Sembilan Belas|Target

Dear Penny,

Sepertinya aku benar-benar harus pergi.

***

Aidan's POV

Aku menatap rumah tua di depanku, setiap bagiannya sudah usang dilahap waktu. Warnanya yang penuh tidak lagi bercahaya, hanya gelap dan mati.

Untuk kedua kalinya, aku memasuki rumah tua itu. Untuk kedua kalinya, semua kenangan itu terputar kembali.

Aku memasukkan kedua telapak tangan ke dalam kantung celana jeans ku. Angin serempak berhembus ke satu arah, sangat kencang hingga bunyi gemersik pohon bambu terdengar. Hening, sampai hujan rintik-rintik membasahi kausku yang tipis.

Aku memperlebar langkah. Hari ini, hari pertemuanku dengan si brengsek untuk yang kedua kalinya. Dino, Kakakku. Meski memanggilnya dengan sebutan itu tidak akan pernah kulakukan.

Keramik lantai yang sedikit pecah membuat suara kecil saat sepatuku melangkah di atasnya. Aku menghela napas, kubuka pintu di depanku itu, disusul dengan suara deritan yang benar-benar nyaring.

Bunyi itu membuat degupku berpacu, kutundukkan kepalaku cepat. Bergerak kencang dalam gelap, kuambil langkah lebar ke samping, menumpukan segala keseimbangan di kaki kiri. Dia hanya memukul pintu kayu itu, menimbulkan suara gebukan yang keras.

Kini aku berdiri di belakang punggungnya, tersenyum miring.

Kudengar ia berkata, "Refleks lo bagus juga," seringai Dino. Dapat kudengar ia berbicara dengan nada yang sarkas.

Aku hanya diam, menunggu ia mengucapkan kalimat selanjutnya. Hening, hanya terdengar rintik-rintik hujan yang beradu dengan genteng. Semakin lama, temponya semangin kencang. Hujan lebat.

"Kenapa lo manggil gue ke sini? Lagi?" tanyaku tanpa ekspresi.

Dapat kudengar tawa kecil Dino. "Menurut lo?" tanyanya, lagi-lagi sarkastis. "Lo lupa ya? Ini tanggal 17, lo sudah gak mau ngenang ulang tahun Ibu? Sudah tiga bulan sejak lo ngebaca surat-surat itu. " Suara Dino mulai serak.

Aku mengernyitkan dahi, menahan ringisan. Kukepalkan tanganku paksa. Ibu. Hari ini 17 Maret, ulang tahun Ibuku.

Dino sekarang memanggilku ke sini setiap 17 Maret. Untuk mengenang Ibuku, yang tubuhnya sama sekali tidak ada di sini. Hanya satu tempat yang bisa kami tapak untuk mengenang, hanya rumah reyot ini. Kenangannya ada di sini.

"Makasih udah buat gue inget," ucapku sembari menunduk.

"Oh, ternyata lo masih peduli." Aku mengangkat kepala begitu mendengar Dino mengucapkan kalimat itu. "Gue kira lo gak lagi peduli, gue kira lo gak lagi mau ngenang ulang tahun Ibu," nada suara Dino meninggi. Ia menyimpan emosi.

"Kalau gitu lo salah," jawabku kemudian.

Lama kami menghabiskan jam per jam dengan hening. Hanya dengan hembusan angin yang meniup-niup daun pohon, dan suara hujan lebat yang nyaring.

Kami berdua cuma duduk. Berdoa, dalam hati mengucapkan kalimat-kalimat untuk Ibu. Berharap ia mendengar, berharap ia memaafkan.

Aku menyesal, aku menyesal karena menganggap Ibu dengan segala anggapanku di masa lalu. Penyesalan ini akan selalu ada, sebelum tidur, saat dalam perjalanan, sejak pertama kali Dino memanggilku ke sini--tiga bulan lalu. Siklus pikiranku terus terulang-ulang seperti kaset yang rusak.

