Tiga Puluh|1095 days of Kira and Dino.

--Tiga Puluh--
1095 Days of Kira and Dino

3 Tahun Kemudian...

Kira's POV

"Oh astaga jidat gue!" seruku sesaat setelah jidatku menghantam jendela mobil di sebelah kiriku. "Oi, Grace! Tau cara bawa mobil yang baik dan benar gak?"

"Grace, kalau kita berakhir di kantor polisi, gue mau lo yang ngomong ke nenek gue," ucap Jean agak berteriak dari jok belakang.

"Yaelah, santai aja kali." Dapat kulihat Grace memutar bola matanya. "Lagian gue pengemudi yang udah berpengalaman."

"Berpengalaman your ass." Hannah yang duduk di samping Jean cepat-cepat menyangkal, namun Grace hanya tersenyum bercanda. Mobil malah melaju semakin cepat, membuatku melotot, sontak aku merasa seolah leher, kepala, dan punggungku rata pada sandaran jok.

"Eh, denger-denger Amanda, anak fakultas ekonomi yang terkenal tajir itu bakalan bikin pesta bebas di rumahnya lagi ya? denger-denger sih semua boleh datang, sekampus juga gak papa." Mia membuka topic. Mendengar itu, Grace langsung memperlambat laju mobil.

Dalam hati, Aku, Jean, dan Hannah berterima kasih pada Mia.

"Oh ya? Kapan?" tanya Grace. Hannah dan Jean yang belum tahu infonya juga ikut memandang Mia.

"Sekarang tanggal berapa?" tanya Mia balik.

"Dua enam!" seruku tiba-tiba.

Mia, Grace, Hannah, dan Jean spontan menatapku takjub. "Eh, Kira ...." Jean berkata. "Tumben lo inget tanggal, biasanya hari juga lo gak tau."

"Ada sesuatu ya?" tanya Hannah, langsung menyeletuk.

Senyumku langsung menghilang, dan aku benci karena tidak bisa menyembunyikannya.

Hari ini tanggal dua enam, bulan Juli. Lagi-lagi, ingatan lama kembali muncul di pikiranku, hari ini, tanggal dua enam bulan Juli. Adalah Hari di mana Dino dulunya mengatakan ingin lebih, mengatakan ia menyukaiku.

 Dan mengingat ia berbohong dan hanya ingin mengambil informasi dariku, atau lebih kasarnya—memanfaatkanku, membuatku merasa marah, emosi, tapi tidak menutup kemungkinan aku tidak sedih.

Teman-temanku sadar akan perubahan ekspresiku, namun mereka hanya diam, mengerti bahwa aku tidak ingin bicara. Cuma Grace yang tahu, dan dia berusaha penuh mengalihkan topik.

"Jadi ...," Grace berdeham, membuat Jean, Hannah, dan Mia mengalihkan pandangannya dariku.

Aku menghela napas lega.

"Jadi, Mia," ucap Grace. "Kapan pestanya?"

"Besok," jawab Mia spontan, Grace, Hannah, dan Jean langsung mengikik antusias. Lima menit kemudian, yang aku tau selama itu mereka berempat bernbincang soal rambut dan penampilan seperti apa yang akan mereka gunakan untuk pergi besok.

Sama sekali tidak ada pembicaraan mereka yang masuk ke kepalaku sampai Grace bertanya padaku, "Lo mau pergi, Kir?" Lalu semua mata tertuju padaku.

Aku yang tersadar dari lamunan langsung menatap mereka kaku, "Ah, g-gue?" Aku menegakkan posisi dudukku. "G-gue pergi, sama Thio."

"ACIE." Jean langsung berteriak. "Enak ya jadi lo, kalau ada pesta gini bisa pergi bareng pacar, Mathio Raynaldi pula orangnya." serunya heboh.

Aku cuma tersenyum sambil mengangguk membenarkan, pikiranku masih melayang-layang. "Kemarin, dia ngajakin gue."

"Pacar lo ganteng, ketua klub renang, banyak cewek yang suka sama dia, tapi tetep pengertian ke lo itu ... wah, keren Kir," ucap Hannah. "Eh, btw. Kalau Thio datang berarti ... COGAN SAMBALADO YANG LAIN JUGA BAKAL DATANG DONG?!"

Mendengar itu, Grace dan Hannah tertawa. Sementara Jean mengerutkan alis dan berkata, "Cogan sambalado?" jeda. "Cogan sambalado apaan elah?"

"Lo gak tau?" Hannah menyondongkan badan ke arah Jean. "Itu nama kelompok usil-usilan yang gue sama Jean bikin untuk cogan-cogan kampus yang sering barengan terus itu, udah kayak boyband yang fangirl-nya satu gedung mahasiswi semua! Mia, sebutin!"

