Lima Belas|Misterius

        Dear Penny,

        Mungkin hari ini aku tahu lagi satu hal, menyukai seseorang itu kemungkinan  punya dua resiko, antara disakiti orang lain, atau menyakiti seseorang.

***

      "BUKA!" Aku terus menggedor-gedor pintu kelas yang terkunci. Aku tidak berani melihat ke belakang, gelap sudah menutupi ruangan yang penuh sesak itu. Bangku-bangku kosong yang berjejer membuat bulu kudukku merinding.

     Saat tanganku mulai perih, aku merogoh ponsel lagi. Berapa kali aku mengumpat kesal saat tahu ponsel bodoh itu sudah benar-benar mati.

      Karena pintu terlihat tidak akan terbuka bagaimana pun caranya, aku uring-uringan mengecek semua jendela. Berapa kali kuketuk, kutarik, tapi tidak ada gunanya. Kelas itu benar-benar tertutup, bahkan semua jendela terkunci dari luar.

        Aku melihat ke belakang, kugigit bibirku begitu pemandangan hitam dan suram itu memunculkan rasa panik yang menjalar. Berbagai firasat buruk sudah mulai muncul.

        Tanpa pikir panjang, aku segera memanjat meja paling ujung. Berusaha meraih celah kecil yang berupa ventilasi. Berharap menemukan orang di luar dan meminta bantuan.

       Sial sekali, tubuhku yang mungil itu tidak bisa meraihnya. Tiba-tiba, kakiku yang terus berjinjit sontak menjadi kaku dan kram. Akibatnya, keseimbanganku hilang. Meja yang kutapaki mulai bergoyang tak karuan, membuat peganganku lepas.

        BRUK!

       Aku jatuh menghantam lantai yang keras. Siku kananku membentur ubin putih itu, menyebabkan pedis yang berkelebat ke seluruh bagian lengan.

       Aku mulai meringis sembari memejamkan mata kuat-kuat, "Kampret!"

***

Aidan's POV

      Sudah sepuluh kali lebih aku melirik jam tangan, aku mulai jenuh. Lalu kuperiksa ponselku sekali lagi

"Lama amat dia!" Aku mulai menggerutu sembari mengacak-ngacak rambut dengan satu tangan. Sudah lama sekali aku duduk di atas motor, menunggu Anya yang tidak kunjung keluar. Padahal tempat parkir sudah kosong, hanya tersisa aku dan beberapa kendaraan milik guru-guru.

Aku mendengus, kira-kira sudah sekitar tiga puluh menit lebih aku menunggu di sini.

Gila sekali apabila si bengis itu menjalankan aksinya di dalam sekolah. Lagian mana mungkin, apa yang mau dia lakukan di dalam sekolah? sama saja bunuh diri melihat sekolah punya satpam dan CCTV.

Jantungku serasa mencelos begitu kulihat Pak Sukirman baru saja berjalan di depanku.

"Bapak udah selesai nyusun dokumen?" spontan, pertanyaan itu keluar dari mulutku begitu saja, bahkan aku sampai lupa bilang salam terlebih dahulu.

Merasa dipanggil, Pak Sukirman menoleh ke arahku sembari menampakkan ekspresi yang tak kalah bingung dariku. "Eh, iya. Dokumennya sudah saya susun semua, sudah dari tadi malah," jawabnya.

"Hah? Sudah dari tadi?" tanyaku terkejut. "Eh ... anu, Pak. Cewek yang tadi bantuin Bapak, masih ada di dalam, ya?" tanyaku to-the-point.

"Oh, Anya. Dia sudah keluar dari ruang guru bahkan sebelum dokumen tersusun semua, dia sudah keluar jauh lebih cepat sebelum saya," jelas Pak Sukirman. "Coba kamu cari dia di dalam, sekolah sudah gelap. Ruang guru juga sudah dikun⎯"

Penjelasan Pak Sukirman sudah tidak kupedulikan lagi. Aku buru-buru berlari ke dalam sekolah mencari Anya.

Aku berlari sekuat tenaga. Darahku serasa berdesir begitu mengingat ancaman orang itu beberapa minggu yang lalu.

Sial, seharusnya aku menunggumya di dalam saja!

Dan benar saja kata Pak Sukirman, sekolah sudah gelap. Semua lampu sudah dimatikan, namun pintu kelas masih belum dikunci.

Ruang guru sudah kosong dan terkunci, kantin tertutup, UKS gelap, lapangan sepi. Sama sekali tidak ada orang.

