mendengar itu, Thio tertawa kecut.

      "Gue juga ingat Kak Reza," ucap Anya yang tiba-tiba langsung menoleh ke kiri--ke arah Reza yang langsung senyum-senyum sok malu.

       "Anya, bagaimana kalau kita sekali-sekali jalan barang Kira. Ke salon kek kemana kek. Nanti gue kenalin juga lo ke Jean, Hannah, sama Mia!" seru Grace.

       "Bener! Bener! Kita bakal having a girls day! Aw!" celetukku seru.

       Varo, Dino, Thio, dan Reza memutar bola mata lalu berkata, "dasar cewek."

       Percakapan-percakapan hangat dan lucu bersama Anya terus berlanjut.

        Beberapa kali cewek itu tersenyum, tertawa.   

        Namun kami semua tahu. Anya sebenarnya tidak senang. Anya sebenarnya sedang memiliki satu pikiran di kepalanya.

      Baik itu aku, Thio, Varo, Grace, Reza, dan bahkan Dino. Semuanya tahu Anya sedang memikirkan sesuatu.

      Dan sepertinya kami semua tahu apa yang sedang cewek itu pikirkan.    
      

      Aku menghela napas.

      Anya terus-terusan menoleh ke kiri dan ke kanan, terus-terusan memandang ke mana-mana, kadang menoleh, dan bahkan berbalik.

      melihat Anya seperti itu, aku langsungberpikir di dalam hati. Ke mana perginya cowok itu?

      Kami semua diam dan saling bertukar pandang diam-diam tanpa sepengetahuan Anya. Dari bahasa-bahasa mata Grace, Varo, Thio, Reza, dan Dino, aku akhirnya tahu bahwa mereka juga memikirkan hal yang sama.

       Sadar bahwa Anya mencari cowok itu, Anya gelisah, dan Anya takut bertanya.

      Alhasil kami cuma diam, tidak tahu mana respon terbaik untuk diberikan pada cewek itu.

      Sampai mungkin Dino ingin mencairkan suasana dengan berdeham lalu melanjutkannya dengan bertanya, "Ehm, l-lo cantik. Gue baru  ngeliat lo dari jarak sedekat ini, Anya." Dino memulai pembicaraan. "Pantasan aja adek gue tergila-gila banget sama lo."

      Dan tanpa sengaja, ia malah memperkeruh suasana.

      Aku membelalakkan mata ke Dino, begitupula yang lainnya. Dino bahkan mengeluarkan respon kesakitan sambil menunduk, menandakan ada seseorang sengaja menginjak kakinya, atau mencupit pinggangnya.

      Dari ekspresi Reza yang duduk di samping Dino, sepertinya dia pelakunya.

      Mendengar ucapan Dino tadi, Anya hanya senyum. Namun matanya kosong. Dan itu membuat semua orang yang ada di meja itu ikut merasa tidak enak hati.

      "Oke, cukup." Lalu Dino berdiri. "Gue gak tahan lagi."

      Aku tahu, dan kami semua tahu. Dino pasti mau mencari Aidan.

       Reza dan Varo melirik Dino dengan tatapan tak percaya. Belum jauh Dino pergi, Thio  ikutan berdiri dan berkata, "gue mau ke Dino." wajahnya langsung berubah serius.

      Mendengar Thio mau ikut Dino, aku langsung membelalakkan mata terkejut.

      Kenapa tiba-tiba Thio mau ikut Dino? Bahkan Reza tidak berdiri.

      Aku mulai sedikit cemas dan curiga.

      Thio kenapa? Pacarku itu biasanya tidak begitu ingin jalan jika hanya berdua dengan Dino, aku tahu cowok itu benci suasana yang canggung.

       Oke perasaanku tidak enak. Dino yang dulunya pernah punya hubungan dan pernah menorehkan kesan berharga namun penuh luka, disusul oleh Thio, pacarku yang sekarang. Dan mereka pergi berdua.

      Dan jika dugaanku benar, aku harus tahu apa yang akan mereka bicarakan.

       Maka dengan pemikiran seperti itu, aku bangkit berdiri, lalu pamit untuk mengejar Thio dan Dino.

       Aku sebenarnya tidak enak juga meninggalkan Anya di sana, tapi rasa penasaranku mengambil kontrol tubuhku.