"Nih ya, gue sebutin. Pertama itu Mathio Raynaldi, alias Thio. Lo tau kan ketua klub renang yang badannya atletis trus mukanya cak—Ehem, itu loh, pacarnya Kira..." Mia mengodeku, aku cuma bisa terkikik. "Terus ada juga Varo, pentolannya team basket yang mukanya arab-arab gitu! Gue denger Grace naksir sama dia!"

"Ah sembarangan lu!" Grace melempar botol air mineral kosong ke arah Mia, wajahnya merah padam. Aku dan yang lainnya tertawa.

"Trus, siapa lagi?" tanya Jean.

"Ada juga ... Kak Reza! Sudah semester lima sih, belakangan ini dia lagi sibuk jadi jarang keliatan. Nama panjangnya Arkan Fahreza Nathala kalau gak salah, wih cakep parah, ramubutnya warna cokelat dan kayaknya warnanya emang asli kayak gitu, gue serius!" Mata Mia berbinar-binar. "Dan yang terakhir..."

"Siapa? Siapa?" Mata Jean menatap Mia penasaran.

"Adeknya Kak Reza! AIDAN FARDHIKA NATHALA!" serunya. "Lo tahu anak basket yang sering barengan Varo juga! Astaga, yang suka dia mungkin gak terhitung lagi. Rambut cokelat, alis tebel, mata cokelat. Dan Kalau senyum ... masyaallah subhanallah nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Belum lagi ia juga bakat gambar! Jujur sih, gue bohong kalau gak suka dia, yaiyalah semua juga pasti suka!"

"Tapi dia gak pernah sama sekali pacaran dari SMA katanya, padahal yang suka dia semuanya anak-anak cewek yang populer juga," ucap Hannah. "Ketua majalah buletin kampus yang tukang kepo itu bilang, katanya Aidan udah punya pacar, lagi nunggu seseorang yang jauh—atau apalah gue lupa."

Aku dan Grace saling bertatapan, sudah lebih tau persis soal apa yang mereka bicarakan.

"Ohiya gue kelupaan satu orang," Ucap Mia lagi. "Andino Jullio, kapten futsal yang gantengnya juga selangit."

Setelahnya, walau Mia, Grace, Jean, dan Hannah bercakap-cakap banyak. Namun aku sama sekali tidak mendengarkan, hanyut dalam pikiranku.

Mataku menatap keluar jendela mobil.

"Jalan Merak Biru." Beberapa langkah setelah papan nama jalan itu terpampang, terdapat parade besar yang membuat lalu lintas agak sedikit terhambat. Juga festival dan wahana yang sekarang sudah lebih besar dan terfasilitasi. Festival dan parade yang dua tahun lalu diisi kembang api setiap malam, sampai sekarang.

Tempat di mana aku dan Dino berada pada tanggal dua puluh enam juli. Tertawa seolah hari ini tidak akan terjadi.

Dan siapa sangka, setiap tanggal dan bulan yang sama, kami ke sini, masih mengenakan seragam putih abu-abu sambil tertawa-tawa dan mengusili beberapa orang yang memakai kostum boneka yang besar.

Aku tersenyum mengingat itu.

"Berhenti," ucapku spontan. Membuat keempat temanku menatap ke arahku bersamaan.

Lalu kemudian, keluar empat kata yang tak pernah terpikir akan kukatakan.

"Gue turun di sini."

Sepertinya teman-temanku yang ada di mobil menunjukkan wajah bingung plus terkejut, terutama Grace. karena sepersekian detik kemudian ia berkata, "Eh, eh, Kira lo mau ke mana?!" namun aku sudah menutup pintu mobil di belakangku.

"Gue rasa gue sakit." Oke, itu alasan yang bodoh. "Gue mau ke apotik sana, beli obat!" teriakku kepada mereka, sambil sesekali mengecek jalanku di antara kendaraan-kendaraan padat dan orang-orang yang berlalu lalang, pura-pura menunjuk apotik yang berada tepat di sebelah gerbang yang memisahkan wisata wahana jalan merak biru dengan lingkungan sekitarnya.

Aku bingung dan merasa bodoh.

Bingung mengapa kakiku terus bersikeras untuk berjalan masuk ke arah wisata wahana itu, mencari tempat duduk di depan air mancur, tempat di mana aku dan Dino dulunya sering iseng melempari dua ekor bebek berisik yang berenang di atasnya. Tempat yang selalu kami tuju setiap tanggal dua puluh enam.

Dan hari ini adalah tanggal dua puluh enam.

Kalian tahu, sudah dua tahun. Berapa tanggal dua puluh enam yang sudah terlewatkan? Dan dari semuanya, ini kali pertama aku ke sini lagi selama dua tahun terakhir.