Dengan panik, aku merogoh ponsel dari dalam saku celanaku. Lalu aku segera menghubungi Anya. Keringatku sudah berucucuran karena berlarian mengelilingi sekolah, sambil menempelkan ponsel ke telinga, aku terus menoleh ke segala arah.

Firasat buruk semakin menguat begitu tahu bahwa ponselnya tidak aktif.

Aku mulai berlari, menyusuri koridor menuju kelas Anya. Siapa tau dia ada di sana, kan?

Derap langkahku terdengar bergema di sepanjang ruangan yang kosong itu, keringat mulai membasahi keningku. Aku terus berusaha untuk tetap tenang, tapi pikiranku semakin bertambah kacau saja.

Deru napasku memburu, lalu aku berbelok tajam ke kiri. Kelas Anya memang terletak agak di belakang.

Aku akhirnya sampai di depan kelas Anya. Lalu terkejut begitu mengetahui bahwa satu-satunya pintu kelas yang terkunci hanya kelas itu saja. Tanpa mengatur napas sama sekali, aku langsung saja menggedor pintu kelas di depanku itu.

Aku mengernyitkan dahi begitu mendengar suara di dalam.

Tunggu dulu, itu suara ... Tikus?

Lalu kudekatkan kepalaku ke asal suara. Bukan, bukan, itu bukan suara tikus. Itu suara ... Isakan?

"Anya?!" teriakku spontan, kugedor pintu itu sekali lagi.

"Aidan?" tiba-tiba suara serak yang tidak asing itu terdengar dari dalam.

Betapa leganya perasaanku saat suara itu terdengar. Aku menutup mata sambil menghela napas. Menyandarkan dahiku ke daun pintu.

"Yes! Bukain cepetan!" teriak suara itu gemetaran, perasaan bersalah langsung menyerangku begitu mendengar ia begitu ketakutan.

"Kenapa lo bisa ada di sana?" tanyaku. "Lo gak apa-apa? Luka gak?"

"Gue dikunciin, bego!" teriak Anya. "Bukain elah! Cepatan!" Anya berterak emosi.

Aku megelap keringat dengan punggung tangan, bersandar di pintu karena lega ketika tahu cewek itu tidak apa-apa sampai masih bisa berteriak sekencang itu.

"Aidan ..." Anya tiba-tiba berbisik lirih, membuat mataku yang tadi tertutup langsung terbuka perlahan. "G-g-gue ... takut."

Spontan aku menendang pintu itu, mendengarnya suaranya Anya seperti itu, benar-benar membuat emosiku memuncak sampai ujung kepala. "Tunggu di sini, gue minta kunci di tata usaha, gak bakal lama, gue janji."

Secepat kilat, aku segera berlari menuju ruangan tata usaha yang terletak persis di samping ruang kepala sekolah. 

Kurang ajar! Emosiku benar-benar sudah meletup dan aku sudah tidak tahan lagi, aku seperti ingin langsung mencari si brengsek itu dan memukulnya tepat di tengah-tengah wajah, siapa lagi yang mau melakukan ini kalau bukan dia.

"Pak, ada kunci kelas XI.11, gak?" tanyaku pada Pak Deri, pengurus tata usaha sekolah yang sudah tua.

"Kenapa kamu minta kunci kelas itu?" tanyanya sembari menyerahkan kunci keperakan dengan gantungan kunci bertuliskan 'XI.11'

"Hp saya ketinggalan di sana, Pak" maklum, Aidan Fardhika Nathala ini memang jago ngeles. Aku segera menerima sodoran kunci dari beliau.

"Hari ini banyak sekali siswa XI.11 yang ketinggalan barang, ya?" tanyanya "Tadi juga ada yang minta kunci kelas yang sama dengan alasan dompetnya ketinggalan," jelas Bapak itu lagi.

Mendengar kalimatnya yang paling terakhir itu langsung membuat keningku mengerut.

Aku yang terkejut langsung berbalik begitu mendengar penjalasannya, "Hah? Tadi ada juga yang minta kunci X.11? Siapa, Pak?"

Jantungku kembali memacu.

"Wah, saya juga kurang ingat, dek," katanya lagi. Ohiya, aku lupa kalau beliau sudah rada-rada pikun.

Mengingat itu, aku langsung saja pamit dengan segepok pertanyaan tentang hal yang sama.

Si kurang ajar itu, apa maksudnya ini? Dia udah mau mulai?

***

"Buku cetak bahasa indonesia? Bukan dompet yang ketinggalan?" tanyaku serius. Kami sudah berjalan menuku tempat parkir.