       Aku buru-buru mengejar mereka, kakiku menuntunku keluar dari Aula, menyusuri jalanan setapak berhiaskan ratusan lampu silver dan biru navy.

       Dengan perasaan cemas dan berharap agar baik Thio atau Dino tidak ada yang melihat, aku mengendap-ngendap mengikuti.

      Aku terbelalak terkejut begitu kulihat mereka berdua berdiri di dekat kolam sekolah yang dipenuhi lampu silver.

      Benar saja, mereka berdua sekarang berhadap-hadapan. Memasang raut serius.

      Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

      Aku mengerutkan alis begitu kudengar suara Dino, "Gue keluar cuma buat nyari adek gue, lo kenapa ikut juga?"

     Aku menggigit bibir bawah, mengatasi perasaan cemasku.

      "Dari dulu ada yang pengen gue sampaikan ke lo, tapi gak ada waktu yang tepat." Suara Thio pun terdengar. "Karena tadi lo pergi sendirian, dan gue lagi gak bareng Kira. Gue langsung nyusul lo, karena gue pikir ini saat yang tepat untuk mengatakan semuanya."

      Degup jantungku mulai tidak beraturan.

      Hembusan napas Thio terdengar. Cowok itu lalu berkata, "Ini tentang pacar gue, Kira."

                               ***
Dino's POV

      Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang di sisi kiri dan kanannya terdapat untaian lampu-lampu kecil.

      Aku berjalan seolah setengah sadar, masih teringat dengan percakapanku bersama Thio beberapa menit lalu.

    "Karena kita berteman, gue pikir akan terkesan gak baik kalau gue langsung nanya tentang Kira ke lo," ucap Thio serius. "Tapi lama kelamaan, gue semakin sering mendapati lo ngeliatin dia, senyum pas dia ketawa, bukan sekali, tapi sering. Gue udah gak bisa tahan untuk nanya kalau lo masih suka Kira apa enggak?"

      Aku melangkah semakin jauh, masih menyusuri jalan setapak. Melangkahi batu demi batu sementara pikiranku memutar kilas balik kejadian tadi.

      "Lo gak perlu ragu, gue gak bakal marah apa pun jawaban yang lo keluarkan."

      Aku  mulai setengah berlari, semakin jauh dari aula SMA.

      "Untuk hal itu. Gue akui gue masih punya sedikit rasa. Bukan sedikit, jujur, banyak. Bahkan banyak." Aku tersenyum sambil menunduk. "Tapi gue rasa ini sudah seharusnya terjadi, dari semua yang kulakukan ke dia. Gue berhak saja kalau dia pergi dari gue. Gue rasa ini tepat, gue lega orang yang ia datangi setelah pergi dari gue adalah lo, Thio. Maka gue harap lo bisa jaga dia, gak sama seperti gue. Gue percaya ke lo" ucapku.

     aku menghela napas lagi dan berkata, "kita kan teman, bukan?" Aku tersenyum simpul, menepuk bahunya sebelum pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Thio yang berdiri terdiam.

      Aku kembali berjalan, tersenyum sendu. Melihat Kira bersama Thio memang berat. Namun jika mengingat senyum cewek itu begitu memandang Thio, aku merasa senang dan lega. Dan bagiku, itu setimpal.

     Aku kembali mengarahkan pikiranku untuk fokus ke tujuan awal mengapa aku meninggalkan aula: mencari Aidan.  

      Aku punya dugaan kuat kemana kira-kira anak itu pergi.

      Dengan cepat, aku segera berbelok kiri menuju tempat parkir sekolah.

      Jalanan gelap tidak mengindahkan fokusku untuk menyusuri dan memperhatikan setiap mobil di pelataran itu.

      Aku menghela nalas lega begitu melihat lampu dalam mobil Aidan menyala, dan pintunya terbuka.  

      Aku tersenyum penuh arti, lalu berjalan ke arah mobil itu.

                               ***
Kira's POV

      Aku berjalan setengah fokus kembali ke aula.