Mataku melebar, aku menghela napas sambil tersenyu kecil, begitu kulihat bangku kayu yang catnya sudah mulai terkelupas itu masih berdiri di tempat yang sama, warna catnya sudah mulai pudar. Tanpa mengalihkan pandangan dari kursi itu, kakiku melangkah maju.

Mataku seolah melihat dua anak remaja berpakaian putih abu-abu, tertawa dengan suara paling keras sampai-sampai orang-orang di sekitar berhenti berjalan dan melihat. Dua anak remaja yang melempari dua ekor bebek yang berenang di kolam.

Aku menelan ludah, perlahan duduk di kursi itu. Mataku menatap sendu ke arah kolam air di depanku. Bebek yang berenang di sana tinggal seekor.

Perlahan aku menunduk, masih bingung dan merasa bodoh megapa tanganku bersikeras mengambil batu terdekat yang ada di sekitar sepatuku.

Aku menatap batu berukuran sedang di tangan, lalu mengalihkan pandangan hingga seketika mataku memperhatikan bebek di kolam yang berenang sendiri.

Lenganku mulai mengayun, mengukur jarak antara batu di tangan dan seekor bebek di kolam.

Namun belum sempat batu itu menghantam bebek dan menimbulkan suara gaduh,

PLAK!

Aku terkejut begitu mendapati batu yang sedetik sebelumnya kulempar, malah bertubrukan dengan batu lain yang juga dilempar seseorah dengan arah yang sama—ke arah bebek hingga tidak ada yang mengenai dan malah jatuh ke dalam air.

Namun setelah sadar apa yang telah terjadi, napasku seperti berhenti.

Perlahan aku berbalik, terkejut bukan main begitu melihatnya berdiri di sana, menatapku dengan pandangan yang tidak berubah, Andino Jullio.

Dan dalam dua tahun, ini kontak mata kami yang pertama.

***

Dino's POV

Aku menyandarkan punggungku ke dinding, tepat di sebelah bangku strategis yang memperlihatkan pemandangan lapangan kampus dengan rumput hijau yang luasnya bukan main.

Aku mengelap keringat, masih menghentak-hentakkan bola basket di samping sepatuku, melemparnya ke lapangan lagi, lalu mengelap keringat di dahi.

Aku melihat ke sekelilingku, mencari-cari penjual air mineral terdekat. Namun beum sempat kakiku melangkah membeli satu, tiga orang perempuan yang entah datang dari mana menunduk malu-malu di depanku, lalu salah satu dari mereka memberikan sebotol air mineral dingin, dan langsung berlari pergi.

Sebenarnya aku ingin menolak, tapi sudalah aku sudah terlalu haus untuk tidak membuka tutup botol air itu.

Baru saja kerogkonganku ingin melepas panas, mulutku sudah menyemburkan air keluar karena terkejut begitu ada bola basket yang menghantam perutku.

Lalu suara tawa terdengar kemudian, disertai kalimat, "Permainan yang bagus tadi." Tak lain tak bukan, siapa lagi kalau bukan yang mulia kapten tim, Aidan kutu kampret.

"Begitu cara lo perlakuin anggota lo yang permainannya bagus?" tanyaku sarkastis, mengelap air di sekitar bibirku.

Aidan tertawa lagi, dengan songongnya duduk di pinggir meja sambil mengelap keringat, lalu memasang earphone-nya dengan santai seperti biasa, buku sketsa ia pegang di tangan, tapi sama sekali tidak ia buka.

Saat ingin minum lagi, usahaku lagi-lagi gagal karena Varo menyikutku, rambutnya basah seperti biasa. Cowok yang dulu satu SMA denganku itu memang latihan berenang setiap sabtu, ia ketua klub renang—anak kelautan.

Tak lama kemudian, Reza dan Thio datang.

Dan begitulah cara kelompok-yang-entah-apa-namanya-dan-kenapa-bisa-akrab itu berkumpul di satu meja strategis, di koridor dekat lapangan rumput hijau luas, gedung fakultas teknik yang mendadak ramai di saat jam istirahat.

"Eh gue duluan ya." Thio tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil tas dan menumpunya di pundak sebelah kirinya.

"Cepet banget, mau ke mana?" tanya Varo sembari membersihkan rambutnya dengan handuk biru tua kecil.

"Mau tau aja, udah gue cabut duluan ya," cowok itu nyengir lalu bangkit berdiri dengan semangat.

"Paling-palingan mau ketemu sama pacarnya lagi," ucap Reza ikut memandang ke arah Thio yang sudah punggungnya sudah agak jauh. 

"Pacar-pacaran aja disembunyiin, gaya banget." Aidan menimpali.

Aku menatap punggung Thio, yang sudah hampir hilang karena ingin berbelok di ujung koridor, menatapnya curiga.