"Hah? Bukan. Kenapa emang? Kok tiba-tiba lo nanya soal dompet?" Anya bertanya balik.

"Tadi juga ada yang minta kunci kelas X.11 dengan alasan dompetnya ketinggalan." ucap bapak penjaga TU itu.

"Trus tadi waktu lo masuk ke kelas, pintunya terkunci atau terbuka?" Aku mulai mengeluarkan kunci motor dari saku celana begitu kami menapak pelataran parkir.

"Terbuka. Waktu gue masuk ke dalam buat ngambil buku, pintunya tiba-tiba terkunci." Anya agak sedikit menyamakan langkahnya dengan langkahku, terlihat jelas bahwa ia takut. Menyadari itu, aku memelankan langkah.

"Buku lo itu ketinggalan karena memang ulah lo?" tanyaku, mulai mengungkit petunjuk satu-satu.

"Nah, itu yang bikin gue heran. Gue tau jelas, waktu itu gue masukin tuh buku ke dalam tas. Tapi pas pulang udah gak ada di dalam tas." jelasnya. "Di situ gue kembali ke kelas, dan tiba-tiba gue liat  bukunya di atas meja, rapi banget lagi posisinya. Pas mau diambil, eh tiba-tiba ada yang ngunci pintu dari luar," jelas Anya panjang lebar. "K-kok serem, ya? Apa bener buku gue diambil, trus gue dipancing buat masuk ke kelas dan dikunci di sana? Anjay, serem."

Aku terdiam, perasaan cemas dan firasat buruk mulai menyelubungilu lagi.

"Maaf, Anya," batinku dalam hati.

"Anya," panggilku.

"Hm?" jawabnya.

"Mulai sekarang lo harus terus bareng gue," kataku to-the-point.

Mendengar itu, mata Anya membulat terkejut. Jangankan dia, aku saja terkejut dengan ucapanku sendiri yang lumayan ambigu.

Sial, aku salah bicara.

"Eh, ehm, maksud gue lo jangan jauh-jauh dari gue dulu untuk saat ini."

Ah sial, itu malah menambah kesan ambigunya.

Masa bodolah dengan pipi Anya yang mulai memerah dan aku yang salah tingkah berat.

Yang jelasnya. Yang terjadi sekarang ada dua kemungkinan: Ada orang lain yang tidak kuketahui dendam pada Anya. Atau si bengis itu sudah mulai memberikan peringatan.

"Yang tadi itu, m-maksud gue...." Tunggu, sejak kapan gue grogi begini.

"Iya, iya, Aidan gue ngerti kok," ucap Anya.

Lalu bibirnya yang merah muda tersenyum kecil, dan aku baru sadar, cewek itu punya lesung pipi di pipi kanannya.

Shit.

Detik itu tanpa alasan yang kuketahui, mataku terkunci pada wajahnya. Begitu sadar, aku langsung menoleh ke depan lagi dan berjalan lebih cepat--meredam degup jantungku sendiri.

"Woi, Aidan! jangan cepet-cepet!" serunya, kembali berusaha menyamakan langkah.

***

Anya's POV

       Aku duduk termenung di kursi taman, lalu aku tersenyum kecil begitu mengingat insiden yang kemarin. Justru karena kesialan itulah, aku merasa bertambah dekat dengan Aidan. Kembali.

        Dan juga semuanya tidak akan terjadi jika Kira tidak mengembalikan cincin itu pada Aidan, aku mana punya keberanian untuk itu. Sungguh, Kira kadang-kadang nyelonong, tapi di balik itu dia juga punya sifat dewasa.

      Tapi masih ada orang yang belum jelas bagaimana keadaannya sekarang. Dan orang itu adalah Grace.

      Bagaimana perasaannya setelah semua itu terungkap? Apa yang Aidan katakan pada Grace waktu itu? Cewek yang sangat menyukai Aidan itu pasti sedih. Aku yang pernah merasakan hal yang hampir sama juga tahu rasanya.

      Aku mendengus lemah, apa seharusnya aku minta maaf saja padanya? Ah tidak, kan dia juga yang salah.

      Tapi rasanya ini tidak benar.

      Aku melihat sekeliling, lalu mataku tertuju pada bangku taman yang biasanya Aidan duduki sambil menggambar malah kosong.

      Belakangan ini entah kenapa Aidan lebih sering main basket daripada menggambar. Apa dia punya masalah dengan gadis dua dimensi yang belum diketahui identitasnya itu?