       "Untuk hal itu. Gue akui gue masih punya sedikit rasa. Bukan sedikit, jujur, banyak. Bahkan banyak." Suara Dino terdengar. Kalimat itu nyaris membuat lututku seolah melemas. "Tapi gue rasa ini sudah seharusnya terjadi, dari semua yang kulakukan ke dia. Gue berhak saja kalau dia pergi dari gue. Gue rasa ini tepat, gue lega orang yang ia datangi setelah pergi dari gue adalah lo, Thio. Maka gue harap lo bisa jaga dia, gak sama seperti gue. Gue percaya ke lo."

        Kalimat itu mampu membuatku tersenyum sendu. Beberapa kali terbayang wajah Dino begitu mengatakan hal itu. Matanya sedih, tapi bibirnya tersenyum. Namun aku tahu, semua yang ia ucapkan tulus.

       Dan itu mampu membuatku merasakan perasaan yang campur aduk antara rindu, sedih, dan lega.

       Tiba-tiba lamunanku buyar begitu kurasakan sebuah tangan menepuk bahu kiriku lembut.

       Aku berbalik, tersenyum hangat pada Thio yang berdiri di depanku. Cowok itu balas tersenyum manis hingga bisa membuat kakiku serasa lemas.

        Tiba-tiba cowok itu menarik tanganku dan memelukku.

        Awalnya aku terkejut, namun detik selanjutnya aku sadar mengapa cowok itu bersikap seperti ini.

       Aku hanya menghela napas sambil tersenyum.

        "Kenapa tiba-tiba?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.

        "Entahlah, gue cuma ngerasa ini perlu," jawabnya lalu melepas pelukannya.

       Thio menggamit tanganku. "Ayo kembali," ucapnya.

       Aku hanya mengangguk sambil tersenyum simpul, memperhatikan tangan kami yang saling tertaut seiring dengan telapak kaki kami yang melangkah seiringan, disinari cahaya silver dan biru malam.

                               ***
Dino's POV

       "Gue kembali ke aula dulu ya," ucapku sebelum menutup pintu mobil Aidan. "Semoga berhasil," ucapku lagi sambil tersenyum penuh arti.

        Aidan tidak mengalihkan pandangannya dari buku sketsa yang ia gambari. Cowok itu cuma menaikkan satu alisnya lalu kembali fokus pada gambarnya.

        Oke, aku menyesali mulutku tadi sebelum keluar dari aula karena menyebut perasaan Aidan di depan Anya dan membuat cewek itu menatapku sedih plus penuh harap.

        Sebelum keluar dari pelataran parkir, sekilas aku berbalik lalu memperhatikan mobil Aidan dari jauh. Menghela napas lagi begitu melihat cowok itu masih duduk di posisi lama.

      Aku kembali ke aula dengan kepala yang penuh dengan ucapan-ucapan Aidan sewaktu di mobil tadi.

      Aku tidak bisa membayangkan seberapa campur aduknya perasaannya.

       Aku tiba di depan pintu masuk aula. Sepertinya acaranya sudah hampir selesai, sudah pukul jam sepuluh malam. Bahkan dari dalam sudah kudengar suara Kiranti mengucapkan kalimat-kalimat penutup.

         Kakiku hampir melangkah masuk menuju pintu aula yang besar dan dibingkai lampu silver abu-abu ketika kudengar ponselku berdering.

        Aku berhenti lalu merogoh sakuku untuk mengeluarkan benda itu.

       Aku memutar bola mata malas begitu melihat nama kontak yang menelpon. Reza.

       "Apa?" tanyaku sesaat setelah menempelkan ponsel di telinga.

      "Heh, Aidan mana? Lo udah tahu dia di mana?" tanya Reza.

      "Iya, iya gue tahu. Sebaiknya lo gak usah telpon dia dulu."

      "Mana tuh anak? Dia kenapa?" tanya Reza lagi.

       Aku menghela napas malas. "Gue tadi ketemu dia, Aidan sedang ngerencanain sesuatu nanti gue kasih ta--"

       BRUK!

       Tiba-tiba seseorang menabrak, membuat ponselku terlepas dari tangan. Nyeri menyeruak namun tidak sampai membuatku terjungkal ke belakang.

       Belum sempat aku memandang sinis ke arahnya, orang itu sudah marah-marah dululan.

        "Lo gak punya mata?!" seru orang itu.

       Eh? Bukannya dia yang nabrak?

