Sebelas|Kenyataan(1)
Dear Penny,
Kurasa hari ini aku tahu satu hal, bahwa tidak selamanya melihat senyumnya itu menyenangkan.
***
Aku membuka mata dan melihat
sekitar. Mataku terpaku pada jendela kamarku yang ditutupi gorden berwarna biru langit, tidak ada secerca cahaya pun yang keluar dari sana. Dan itu berarti hari belum terlalu pagi.
Namun tiba-tiba mataku yang tadinya akan tertutup, menjadi terbuka lagi ketika kurasakan sakit di bagian pelipisku. Rasanya pening dan berdenyut-denyut, bulir keringat mulai membasahi keningku.
Aku duduk dan bersandar di bantal, tanganku sibuk memijat pelipis yang masih sakit. Aku merasakan hal lain, rasanya semua sendiku terasa lembek dan lesu. Badanku lemas, hawa panas mulai berkelebat di sekujur tubuhku, bibirku juga menggigil dan bergetar. Aku memejamkan mata berusaha meredakan pening yang masih menjalar di sekitar pelipis, mataku terasa hangat, begitu pula nafasku. Aku menelan ludah, tenggorokanku juga kering.
Aku tahu ini akan terjadi, karena dari kemain aku sudah demam. Dan sepertinya dekarang demamku semakin tinggi.
Setengah sadar, aku menggerak-gerakkan tangan, meraba-raba tempat tidur berharap menemukan ponsel.
Begitu benda itu kudapat, aku segera membuka kunci layarnya, beriniat menghubungi Kira dan menitip izin sakit ke guru.
Namun sebelum aku mengetikkan kalimat, sebuah informasi muncul.
Kemarin, 14:30.
From: Kira
Besok lo datang kan? Tadi pas lo enggak masuk, ada pengumuman dari Pak Sukirman, katanya besok ulangan. Kan Anjrit.
Sialan.
Kuambil cermin di dekat meja makan, lalu aku melihatnya dengan tatapan kosong. Pucat, wajahku benar-benar pucat. Bibirku juga membiru, kini aku tampak seperti mayat hidup.
lalu mataku terpaku lagi pada lututku yang sudah dililit perban putih. Dan pikiranku kembali menerawang.
Siapa yang membalut ini?
Tapi alih-alih berpikir lagi, aku malah kembali berbaring. Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk sekedar duduk saja.
Namun sebelum menutup mata, aku mendengar suara kresek-kresek setiap kali tubuhku bergoyang. Aku duduk lagi, lalu meraba-raba tempat tidur. Mencari-cari benda yang menimbulkan suara yang mengusik itu.
Beberapa saat kemudian, tanganku menyentuh sesuatu. Setumpuk kertas. Aku menajamkan penglihatan, oh, ternyata itu kumpulan sketsa-sketsa Aidan yang kukumpulkan.
Sketsa cewek yang selalu sama, aku lebih suka menyebutnya, petunjuk. Seolah-olah detektif yang selalu ingin memecahkan pertanyaan; siapa sebenarnya cewek itu? Walau akhir-akhir ini, semangatku hilang entah ke mana.
Aku melihat sketsa di tumpukan paling atas, ada gambar cewek itu, sedang berdiri di samping pohon. Tidak tampak wajahnya, hanya rambut panjang yang terjuntai ke belakang.
Satu fakta yang sejauh ini kuketahui; cewek ini benar-benar ada di dunia nyata.
Aku memindahkan sketsa tadi ke bagian belakang, sehingga kertas lain di belakangnya terlihat. Sketsa kedua adalah, gambar cewek yang masih sama. Sedang mengambil buku di loker yang kelihatan tidak asing, lagi-lagi wajahnya tidak diperlihatkan.
Ada lagi fakta yang kuketahui dari petunjuk itu: cewek ini bersekolah di sekolahku.
Sekali lagi, kupindahkan sketsa itu ke belakang, memperlihatkan satu kertas lagi. Masih cewek itu, sedang berdiri di pojok lapangan sekolahku.
Satu fakta terakhir; cewek ini selalu diperhatikan oleh Aidan setiap saat.
Yang terakhir itu benar-benar fakta yang dapat membuatku seolah-olah mendapat bogeman telak di pelipis. Sial, aku salah mengambil perumpamaan. Akibatnya, kepalaku malah sakit betulan.
Aku menatap ketiga petunjuk itu dengan sorot mata sendu, namun berkesan kosong dan datar. Ini belum cukup.
Aidan, apa masa lalumu?
Siapa cewek yang selalu kau gambar?
***
Aidan's POV
Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, menenangkan tubuhku yang tadi sempat tegang saat mengerjakan soal ulangan harian dari Bu Rani. Hari ini memang sedang diadakan ulangan harian serentak.