        "Astaga!" Lalu aku menepuk jidatku begitu mengingat sesuatu.

       Aku sudah seminggu tidak mengecek apa ada sketsa baru yang Aidan buang di tempat biasa atau tidak.

        Jangan katakan Aidan pernah membuang beberapa namun aku lupa dan akhirnya petunjuk tentang siapa gadis itu hilang begitu saja?

        Dengan langkah yang sangat cepat, aku segera menuju tempat sampah di samping bangku taman Aidan.

       Aku melihat tempat sampah itu lalu terkejut begitu mendapati dua lipatan kertas di antara sampah-sampah kain perca dan daun kering. Sigap, aku segera kengambil keduanya tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lewat.

     Aku segera menarik keduanya lalu memasukkannya ke dalam saku rok. Jantungku berdegup antusias, rasa penasaranku memacu tanganku untuk mngambil satu dari dua kertas sketsa di dalam rok seragamku.

      Lipatan satu kubuka.

      Lalu lipatan dua.

       Lipatan tiga.

       Lipatan empat.

       Kertas sketsa itu sudah terbuka sepenuhnya.

       Mataku menyapu setiap goresan yang membentuk gambar yang seindah biasanya itu. Aku memperhatikan setiap detail terkecil, lalu mendengus.

      Masih cewek yang sama dengan rambut yang tidak asing. Namun lagi-lagi wajahnya tidak terlihat, sketsa ini seperti foto yang diambil dari belakang, sehingga hanya punggung cewek itu yang terlihat.

       Dan tahu apa yang cewek itu lakukan?

      Gambar dua dimensi yang terlihat nyata itu membentuk seorang cewek yang tengah membuka pintu mobil. Yang terlihat hanya punggung sampai puncak kepala si objek, juga pintu mobil yang hanya setengah gambar.

       Lagi-lagi, semua ini rasanya tidak asing.

       Di mana aku pernah melihat mobil ini?
    
       Lalu aku terbelalak, bukannya Aidan juga pernah melihatku membuka pintu mobil? Aku mulai berdebar-debar.

      Bukan cuma aku, tapi ... Grace juga pernah, bukan?

      Aku mendengus sekali lagi, berusaha menenangkan pikiran. "Tenang Anya! Masih ada satu sketsa lagi, masih ada satu petunjuk lagi."

       Dengan cepat dan penuh rasa kepo, aku segera menyimpan sketsa tadi, lalu mengambil sketsa lainnya yang belum dibuka.

      Aku baru saja membuka lipatan pertama saat seseorang tiba-tiba nongol di depanku.

        "Anya!" seru orang itu.

       "Ngerusak suasana gue aja," gerutuku, memandang Kira yang berdiri di depanku.

       Kira hanya nyengir kuda, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.

       "Anya, jangan bilang siapa-siapa, ya." Kira pun menyodorkan secarik kertas merah tua padaku.

       Aku mentapap kertas itu dengan pandangan bertanya-tanya. "Ini apa?" Aku menunjuk kertas itu.

       "Gue nemu surat cinta di loker gue, tapi ...." Kira menunduk dalam, membuatku semakin penasaran.

       "Tapi apa?" tanyaku kemudian. "Jangan bilang Dino mau bertingkah romantis lagi, anjir siapa sih yang masih nulis surat cinta, emang dia kira ini jaman emaknya?"

       "Heh! gak sadar diri," cibir Kira.

      Aku langsung malu begitu sadar ternyata aku juga pernah buat, yang berwarna biru muda itu, yang Kira bacakan waktu seisi kelas sedang main truth or dare.

       "Dia nulis nama pengirimnya, dan itu bukan Dino." Kira menunduk dalam. "Kalau sampai Dino ngeliat ini ... yang ngirim pasti kena masalah." Kira memasang wajah masam.

      "Sini coba, gue mau liat!" seruku antusias.

       "Nih, baca aja sendiri." Kira menyodorkan surat merah tua itu dengan lesu.

         Aku langsung saja mengambilnya, lalu kubuka lipatan kertas itu perlahan. Kulihat nama yang tertera di bagian surat paling bawah:

       Mathio Raynaldi.

      "Kira!" aku refleks berteriak. "Kira! Lo tau kan ini siapa?" tanyaku heboh, membuat seisi taman gempar.

      Kira mengangkat dagunya otomatis. "Si-siapa? Gue gak tau," tanya Kira terbata-bata.