        Suara cewek. Cempreng. Sangat cempreng.

        Aku langsung memandang wajah cewek bergaun merah itu. Lalu tertegun sebentar begitu pandanganku bertemu dengan matanya.

        Cewek itu mengerutkan dahi lalu menatap sinis ke arahku. Sementara aku cuma sibuk memandang matanya, tidak tahu mau bilang apa.

        "Kan lo yang nab--"

        Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, cewek itu sudah melengos pergi.

       Aku memperhatikan punggungnya, cewek itu berlari terbirit birit menuju pelataran parkir.

       Aku tertawa kecil begitu melihat satu high-heels cewek itu ketinggalan di belakangnya. Ia lalu berbalik mengambil benda itu, lalu melepaskan heels yang satunya lagi, lalu ia kembali berlari tanpa alas kaki, menenteng kedua benda itu di tangan kirinya.

       Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu segara menunduk, berniat memungut ponselku yang tadi terjatuh dari tangan sesaat setelah ditabrak cewek tadi.

        Setelah tanganku menggenggam ponsel, mataku terpaku kepada benda kecil yang bersinar tergeletak tak jauh dari ponselku.

        Aku memungut benda itu dan berdiri.

       Sebuah gelang  yang ternyata di depannya terdapat tulisan kecil yang bacanya: "Jean" pengatinya lepas dan sekarang berbentuk seperti untaian lurus.

        Refleks, aku segera berbalik lagi, kembali memandang cewek tadi. Ia sudah berlari agak jauh.

         Lalu aku kembali memperhatikan gelang yang kini sudah ada di tanganku itu.

        "Jean," gumamku sambil menatap gelang itu, melemparnya ke atas dan menangkapnya lagi, lalu kumasukkan ke dalam saku jas.

        Aku berjalan kembali masuk ke dalam aula.

       Aku mengecek saku jas lagi, memastikan gelang itu masih ada di sana.

                               ***
Anya's POV

        Tidak kusangka acara ini cukup berjalan sesuai apa yang kubayangkan.

       Reaksi orang-orang, teman-teman lama yang datang, semuanya sesuai ekspektasi.

       Namun walaupun semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kuinginkan.

      Aku masih merasa kurang. Aku masih merasa mencari.

      Rasa ganjil yang cukup besar hingga aku merasa bersalah kepada diriku sendiri, mengapa masih belum bisa menerima kejadian yang seharusnya kusyukuri saja.

                         
                                 ***

        Lingkungan pertemanan yang paling pertama kutemui kembali ada dua.

        Pertama ada Kak Reza, Dino, Varo, dan Thio.

        Lalu yang kedua tentu saja Kira, Grace, Hannah, Mia, dan Jean.

         Keduanya benar-benar menerimaku kembali dengan reaksi yang lebih baik dari yang kuharapkan.

       Aula yang lebih mirip seperti gedung itu sudah setengah kosong. 

       Jean sudah pulang duluan dengan terburu-buru karena katanya ada urusan mendadak. Begitu pun Hannah dan Mia.

       Sisa cowok-cowok, Grace, dan juga Kira yang masih duduk di meja bundar yang sama, tertawa riang.   

       Aku berdiri di depan wastafel kamar mandi yang ada di dalam aula. Menatap pantulan diriku di cermin.

       "Ehm, l-lo cantik. Gue baru  ngeliat lo dari jarak sedekat ini, Anya." Dino memulai pembicaraan. "Pantasan aja adek gue tergila-gila banget sama lo."

       Aku menggeleng-geleng lemah begitu teringat kembali ucapan Dino beberapa jam yang lalu itu.

       Adiknya Dino. Maksudnya itu Aidan kan?

       Aku tidak bertanya soal keberadaannya kepada teman-teman bukan karena takut pada mereka.

       Namun karena aku takut pada jawaban yang akan mereka keluarkan.

         Karena aku tidak tahu apa aku bisa menahan kecewaku jika mereka mengatakan jawaban yang tidak ingin kudengar, lagipula ini sudah hampir empat tahun, entah hal-hal apa saja yang sudah terjadi selama itu.
   
        Aku menggigit bibir.