"Halah, sirik aja jomblo tahunan." Varo tertawa, melempari Aidan dengan handuk kecilnya.

"Kurang ajar." Yang dilempari menyingkirkan handuk tadi dari wajahnya yang sudah memasang ekspresi dongkol.

"Eh, kalian tahu si Amanda? Si tajir itu bakalan lempar party lagi besok, gue sih ikut-ikut aja." Varo membuka topik. "Hari ini tanggal dua puluh enam, bener party-nya besok."

Tanggal dua puluh enam. Putaran kilas balik soal tanggal itu mulai berputar di kepalaku, membuat tubuhku ingin cepat-cepat bergegas.

Aku buru-buru merapikan barangku, bersiap pergi. Tinggal menunggu jeda di pembicaraan mereka agar aku bisa segera pergi.

"Denger nama Amanda gue jadi pengen ketawa sendiri parah, bukannya minggu kemarin dia nembak Aidan langsung HA?! Kenapa lo gak terima aja Dan, kalau lo terima, pasti jadi best couple satu kampus." Reza memberi jeda. "Yah, masih lebih cantik Anya sih menurut gue, si Anya imut-manis juga. Tapi—"

Duar.

Reza emang tolol.

Masalah besar jika nama cewek itu disebut lagi di depan Aidan.

Sudah kuduga, ekspresi Aidan yang tadinya santai langsung berubah dalam sekejap, cowok itu bergegas berdiri lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aidan jengkel.

Tentu saja, itu wajar.

Sudah hampir empat tahun, dan aku tahu cowok itu masih menyimpan rasa bersalah—dan rasa lain yang lebih besar. Sementara setahuku, Anya masih di Seattle, dan selama itu mereka sama sekali tidak berkomunikasi barang satu kata pun. Aidan sudah janji ke Lya. Sepertinya Anysa tetap punya Sosial media, namun tidak terjangkau oleh semua teman-temannya di Indonesia, let alone Aidan. 

"Lo salah ngomong," ucapku pada Reza.

Reza menghela napas, masih memperhartikan Aidan yang berjalan pergi. "Iya aduh, gue gak sadar," ucap Reza memijit dahinya.

"ckckck, makanya mikir dulu!" Varo nyengir, melempar lagi handuknya kea rah Reza.

"Iya, iya gue tahu," Reza mengusap wajahnya. "Eh ngomong-ngomong, soal Anya. Wah kemarin gue liat dia dari screenshot pas lagi video call sama seseorang di skype."

Mataku melebar, aku mengalihkan pandangan dari lapangan, langsung memandang Reza. Ikut kaget juga mendengar berita itu. terakhir kali aku melihat cewek itu kira-kira hampir tiga tahun lalu.

"Wah beneran?!" Varo nyaris menggebrak meja. "Dia kayak gimana sekarang?!"

"Wih! Cantik parah, beneran. Rambutnya berubah, cokelat gelap panjang, ujungnya di-ombre pakai warna yang lebih lembut, trus mukanya kan dari dulu udah manis, sekarang berubah jadi lebih dewasa lagi," ucap Reza antusias.

"Gue jadi pengen liat anjir," ucap Varo.

"Entar gue perlihatin deh, asal jangan beritahu Aidan, atau dia bakalan—entahlah," jawab Reza. "Gue suka dia."

"Lo suka dia?!" Varo meninggikan suaranya, aku juga ikut berbalik begitu mendengar perkataan Reza.

"Bukan, bego ... Maksud gue, gue suka dia bareng Aidan. Mereka cocok." Reza membetulkan sambil memutar bola mata sarkas.

"Oh kirain ...." Varo berguumam. "Tapi, lo dapat screenshot video call dia dari mana? siapa yang video 'call sama dia, trus di screenshot, dan dikasih ke lo?"

"Oh, gue dapet dari Kira. Kirana Muthiara anak fakul—" Reza langsung melirikku dengan muka salah tingkah.

Dan yah, kupikir ini saat yang tempat untuk bergegas, hari ini tanggal dua puluh enam.

Mata Reza dan Varo terarah padaku, keduanya melihatku dengan bingung dan salah tingkah, tidak tahu harus mengeluarkan reaksi apa.

Aku mengangkat tas ku, membiarkannya menggantung di atas bahu kiri. Berjalan menjauhi mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Di belakang punggungku, dapat kudengar Varo berbisik ke arah Reza; "Kayaknya lo salah ngomong lagi."

***

Aku terus berjalan lurus. Menatap ke arah kedua sepatuku yang berjalan dengan kecepatan sedang di atas jalan setapak.

Di setiap tanggal dua puluh enam yang ada selama dua tahun terakhir, tidak ada satu pun yang terlewatkan. Kakiku pasti selalu datang ke sini, lalu merasakan rasa sesal berurut-turut yang entahlah meski begitu, selalu ingin kuulang-ulang. 