       "Astaga, Ki! Itu berarti bakalan ada yang nembak lo dalam waktu dekat! Dan lo tau siapa itu Mathio Raynaldi? Dia Thio, anak basket yang terkenal itu. teman sepermainannya Aidan sama Varo!" seruku tertahan. "Astogel, Kira lo gak boleh nunjukin ini ke Dino. Jangan sampai Dino liat ini," ucapku pada Kira.

      Kira mengangguk serius, lalu ia bangkit dari kursi taman dan segera menarik tanganku. "Ayo ke kelas, gue mau curhat!" seru Kira semangat.

     Mau tak mau, aku ikut saja.  
 
      Di sela langkahku yang over cepat, aku sembunyi-sembunyi mengecek saku rok seragamku.

     Memastikan jika kedua sketsa itu masih ada di sana.

***

        Hari ini aku pulang terlambat lagi, Pak Sukirman dan Bu Yana menyuruhku menyusun program untuk Rapat Kerja OSIS minggu depan. 

      Namun tentu saja aku tidak lupa tentang benda yang sekarang tersimpan rapi di dalam saku rok seragamku. Pekerjaanku sudah selesai, dan sekarang waktunya untuk melihat isi sketsa itu.

      Rasa traumaku semenjak dikuncikan di dalam kelas kemarin tidak lagi kupedulikan, tapi sebelum mengambil sketsa dari dalam rok, mataku menangkap sebuah benda yang tidak asing di bawah laci mejaku dan Kira.

       Lalu aku mengambil benda itu dan mendapati ponsel Kira ada di sana.

       Dasar ceroboh.

       Aku mengambil benda itu dan memasukkannya ke dalam tas, berniat untuk mengembalikannya nanti sore.

      Hari ini aku juga tidak pulang bersama Aidan, cowok itu sedang dalam persiapan latihan untuk turnamen basket bulan depan.

      Tapi Aidan bilang, "Kalau lo udah pulang pc aja, nanti gue nemenin lo pulang." Begitu isi pesan yang ia kirimkan.

     Dan tentu saja aku tidak akan menuruti isi pesanku itu karena tidak mau mengganggu latihannya.

      Semenjak kejadian kemarin, ia tidak mau lagi membiarkanku pulang sendiri. 

     Dan itu cukup untuk membuatku tersenyum sendiri begitu pikiranku mengingat hal itu.

      Oke, cukup basa-basinya.

      Dengan cepat, aku segera merogoh sketsa di dalam saku rok seragamku lalu mengeluarkan sketsa di dalamnya.

      Namun baru aku ingin membuka lipatan pertama, seseorang muncul di depan pintu. Membuatku tidak jadi membuka kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku lagi.

     Aku terperangah, cewek itu mulai masuk ke dalam kelas, mendekatiku. Bibirnya yang dulu sering tersenyum polos, malah tersenyum penuh arti.

      Oh sial, sudah dua kali aku dihambat ketika ingin membuka kertas sketsa itu.

      "Grace? eh, uhm ... Kok lo belum pulang?" tanyaku kaku. Lalu kemudian kuingat ucapan Kira sewaktu mengatakan semua tentang cincin Grace, tentang bagaimana perasaan Grace nantinya.

      Aku meneguk ludah begitu dua orang cewek yang tak kukenal ikut muncul di belakang Grace.

     Dan salah satu dari mereka menutup pintu.

     GLEK!

     Aku menelan ludah sekali lagi, firasat buruk mulai berkelebat.

     "Halo, Anya!" Grace mengukir senyum penuh arti, begitu pula dengan dua orang di belakangnya.

     Aku mundur selangkah.

     Apa sekarang aku sedang dilabrak? oh jadi gini ya rasanya.

***

Kira's POV

      Sial tingkat kakap! Aku lupa ponselku di kelas.

       Aku mendengus begitu melihat pintu gerbang sekolah sudah ditutup. 

      Padahal tadi aku yang tadinya sudah di dalam bus, terpaksa turun padahal aku sudah hampir sampai di rumah. Dan ketika aku sudah turun, tidak ada lagi bus yang lewat.

     Jadi terpaksa aku jalan kaki sampai ke sekolah yang jaraknya mungkin sama lamanya dengan menunggu Anya bangun dari tidur.

      Dengan penuh keringat, aku akhirnya sampai di depan gerbang sekolah.

      Dan gerbangnya malah tertutup.

      "PAK SATPAM!" teriakku.

      Karena Pak Satpam tidak ada di pos, aku langsung saja manjat.

      BRUK!

      Aku terjatuh. Sungguh, aku ingin sekali menangis.