Malam itu, dua orang yang saling membenci, dua orang yang selalu berada di jalan yang berbeda, berdoa untuk orang yang sama. Bermohon dengan harapan yang sejalan.

Aku menoleh lesu begitu merasakan Dino berdiri dari duduknya. Kudengar ia berkata dengan serak, "Gue bukan orang yang gak menepati janji, Dan. Gue bakal tetep ngejalanin apa yang pernah gue bilang waktu pertemuan kita yang pertama," Jeda. "Gue bakal buat lo rasain rasanya ingin minta tolong dan gak ada orang yang bisa lo panggil, kehilangan orang yang lo sayang. Untuk kedua kalinya."

Mataku melebar, tanganku refleks mengepal. "Udah gue bilang, lo salah orang! Lo gak seharusnya milih dia sebagai target!" Aku menahan emosi. "Gue gak pernah sedekat itu dengan Anya! Lo seharusnya berpikir sebelum bertindak!"

Terdengar tawa kecil Dino, membuatku meringis, membuatku mengeraskan rahang. "Lo yang seharusnya berpikir! Kalau dia hilang, apa lo bakalan merasa kehilangan?"

Aku terdiam, terdiam dengan rasa gugup.

Apa gue akan merasa kehilangan?

Merasakan aku terdiam lama, Dino angkat bicara, "Cih, lo bahkan gak ngerti perasaan sendiri, orang seperti lo gak luput dari tindakan mengelak!" seru Dino. "Gue rasa gue bener, gue akhirnya punya target, Anya. Dia orang yang terkoneksi dengan Ibu, Gue rasa dia mesti dilibatkan."

Aku tertawa kecut, berusaha menahan tanganku agar tidak memukul. "Lo bodoh ya? Apa ada pengincar yang mengumbar targetnya ke orang lain?"

"Apa lo pikir gue cuma mau buat lo kehilangan orang? Lebih dari itu, Dumbass! Gue mau buat lo ngerasain, gimana rasanya saat gue udah usaha susah payah ngelindungin orang, mertahanin orang lain, tapi orang itu malah pergi sia-sia hanya karena satu penyebab! Gue mau lo paham rasanya ketika tau kalau seseorang yang lo sayang minta tolong, dan lo gak bisa buat apa-apa!" teriak Dino penuh emosi. "Sekarang lo tanyain ke diri lo sendiri," jeda "Kalau dia pergi, apa lo bakalan merasa kehilangan?"

Lalu yang terdengar hanyalah suara bantingan pintu disertai dengan deritan nyaring setelahnya, lalu yang terlihat hanyalah cahaya bulan pucat yang mulai menghilang seiring tertutupnya pintu di depanku.

Dalam hati, suaraku berbisik;

Apa gue benar-benar akan merasa kehilangan?

***

Anya's POV

"2 minggu lagi?" tanyaku cemas. "Seattle?"

Lya mengangguk, sepupuku yang berdarah Seattle-Indonesia itu mengangguk yakin, mengingatkanku pada sepenggal ingatan lama yang masih tersimpan di kepala.

Kembali mengingat masa-masa kecil yang aku habiskan di Seattle.

Flashback

Aku melempari Lya dengan batu. Sangat tidak adil kalau dia malah mengambil giliran lompat taliku. Tadi kan dia udah berhasil, sekarang harusnya giliranku.

"Aku menang, Anya. Itu artinya, aku bisa nyoba lagi, ini masih giliranku," seru Lya.

"Tapi Aunty bilang, kita harus ganti-gantian. Tadi kamu udah berhasil lompat sepuluh kali, sekarang giliran Anya dong?" aku berusaha merebut tali yang Lya pegang, tapi dia lari menghindar.

"Ini beda, Anya!" Lya menghentak-hentakkan kakinya di atas rumput pekarangan. "Kamu baru boleh bisa lompat kalau aku udah kalah lagi!"

