Epilog

--Epilog--
Anya, Aidan, Kira, dan Dino

***


Kirana Muthiara

Aku melangkah menyusuri koridor. Lalu seseorang menepuk bahuku.

Aku berbalik.

Anya berdiri di sana. Sahabatku dari TK itu beberapa bulan lalu pindah ke sini. Aku nyaris saja serangan jantung begitu melihatnya berdiri di panggung acara reuni SMA--jika aku saja sudah nyaris serangan jantung, mungkin Aidan sudah nyaris mati.

Oke, hentikan.

Anya tersenyum manis, rambut cokelat muda yang diujungnya sedikit di-ombre dengan warna yang lebih lembut miliknya dibiarkan terurai. Ini alasan mengapa Anya langsung terkenal di hari pertamanya--mungkin Bu Kantin juga tahu namanya--cewek itu cantik bukan main, suaranya juga sering mengisi radio kampus. 

Anya itu sudah berapa kali ditembak cowok. Padahal mereka sudah tahu kalau Anya punya pacar. Yah akhirnya cowok-cowok itu berakhir malang. Karena esok harinya mereka pasti selalu tinggal tulang dan dosa karena dihabisi pacar Anya.

Yah siapa lagi kalau bukan Aidan Fardhika Nathala. Kapten tim basket kampus yang rambutnya sewarna sama Anya.

Benar ya kata orang, jodoh itu mirip.

Kadang aku berpikir Aidan itu cowok yang beruntung karena punya Anya. Dan kalau dipikir-pikir lagi, Anya juga beruntung. Aidan itu jarang berinteraksi sama cewek-cewek padahal yang suka sama dia segudang. Tapi kalau Anya sudah ada di depannya, ia seperti es batu yang mencair.

Kenapa malah ngomongin Aidan sih.

Aku memperhatikan Anya, dari kemarin-kemarin ia selalu memegang lembaran kertas biru muda dan pensil di tangan. Lalu menulis sesuatu di atasnya. Entah apa itu, Anya langsung marah-marah kalau-kalau kertas-kertas itu disentuh.

"Itu apaan sih? Liat dikit napa," ucapku menyenggol siku Anya.

"Enggak." itu jawaban cewek itu. Singkat dan tidak jelas.

Aku menggerutu. Anya di mana-mana pokoknya belakangan ini selalu menouliskan sesuatu di kertas biru muda itu. Tidak di kelas, sambil jalan di koridor, makan di kantin, pokoknya di mana saja.

Belum sempat aku bicara lagi, seseorang tiba-tiba menyelusup di tengah-tengah kami.

Dari kakinya yang mengenakan high-heels pink terang saja, semua pasti tahu cewek itu siapa.

Siapa lagi kalau bukan Grace. Buntil alias bule centil.

"Hai, guys," ucapnya sok imut. "Gue pusing nih, besok Varo ultah dan gue gak tahu mau ngasih apa," nada suara Grace memelan.

Varo itu pacarnya Grace. Ketua klub renang. Ultahnya sama dengan ultah Grace. Cowok itu super tinggi sampai dipanggil tiang listrik berjalan oleh teman-teman sepermainannya--Aidan, Dino, Reza, dan--ehem--Thio.

"Kasih kue aja," ucap Anya simpel, matanya masih terarah pada kertas biru muda di tangannya. Pensil di tangan masih ia gerakkan.

Grace menggeleng. "Mainstream," katanya.

"Kasih Jaket aja." suara seseorang dari belakang mengagetkan kami bertiga. Kompak berbalik, kami melihat Jean berdiri di sana.

"Anjir!" Grace mengumpat kaget. "Sejak kapan lo di situ?" ucap Grace.

Jean nyengir, lalu berkata, "sejak Hannah ada di sini," ucapnya.

Lalu di belakang Jean, Hannah muncul sambil menguap. Hannah itu cewek paling masa bodo dari kami berlima. Ke sini aja pake sandal rumah, gak bawa tas. Pulpen dikantongi, buku tulis dipegang. Udah.

Lalu tidak lama kemudian, Mia datang sambil teriak selamat pagi dengan kencang, membuat kami semua menutup telinga.