      "Dek, kok loncat dari gerbang, sih?" tanya Pak Satpam yang tiba-tiba saja nongol.

      "Bapak gak liat? Gerbangnya tertutup, Pak!" Aku ingin sekali menjambak Pak Satpam itu, untung saja rambutnya tidak ada.

      "Tapi kan gerbangnya gak terkunci, Dek." Dengan ringannya, Pak Satpam itu mendorong pintu gerbang dengan satu jari telunjuk.

***

       Setelah kejadian mengenaskan tadi, aku akhirnya bangkit. Saat tiba di dekat lapangan, aku melihat Aidan baru saja memarkirkan motornya. Lalu kedua temannya yang lain tiba dengan motor masing-masing.

       Aku mempercepat langkahku. Aku ingat mereka pasti akan latihan basket bersama siang ini. Jangan sampai di sana ada Si Theo atau siapalah itu namanya.

      Aku bernapas lega begitu melihat pintu kelas terbuka sedikit. Syukurlah, tidak terkunci.

      Aku mengernyit begitu mendengar suara-sara gaduh dari dalam kelas.

      Karena penasaran, aku akhirnya membuka pintu itu lalu terpengarah begitu melihat Anya dijambak-jambak oleh tiga orang cewek kupret. Dan salah satunya adalah ... Grace.

      Sudah kuduga.

      "Anya!" pekikku. Refleks, aku ikut menjambak rambut pirang menyala milik Grace.

      Berdoa agar copot semua. "Apa-apaan sih lo bule kesasar! Belajar ngomong dulu sono!" teriakku. "Ngapain lo main satu lawan tiga gini! lu kira lu siapa? Regina George? Hah?!"

      "Kira?!" Anya yang kelihatan sudah hampir pingsan terkejut begitu melihat keberadaanku. Dua orang anak buah Grace menjambaknya.

      Kami saling jambak menjambak. Setiap kali ada yang kesakitan, kami menjerit. Tapi karena semua kesakitan terus, jadi kami menjerit terus pula.

       "Argh!" Grace berusaha melepaskan jambakanku. Tapi aku malah menariknya lebih kuat. Syukurlah semua penderitaanku sewaktu dalam perjalanan ke sini akhirnya menemukan tempat pelampiasannya.

      BRAK!

      Semua kompak berhenti melakukan aktivitas masing-masing begitu mendengar bunyi pintu kelas yang dibanting.

***

Anya's POV

      ASTAGA!

      Ini konyol.

     Aku rasa semua helai rambutku akan terlepas dari kulit kepala, perih menjalar hingga sampai ke ubun-ubun. Sakit sekali.

    BRAK!

     Tiba-tiba pintu kelas dibanting, membuatku sontak memandang orang yang tengah berdiri di bingkai pintu itu. Aidan.

      "Anya! kan gue udah bilang kalau pulang telefon gu-" Aidan berhenti bicara begitu melihat formasi kami.

      Aku terlungkup di lantai, Grace berlutut di sebelahku sembari mencengkram rambutku, Kira tengah menjambak dua anak buah Grace dengan masing-masing satu tangan, sementara kedua orang yang tidak kutau namanya itu berusaha meraih rambut Kira, tapi Kira punya kekuatan banteng, jadi mungkin usaha kedua orang itu gagal.

     "Kalian ngapain?" tanya Aidan, wajahnya tidak bisa diartikan.

     "Eh, uhm, itu⎯" Aku tidak berani melanjutkan perkataanku begitu memandang wajah Aidan berubah total menjadi serius dan tajam.

     Dan aku rasa aku tau penyebabnya apa.

      Cowok itu baru sadar kalau ada Grace di sini, Aidan menatapnya dan yang ditatap malah terhenyak dan menunduk.

       "Grace, lo gak bosen ganggu orang terus?" tanya Aidan dengan sorot mata yang tajam, atmosfir sontak berubah menjadi tegang. "Ini udah dua kali, Grace. kemarin juga lo udah keterlaluan."

       Rasanya aku tau ke mana pembicaraan ini, jadi ... Kemarin Grace yang melakukan itu semua, dia ya mengunci pintu kelas? Jika itu benar, aku sudah tidak kaget lagi.

       Grace mengangkat dagunya terkejut, dapat kulihat matanya berkaca-kaca. "T-tapi kemarin gue gak ngapa-ngapain."

      "Ohya?" tanya Aidan sarkastis.

       "S-sebenarnya, g-g-gue mau ngelakuin semua ini kemarin, tapi gak jagi," ucap Grace sambil menunduk.