Aku berusaha menutup mata, hanyut dalam melodi lagu dari earphone-ku. Namun tidak bisa, dahiku kembali mengerut.
Kulepas earphone dari telinga penuh emosi.
Aku teringat seseorang.
Bukan gadis di sketsa itu, namun Anya.
Kenapa aku tidak pernah melihatnya seharian?
Aku mengacak rambutku frustrasi, agak sedikit jengkel karena--lagi-lagi--aku khawatir sendiri. Bukan cuma karena aku takut masalah dariku itu sudah menimpanya, tapi juga karena hal lain yang tidak kumengerti.
"Gue rasa gue tau apa yang terjadi sama lo," ucap Varo dengan senyum sok tahu.
Temanku itu memantul-mantulkan bola basket terus menerus, sesekali mengopernya ke Thio yang juga ada di situ.
Kami sedang di lapangan basket indoor sekolah. Suasana sepi, yang terdengar di telingaku hanyalah langkah kaki Thio dan Varo yang sedang memperebutkan bola.
Aku duduk bersandar di tengah-tengah jejeran kursi penonton, kunaikkan kedua kakiku ke kursi di depanku sambil mendengarkan musik. Lapangan indoor ini memang sering kosong saat jam istirahat, orang-orang lebih suka berkumpul di lapangan outdoor.
"Gue rasa gue juga tahu apa yang terjadi sama lo, Dan." Thio menimpali, mengikuti ucapan Varo.
"Apaan?" tanyaku, bangkit berdiri, berjalan turun dari jejeran kursi penonton dan dengan mudahnya kuambil bola basket dari tangan Thio dan memasukkannya ke dalam ring dalam satu kali tembakan. Thio bertepuk tangan tidak ikhlas.
"Kalau gue sih, gue rasa lo mau melindungi karena merasa bersalah, itu sih sudah pasti," jelas Varo. "Tapi ehem, sumpah gue gak terlalu suka bilang hal beginian, tapi bisa dibilang lo kangen sama cewek itu. HUEK! cringe banget kalau gue yang nyebut."
Aku langsung tersedak soda dingin yang barusan kuteguk.
"Gue juga berpikir begitu," lanjut Thio. "Lo gengsi dan berpikir kalau motifnya adalah melindungi nya demi terhindar dari rasa bersalah, tapi sebenarnya lo lebih dari itu."
Aku terbatuk-batuk, sisa-sisa tersedak soda tadi.
Yang benar saja.
Aku segera bangkit dan mengambil earphone dari kursi tadi lalu segera memasangnya, aku berjalan keluar lapangan.
Jarang sekali kedua orang itu berpola pikir sedramatis itu, aku menyungginkan senyum heran.
Eh, tapi, bukannya justru karena mereka tidak pernah dramatis, pendapat mereka tadi bisa saja benar.
Argh, terserahlah! Aku mengacak rambutku sembari berjalan menuju pintu keluar.
"Kangen bisa berarti cinta loh!" seru Thio dari belakang. Diikuti tawa Varo.
Tapi, aku tahu itu tidak mungkin terjadi. Eh tapi ...
Ngomong-ngomong, sampai sekarang Anya masih saja tidak kelihatan.
Tuh, kan. Mulai lagi.
Aku sama sekali tidak mengerti jalan pemikiran otakku sendiri.
***
Kali ini aku melihat dia di kantin, sedang memesan sesuatu. Aku berhenti dari aktivitasku dan menatapnya. Memperhatikan senyumnya, dan bagaimana gerak-geriknya, cewek itu.
Sudah kukatakan, aku belum terlalu dekat dengannya. Iya, menurutku dia menarik. Saat pertama kali melihatnya yang selalu bersemangat, tidak sadar selalu menggambar setiap aktivitas yang ia lakukan di saat aku melihatnya. Tapi sama saja, aku selalu membuangnya di tempat sampah.
Sedangkan sketsa wajahnya tidak pernah kubuang, melainkan kusimpan di dalam buku sketsaku. Suatu saat, aku akan memberikan itu padanya.
Tapi kali ini beda. Rasanya beda. Semenjak Grace pindah ke sini, aku jadi meragukan diri, karena melihatnya, aku akhirnya bisa membedakan mana ingatan waktu masih menyukainya, dan mana perasaan suka yang asli.
Dan Grace hanya membuatku mengingat masa lalu seolah sekarang aku masih merasakan hal yang dulunya ada, terasa seperti aku masih menyukainya namun secara bersamaan juga terasa kosong, aku jadi sadar bahwa--entah kenapa, hal yang sama kurasakan pada saat melihat sketsa cewek ini. Mungkin sudah lama sekali berjalan seperti itu, aku baru sadar ketika Grace kembali, ia seolah contah nyata yang membuat semuanya jadi masuk akal.