"Ah! Gak seru! Aku mau masuk!" Aku berlari sebal menuju pintu depan.

Di teras ternyata ada Aunty yang sedang memberi makan Woodles, anak kucing warna putih yang Lya pelihara. "Aunty, Anya boleh minta uang beli roti lagi gak?" Tanyaku.

Aunty tersenyum lalu memberiku uang. Dan akhirnya walau masih sebal, aku harus tetap ke toko roti bersama Lya. Aku juga tidak tau kenapa Lya harus ikut.

Aku mengintip ke etalase toko roti, mataku mulai bergerak-gerak memilih roti apa yang enak.

"Hello, kids!" sapa Bapak bercelemek begitu melihatku dan Lya berdiri di depan etalase kecil, tempat roti-roti segar itu terpajang. "Looking forward to buy something to eat?"

"Anya pilih sendiri ya, aku mau ke sana dulu," bisik Lya sambil menunjuk sebuah toko mainan. Aku hanya menganggung malas berbicara pada orang yang tidak mau dikalah.

"Em ...," aku menunduk, tidak mau melihat wajah si Bapak bercelemek. Hidungnya terlalu besar, dan kumisnya terlalu banyak. Seram.

"Eh, Anya mau kue jahe satu sama tiga iris kue cokelat!" jawabku bersemangat. Si Bapak bercelemek itu memasang wajah bingung.

"Pardon?"

"Oh, em ... I-I mean," aku berbicara tersendat-sendat, aku memang agak bingung kadang, sering salah bahasa. "I want a ginger bread, and two slices of Chocolate cakes!" jawabku akhirnya.

Bapak bercelemek itu akhirnya tersenyum, memasukkan kue yang kutunjuk ke dalam kantong kertas dengan sebuah gunting besar yang tidak kuketahui namanya apa.

"Here it is young wo⎯"

Aku berlari meninggalkan bapak bercelemek itu sembari membawa kantong roti tadi sebelum ia berhenti bicara. Wajahnya terlalu seram. Aku sampai lupa akan Lya yang masih asyik berdiri di depan stan mainan.

Aku keluar dari toko roti itu, lalu melihat seseorang yang menatap sendu ke arah kaca etalase toko. Orang itu perempuan. Rambutnya hitam dan kulitnya agak kecoklatan seperti orang Indonesia.

Karena penasaran, aku segera berjalan ke sana. Kulihat wajah perempuan itu, kira-kira umurnya mungkin sama dengan Mama. Bibirnya putih, hampir sama putih dengan bibirku sewaktu demam tinggi dua hari yang lalu. Wanita itu terus menatap roti di depannya lekat-lekat.

Aku mengangkat kantung roti di tanganku lalu berkata, "Tante mau?"

Ups, salah bahasa. Lagi.

Tante itu berbalik dengan mata yang melebar. Aku memundurkan langkah, takut melihatnya tiba-tiba berbalik seperti itu.

"Jangan takut," ucapnya sembari tersenyum lembut.

Eh?

"Kamu orang Indonesia?" tanya tante itu lagi.

Aku mengangguk ragu. Lalu memberanikan tanganku yang bergetar menyodorkan kantung roti yang kupegang, "Tante mau?" tanyaku. Toh siapa tau tante ini lapar karena reaksinya seperti itu. Aku mengeluarkan satu kue cokelat lalu memberikannya kepada tante itu.

"Eh terima kasih," ia menerima kue itu lalu berkata, "Namanya siapa?"

"Aku Safanya Aluna, Anya," jawabku sambil tersenyum.

"Kamu mirip sekali sama Anak tante," katanya lembut.

Aku mirip anaknya?

Tante itu berjongkok, Hingga kepalanya berhadapan denganku, wajah terlihat lelah.

Ia merogoh tas-nya, terlihat kamera yang sudah tua. Lalu aku diajaknya melihat lensanya, Mama bilang, di depan kamera itu kita harus tersenyum. Jadi aku tersenyum. Tante itu mengambil foto kami dari kameranya, lalu menunjukkannya padaku.