     Aidan mengernyitkan dahinya, cowok itu menatap Grace penuh selidik. Aku juga ikut tertegun mendengarnya, jika bukan Grace, lalu siapa? Ataukah cewek itu bohong?

       "Kemarin gue ... eh, bukan, maksudnya kami. Mau ngelabrak Anya, tapi gak jadi pas kami ngeliat cowok di depan kelas ini. Cowok itu pakai jaket biru tua garis-garis putih, trus dia ngunci pintu secara paksa. Kami bisa denger suara Anya menggedor-gedor pintu dari dalam." Penjelasan dari Grace membuat mata Aidan melebar, begitu pula denganku.

     Namun kemudian Aidan menajamkan sorot matanya lagi. "Darimana kami tahu kalau lo gak bohong?" tanya Aidan curiga.

     "Astaga! gue gak bohong, Aidan. Iya, kan?" Grace menatap kedua konconya, lalu mereka berdua kompak mengangguk. "Kalau lo masih gak percaya, nih gue punya fotonya." Grace mengeluarkon ponsel lalu mengutak-atiknya sebentar, kemudian ia mengangkat benda itu ke hadapan Aidan.

     Aku yang penasaran ikut bangkit lalu berdiri di samping Aidan untuk melihat gambar di ponsel itu, begitu pula dengan Kira.

     Gambar itu gelap, tapi masih dapat terlihat jelas. Benar, seorang cowok tinggi dengan postur tubuh yang atletis terlihat sedang memutar kunci sambil memegang kenop pintu.

      Cowok itu memakai jaket biru tua bergaris-garis putih seperti yang dikatakan Grace, wajahnya tertutup tudung jaket. Walau gambar itu agak goyang, tapi aku bisa melihatnya.

     Kami bertiga terkejut melihat gambar itu. Terutama aku, tentu saja.

    Ini ... seram.

    Sebelumnya aku masih bisa santai karena aku sebenarnya sudah menduga kalau itu Grace, tapi melihat foto itu dan mendengar penjelasan Grace yang sepertinya memang mengatakan sebenarnya, membuatku jadi tidak tenang.

     "Sekarang percaya?" tanya Grace. "Gue gak bohong, Dan. Gue gak bohong." Grace menatap kami serius.

      Namun anehnya, setakut-takutnya aku karena mendengar berita ini, pancaran takut yang muncul di mata Aidan malah terlihat lebih dalam, keringat sampai mengucur di pelipisnya dan ia bahkan mematung beberapa detik. 

***

Aidan's POV

       Hari ini Anya pulang sendirian, semenjak kemarin Grace datang dan mereka bertengkar. Anya mulai menolak ajakanku untuk pulang bersama.

       Mau tak mau, aku mengikutinya sampai ke rumah diam-diam. Memastikan ia baik-baik saja. Lalu kembali lagi ke sekolah untuk latihan bersama Thio dan Varo yang sudah pulang sepuluh menit yang lalu.

      Karena jika aku memaksakan, mungkin dia akan takut padaku, diajuhi olehnya adalah hal paling tidak kuinginkan karena akan lebih sulit memastikan keadaannya. Aku tidak mau lagi kejadian yang sama, sudah jelas si brengsek itu telah mengirim peringatan pertama.

     Foto dari Grace itu terngiang-ngiang terus di kepalaku, sampai membuatku terjaga dan kehilangan jam tidur.

       Aku memantulkan bola dan bersiap menembaknya masuk ke dalam ring basket di depanku.

      Tak seperti biasanya, bolanya meleset.

       Aku menyumpah serapah sambil mengacak rambut.

       Si bengis itu. 

       Kalau lagi-lagi dia melakukan hal yang buruk, apalagi pada Anya, aku tidak akan menahan diri.

      "Dia pakai jaket biru bergaris-garis putih, dan dia ngunci pintu kelas ini dengan paksa. Kami bisa denger suara Anya menggedor-gedor dari dalam."

       Aku tidak boleh kalah darinya. Aku tidak boleh membiarkannya melukai Anya.

      "Tadi juga ada anak yang barangnya ketinggalan di kelas, anak itu meminta kunci kelas X.11, dek. Katanya mau ngambil dompet yang ketinggalan."

       Karena dia salah memilih target, karena dia memilih orang yang salah.

      "Tadi gue ingat buku gue di dalam tas,  tapi pas pulang udah gak ada. Tau-taunya pas gue cek ternyata tiba-tiba langsung ada di dalam kelas. Pas gue mau ambil tuh buku, eh, pintunya langsung tertutup dan gue terkunci di dalem."