Walaupun begitu, tanganku selalu mencari objek untuk digambar, dan sekarang walau rasanya beda, aku tetap masih ingin menggambarnya untuk menyalurkan hobi. Tapi aku teringat sesuatu. buku sketsaku kan ada di ... Anya.
Saat cewek itu pergi dari meja kantin, aku juga pergi, penasaran ia akan pergi ke mana. Perkiraanku dia akan ke taman atau ke lapangan seperti yang biasa aku dapati.
Ia terus berjalan di antara kerumunan orang-orang di koridor, aku fokus ke arah jalannya, berusaha untuk tidak kehilangan jejaknya, berusaha untuk melewati orang-orang tanpa menabrak satu pun dari mereka.
Lalu langkahku sempat terhenti begitu di samping kananku sudah ada koridor menuju kelas Anya. Kakiku berhenti berjalan. Terbesit keinginan untuk berjalan ke kelas itu dan mengecek keberadaannya.
Namun, kupandangi cewek yang sudah berjalan lurus agak jauh di depanku itu, lalu aku menoleh ke kanan lagi--ke arah koridor menuju kelas Anya.
Aku bingung, ingin melangkah ke mana. Kuperhatikan cewek yang sudah berjalan lurus di depan itu. lalu aku menoleh lagi ke kanan, ke arah koridor kelas Anya. Lalu memandang lurus lagi ke arah cewek itu, lalu menoleh ke kanan lagi ke arah kelas Anya.
Tanpa aku sadari, tanpa aku sendiri tahu alasannya,
Langkahku malah berbelok ke kanan.
***
Anya's POV
Aku memejamkan mata, merasakan kompres di dahiku sambil sesekali menghela napas.
Sendiku terasa ngilu sampai dalam bahkan ketika tanganku hanya bergerak mengambil ponsel.
Pesan tidak terkirim
Sial sekali, surat izin sakit yang aku tuliskan pada Kira ternyata tidak terkirim.
Hari ini aku memutuskan untuk tidak sekolah saja, sewaktu bangun tadi rasanya aku sudah menyerah. Persetanlah sama ulangan matematika, lebih baik aku susulan saja.
Aku mendaratkan kembali ponselku di sisi lain tempat tidur dengan tak peduli.
TAK!
Terdengar bunyi itu begitu ponsel tadi mendarat. Hal itu menandakan ia mendarat di sesuatu yang keras.
Aku duduk dan bersandar, mataku sedikit membulat begitu kulihat buku sketsaku mendarat di benda itu.
Buku sketsa Aidan.
Aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, namun terhenti.
Seberapa ingin aku melihat siapa cewek yang selalu ia gambar--yang ia sukai, tetap saja aku tidak mau melakukannya, karena aku tidak mau menukar informasi itu dengan kekecewaan Aidan.
Jadi aku kembali berbaring, menutup mata sembari mengingat kejadian di mana Aidan begitu ia melihatku memegang buku sketsanya. Menutup mata sambil memikirkan bayangan kejadian itu sembari menelan getir.
Mungkin sekarang aku benar-benar dibenci olehnya. mungkin sekarang ia tidak akan pernah mau melihatku lagi.
***
Aidan's POV
"Anya gak masuk hari ini, dia gak kirim izin sakit atau izin pergi, sama sekali gak ada keterangan."
Ucapan si ketua kelas itu terus terngiang di kepalaku. Sedikit cemas mulai muncul.
Ke mana anak itu?
Aku memajamkan mata, namun firasat buruk semakin datang.
Ah, tidak mungkin hari ini si iblis itu sudah beraksi, kan?
Aku mengutuk hubunganku dengan Anya yang memburuk di saat yang tidak tepat.
Terjebak di dalam situasi begini, aku jadi teringat kejadian waktu itu.
Flashback
Keringat terus bercucuran di keningku, sekali-sekali aku menyekanya dengan punggung tangan. Es krim yang sedari tadi kupegang di tangan sudah meleleh karena cuaca yang panas. Belum lagi terlalu banyak orang di sini, aku suka kereta api, dan aku suka es krim. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak lagi.
Tiba-tiba dadaku rasanya sesak, es krim yang sedari tadi kupengang dan sudah mencair tanpa kumakan segigit pun terpaksa kubuang. Ibu bilang ini namanya 'stasiun', aku belum pernah pergi ke stasiun sebelumnya. Aku hanya mendengarnya dari Bu Diana, guru TK-ku.
Tadi sebelum ke sini, Ibu terus menangis di mobil. Sampai-sampai aku tidak bisa tidur. Entah kenapa Ibu membangunkanku subuh-subuh lalu menyuruhku naik ke mobil, lalu Ibu mengebut persis seperti pembalap mobil yang biasa kutonton di televisi.