"Bagus, kan?" tanyanya sambil memperlihatkan foto itu. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Ini untuk apa?" tanyaku lagi sambil menunjuk foto itu.

Lalu tante itu mengambil pulpen lalu menuliskan "Seattle, 29Januari. Alina Safira Nathala (Fira) dan Safanya Aluna (Anya)" di pinggir foto.

"Untuk anak tante," jawabnya sambil lagi-lagi tersenyum hangat.

"Oh, siapa namanya?" tanyaku penasaran.

"Namanya Ai⎯"

"Anya!" teriakan Lya memotong ucapan tante itu, membuatku terkejut dan segera berlari ke arahnya. Sebelum lari, aku memberikan sepotong kue coklat lagi padanya.

Lya menarik tanganku sambil berlari, aku yang terkejut langsung mengikuti langkahnya, ikut berlari juga.

Aku berbalik sedikit. Samar-samar aku melihat tante tadi melambaikan tangan padaku sambil tersenyum khas.

Senyum yang mirip dengan senyuman Mama.

Aku membalas lambaiannya dengan senyum kecil.

*

"Aku dengar dia tidak bisa lagi membayar tagihan sewa rumahnya," Aunty berbicara dengan Uncle Rick dengan serius, Aku dan Lya cuma mendengarkan sambil memasang puzzle bergambar Barney.

"Sebaiknya kita izinkan dia menginap untuk sementara waktu," ujar Uncle Rick, "kasihan dia."

Aku dan Lya hanya bertatap bingung, lalu kami kembali memasang kepingan puzzle yang belum tersusun rapi.

*

Aku terkejut saat melihat tante yang waktu itu kuberikan roti tersenyum di depan pintu sembari menjabat tangan kanan Uncle dan Aunty.

Kulihat di tangannya terdapat koper hitam besar dan tas ransel gunung di punggungnya. Wajahnya selalu saja sama putih dengan wajahku sewaktu demam tinggi.

"Silakan masuk," ucap Aunty sembari tersenyum. Lalu mereka bertiga berjalan masuk menuju kamar kosong di sebelah kamarku dan Lya. "Ini kamarnya, isinya kosong. Anda bisa menempatinya untuk sementara waktu."

Lalu setelah berbicara lama sekali di depan pintu, Uncle dan Aunty akhinya pergi setelah tante yang tadi masuk dan menutup pintu.

Aku keluar dari tempatku bersembunyi. Aku masih ragu bertemu dengan tante itu, fyuh, untung saja ia sudah menutup pintunya.

"Anya? Kamu kok bisa ada di sini?" Aku terkejut lalu segera berbalik, tante itu ternyata baru saja membuka pintu kamar, melihatku berdiri di sini.

"Eh, um ... Halo," sapaku malu-malu. Tante itu tersenyum hangat.

Karena tidak mau di sana lama-lama, aku langsung saja turun dan pergi menemui Aunty yang sedang memasak pai ayam di dapur.

"Aunty ... eh, Anya mau pergi beli roti lagi boleh?"

"Loh? Bukannya tadi pagi sudah beli roti? Anya mau makan lagi?"

Aku menggeleng, lalu menunjuk pintu kamar yang ditempati tante itu.

*

Aku kadang bingung sendiri. Tante yang belum kuketahui namanya itu setiap hari selalu saja menulis surat. Setiap kutanya surat itu untuk siapa, ia selalu saja menjawab.

"Untuk anak tante."

"Anak tante namanya siapa?"

Tapi ia tidak pernah menjawab. Hanya tersenyum hangat seperti biasa. Tante jarang keluar dari kamarnya, jadi setiap hari sepulang TK, aku selalu mampir bersama Lya di toko roti untuk membelikan tante kue cokelat yang pertama kali kuberikan.