       Di satu sisi aku bingung, kecewa, takut, dan kesal pada diriku sendiri karena malam ini, semuanya seharusnya sudah cukup. Seharusnya sudah selesai. Seharusnya aku sudah bersyukur, tapi aku malah masih menuntut satu hal, aku masih sangat-sangat merasa masih belum cukup.

       Aku menggigit bibir begitu teringat satu kejadian yang semakin membuat perasaan-perasaan tadi terngiang-ngiang.

Flashback

       Sendiku terasa bergetar lemah begitu kakiku melangkah menyusuri jalan setapak berlampu silver dan biru malam itu, sesekali menghela napas gugup begitu kakiku semakin dekat dengan pintu masuk menuju aula.

      Ada perasaan besar untuk berbalik pulang karena merasa ini terlalu menakutkan dan aku tidak siap, namun membayangkan rasanya ketika sudah di rumah dan aku malah menyesal karenanya, membuatku tetap melangkah maju.

       Sepertinya belum ada yang sadar akan keberadaanku.

      Aku menghela napas, lalu kuambil satu langkah memasuki ruangan yang disulap jadi megah itu.

        Tanganku bergetar begitu bergerak menuliskan namaku pada buku tamu.

       Jantungku berdegup kencang, tanganku langsung berhenti menggerakkan penaku ketika pandanganku tertuju pada sebuah kalimat di dalam kolom nama.
 
       Mataku melebar begitu membaca nama itu.

      Lalu lampu mati, dan yang kudengar hanya suara MC yang menyuruhku maju ke atas panggung.

      Aku melangkah menuju arah panggung, lurus saja dari arahku berdiri tadi, mengikuti string light yang masih menyala membingkai jalan ke atas panggung.  Aku bahkan tidak bisa merasa panik dan cemas akan kenyataan bahwa aku akan berpidato di depan semua orang karena pikiranku terus mengulang nama yang tertangkap mataku di buku tamu tadi.  Tanpa henti.

        Aidan Fardhika Nathala.  

       Aku yakin tadi aku membaca tulisan itu di sana.

        Dia datang. Dia ada di ruangan ini.

Flashback end

        Aku berjalan keluar dari kamar mandi, menghela napas lemah.  

        Kakiku melangkah maju ke arah meja tempat semuanya berkumpul.

        Nyatanya, Aidan, ketika lampu menyala. Kau tetap saja tidak ada.

        Nyatanya, Aidan, kau semakin membuatku takut. Kau membuatku berpikir bahwa kau membenciku. Dan dari semuanya, aku paling tidak ingin hal itu terjadi.   

        Kau di mana, Aidan?

                                ***

        "Anya, lo gak mau pulang?"

        Kira menatapku cemas, namun aku hanya menatap ke arah rintik-rintik hujan yang membasahi aspal, terlihat berkilau kontras dengan langit malam.

        Aku menggleng, menatap Kira kosong, Thio berdiri di belakangnya. Semua sudah pulang, di dalam SMA sudah sepi, lampu jalan setapak sudah mati.

        "Lo duluan aja, Kir. Gue masih mau di sini."

         Kenapa aku mengucapkan hal itu? Kenapa aku tidak ingin pulang?

        Kira menatapku khawatir. "Tapi ini sudah larut, Anya. Sini ikut ke gue sama Thio aja, kami anter pulang." Kira mulai menarik tanganku.

        Aku menutup mata keras, tidak sadar aku menarik keras tanganku dari genggaman tangan Kira.

       Sahabatku itu terkejut, rasa bersalah mulai menyeruak lagi.

       "M-m-maafin gue Kir," ucapku lemah. "Gue gak tau, gue gak bisa pulang."

       Aku menghela napas. "Gue mau di sini dulu."

       Aku merasa bodoh, karena aku tidak bisa pergi. Karena aku tidak bisa beranjak.

      Anya bodoh, lo ngarepin apa? Ini bahkan udah hampir empat tahun.

       Kira menghela napas. Sorot matanya sedih. Lalu cewek itu memelukku hangat. "Gue tahu, Anya," ucapnya. "Gue paham, kalau lo butuh gue, hubungi aja, gue bakal langsung ada di sini."

       Kira selalu tahu apa yang kurasakan. Dan tahu apa yang sebaiknya ia lakukan untuk membuatku merasa lebih ringan.