Lengkap. Aku, Anya, Grace, Jean, Mia, dan Hannah. Kami enam manusia dari fakultas sama dengan semester yang sama dan kami selalu bersama-sama.

"Jean benar, kasih Varo jaket aja," timpal Hannah, nimbrung hingga kami berlima berjalan seiringan.

"Iya, bagus tuh, berguna," timpal Mia.

"Gue udah pernah kasih," Grace mengacak rambutnya.

"Kasih kolor renang aja," ucapku.

Anya langsung tertawa, begitu juga dengan Mia, Jean, dan Hannah.

Mungkin mereka membayangkan Grace memberikan celana ketat yang biasa dipakai untuk berenang kepada Varo dan mengatakan, "Nih sayang, hadiah buat kamu." lalu Varo menjawab, "Wah, kolor, makasih ya sayang."

Kami tertawa geli, sementara Grace bergidik ngeri, "Ih gak banget, huek," ucap Grace. "Sumpah, ultahnya besok, dan gue bahkan belum tahu mau ngasih apaan," Grace mengacak rambutnya. "Ah, pusing gue."

"Pacaran emang ribet, untung gue sama Hannah jomblo, yakan Han?" Jean mengarahkan telapak tangannya, lalu ia tos dengan Hannah.

Tangan Hannah yang tadinya diarahkan untuk tos dengan Jean berhenti di udara. Ia memegang pergelangan tangan Jean sambil mengerutkan alis.

"Eh? Jean? gelang sakral lo mana?" tanya Hannah.

Lalu kami semua sadar.

gelang Jean yang bertuliskan namanya tidak ia pakai. Padahal sebelumnya tidak pernah sekalipun dilepas. gelang sakral--kalau kata Hannah.

Anya yang dari tadi masih fokus pada pensil dan lembaran kertas biru mudanya juga langsung menoleh dan berkata. "Eh? Iya ya, gelang sakral lo mana Je?"

Mata Jean yang dari dari sananya sudah seperti boneka, melebar. Dan kadang itu menyeramkan. Cewek itu berkata, "hilang pas reuni SMA," ia menghela napas. "Kalau gelang itu nyatanya diambil orang, gue yakin besok pagi, orang itu gue buat gak bisa liat matahari besoknya."

Kami semua tertawa, lalu selanjutnya perbincangan kami berlanjut sampai kami harus berpencar dan menuju kelas masing-masing.

Grace, Mia, dan Hannah berbelok di kiri. Anya dan Jean berbelok di kanan, dan aku tetap berjalan lurus, berniat pergi ke lokerku.

Dalam perjalanan menuju koridor di mana lokerku berada, aku sempat menoleh ke kiri begitu melihat meja yang biasa diduduki cowok-cowok yang selalu berbarengan, hampir seperti aku, Grace, Anya, Hannah, Mia, dan Jean dalam versi cowok.

Aku mengernyitkan dahi begitu melihat yang duduk di situ cuma Aidan, Varo, dan Reza. Thio dan Dino tidak ada.

Tumben.

Aku segera menarik gagang loker begitu aku sudah tiba di depan benda persegi panjang besi yang ada di depanku itu.

Segera kubuka lalu terkejut begitu mendapati sesuatu yang tidak asing terletak di atas buku-bukuku, di dalam sana.

Aku mengernyit bingung plus penasaran begitu buku-bukuku yang selalu berantakan itu sudah tertata rapi sekali. Di atas tumpukan buku-buku itulah benda itu terletak.

Aku buru-buru mengambil benda itu, menggigit bibir bawahku antusias begitu kudapati sebuah kotak warna biru muda polos tanpa pita. Di atasnya cuma ada kertas buku tulis yang digulung rapi lalu diplester dengan isolasi.

Aku segera mengambil kertas itu lalu membuka gulungannya. Mataku melebar begitu kubaca tulisan tangan yang sangat kukenal itu.

"Maaf ya kotaknya biasa aja, gak aesthetic sama sekali."

Aku mulai mengulum senyum, menggigit bibir bawahku pelan.

"Maaf juga aku gak tahu buat kata-kata manis yang biasa ada di dalam surat kecil yang terselip di kotak hadiah."