"Bu, kenapa Kak Reza gak ikut?" tanyaku pada Ibu yang membanting kemudi mobil ke samping.
"Kak Reza sama Ayah, kalau Aidan ikut sama Ibu." Ibu menatap lurus ke depan. "Tapi Ibu t-t-tidak bi--" Ibu sesenggukan.
Aku mengangguk lalu berkata, "Kita mau ke mana Bu? Kita cuma berdua? Tapi Aidan mau kalau Ayah sama Kak Reza juga ikut."
Ibu menangis semakin kencang. "Gak bisa sayang, Kakak Reza sama Ayah di rumah. Kita mau ke stasiun."
"Ibu jangan nangis lagi," ucapku, panik melihat Ibu menangis begitu.
Ibu diam lagi, mobil terus berjalan hingga kami sampai di tempat yang banyak orangnya. Suara bising yang membuat telingaku sakit saling bersahutan, dengan wajah murung, ibu menggandengku masuk ke dalam tempat itu. Mungkin Ibu murung karena kurang tidur kan? Belum lagi tadi di rumah kudengar Ayah berteriak, mungkin Ibu murung karena itu.
Namun aku senang saat melihat kereta api di dalam sana, aku suka kereta api. Karena kereta api cepat. Bu Diana menunjukkan miniature kereta api sewaktu di TK kemarin, jadi aku senang begitu bisa melihatnya secara langsung sekarang.
"Aidan tunggu di sini ya, Ibu mau pergi beli karcis dulu," ucap Ibu semberi berjongkok dan memegang pundakku dengan kedua tangannya.
Aku menengok ke kiri dan ke kanan, orang-orang di sekitarku sampai berhimpit-himpitan karena terlalu banyak. "Tapi aku gak suka kalau banyak orang, Bu." Aku menatapnya lekat. "Aidan mau ikut aja," aku memohon.
"Di loket banyak orang, Dan. Gak bisa antri kalau ada kamu. Kamu tunggu di sini aja ya," ucap Ibu. Aku terheram, curiga, dan takut begitu kulihat mata ibu berkaca-kaca lagi.
Aku menggeleng, "Tapi ...," aku menunduk.
"Nih Ibu kasih uang, nanti kalau ada apa-apa pakai ini aja yah," tiba-tiba ibu menangis, aku jadi panik.
"Loh, kok Ibu nangis lagi?" tanyaku, cemberut. "Uangnya banyak banget, Bu. Entar Aidan gak bisa habisin semuanya." Aku memandang tiga lembar uang berwarna merah di tangan Ibu. Kata Bu Diana, uang warna merah itu jumlahnya banyak sekali. Uang kertas yang paling banyak nilainya.
"Ambil ya," ucap Ibu sesenggukan, suaranya serak khas orang yang menangis. Lalu tiba-tiba ia memeluk erat, erat sekali. Aku Cuma diam sembari membalas pelukan Ibu yang lama. "Ma-maafin Ibu ya, Nak. Saya memang bukan Ibu yang baik."
Ibu melepaskan pelukannya, matanya merah dan basah. "Jangan pernah takut ya, Dan. Sekarang kamu janji sama Ibu, kamu gak boleh nangis."
"Janji," anggukku, lalu Ibu berdiri dan berjalan pergi. Sekali-sekali menengokku.
Aku mengejarnya, namun aku jatuh karena tersandung kaki-kaki orang yang berlalu lalang. Aku tidak melihat jalan, dan Ibu pun hilang di dalam kerumunan orang-orang yang sangat banyak itu.
"Ibu?" panggilku. Melihat orang yang terus lewat, kepalaku jadi pusing. "Gak boleh nangis." Aku sudah janji pada Ibu kan? Katanya, melanggar janji itu tidak baik. Jadi aku tidak mau melanggar janji, padahal aku ingin sekali menangis.
Tiba-tiba aku melihat penjual es krim, jadi aku membelinya dengan uang yang tadi Ibu beri. Aku sudah diajari membeli sesuatu dari penjual jajanan di sekolah. Jadi aku tau caranya.
Lama, Ibu tidak kunjung kembali, tadinya matahari belum ada di langit, sekarang sudah tinggi, tapi Ibu belum kembali juga. Orang-orang bertambah banyak setiap saat.
Gak boleh nangis.
Lama sekali, sampai-sampai es krim cokelat di tanganku mencair. Aku tidak mau memakannya, ini es krim untuk Ibu. Setiap aku sedih, es krim itu menghiburku, jadi aku ingin memberikannya pada Ibu. Ibu suka es krim rasa cokelat.
Tapi dari tadi pagi sampai siang sekarang, Ibu tidak juga datang. Es krim di tanganku mencair, jadi aku membuangnya karena es krim cair itu tidak enak.