Tante itu bibirnya selalu putih, setiap hari Aunty selalu memberikan benda bulat pipih untuk tante itu agar diminum bersama air putih dalam satu kali teguk, tante juga selalu batuk-batuk, juga sering cepat lelah, dan susah bangun.

Tapi Tante itu orangnya baik dan ramah. Ia mengajariku cara menulis, memperlancar bahasa inggrisku, mengajariku menghitung, mengajarkanku agar tidak nakal, selalu membuatku tertawa, mengajakku main.

Sekolah. Toko roti. Kamar tante. Canda tawa. Belajar. Tidur.

Hanya itu siklus keseharian yang kulakukan bersama tante setiap hari.

Tapi semuanya berubah ketika waktu itu datang.

*

"Rick! Rick! Cepat panggil ambulans!" suara teriakan Aunty memenuhi rumah. Membuatku dan Lya terbangun dan segera keluar dari kamar.

Dapat kulihat Uncle Rick dengan wajah takut terus saja kalang kabut menekan tombol di telepon genggamnya.

"Halo, Halo, Ambulan?!" Uncle berbicara dengan seseorang dari telepon. "Tolong datang ke sini! secepatnya!"

*

Unit Gawat Darurat.

Aku dan Lya disuruh menunggu di jejeran kursi tunggu rumah sakit, sementara Uncle dan Aunty berdiri tepat di depan ruang berpintu kaca itu.

"Lya, tante ke mana?" tanyaku sambil bersandar di bahu Lya yang masih mengenakan piyama dan sandal kelinci.

Lya menepuk bahuku. "Di operasi, tenang saja, Mom bilang kalau tante pasti tidak apa-apa, hanya diobati."

2 jam kemudian ...

Aku dan Lya terbangun begitu mendengar bunyi sirene kecil berwarna merah yang terletak tepat di atas pintu bertuliskan "Unit Gawat Darurat" itu.

Uncle dan Aunty bangkit dari kursi yang berada tepat di samping pintu itu. Keluar seorang pria berambut pirang yang memakai jas putih dan masker di mulutnya. Begitu melihat Uncle dan Aunty, pria itu membuka maskernya, lalu kemudian menunduk dalam.

Aku dan Lya masih tetap duduk di kursi yang sama, masih mengenakan piyama. Kursi yang kami duduki agak jauh dari sana, tapi kami masih bisa melihat semuanya dengan jelas.

Pria berjas putih itu tetap saja menunduk dalam. Lalu sekilas, ia mengangkat kepalanya lalu bibirnya bergerak, mengucapkan sesuatu kepada Uncle dan Aunty. Sesutu yang tidak bisa kudengar.

Saat pria itu menunduk lagi, terdengar suara isakan Aunty. Uncle segera merangkul pundaknya. Lya yang terkejut mendengar Mamanya menangis, segera berlari menghampiri.

Aku masih terdiam. Kunaikkan kedua kakiku di atas kursi tunggu itu, lalu meringkuk. Dan bersandar pada lututku.

.-.-.-.-..-.-.-.-.-

Halo,

Rick dan Emmily. Kalau kalian menemukan surat ini, berarti aku sedang berada dalam kondisi kritis atau mungkin sudah tidak ada lagi.

Terima kasih karena sudah mengizinkanku untuk tinggal di rumah kalian, kalian baik sekali. Jika kalian tidak ada, mungkin aku sudah tidak bisa lagi mengirim surat terakhir untuk anakku.

Maaf sudah membebani kalian. Pasti sulit sekali menampung orang sakit-sakitan di dalam rumah kalian kan? Aku minta maaf atas semuanya.

Ohya sampaikan salamku pada Anya dan Lya , mereka berdua adalah anak yang manis. Aku berharap bisa mengajari Anya menghitung lagi tapi apa boleh buat?

Kalian satu-satunya keluarga yang bisa kutempati minta tolong, bernaung, dan berkomunikasi dengan leluasa.