Senyumku semakin melebar.

"Tapi, semoga kamu suka."

Dengan antusias, aku segera membuka penutup atas kotak itu lalu mataku melebar begitu mendapati sebuah kalung dengan warna kesukaanku, silver. Di ujung kalung perak itu terdapat sebuah perak berbentuk pesawat kertas kecil, yang kelihatan mengkilap.

Dan itu adalah kalung termanis yang pernah kulihat.

Pesawat kertas.

Dulu, waktu aku SMA, aku juga dapat pesawat kertas sesaat setelah aku membuka loker, pesawat kertas darinya. Terbuat dari kertas buku tulis yang dilipat rapi setelah ditulisi pengakuan perasaannya, bahkan lengkap dengan namanya.

"Mathio Raynaldi."

Sekarang, aku mendapatkan pesawat kertas lagi, yang jauh lebih indah, di dalam lokerku pula.

Aku tersenyum, meletakkan kotak biru muda itu di dalam lokerku, lalu mengambil kalung perak yang ada di dalamnya.

Aku mengangkat ujungnya, membuat perak kecil berbentuk pesawat kertas di tengahnya menjuntai.

Aku tersenyum lembut.

Belum sempat tanganku bergerak membuka pengait kalung itu, hendak memasangnya di leherku, kalung itu sudah lenyap dari genggamanku.

Belum sempat aku  marah-marah pada orang itu, kalung tadi sudah dipasangkannya hingga rapi di pergelangan tanganku.

Dapat kurasakan tangannya menyentuh rambutku, lalu mengeluarkannya karena ikut terlilit dengan kalungku sewaktu dipasang, lalu ia menyisir lembut rambutku yang hitam dengan jari-jarinya.

Aku segera berbalik lalu mendapati cowok yang lebih tinggi dariku itu di sana.

Tersenyum lembut.

Thio.

Dan seperti mesin yang bergerak otomatis, bibirku ikut menyunggingkan seutas senyum yang agak bercampur dengan sedikit malu.

"Kamu suka?" tanya Thio, menyingkirkan poniku.

Aku mengangguk,, tersenyum lebar.

Thio menghela napas lega. "Aku seneng kamu suka," ucapnya.

"Sejak kapan kamu jadi rajin gini?" tanyaku, memegang lembut perak berbentuk pesawat kertas di leherku.

"Hmm...." Thio kelihatan berpikir. "Sejak lo jadi pacar gue ... Mungkin?"

Aku mengulum bibirku ke dalam.

Lalu Thio tertawa, tertawa lebar sekali hingga gigi gingsulnya kelihatan.

Aku menghela napas. 2 tahun bersama cowok itu dan sampai sekarang aku masih bisa merasakan kupu-kupu di perutku ketika ia tersenyum seperti itu.

Lama kami diam sambil menatap saja. Tidak berbicara apa pun. Namun, kami sama sekali tidak merasa canggung, malah nyaman.

"Itu gue loh yang keliling tujuh negara bantu Thio cari." Lalu tanpa kami sadari, ada seseorang yang sedari tadi berdiri di samping kami.

Kami menoleh bersamaan.

Lalu dia berdiri di sana, menatapku dan Thio dengan pandangan jenaka sambil tersenyum main-main.

Dia--cowok itu--adalah Dino.

Aku cuma menatapnya terpaku, Thio juga cuma diam saja.

Lama suasana di menit-menit itu canggung.

"Gue berdua seminggu muter-muter demi dapat kalung kayak gitu," lanjut Dino lagi.

Lalu Thio menjitak Dino, cowok itu merigis sambil mengusap ubun-ubunnya.

Aku tertawa melihat reaksi keduanya.

"Udahlah, capek gue ngomong sama lo," ucap Thio akhirnya. "Main basket yuk."

"Ogah, kalau basket gue kalah, sepak bola aja," balas Dino.

"Yaelah kalau sepak bola, gue yang kalah," ucap Thio.

"Yaudah, bagus." respon Dino.

Thio mengumpat.

"Ih kazar," balas Dino dengan suara yang dibuat mirip kayak cewek. "Udah ya, gue ke lapangan."