Sakit, kakiku sakit sekali. Rasanya panas dan pedis, tapi aku tidak menangis.
Kakiku masih panas sampai orang-orang di sekitarku mulai berkurang, kenapa orang-orang bertambah sedikit? Aku mengusap siku saat cahaya panas berwarna oranye dari langit memanasi lenganku. Sudah sore, padahal tadi Ibu pergi membeli karcis pagi-pagi sekali.
Jadi aku berlari mencari penjual karcis, pasti banyak sekali orang yang mengantre kan? Pasti giliran Ibu belum juga tiba kan?
Aku terus berputar-putar mencari penjual karcis, tapi aku tidak tahu bentuknya seperti apa. Aku mulai takut saat aku tidak bisa menemukan tempatku menunggu tadi. Sekali-sekali aku jatuh menghantam tanah.
Gak boleh nangis.
Jadi aku mengikuti suara kereta api, aku berlari mengikuti suara kereta api. Karena aku ingat tadi tempatku berdiri terdengar suara kereta api yang keras.
Aku percaya, Ibu pasti kembali.
"Wow!" aku berseru ketika melihat kereta api begitu dekat, aku melihat relnya. Mataku berbinar. Bu Diana benar, ternyata kereta api itu besar sekali, juga ribut dan cepat.
Aku menegok ke kiri dan ke kanan, mataku berbinar kembali saat melihat sesuatu di sebelah kiri, lalu aku berteriak kencang-kencang.
"IBU!" teriakku penuh harap. Rasanya semua kegelisahan yang tadi kutahan lenyap digantikan kelegaan yang penuh.
Itu Ibu! Aku melihat baju merah marun dan celananya yang berwarna hitam. Rambut hitamnya diikat. "IBU!" aku berlari mengejarnya, akhirnya Ibu kembali juga. "Bu!"
Aku mengejar, teriakanku sama sekali tidak dihiraukannya. Ia terus berjalan lalu ... lalu ....
Lalu Ibu naik ke kereta api, rasa takut mulai menjalar saat pintu kereta api mulai tertutup. Entah kenapa tanganku bergetar, kakiku yang sakit kupaksakan berlari mengejar kereta api yang juga berjalan. Aku takut ... aku takut ditinggalkan sendirian. Gigiku mulai bergemeletuk saat kereta api itu mulai menjauh, aku tidak bisa melampaui pintu, kakiku sakit sekali.
"Ibu!" aku berteriak kencang-kencang, kucepatkan laju lariku, tapi kereta itu terlalu cepat. Aku terus berlari, semangatku hilang dan tubuhku mendadak lemas saat badanku hanya setara dengan gerbong yang paling belakang, lalu lama kelamaan kereta itu sudah melaju jauh di depanku.
Ibu benar-benar pergi, Ibu tidak kembali, Ibu meninggalkanku. Sendirian.
Kamu harus janji sama Ibu, Dan. Kamu jangan takut, kamu jangan menangis.
***
Langit mulai berangsur-angsur gelap, orang-orang yang tadinya sedikit, menjadi tidak ada sama sekali. Aku takut, jadi aku bersembunyi di sela-sela himpitan dua bangunan stasiun sejak Ibu meningggalkanku, tidak ada yang melihatku. Di luar gelap, satu-satunya cahaya yang kulihat hanyalah lampu kecil di dekat bangku kayu.
Angin terus berhembus, membuat tubuhku yang tidak berbalut jaket bergetar, telapak tanganku mulai memutih. Kaos tipisku basah oleh keringat, aku memeluk kakiku yang hanya dilapisi celana pendek di atas lutut.
Aku duduk memelut lutut, menahan gigiku yang terus bergemeletuk, menahan pedis yang masih berkelebat, menahan luka di hati. Aku takut sendirian, aku takut gelap.
Kamu harus janji, kamu gak boleh menangis.
Aku menggigit bibir kuat-kuat, supaya rasa pedih di perutku tidak membuncah. Aku belum makan apa-apa dari tadi pagi, aku sangat lapar, dan perutku terasa panas.
Aku menoleh ke samping, lalu menunduk saat melihat titik-titik air turun dari langit. Angin bertambah kencang, menerbangkan daun-daun pohon. Langit yang hitam itu berubah menjadi tambah gelap. Lalu titik-titik air itu berubah menjadi hujan deras, lalu hujan deras itu berubah menjadi hujan lebat.
Aku meringkuk dalam gelap, menggigit bibir menahan dingin dan lapar.
Flashback end
Aku menunduk membuyarkan semua lamunan itu. Kepingan ingatan yang selalu membuat dadaku sesak.
Setelah kejadian itu aku selalu berpikir; manusia diciptakan sendiri, mati juga sendiri, tidak ada alasan untuk hidup bersama, bukan?