Aku cuma ingin menyampaikan, jangan membawa tubuhku ke Indonesia. Untuk terakhir kalinya, satu kali lagi, aku meminta tolong pada kalian. Hanya untuk satu kali ini saja.

Selamat tinggal, aku sangat beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik kalian.

Alina Safira Nathala.

.-.-.-.-..-.-.-

Aku meremas kertas di tanganku itu. Kulihat Lya, Uncle Rick, dan Aunty Emmely berdiri di depan salah satu gundukan tanah yang di atasnya masih terdapat bunga segar.

Lya memegang tanganku erat.

Lalu samar-samar kudengar bisikan Uncle ke telinga Aunty.

"Ini yang Fira inginkan, mungkin ini yang paling terbaik untuknya."

Flashback End.

***

"Anya! Anya!" Lya menepuk jidatku.

Aku meringis sembari mengelusnya. "Aduh! Apa?" gerutuku kesal.

"Kenapa ngelamun?" ucap Lya kemudian. "Anya, listen, gue tahu lo masih sering ingat Tante Fira setiap denger kata Seattle itu yang bikin lo gak mau ke sana lagi. Tapi sekarang lo mesti milih, Nya. Dan salah satu pilihannya adalah Seattle."

Aku mengangguk lesu, "Gue bakal mikir soal itu."

***

Aidan's POV

Brengsek.

Aku melempar pensil yang kupegang hingga masuk ke dalam air mancur taman sekolah.

"Apa lo bakal merasa kehilangan?"

Berapa kali aku mengumpat meredam kesal setiap kali mengingat ucapan serta ancaman Dino yang menyangkut Anya.

Aku merogoh saku, menemukan sebatang pensil lalu kemudian membalik halaman buku sketsa.

Namun pikiran-pikiran lain mulai mengusik. Dino, Anya, Dino, Anya. Hanya itu yang ada di dalam kepalaku sekarang.

Anya mungkin⎯atau pasti⎯akan berada dalam bahaya. Aku kenal betul pribadi Dino yang licik. Satu kali berbicara atau berjanji, dia akan menepatinya. Bahkan untuk hal yang buruk sekalipun.

Sudah lama aku memikirkan perasaanku sendiri. Aku masih merasa ingin menggambar Kira, namun aku lebih senang menghabiskan waktu bersama dengan Anya dan malah tidak pernah berusaha bicara dengan Kira sekali pun.

Aku sendiri sadar, bahwa usahaku melindungi Anya kadang biasanya kulupakan ketika bersamanya karena aku sudah melakukan semuanya karena memang aku senang bersamanya.

Oke, mungkin aku senang bersamanya tapi hal itu bukan berarti aku ....

Aku menggelengkan kepala.

"Gue  bakal buat lo kehilangan orang yang lo sayangi, untuk yang kedua kalinya."

Aku dekat dengan Anya untuk melindunginya, melindungi gadis itu, menjauhkannya hal buruk yang tidak main-main. 

Menjauhkannya dari Dino.

Aku teringat ucapan Dino saat kami berdua berada di dalam rumah lamaku untuk yang pertama kalinya--di hari ia memberikan surat-surat itu kepadaku.

Ancaman Dino itu selalu membuatku gelisah, hingga membuatku waspada terhadap orang yang kudekati, tak ingin salah satu dari mereka menjadi orang yang akan terlibat dengan masalah antara aku dan Dino.

Itulah mengapa aku sama sekali tidak ingin mendekati Kira sama sekali, tidak ingin dia terlibat.

Aku menjaga jarak dengan semua orang, agar Dino tidak menjadikan mereka target dengan harapan bodohnya untuk melukai oramg-orang yang dekat denganku.

Lalu sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Flashback

Panitia Persiapan Lomba (Bagian Spanduk)

-Aidan Fardhika Nathala

-Safanya Aluna 

Dan saat itu semua masalah pun bermulai.