Aneh juga rasanya mengingat sebuah hari bersama seseorang di masa lalu yang terasa biasa saja, di tempat sama dan di masa depan, 

Dan aku merasa menjadi orang yang paling bodoh karena tetap tidak bisa berhenti melakukan hal yang sama.

Aku memandang air mancur marmer yang dulunya hanya terbuat dari pualam itu, aku menatap bebek di atasnya dengan pandangan yang kosong. Perlahan, aku membungkuk mengambil batu di dekat sepatuku, lalu membidik dan melemparnya ke bebek itu.

TAK

Aku benar-benar terkejut mendapati batu yang kulempar bertubrukan dengan batu lain. Itu berarti...

ada orang yang melakukan hal yang sama.

Entah kenapa jantungku memacu. Dengan siku yang terasa lemas, aku segera menoleh ke arah si pelempar batu.

Di saat itulah, pandangan kami bertemu. 

Kira di sana, menatapku dengan eskpresi yang tidak terbaca.

Di saat itulah, untuk pertama kalinya aku ingin waktu berhenti, aku ingin melihatnya di saat ia juga melihatku, terasa nyaman walau tidak ada gerak atau pun kalimat.

Aku merindukannya.

Kerena dalam dua tahun terakhir, ini kontak mata kami yang pertama.

***

Kira's POV

Hening.

Walau hanya hening biasa, benakku rasanya mencelus. Membandingan betapa waktu yang lalu-lalu itu dengan yang sekarang. Jika dipikir-pikir, lumayan ironis juga. Tanggal dua puluh enam dua tahun yang lalu, aku dan Dino saling berpandangan, berdiri besebelahan dengan seragam bernuansa putih abu-abu.

Saat itu juga hening, aku dan Dino tidak ada yang saling berbicara. Tapi apa yang kami rasakan? Adalah kesenangan, dan keleluasaan. Ingin sekali kami mengharap waktu pada saat itu berhenti, agar kami bisa berada dan membeku di satu momen itu; momen tenang, yang rasanya tidak boleh berakhir dan diganti dengan ribuan momen yang akan datang selanjutnya.

Namun,

Tanggal dua puluh enam hari ini, aku dan Dino saling berpandangan lagi, berdiri bersebelahan lagi dengan pakaian bebas dan bukan lagi putih abu-abu.

Saat itu hening, sama seperti yang lalu-lalu. Aku dan Dino lagi-lagi tidak saling berbicara. Tapi apa yang kami rasakan? Adalah kerinduan yang meredam, namun tidak hilang walaupun kami berdiri bersebelahan. Tidak hilang, seolah kami berdua menolak untuk melepasnya, seolah jarak, konflik di masa lalu telah mengambil kontrol dan membangun batas di antara kami. Batas yang kami tahu, tidak akan pernah kami lewati lagi.

Dulu aku ingin sekali waktu pada saat itu berhenti agar kami bisa terus berada pada momen yang sama, ternyata harapanku terbalas.

 Momen pada saat itu benar-benar membeku, dalam ingatanku. Dan aku menyesal meminta itu.

Karena ketika aku menjalani momen yang sama, namun dengan kenyataan baru yang berbeda jauh dari apa yang tersimpan di ingatanku di masa lampau, rasanya air mataku benar-benar ingin tumpah saja.

"Hai, Kirana." Aku menatap Dino, perasaan di dadaku membuncah, in a very painful way.

Aku menghela napas panjang. Lalu kemudian aku berkata, "Hai juga, Dino."

"Sudah lama gue gak ketemu sama lo, lo liat gak? Taman ini udah banyak banget berubah. Ingat dulu waktu kita sering ke sini setiap tanggal dua puluh enam kan?"

Laki-laki itu ingat.

Tentu saja, hari ini dia ada di sini.

Mengetahui fakta itu, rasanya mataku memanas. Susah payah aku berkedip-kedip agar cowok di depanku itu tidak melihat mataku yang berair.

Aku menatap warna matanya yang hitam pekat, menatap rambutnya yang sudah tidak sepanjang dulu, menatap bahunya yang berubah semakin kokoh, menatap tubuhnya yang tambah tinggi. Aku tersenyum lembut.

"Kamu ... agak berubah ya Din," ucapku pelan.

Mendengar itu, Dino langsung berhenti berbicara, lalu perlahan ia menoleh dan menatap mataku. Hening menghias di saat kami bertukar pandangan.

Dengan perasaan konyol yang mengejek diriku sendiri, tanganku mengepal, membiarkan cowok di depanku itu melihat mataku yang sudah mulai berkaca-kaca.

Dengan dada dan tenggorokan yang sakit karena menahan tangis, aku menunduk, menghindari matanya.