Setelah kejadian itu aku tidak bisa lagi percaya pada siapa pun, terutama cewek.
Di saat aku sudah mulai belajar menpercayai seorang perempuan, yang kudapat malah kekecewaan yang sama saja. Dari luar memang tampak biasa, namun bagi mereka yang menganggap begitu, tidak tahu apa yang ada di balik semuanya.
Kalian tahu mengapa aku bisa ada di sini sampai sekarang? Di stasiun itu, keesokan paginya penjaga akhirnya menemukanku pingsan dengan keadaan mengenaskan, masih sembunyi di dalam gang itu. Mereka menghubungi Ayah lewat informasi yang Ayah sebar di pusat anak hilang. Setelah itu aku mengalami trauma besar.
Iya, aku depresi. Lalu Ayah memutuskan untuk pindah ke Singapura bersama Reza, jadi aku menjalani masa kelas 1 SD di sana. Aku mendapat berbagai perawatan dan terapi, serta bimbingan psikiater yang dapat membuat mentalku semakin membaik. Pasca umurku sudah menginjak 12 tahun, kami akhirnya pindah lagi ke Indonesia.
Sampai saat ini, belum ada kabar sama sekali dari Ibu. Dan mulai di saat itu, aku berhenti mengharapkan Ibu kembali.
Dan aku tidak ingin mendengar apapun tentangnya. Tentang orang yang paling aku sayangi, tentang orang yang meninggalkan luka paling dalam pula.
***
Anya's POV
Aku berjalan terhuyung-huyung menahan hawa panas, lemas, dan pening. Dari pagi sampai sekarang, aku masih belum membaik. Malah sepertinya bertambah parah saja.
Kuturuni tangga rumah hati-hati namun secepat mungkin karena bel pintu rumah sudah berbunyi seperti lagu rap--tidak ada spasinya.
Aku hampir saja terjungkal ketika tidak melihat satu anak tangga di tengah jalan yang aku lewati, efek samping dari keterpaksaanku berlari dalam kondisi kepala yang masih pusing.
"Iya tunggu bentar!" seruku agak sedikit jengkel.
Aku membuka pintu kasar dengan ekspresi menggerutu, namun aku terhenyak begitu melihat orang di depanku ternyata Kira.
"Gue tahu lo punya masalah selain sakit, Anya." Kira langsung menerobos masuk. "Lo boleh cerita ke gue."
Ah, Kira memang selalu mengerti.
Aku duduk di kursi yang ada di depannya, lalu nenatapnya lemas.
"Jadi gini, Kir...."
***
Aidan's POV
Aku menghela napas lega begitu keesokan harinya aku mendapati Anya sudah datang ke sekolah, wajahnya pucat pasi.
Kakiku mulai mengambil satu langkah menuju cewek itu, tapi langkahku malah terhenti. Hanya kupandangi punggungnya yang semkin menjauh.
Menelan bulat-bulat keinginanku untuk menanyakan kabarnya, mengatakan apa ia baik-baik saja. Tanpa alasan yang sampai sekarang belum jelas dasarnya.
"Boo!" Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang siku tanganku. Aku berbalik dan mendapati bahwa orang itu adalah Grace.
"Apa?" tanyaku.
"Gue cuma mau ngajak lo makan pas pulang sekolah kok," ucap Grace. "Eh, t-tapi kalau lo gak bisa sih gapapa deh hehe." Aku terhenyak begitu kudengar tawanya yang terpaksa.
Aku menghela napas. Mengakui bahwa di depan Grace, aku masih belum bisa berlagak dingin, belum bisa marah padanya.
Dengan senyum lembut, aku mengangguk pelan dan berkata, "Yaudah deh, kita pergi."
Aku lega begitu kudapati matanya kembali antusias.
Namun tetap saja, mataku masih menoleh dan memandangi punggung Anya yang bergegas berjalan memasuki kelasnya sendiri
***
Anya's POV
Walau belum sembuh total, aku memaksakan diri untuk tetap datang ke sekolah hari ini.
Demi rencana yang sudah kupertimbangkan sedari kemarin.
Aku menunduk, memandang buku sketsa di tangan sambil menggigit bibir gelisah. Ingin tahu bagaimana reaksinya.
Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.
Semoga dia belum pulang, aku harap. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai rencanaku. Rencana yang sudah kususun bersama Kira sewaktu di rumahku kemarin.
Iya, Kira sudah tahu semua permasalahanku dengan Aidan, tentang cewek yang telah membuat semuanya terjadi.
Dengan berdebar-debar, aku berjalan mendekati kelas Aidan. Aku mulai merasa gugup saat tidak ada suara apa pun yang terdengar dari dalam sana, jangan-jangan Aidan sudah pulang. Aku menggeleng kuat menyingkirkan hal-hal negatif di kepalaku, tapi itu bodoh karena kepalaku kembali pusing.