Aku tersentak saat melihat pengumuman yang tertera di mading itu. mataku terpaku pada satu nama yang terletak satu kelompok denganku, mataku melebar begitu mengingat surat tanggal 29 Maret itu. Surat yang Dino berikan padaku, surat dari Ibu.

Seattle, 29 Maret. Alina Safira Nathala (Fira) dan Safanya Aluna (Anya)

Begitulah tulisan yang tertera tepat di bawah foto Ibu dan seorang gadis kecil manis yang tersenyum di sampingnya.

Nama mereka sama. Sama persis.

Dan rasanya, selain aku, Dino juga menyadari hal itu.

Flashback End

Dari situlah muncul rasa penasaran untuk membenarkan apakah gadis itu adalah gadis yang ada di foto, atau bukan. Satu kelompok pembuatan spanduk kujadikan peluang untuk terus lebih dekat dengannya, mencari info tentang dia.

Siapa sangka gadis itu ternyata membawa suasana baru bagiku. Aku yang dulunya takut mendekati perempuan, mulai sedikit terbuka. Traumaku perlahan hilang. Anya yang ceria, selalu tersenyum, lucu, dan baik membuatku perlahan berubah, hingga akhirnya tak sadar telah menjadikannya orang yang dekat, sangat dekat.

Kepastianku mulai bertambah lagi ketika kejadian itu terjadi.

Flashback

Aku tersenyum kecil begitu melihat dompet berwarna biru muda itu terselip di sofa merah ruang tamu. Warnanya yang mencolok membuatku tertarik mengambil dompet biru khas cewek itu.

Sebenarnya aku tidak niat membukanya, tapi rasa penasaranku mengambil alih. Perlahan tanganku mulai bergerak membuka dompet itu, mataku melebar begitu melihat foto seorang gadis cilik yang tengah tersenyum, wajahnya sangat mirip dengan ...

Aku buru-buru membongkar tas lalu mencari-cari surat bertuliskan tanggal 29 Maret di atasnya. Begitu berhasil menemukan surat yang dimaksud, aku membalik kertasnya dan melihat wajah gadis kecil di samping Ibuku itu.

Kubanding-banding wajah gadis yang ada di dompet Anya, dengan wajah pada foto di surat itu. Sama persis. Mereka adalah gadis cilik yang sama, dia Safanya Aluna yang menemani Ibuku di Seattle waktu itu.

Flashback End

Aku mulai sering  bersama Anya. Aku bahkan menyetujui ajakan Reza untuk ikut ke festival kembang api dan mengikut-sertakan Anya.

Namun di sinilah titik kebodohanku, aku baru saja menyadari sesuatu, aku baru saja melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh kulakukan.

Aku menyetujui ajakan untuk membawa Anya ke festival.

Dan itu adalah salah satu keputusan tersalah yang pernah aku lakukan seumur hidupku.

"Gue bakal buat lo kehilangan orang yang lo sayangi, untuk yang kedua kalinya."

Ancaman Dino.

Begitu bodohnya, aku baru sadar sekarang.

Awalnya aku mungkin merasa lega karena tidak mungkin Dino memantauku sampai segitu dekatnya kan?

Mana mungkin Dino tahu siapa yang belakangan ini sering bersamaku?

Tapi segala persepsiku itu hancur bergitu saja kala satu peristiwa di festival itu terjadi.

Flashback

Aku dan Anya sedang duduk berdua di bangku kayu, menatap meriahnya pasar malam baru yang ramai itu. Kami berbincang, Anya menyodorkanku minuman aku menerima dan langsung meminumnya, berhubung tenggorokanku sudah kering karena haus.

Aku terkesiap begitu melihat Anya yang berdiri dari bangku secara tiba-tiba. Kulihat ia ternyata menyapa Kira yang ternyaya ada di festival itu juga.

Mataku melebar begitu melihat gadis itu datang, namun aku bertingkah biasa saja.