Lalu Dino berlalu, meninggalkan kami berdua.

Aku terpaku. Tidak, bukan. Bukan terpaku karena Dino pergi. Namun karena sebelum cowok itu berlalu, ia menyunggingkan senyum.

Senyum yang berbeda. Bukan lagi senyum main-main, atau senyumnya yang dulu sewaktu kami masih SMA. Bukan juga senyum sedih yang biasa kulihat belakangan ini.

Bukan lagi.

Kali ini senyumnya tulus. Tulus. Dan juga penuh makna. Entahlah aku tidak bisa mendeskripsikan. Senyumnya bahagia campur lega.

Aku balas tersenyum. Karena aku tahu apa arti senyumnya.

Aku tahu apa kalimat yang ia katakan di balik senyum itu. Bukan kalimat benci,  bukan kalimat sedih atau rindu. Melainkan kalimat yang seakan mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih.

Aku menghela napas, memperhatikan punggung cowok yang dulu pernah melukis cerita di masa laluku itu.

Pada akhirnya orang-orang akan datang dan pergi. Kadang orang yang berjalan ke arahmu dan menadahkan payung di atas kepalamu kala hujan, belum tentu akan tetap tinggal ketika matahari sudah bersinar kembali. Kadang mereka juga akhirnya akan pergi. Dan itu bukan penutup, bukan pula pembuka. Melainkan proses menuju hal yang lebih baik.

Sebelum Thio berlari menyusul Dino, cowok itu sempat tersenyum penuh arti kepadaku sambil berkata, "nanti aku tunggu di depan gerbang kampus pulang nanti,," ucapnya.

Aku mengangguk semangat, pacarku itu mengelus rambutku sebelum ia berjalan menjauh, menyusul Dino dan meninju bahu cowok itu.

Aku senyum memperhatikan dua orang yang sekarang sudah berjalan seiringan itu.

Aku lalu berbalik, berjalan menuju kelasku.

Seiring kakiku melangkah, aku perlahan menggenggam kalung perak yang terpasang di leherku, mengusap bagiannya yang berbentuk pesawat kertas kecil.

Aku tersenyum lembut lagi.

Karena kau tahu, orang akan datang dan pergi. Selalu ada perpisahan, namun setelahnya mungkin juga akan ada pertemuan baru. Makanya ketika seseorang datang padamu, cukup tersenyum dan terimalah mereka. Karena jika kau sudah pernah meninggalkan atau ditinggalkan, itu tandanya kau telah diajarkan bagaimana caranya menghargai sesuatu. Dan mungkin sekarang saat yang tepat untuk mempraktikkannya

***

Andino Jullio

"Ah gue pusing!" seru Varo frustasi. Kami berlima berkumpul di meja tempat nongkrong kami yang biasanya.

"Kalau pacar ulang tahun emang ribet," ucap Reza. "Untung gue jomblo, yakan Din?" Lalu Reza mengarahkan tangannya untuk tos denganku.

"Gue kasih apa ke Grace? Ah, gue bener-bener payah dalam hal gini-ginian," ucap Varo dengan ekspresi putus asa. "Aidan menurut lo gimana?" tanya Varo, menatap Aidan yang seperti biasa, menggambar.

"Kalau dulu Anya ulang tahun sih, gue ngajak dia jalan," ucap Aidan. "Orang tuanya juga gue ajak."

"Wah wah, orang jago," balas Varo sambil tertawa. "Gue bahkan sampai pernah berpikir kalian berdua gak pernah berantem!"

"Mana sanggup dia berantem sama Anya," ucapku santai. "Yakan, Aidan?"

Varo dan Reza manggut-manggut mengerti maksudku.

"Lah kembali ke topik, gue kasih apa ke Grace?" Varo kembali galau.

"Kasih boneka aja," usul Aidan.

"Kagak, udah mainstream," balas Varo.

"Kasih coklat aja," usulku.

"Ah, dia udah hampir tiap hari gue temenin beli coklat di indomaret," balas Varo.

"Kasih baju renang aja, lo kan perenang. Kalau bisa sih yang model bikini," usul Reza.

"Mati aja lo," balas Varo.