Aku memejamkan mata dan berhenti sebentar, sakit sekali.
Pandanganku serasa berputar-putar, tiga menit itu benar-benar terlewati sampai derap langkah membuat mataku melek.
DEG!
Bukan hanya melek, melainkan melotot. Aidan ada di sana, keluar dari kelasnya. Dalam hati aku takut bercampur senang.
Aku menunduk sekilas, sesuai dugaanku, Aidan tetap berjalan seolah aku tidak ada. Terbesit kecewa begitu melihat rekasinya
"Em, eh, A-Aidan," panggilku terbata.
Jariku mulai beradu saat melihatnya berbalik, aku meneguk ludah melihat pandangannya. Pandagannya benar-benar jauh beda, ia memandangku dengan cara yang lain. Tatapannya itu kosong dan dingin.
"Ya?" tanyanya sopan namun cuek, tidak seperti biasanya. Ia benar-benar bertingkah seolah kami belum saling mengenal, membuatku seolah kembali ke masa yang tidak seharusnya.
"I-ini, buku sketsa lo." Dengan tangan yang gemetar, aku menyerahkan buku sketsa milik Aidan yang belum pernah kubuka sama sekali.
Perasaanku semakin tidak enak saat Aidan hanya diam menatap buku sketsa itu dengan tatapan kosong yang sama sekali tidak bisa kuartikan.
"Em, gu-gue gak pernah liat isinya sama sekali kok," ucapku memecahkan keheningan.
Aidan mengambil buku sketsanya dari tanganku yang kelihatan kaku dan pucat, lalu ia menatapku sekilas selama sepuluh setik.
Sepuluh detik tercanggung yang pernah kualami. Lalu ia tersenyum paksa⎯sangat terpaksa, "Pastiin lo pulang bareng teman lo hari ini, jangan pulang sendiri." Kemudian ia berbalik dan mulai berjalan menjauh sebelum aku sempat bertanya mengapa.
Aku hanya menunduk sembari mengepalkan tangan, tidak berani menghentikannya. Aidan yang sekarang benar-benar berubah, dan rasanya menyakitkan ketika sadar itu semua karena ulahku sendiri⎯walau tidak sepenuhnya.
"Aidan!" suara itu membuatku mengangkat kepala dan langsung menatap lurus ke depan, suara cewek yang sangat kukenal.
Kulihat Aidan menoleh ke arah cewek itu, lalu ia tersenyum. Persis seperti responnya waktu aku memanggilnya di koridor sepulang sekolah. Rasanya seperti sudah lama sekali.
"Sekarang, jadi kan?" tanya cewek itu.
Aidan mengangguk, lalu cewek itu⎯Grace, langsung menarik tangan Aidan. Satu cengiran terukir di bibirnya.
Aidan berjalan mengikuti, membiarkan cewek itu berjalan di depannya sambil membalas cengirannya dengan senyum kecil.
Aku tahu sesuatu, kini melihat senyum Aidan tidak lagi menyenangkan.
***
Kira's POV
Kutu kampret!
Aku tidak bisa berhenti mengumpat. setelah mendegar cerita Anya tentang masalahnya dengan Aidan kemarin sewaktu aku datang ke rumahnya. Bukan karena Aidan, melainkan karena cewek itu.
Ternyata benar kata orang-orang; jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Entah kenapa, aku yang sebal padahal Anya yang punya masalah. Kalian boleh mengataiku GU, alias gila urusan. Tapi aku dan Anya sudah nemplok dari TK sampai sekarang, sudah sekitar sepuluh tahun lebih. Jadi masalah Anya adalah masalahku juga.
Aku keluar dari lapangan, kegiatan eskul kali ini cuma rapat biasa, jadi hanya makan waktu dua puluh menit saja. Kadang-kadang aku juga malas hadir ke rapat begitu, yang ada cuma bahas masalah GaPen alias gak penting.
Aku sampai di depan pintu ruangan UKS, niatku sih ingin pulang bersama Anya yang kemungkinan besar masih molor di kasur UKS. Kalau Anya tidur biasa saja bisa makan waktu berjam-jam, kalau sakit kayak sekarang mugkin makan waktu berhari-hari.
Benar-benar dia itu, datang ke sekah cuma buat tidur doang.
"Kiranti, gue gak usah lepas sepatu ya, cuman mau bangunin Anya doang," ucapku pada anggota PMR itu.
"Udah berapa kali gue harus bilang kalau nama gue itu, Iranti. I-Ran-Ti!" seru Kiranti. "Anya itu yang mukanya agak baby face itu kan?"
"Yes," jawabku sok inggris lengkap dengan logatnya
"Oh, dia udah pergi lima belas menit yang lalu," kata Kiranti enteng.