       Aku menatap kosong, memandangi Kira yang masuk ke dalam mobilnya. Lalu beranjak pergi.

       Hujan turun semakin deras, aku mundur selangkah ke belakang. Dingin.

       Aku terkejut begitu seseorang menepuk bahuku. Aku berbalik dan mendapati Dino berdiri di sana.

       "Lo gak mau pulang?" tanyanya.

       Aku menggeleng, berbalik dan kembali menatap kosong jalanan yang basah diguyur hujan.

        "Ini sudah larut lo harus pulang," ucap cowok itu.

        Aku menggeleng lagi.

        "Anya!" serunya.

        Aku menelan ludah, masih menatap hujan. Dadaku rasanya sesak. 
 
       "Dino, mana Aidan?" tanyaku, tidak bisa menahan mataku yang berkaca-kaca. Aku tidak bisa menahan kalimat itu lebih lama, aku tidak bisa.

       Dino terdiam.

       Aku mulai menggigit bibir bawahku. "Dino, Aidan gak apa-apa kan? Bagaimana kabarnya?"

       Dino terdiam.

       Suara hujan semakin terdengar di tengah keheningan.

        Cowok itu menepuk bahuku pelan. Ia hanya diam. Diam tanpa menjawab satu pun pertanyaanku.  

        "Maaf."

        Dan kalimat itulah yang keluar dari mulutnya.  

         Aku menatap hujan, "Lo pulang duluan aja, Dino," ucapku. "Gue gak apa-apa."

        Sebelum melangkah pergi, cowok itu menepuk bahuku dan berkata, "Semua bakal baik-baik aja."

       Aku sendirian. Tetap menatap kosong dalam hujan.

       Kalian pulang saja duluan, Dino, Kira. Maaf aku tidak bisa ikut. Aku hanya ingin di sini sedikit lebih lama. Aku hanya ingin di sini setidaknya sampai hujan reda. Aku hanya ingin menunggu sebentar lagi.

        Aku berdiri di sini, di Gerbang sekolah yang kedua, dulunya, tempatku berdiri sekarang ini adalah sebuah halte bus. Dulu saat kukenakan putih abu-abu, aku juga pernah berdiri di sini menunggu hujan reda.

        Sama seperti hari ini, aku kedinginan karena anginnya kencang. Waktu itu, aku mengenakan jas hujan dan sepasang sepatu khusus laki-laki, walaupun benda-benda itu sangat besar untukku, tapi melindungiku dari hujan yang begitu deras kala itu.

        Lalu kau datang di depanku, menaiki motormu, kau tidak mengenakan jas hujan dan hanya jaket hitam. Kau basah kuyup, bahkan kau juga tidak mengenakan sepatu.

        "Ngapain lo di sini sendiri? Gak kedinginan?"

      Itu kata-kata yang kaukatakan waktu itu, aku masih ingat.

      Kau menatapku dingin, meskipun begitu, alasan kau tidak memakai jas hujan dan sepatu hingga basah kuyup begitu adalah karena kau membiarkanku memakainya.

       Dadaku rasanya sesak, kukepal tanganku kuat-kuat, namun tetap saja aku tidak bisa menahan air mataku agar tidak turun. Waktu itu, semuanya terjadi di sini, tepat di tempatku berdiri sekarang.

       "Ngapain lo di sini sendiri? Gak kedinginan?"

       lagi-lagi ucapanmu sewaktu menghampiriku ketika hujan sepulang sekolah terngiang-ngiang di pikiranku.

      Sudah hampir empat tahun semenjak kejadian itu.

       Aku menatap ke depan, membiarkan air mataku turun tanpa mengeluarkan ekspresi apa-apa.

        Dan sekarang aku kembali berdiri di sini, sama seperti tiga tahun yang lalu itu, hujan juga masih turun dan aku juga masih kedinginan.

       Hanya saja bedanya, kau sudah tidak ada di sini.

-

     "Ngapain lo di sini sendiri? Gak kedinginan?"

       DEG

        Mataku melebar begitu suara itu terdengar dari belakang.

        Aku segera berbalik, lalu jantungku serasa berhenti begitu mendapati kedua mata itu menatapku teduh.

        Dia berdiri di sana, lalu rasanya seluruh tubuhku membeku, aku bahkan serasa tidak mendengar suara hujanm Aku hanya berdiri di sana, tidak bergerak.