Satu meja tertawa.

"Lo aja yang ngasih bikini ke Lya, sapa tau besok lo udah gak jomblo lagi," godaku ke Reza, mengingat kakakku itu naksir berat ke kakak sepupu Anya.

Dengan satu ucapanku itu, Reza langsung salah tingkah.

"Eh anjir jarang-jarang nih gue liat Reza malu." Varo menunjuk Reza heboh. "Punya malu juga ya ternyata."

Reza semakin salah tingkah, dan seperti biasa, kami malah menikmatinya.

"Nah, mau liat Reza malu lagi?" Aidan menghentikan aktivitas menggambarnya. "Reza tuh kalau mau ketemu Lya rapi banget, rambut disisir, pake pomade, parfum dipake, padahal kalau mau nongkrong, mandi aja kagak."

Tawa kami lepas. Jarang-jarang Reza berlagak begitu, makanya sekali saja berbuat, kami gak bisa berhenti.

"Ada lagi, kalau udah pulang ketemuan sama Lya, senyum mulu dia, gak berhenti-berhen--" Aidan tidak sempat melanjutkan perkataannya.

"Diem lu!" sela Reza, sok-sok melepas sepatunya untuk dilempar ke Aidan. "Kalau lo bicara lagi, gue kasih nomor Anya ke temen gue yang udah dari kemarin minta, mau?"

Raut Aidan langsung berubah, mode menyeramkannya aktif. "Lo mau mati muda?"

Lama kami melanjutkan perbincangan kami yang seru. Namun aku akhirnya sadar akan sesuatu.

Thio tidak ada.

Lalu aku teringat rencana kami berdua yang baru didiskusikan kemarin, setelah kami mendapatkan dan membeli kalung perak itu.

Aku segera berdiri, pamit, lalu berlari menyusuri koridor.

***

Aku berjalan pelan-pelan di koridor yang sepi, sebelum berbelok ke sudut, aku mengintip terlebih dulu.

Benar saja, Thio dan Kira sudah berdiri berhadapan di depan lokernya.

Aku menghela napas, tersenyum lega.

Aku memilih berdiri dulu di sini. Tidak menampakkan diri dulu.

Melihat senyum senang Kira menatap Thio, melihat matanya yang berbinar-binar antusias menatap Thio membuat perasaanku tenang dan lega. Melihat wajahnya saat menatap Thio sudah membuatku bahagia juga. Butuh waktu dua tahun untuk itu.

Lalu setelah kurasa ini waktu yang tepat, aku mulai berjalan ke arah mereka dan langsung berkata, "itu gue lo yang keliling tujuh negara bantu Thio nyari tu kalung."

Lama memang suasana agak canggung, namun kehadiran Thio di sana mencairkan semuanya. Cowok itu menjitak kepalaku, membuat Kira tertawa.

Kira tertawa. Dan itu membuatku bersyukur dan tenang. Walau mungkin Thio penyebabnya, bagiku semua itu sudah cukup.

Setelah berbincang sebentar, Thio memutuskan mengajakku bermain basket, dan aku memilih pergi duluan ke lapangan.

Sebelum pergi, aku menatap wajah Kira, cewek yang pernah melukis masa laluku dengan warna yang terang itu ternyata menatapku.

Aku tersenyum tulus padanya, tersenyum jujur. Dalam hati aku lega karena telah mampu untuk tidak memikirkan perasaanku sendiri, melainkan perlahan aku sudah bisa belajar mengucapkan terima kasih padanya, dan itu tidak hanya baik bagiku, namun bagi perasaannya juga.

Lalu Kira membalas senyumku, lembut. Matanya berbinar penuh arti.

Dan itu melegakan.

Aku segera berbalik, berjalan pergi.

Jika kau memang mencintai seseorang, kau akan tetap tersenyum lembut kepada setiap momen yang membuatnya bahagia. Bahkan jika momen itu mengharuskanmu untuk melepaskannya.

Karena kadang kala, pergi dan meninggalkan tidak selalu menjadi hal yang paling buruk. Jika kau tahu kapan waktu yang tepat, kadang hal itu bisa menjadi keputusan terbaik yang pernah kau pilih.