"What?! Mustahil banget no way! she gak pernah like that! mana bisa dia wake up by herself."
"Ngomong apa sih lu?" tanya Kiranti dengan wajah bingungya yang minta ditabok.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera berlari menuju pintu gerbang secepat kilat. Aku menghela napas lega begitu melihat seorang cewek yang berjalan dengan langkah tikus menuju pintu gerbang.
Dari punggungnya saja aku sudah tahu, itu Anya.
Aku berlari menuju tempatnya berdiri, eh maksudku berjalan. Lalu aku segera menepuk pundaknya, "Oi, tumben bisa bangun sendiri."
Anya tetap bergeming, wajahnya tertutup rambut bagian kiri. Jadi aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Lo kesambet ya? Dijawab dong sapaan gue," aku berjalan di samping kirinya, terus menolehkan kepalaku menghadap Anya yang terus-terusan menunduk. "Lo kenapa?" tanyaku, agak sedikit cemas.
Anya tidak menjawab, lalu aku teringat sesuatu. "Ohiya, gimana rencana yang kita susun di rumah lo kemarin? Lo udah kasih bukunya?" tanyaku, ck! Mengingat rencana itu sama saja dengan mengingat cewek yang diceritakan Anya. Akibatnya jadi kesel sendiri.
"Gimana acara minta maafnya? Buku sketsanya udah lo kembaliin?"
Anya tidak menjawab, ia masih menunduk dalam dengan rambut yang terjuntai menutupi wajahnya.
Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak, jangan-jangan nih anak kesambet beneran ya? Aku ngeri sendiri.
Cepat-cepat aku menyingkirkan poni yang menutup wajah Anya, melihat apakah dia kesambet atau ti ...
"Anya?" tanyaku pelan, raut wajahku berubah drastis. Terbesit sedikit pilu saat melihat mata Anya benar-benar sembab. Ditambah lagi wajahnya sangat pucat dengan bibir yang biru dan kering, rasanya aku juga ikut merasakan hal yang sama. Kusentuh telapak tangannya, panas sekali.
"Anya, lo kenapa?" tanyaku cemas, aku mulai meneguk ludah panik. "Aidan gak ngapa-ngapain elo kan?" tanyaku tak tenang.
Anya menggeleng keras, lagian tidak mungkin juga Aidan mau berbuat buruk, setauku Aidan bukan orang yang seperti itu.
"Trus lo kenapa?" tanyaku agak gelisah.
"Ahahaha!" tiba-tiba aku mendengar suara cekikan yang langsung membuat telingaku panas, suara cekikan kecentilan yang langsung membuat kepalaku menoleh otomatis ke arah pelataran parkir, dan aku melihat sesuatu di sana. sesuatu yang memberikan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaanku tadi.
Di sana, aku melihat Aidan sedang membukakan pintu mobilnya untuk cewek itu. Dia. Aku menengok Anya yang masih menunduk lesu, melihatnya selama ini selalu membantuku agar bisa dekat dengan Dino, namun di saat dia begini, aku sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa.
Melihat Anya seperti ini, dan bagaimana dulu ia mendekatkanku dengan Dino, secuil ide cemerlang muncul di otakku. Namun aku masih ragu-ragu mau menggunakan ide itu atau tidak, soalnya ini agak gila.
Aku menunduk menatap sepatu, berpikir keras.
Lakuin gak ya?
Aku mengangkat kepalaku, melihat mobil Aidan yang masih belum berjalan, lalu menoleh ke kanan melihat Anya yang masih menunduk.
Oke, lakuin aja deh.
Aku segera berlari secepat kilat mengejar mobil Aidan yang mulai menyalakan mesin, Anya terkejut dan langsung mengangkat kepalanya. Aku tersenyum sok keren dulu padanya sekilas, lalu segera berlari sekencang Angin mengejar mobil Aidan yang sudah berjalan⎯namun belum keluar dari pelataran parkir.
Teman-teman kelasku selalu memanggilku abang shaleh karena suaraku bisa semirip dia kalau lagi teriak waktu episode upin ipin yang bikin dodol itu.
Makanya dengan memanfaatkan talent-ku itu, aku pun berteriak sekuat tenaga, "WOY! BERHENTI, WOY!"
***
Halo, ini chapter sebelasnya yang super panjang sekali, syukur syukur bisa selesai dalam satu hari and as my promised di chap kemarin, ini ada masa lalunya Aidan yang bikin karakter aslinya keras. Juga untuk yang pertama kalinya aku nampilin POV si Kira. Semoga dengan POV itu kalian bisa paham karakternya kira itu ternyata kayak gitu so
Sampai ketemu di chapter depan🍭✨
With joy,
Lycha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top