Namun sebelum menunduk, dapat kulihat, sorot mata Dino melembut, meneduh; sama seperti Dino yang dulu-dulu. Di saat melihat itu, aku seperti berdiri di taman ini pada tanggal dua puluh enam di dua tahun yang lalu dengan menggunakan seragam putih abu-abu, di saat itu pula, rasanya tangisku semakin ingin pecah.

***

Dino's POV

Aku terhenyak, mataku menatap terkejut melihat Kira, menunduk di depanku selagi menahan tangis. Di saat itu, rasanya kakiku lemah. 

Aku menatap Kira, ingin bergerak maju, namun seperti ada yang menahan. Aku mengepalkan tanganku erat sekali.

Sebelum sempat aku nyaris mengusap puncak kepalanya, Kira tiba-tiba bangkit dan berhenti menunduk.

"Lo masih ingat juga ternyata ya Din? Hehe, yang paling berkesan sih dulu kita pernah dikejar satpam sini gara-gara ketahuan ngelemparin bebek-bebek kolam dengan batu ukuran ekstra trus kita lari lo masih—"

Cewek di depanku itu terus berbicara tanpa henti, tanpa spasi seperti yang selalu dia lakukan. Di saat itu aku lagi-lagi terpaku, seperti kembali di tanggal dua puluh enam namun di dua tahun yang lalu dengan menggunakan seragam putih abu-abu. Aku tersenyum lembut menatap gadis yang tidak berhenti bicara itu.

Kira cantik, cewek itu benar-benar bertambah cantik. Rambutnya dulu yang berwarna hitam legam agak sedikit di bawah bahu, ia panjangkan hingga hampir mencapai punggungnya. Penampilannya manis dengan rambut yang terurai dan riasan tipis yang alami.

Gadis yang dulu benar-benar membuatku menoleh dari misiku yang sebenarnya, gadis yang mampu membuatku melupakan dendamku dan menyeretku masuk ke dalam dunianya yang cerah.

Aku menatapnya yang tidak berhenti bicara, ia masih terkesan polos dan jujur, ceplas-ceplos seperti dulu. Membuat satu senyum simpul di bibirku.

Lalu ia  tiba-tiba berhenti berbicara.

Aku mengerutkan dahi, di dalam hati bertanya mengapa suaranya tak terdengar?

Aku menghadap ke arahnya, rasanya seperti ditonjok keras begitu melihatnya menangis lagi. Rasanya benar-benar menyakitkan begitu aku menyimpulkan bahwa ia tadi berbicara panjang-panjang untuk menahan tangisnya yang sekarang tidak bisa lagi ia sembunyikan.

Ia menangis, isakannya terdengar, tangannya  mengusap pipinya sesekali.

Aku mengepalkan tanganku kuat. Masa bodo, aku tidak tahan lagi.

Dengan satu gerakan cepat, aku menarik tangan kira, lalu meraih wajahnya, mencium bibirnya lembut. Cewek itu terkejut dan sedetik meronta, namun aku menahannya, tetap pada posisi yang sama. Ia terdiam lemah, aku memejamkan mataku.

"Kenapa dari semua tanggal dua puluh enam di dua tahun sebelumnya, baru hari ini kau datang?" 

"Kenapa, Kira?"

***

Kira's POV

Kakiku bergetar hebat, tanganku tiba-tiba melemas. Mataku terbuka lebar begitu kurasakan bibir Dino di bibirku.

Lama kelamaan, samar-samar wajah Thio, Mathio Raynaldi terngiang di kepalaku. Lalu rasa bersalah dan cemasku mulai berkelebat, membuat sekujur tubuhku yg tadinya melemas mulai menegang.

Aku menggerakkan tanganku, merasakan itu, tangannya yang menahan bagian belakang leherku. 

Jantungku berpacu, dua perasaan yang berlawanan seolah bertubrukan di dalam benakku. Dan yang paling membuatku hampir gila;

Kenapa aku tidak bisa melawan?

Aku menutup mataku, tanganku yang memberontak perlahan melemah, lalu kemudian menurun.

Namun tetap saja. Seberapa ingin aku membuat momen ini berhenti, selalu ada rasa yang lain, ini tidak akan pernah terasa benar.

Tiba-tiba, ponselku berdering dan bergetar. Di saat itu pula, perlahan ia bergerak mundur. Kutatap matanya yang benar-benar dekat.

Kuabaikan dering ponsel, rangkaian peristiwa tadi terulang di kepalaku, seolah-olah aku dan dia masih melakukan hal yang sama. Namun hanya di dalam ingatanku saja.