      Dan aku tidak ingin ada orang yang tidak bersalah terluka karena aku.

     Aku tidak boleh kalah darinya.

     "Aidan lo di situ?! Gue terkunci, cepet bukain pintunya, Dan! Aidan, gue ... takut."

     Karena jika aku kalah, mungkin selamanya aku akan merasa bersalah kepada orang yang ia lukai.

                              ***

      Aku menenteng tas lalu berjalan menuju pintu keluar sekolah, menyusuri koridor yang sudah sunyi. Kakiku rasanya agak sakit karena terkilir sewaktu latihan tadi.

      Sembari menggendong tas ransel dan jaket hitam, aku menatap lorong koridor panjang yang sudah sepi dan gelap, di depan ada pertigaan, yang membagi koridor menjadi tiga bagian.

      Tidak ada lampu yang menyala. Kulangkahkan kakiku di sepanjang lorong, bahkan ubin putih tidak terlihat jelas karena gelap yang sudah hampir pekat.

       Kupercepat langkahku, namun ketika aku masih agak jauh dari pembelokan koridor itu, Mataku menangkap jelas seseorang sedang berlari dari sudut lorong yang lain. Seorang laki-laki.

       Mataku membulat dan jantungku berpacu.

      Aku harus mengejarnya.

      Aku segera berlari sekencang mungkin, melajukan kakiku menuju pertigaan di depan, lalu berbelok ke sesuai dengan arah yang sosok itu tuju tadi.

       Aku mempercepat langkah, jantungku berdebar. Namun ketika aku berbelok, pemandangan yang kulihat hanya koridor panjang yang gelap. Koridor panjang tanpa belokan lagi, namun kosong. Sosok itu tidak ada di sana.

     Aku menyumpah serapah, ingin sekali aku melempar tas ku hingga menghantam loker-loker.

      Laki-laki itu.

      Laki-laki itu mengenakan jaket biru tua bergaris-garis putih.

***

Anya's POV

      Aku segera pergi ke balkon kamar dan duduk di sofa kecil. Sofa kecil empuk yang di sampingnya terdapat teleskop.

     Aku memandang langit malam yang bertabur bintang, angin sudah mulai menggelitik kulit.

     Mungkin tadi, sudah menjadi keputusan yang tepat untuk menolak ajakan Aidan untuk mengantarku pulang untuk sementara waktu. Pertama, karena ia harus latihan dan aku tidak mau jika dia harus repot bolak-balik dari rumahku ke sekolah dan juga karena insiden jambak menjambak yang kemarin.

     Tiba-tiba aku teringat sesuatu, dari dua kertas yang kutemukan di tong sampah tadi, masih ada satu yang belum kubuka karena Kira keburu datang.

      Karena sadar sekarang waktu yang tepat untuk membuka kertas sketsa itu, maka dengan sigap, aku segera membuka kepalan tanganku. Lipatan kertas itu mulai terlihat.

      Dengan berdebar-debar, aku segera menggerakkan tanganku untuk membuka lipatan sketsa itu pelan-pelan.

      Mataku terbelalak begitu melihat goresan-goresan pensil yang terbentuk menjadi gadis dua dimensi.

      Namun kali ini berbeda, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sudah empat kali aku membuka kertas sketsa semacam ini, tapi baru kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda.

      Gambar seorang gadis, gadis itu lagi-lagi tidak diperlihatkan wajahnya. Tapi ada sesuatu yang dapat membuat mataku melebar seketika. Membuatku menggigit bibir bawahku.

    Aktivitas yang dilakukan gadis itu.

    Ia sedang duduk di atas kursi taman sembari memegang buku.

    Kursi taman.

     Dan kursi taman itu terlihat sangat-sangat tidak asing.

     Lalu aku sadar, itu kursi taman yang setiap hari kududuki setiap jam istirahat.

           ***

Next part:

"Kenapa semua gambar gue ada di lo?"

"Eh, um. Itu ...."

Aidan menghela napas. "Kayaknya ini waktunya gue ngasih tau semuanya ke lo."

"..."

***

    Seharusnya ini di-upload dari kemarin tapi gak ada sinyal jadi yah tolong salahkan sinyalnya saja huhu ye mungkin besok si cewek yang selalu Aidan gambar akan diungkapkan di chap selanjutnya, menurut kalian siapa? Mungkin udah jelas ya wkwk semoga kalian gak bosan sama cerita ini🌹🌙

With love,
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top