       Isak tangis yang sedari tadi kutahan hingga sakit leherku kukeluarkan. Kubiarkan semua air mata yang membuat mataku nyeri turun dengan bebas. 

        Cowok itu tersenyum, mengangkat tangan kanannya lalu mengusap pipiku dengan jari-jarinya.

       Senyumnya lembut, seakan mengatakan jika semuanya tidak apa-apa.

       Saluruh badanku rasanya bergetar hebat.

       "A-Aidan?"

       Cowok itu mengangguk, lalu ia menyerahkan selembar kertas kepadaku.

      Aku membuka isinya. Sejuta perasaan lama yang sudah tidak pernah muncul kembali berdatangan secara berdesak.

      Sketsa.

       Di atas kertas itu terdepat torehan pensil yang menyatu padu membentuk sosok aku ketika berdiri di atas panggung sewaktu pidato tadi.

     Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, cowok itu menggambarku dan memberikannya langsung.

      Dia ada di sana, dia memperhatikan.

     "Lo cantik," ucapnya, tersenyum padaku. "Makanya jangan menangis."

      Aku tersenyum lembut, menatap wajahnya.

     "Gue senang lo kembali," ucapnya lagi. Aku mengangguk, tidak mampu mengucapkan satu kalimat pun. "Lain kali jangan pernah pergi sebelum pamit dari gue, janji?"

      Aku menangangguk. Tersenyum manis.

      Aidan mendekat, lalu mengelus puncak kepalaku lembut. "Gue benar-benar rindu ngegambar lo la--eh bukan, bukan. Gue rindu semua hal  tentang lo." 

      Aku tersenyum lebar, mataku berbinar, menatap wajahnya. Menunduk memandangi sketsa indah buatannya di dalam genggamanku.

     Lama kami bertatapan, mata Aidan melihatku dengan tatapan yang begitu dalam hingga aku nyaris tidak bisa berdiri dengan benar, kami saling berpandangan, senyum kami tidak lepas. 

      "Lo tahu kan apa artinya kalau gue udah ngegambar seorang cewek lalu ngasih gambaran gue ke cewek itu secara langsung?" Aidan tersenyum penuh arti.

       Aku mengangguk, tersenyum malu.

       Lalu ia menarik tanganku hingga tubuhku ikut tertarik ke arahnya. Bahkan sebelum aku sadar, aku sudah tenggelam ke dalam bau parfum yang ia kenakan, yang selalu kusukai dari dulu. Tangannya melingkar di sekitar tubuhku, aku menyandarkan kepala pada tubuhnya, balik memeluk dengan erat.

     Begitu lama. Hingga akhirnya Aidan perlahan mundur, dan aku--walaupun tidak ingin--ikut melepaskan tanganku dari tubuhnya yang hangat.

     Aidan menatapku dengan tatapan yang teduh lagi, lalu ia menautkan helaian rambutku ke belakang telinga. Tangannya tetap di sana, menyentuh rahang dan pipiku dengan satu tangan, ibu jarinya mengusap pipiku pelan. Tatapannya tidak pernah lepas dari mataku.

    Jantungku berdegup kencang begitu ia menunduk dan mendekatkan wajahnya, dahi kami nyaris bersentuhan.

     Napasku memburu, ia menatap mataku, lalu pandangannya teralih ke bibirku selama sepersekian detik.

    "May i?" ia bertanya serius.

     Aku tersenyum, mengangguk pelan.

     Melihat responku, ia tersenyum hangat, aku hanya tertawa kecil sebelum akhirnya ia semakin mendekatkan wajahnya lagi.

       Malam itu, rasanya angin dingin tidak lagi kurasakan. Hari itu, senyum hangat Aidan membuatku seolah memakai seragam putih abu-abu.

The End

   ***     

     I cant believe i finished this story yeyayayeyy! Wdyt guys? Mana bagian yang paling kalian suka?
     Ohiya, kalian mau epilog atau cukup sampai sini saja? Silakan komen jawaban dan alasan kalian di kolom komentar:) kalau banyak yang mau, chap epilog akan aku post!:)

🌹,
Lycha

***

by the way ini gue punya extra:

Extra:

"Astagfirullah panas banget, ini AC mobil lo nyala gak sih, Thio?" Reza menggerutu, melepaskan jasnya sambil mengipas-ngipas diri dengan tangan.