Fokusku pun teralih ke ponselku yang bordering, kulihat daftar panggilan yg masih berlangsung itu. Called Id menunjukkan nama Thio

Di saat itu lagi lah tanganku mulai bergetar, deretan peristiwa tadi sontak berhenti lalu berjalan kembali kemudian, namun bedanya kali ini, rasa bersalah ikut berutar di dalamnya.

Dapat kulihat tatapan Dino yang masih teduh. Mataku rasanya terasa semakin panas seiring dengan kuambilnya perlahan-lahan langkah ke belakang.

"Itu siapa?" Tanya Dino sambil melihat daftar nama yg memanggil di ponselku.

Leherku tiba-tiba terasa berat, dengan suara yang serak aku berkata, "M-m-maafin gue Din," aku menatap matanya sekilas, "ini seharusnya gak terjadi, ini salah, g-gue harus pulang."

Aku berbalik, lalu berlari sekuat mungkin, tidak peduli kakiku yang masih lemas, aku terus berlari.

Lalu suara langkahnya mengejar terdengar.

Aku memejamkan mata erat sambil berlari tergesa-gesa, berlari keluar dari taman hiburan itu.

Di detik itulah suara langkah kakinya yang mengejar di belakang tak lagi terdengar.

Aku menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depanku, cepat-cepat aku masuk. Terduduk diam, merenung. Tatapan mataku rasanya kosong.

Saat taksi yang kunaiki menjauh dari tempat itu, perasaanku kembali menyerang. Aku menenggelamkan wajah ke telapak tanganku yang masih gemetaran, napasku yang masih terengah-engah membuatku semakin sulit merasa tenang.

Selama perjalanan hening yang menyakitkan itu, aku menangis, namun kali ini bukan karena Dino atau segala hal yang terjadi padaku di masa lalu bersamanya. Kali ini, rasanya jauh lebih menyakitkan.

Ponselku di pangkuan, masih berbunyi, menunjukkan nama Thio di layarnya.

***

Dino's POV

Ternyata semua dugaanku selama ini benar.

Tentang Kira. Tentang Thio.

Ternyata semua mimpi burukku sudah terjadi beberapa hari yang lalu tanpa aku sendiri sadar.

Aku benar-benar sudah kehilangannya, secara pasti.

Beruntung Ayah dan juga Reza belum pulang. Hanya ada Aidan yang sekarang sedang duduk dengan santainya di bingkai jendela kamar kami berdua.

Aidan berlagak seolah ia mengendus sesuatu, lalu menatapku tajam sebelum berkata, "Gak salah lagi, ini bau alkohol. Lo kenapa?"

Aidan memang tipe orang yg seteliti itu.

Aku tersenyum lemas sambil melihat langit malam dari jendela terbuka yang bingkainya di duduki oleh Aidan. Di pangkuannya terdepat buku sketsa yang masih baru, buku sketsa dengan isi yang selamanya hanya dia yang tau. Buku sketsa yang setiap ia pandangi, bisa kulihat secerca luka di matanya.

Ia berjalan ke arah tempat tidurnya, lalu meletakkan buku itu di sana, kemudian kembali duduk di posisinya semula.

Aidan merasakan hal yang sama denganku.

"Kita benar-benar salah, Aidan." Ucapku. "Kita dulunya terlalu sibuk menghancurkan satu sama lain hingga tidak menyadari bahwa perlahan-lahan, konflik itu membuat kita kehilangan satu orang yang berharga untuk kita masing-masing."

Aidan tersenyum sayu, matanya tetap melihat ke arah langit.

"Kau tahu, Dino?" ucap Aidan, masih tidak melihatku. "Terkadang lo memang tidak akan pernah tau kapan seseorang yang berharga bagi lo benar-benar pergi, atau membiarkan seseorang pergi tanpa sadar bahwa orang itu berharga." Jeda, "Tapi gue belajar, sebelum mereka pergi, mereka pasti pernah merasakan luka yang dalam karena kita. Dan sekarang giliran kita, untuk merasakan luka yang sama."

Kalimat-kalimat Aidan benar-benar membuatku diam terpaku.

"Lalu...," ucapku tertahan, "bemana gue bisa ngelupain semuanya?"

Mendengar pertanyaanku itu, Aidan menghelas napas panjang. Perlahan ia akhirnya menoleh dari langit lalu memandangku.

"Jangan tanya ke gue," jawab Aidan.

Aku terdiam sembari menatapnya serius.

"Karena sampai sekarang gue juga gak tau caranya," ucapnya. "Karena sampai sekarang gue juga belum bisa melakukannya."

***

Kira's POV

Aku menarik selimut, meringkuk di dalamnya sembari merasakan tubuhku yang benar-benar panas bukan main.

Mataku berkunang-kunang dan kepalaku pusing.

Mungkin karma kepada Grace dan teman-temanku tadi karena berbohong dengan alasan ingin mengambil uang di apotek, aku jadi demam sungguhan.