Tetapi, mataku langsung berubah melebar lagi. Kali ini bukan suka atau kagum kala melihat Kira.

Melainkan berubah menjadi mata yang takut dan cemas kala melihat sosok itu menatapku tak jauh dari tempat Anya dan Kira berbincang.

Dino juga ada di situ.

Kulihat laki-laki itu menatap sinis ke arahku, lalu menatap Anya tajam, kemudian ia mengukir seringai penuh arti padaku.

Rasa kagetku bertambah lagi saat melihat Kira ternyata menghampiri Dino, lalu mengajak cowok itu menjauh.

Kuingat lagi tatapan tajam Dino ke Anya.

Flashback end

Suasana dan firasat buruk mulai datang, membuatku murung, membuatku takut sepanjang sisa hariku di festival.

Aku tahu Dino mungkin sudah tau pasal asal-usul keterkaitan Anya dan Ibuku⎯Ibu kami maksudnya⎯dan mungkin saja Dino menaruh rasa penasaan tertentu pada Anya, sama sepertiku.

Tapi jika Dino meyimpulkan Anya adalah orang yang tidak ingin kulepaskan, orang yang memiliki hubungan khusus denganku karena ia kuajak pergi bersama ke festival ini, maka Anya akan berada dalam masalah besar.

Anya bisa saja menjadi target cowok itu.

"Gue bakal bikin lo depresi Aidan, gue bakal buat lo kehilangan orang yang lo sayangi, untuk yang kedua kalinya."

Saat itu kulihat Anya mulai bingung karena aku sama sekali tidak merespon pertanyaan yang ia tanyakan, sibuk tenggelam dalam duniaku sendiri. Dengan cepat aku meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat, mengajaknya menjauh dan pergi menaiki biang lala.

Kujalani sisa hari bersamanya itu dengan firasat buruk dan takut, dan mungkin Anya sadar dan mengetahui perubahan tingkahku yang berubah murung itu.

Mulai dari saat itu aku mulai sangat curiga dengan Dino yang mulai menentukan target. Takut apabila cowok brengsek itu melukai orang yang tidak bersalah, terutama Anya.

Dari situlah aku mulai terus-menerus berusaha ada di dekat Anya, terus berusaha menghabiskan setiap waktuku bersama cewek itu.

Melindungi Anya kuprioritaskan.

Puncak kecemasanku ada pada saat Anya tidak kunjung keluar saat kami hendak pulang. Aku benar-benar takut sekali saat tau fakta bahwa Anya ternyata dikuncikan di dalam kelas, oleh Dino.

Dari situ aku tau Dino benar-benar serius. Dari situ aku tau bahwa Dino tidak main-main.

Aku mulai overprotektif, mungkin tanpa sepengetahuan cewek itu sendiri.

Aku tidak bisa bertahan lama marah padanya, bahkan dengan bodohnya ketakutan saat sadar ketololanku meninggalkannya di sekolah hanya karena kecewa berat, bahkan tak sadar bahwa aku sendiri lega melihatnya menunggu di halte dan tak terjadi apa-apa.

Bahkan kerap kali muncul perasaan yang tak pernah kusadari.

Hingga aku tidak bisa membedekan, mana motif dekat dengan Anya karena rasa tanggung jawab, mana karena rasa yang benar-benar suka dan tulus.

Aku melebar melihat hasil corat-coretku di kertas yang sangat beda dari sebelumnya. Untuk pertama kali itu, tanpa kusadari, aku malah menggambar Anya.

***

Iam updated! Probably, when I was not-really-in-a-good-kind-of-mood. So i 'm sorry if it maybe not the best chap I ever wrote. Fyi, chapter ini mungkin dianggap membingungkan bagi kalian yang bacaannya dilangkah-langkahi karena setiap bagian cerita ini penting. Sampai ketemu di chap selanjutnya!

🌹,
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top