"Masa iya gue nyalain AC kalau jendela kebuka semua!" balas Thio. "Kalau ditutup, mana bisa kalian liat pemandangan di luar, hah? bakal ketutup air hujan yang nempel."

"Aduh, Reza lo nyenggol gue," ucap Grace.

"Reza jangan nyenggol cewek gue!" Varo berseru.

"Berisik bucin!" Reza membalas.

"Varo kepala lo nutupin pandangan gue, minggir!" ucap Dino.

"Aduh, gak usah narik rambut gue juga anjing!" Varo menggerutu.

"Gue gak bisa liat, seharusnya gue deket jendela! Kalau gak ada gue, lo semua pada gak bakal tau informasinya!" Dino menggerutu.

"Ah bangsat! siapa nih nindisin paha gue!" Reza meringis "Anjeng sakit woi!"

"Berisik ah!" Kira berseru.

"Berisik? enak lu berdua di baris jok depan gak sempit-sempitan!" Grace protes.

"Lah yang punya mobil kan cowo gue!" Kira mendelik.

"Eh kalian jangan gerak-gerak mulu elah, kalau dilihat dari luar nanti orang pada salfok!" Thio meringis.

Di dalam mobil yang cuma dua baris jok itu, enam orang berdesak-desakan di dalamnya sambil condong ke arah jendela mobil di sisi kanan. Mobil itu tersembunyi, terparkir dekat dengan pintu gerbang kedua yang dulunya adalah halte bus.

Enam orang manusia kepo yang masih mengenakan dress atau setelah jas, duduk diam sambil melihat pemandangan di gerbang kedua dari jendela mobil, kalau dilihat dari luar, kepala mereka berjejer rapi memenuhi bingkai jendela.

Mereka tak lain tak bukan, mengintip dua orang yang sedari tadi memenuhi pikiran mereka dengan rasa penasaran.

"Ah andaikan suara mereka kedengaran!" ucap Kira gemas.

Lalu semua terdiam, memandang dengan mata tajam sambil deg-degan karena gemas melihat cowok dan cewek itu dari dalam mobil.

Si cowok melangkah maju dan mendekat ke si cewek, lalu menyelipkan rambut si cewek ke belakang telinga.

"ANJAY!"  cowok-cowok langsung kompak berteriak.

"GUMUSH!" yang cewek juga sama.

"KEREN NIH AIDAN! BANGGA GUE!" Reza berseru.

"AMPUN GUE MAU MELEDAK!" Teriak Grace gemas.

"Gak cuma pinter belajar ama main basket doang ternyata," ucap Dino.

"GILA AIDAN OI!" VARO BERSERU.

Saat si cowok dan si cewek saling pandang, keenamnya langsung diam lagi lalu menonton dengan seksama.

Yang ditonton saling melempar senyum.

Jantung keenamnya copot ketika si cowok menunduk lalu mendekatkan wajahnya ke si cewek, melihat apa yang terjadi selanjutnya...

"AAAAAAAAAAAA!" Mereka berteriak, kompak, keenam-enamnya.

Cowok-cowok meninju udara, Varo dan Reza saling berpelukan seperti telah melihat tim sepak bola mereka menang sambil memukul-mukul jok mobil, Grace dan Kira saling berpegangan tangan heboh, Dino tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala, Thio memukul-mukul kemudi mobil.

Dari luar, seorang anak kecil berumur delapan tahun yang rumahnya hanya berjarak beberapa langkah dari pintu gerbang kedua sekolah terbangun, ia pun melihat ke luar jendela karena sesuatu menangkap perhatiannya.

"Mama! Mama! Ma liat deh mobilnya kok goyang sendiri? Ada setannya ya?"

Seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu dari anak itu langsung bergegas ke arah jendela dan terbelalak melihat apa yang anaknya tunjuk.

"Iya nak, iya, ada setannya itu!" seru sang ibu, buru-buru menutup mata anaknya dengan tangan. "Yaudah kamu pergi bobo aja ya!"

Dengan kesal, ia lalu menutup gorden rumahnya.

                                 ***



































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top