Pintu kamarku pun terbuka, menampakkan sosok Thio yang datang dengan membawa bersi segelas air putih dan obat.

Aku tersenyum hangat, cowok itu nembalasnya dengan senyumnya yang selalu memukau. Semakin aku melihatnya, rasa bersalahku semakin memuncak. Aku memikirkan semua yang terjadi tadi siang, membuat tanganku mengepal.

Dengan cepat aku berlari, menyingkap selimutku lalu berlari memeluk cowok itu seerat mungkin.

"Wow! Wow! Ada apa ini?" Tanya Thio bingung, ia meletakkan gelas berisi air itu di atas nakas dan menggerakkan kedua tangannya untuk balas memelukku.

"Thio, Maafin ya? Ya?" ucapku sambil membenamkan wajahku ke tubuhnya, bau parfumnya yang sangat kusukai seketika itu juga langsung menyambutku

"Ha? Maaf buat apa sih?" tanyanya bingung.

"Yang jelasnya maaf."

"Dasar gaje," ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku.

Tiba-tiba Thio merogoh isi kantongnya, lalu menyerahkan sebuah undangan dengan amplop silver yang indah.

"Ini apa?" tanyaku.

"Baca."

Mataku melebar begitu mengetahui bahwa itu ternyata adalah undangan reuni SMA resmi, khusus angkatanku.

"Kita pergi bareng ya?" ajak Thio.

Aku tersenyum sambil mengangguk semangat.

Tiba-tiba kepalaku menerawang dan berpikir; jika ini reuni SMA pasti Dino akan datang juga kan? Kemungkinan dia ada di sana kan.

Mataku melebar. Sial, aku tidak sadar telah memikirkan Dino lagi, membuatku semakin bersalah pada Thio lagi.

Cepat, Aku menarik tangannya lalu berkata, "Thio maafin gue lagi!" seruku.

"Wah sepertinya demam lo bener-bener parah deh, Kir," ucapnya sambil menempelkan telapak tangannya ke dahiku.

***

Sudah jam tujuh malam, dan demamku sudah mulai turun. Thio baru pulang dari rumahnya lima menit yang lalu. Aku memandang surat undangan reuni SMA di tangan.

Sepintas ide pun muncul di kepalaku.

Dengan cepat aku mengambil ponsel lalu memotret surat itu dengan kamera ponsel. Cepat cepat aku mengirim gambar itu lewat E-mail dan mengetikkan perihal;

"Bentar lagi SMA adain reuni resmi nih, gak kerasa ya kali ini udah gilirannya angkatan kita aja, padahal rasanya baru kemarin kita duduk sebangku, kan? Andai lo ada di sini sekarang, kita bisa pergi bareng-bareng."

Lalu aku menekan tombol "mengirim"

***

Extra:

Seorang cewek berambut panjang  sedang berdiri di tengah-tengah orang yang berlalu lalang sambil membawa koper. Cewek itu membiarkan rambutnya yang berwarna cokelat muda dengan highlight warna lembut di ujungnya--terurai, manik matanya yang cokelat terlihat berwarna lebih muda ketika ditimpa cahaya.

Cewek yang mengenakan dress warna peach yang panjangnya di atas lutut itu hanya tersenyum manis begitu ada sekelompok cowok seusianya mengedipkan mata ke arahnya. Itu sudah yang kedua kalinya untuk hari ini. Dress nya menampakkan bagian bahunya, namun cewek itu mengenakan cardigan putih dengan panjang yang sama dengan gaunnya, sehingga bahunya tertutupi.

Tiba-tiba ponsel cewek itu berdering, lalu ia mendapati ada e-mail yang masuk, ia membuka dan membacanya. Seketika, senyum manis langsung terukir di bibirnya yang merah muda alami sembari masih melihat layar ponsel.

Kemudian cewek itu pun menyimpan kembali ponselnya, mengangkat kopernya, lalu kaki jenjangnya yang tetap mungil dibalut dengan sepatu kets warna peach itu melangkah lurus ke depan.

***

      dari pertama  menulis cerita ini, kali ini adalah publish yang benar-benar paling lama, terakhir saya update itu sebelum idul fitri. untuk itu, saya benar-benar minta maaf sekaligus berterimakasih kepada readers yang masih menunggu. rencananya cerita ini akan saya pending sampai selesai ujian semester atau bahkan lebih lama lagi. saya masih kelas sembilan, dan sedang bersiap-siap menghadapi sejumlah ujian, un, dan juga organisasi yang programnya lagi sibuk-sibuknya. namun komentar kalian membuat saya bergerak untuk kembali menulis di tengah tengah kesibukan sekolah dan sebagainya:) sekali lagi, maaf dan terima kasih:)

🌹,

Lycha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top