***

Aku berjalan menyusuri koridor, mengancing hoodie biru tua yang kupakai.

Aku memasang earphone di kedua telingaku lalu memutar lagu yang pas.

Aku memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaketku seraya melangkah menuju lokerku.

Kampus sudah sepi sejak aku dan Thio bertanding sepak bola tadi, sekarang bahkan nyaris tidak ada orang di gedung ini.

Aku membuka lokerku, mengambil kunci mobil yang kusembunyikan di salah satu tumpukan buku.

Begitu aku menemukan kunci mobil itu, aku segera mengambilnya. Lalu bersiap menutup loker. Namun belum sempat aku memegang gagannya, mataku menangkap sesuatu yang berkilauan tak jauh dari tempat kunci mobilku tadi.

Aku segera mengambil benda itu lalu mendapati sebuah gelang silver berkilauan yang di atasnya bertuliskan "Jean."

Lalu aku teringat lagi malam reuni SMA beberapa bulan lalu. Cewek bergaun merah itu menabrakku, lalu marah-marah, dan kemudian menjatuhkan gelang ini. Dan sampai sekarang aku masih menyimpannya, bingung mau dikemanakan.

Aku menutup loker lalu berjalan menuju pintu keluar kampus, masih menggenggam benda silver itu di tangan, membiarkan nama di gelang itu menjuntai.

"Jean," gumamaku, fokus pada gelang itu.

Lalu kilas balik kembali terputar di kepalaku, malam reuni waktu itu.

Aku sempat menatap wajah cewek itu, dan sampai sekarang setiap melihat gelang ini, pasti aku teringat matanya.

Matanya bagus.

BRUK.

Lalu nyeri menghantam tubuhku. Seseorang menabrakku, sakit sih, tapi tidak sampai membuatku terjungkal. Gelang tadi jatuh ke lantai bersamaan dengan tubrukan itu.

Aku menggerutu di dalam hati namun sebelum memarahi orang itu, aku memilih menunduk, hendak mengambil gelang yang jatuh di lantai tadi.

Namum sebelum aku bahkan sempat membungkuk, tangan lain--tangan orang itu--mengambilnya lebih dulu.

Aku mengernyitkan dahi, lalu segera menatap lurus ke arah orang di depanku tadi.

Mataku melebar begitu melihat cewek yang waktu itu menabrakku di malam reuni, sekarang berdiri di depanku, dan lagi-lagi menabrakku.

Cewek itu mengernyit, menunduk menatap gelang yang sekarang sudah ada di tangannya.

Lalu detik selanjutnya ia mengangkat kepalanya, menatapku. Aku tidak bisa membaca ekspresinya.

Lalu kilas balik lagi, kepalaku mengingatkanku kepada penampilan gadis itu di malam reuni, tapi mataku melihatnya sekarang, menggunakan pakaian kasual, rambutnya dikuncir satu, poninya yang agak panjang menjuntai di pinggir wajahnya.

Lalu sama seperti malam itu, aku langsung terpaku pada matanya. Mata yang terngiang-ngiang di kepalaku belakangan ini setiap kali gelang itu kulihat.

"Ini gelang gue! Lo dapat darimana?" pertanyaan itu langsung membuyarkan lamunanku.

Aku bahkan tidak sadar sedang melamun.

"G-gue." Sial, kenapa aku gugup. Aku tidak biasanya begitu.

"Lo curi kan, ya?!" serunya. "Lo mau jual kan?!"

Mendengar suaranya yang masih semelengkinng bebek, masih sama seperti waktu malam itu, mataku terbelalak.

Melihat ekspresiku, cewek itu menyipitkan matanya curiga ke arahku.

"Gak lah, g-gue gak ada niat begitu," ucapku langsung. "Gue orang yang waktu itu lo tabrak pas malam reuni..."

Lalu aku menceritakan semua yang terjadi tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi. Raut cewek itu mulai tenang, matanya yang tadi tajam sudah mulai santai seiring aku meyelesaikan ucapanku. Sesekali aku mencuri pandang ke arah matanya.

"Oh jadi gitu ceritanya," ucap cewek itu.

Lalu ia tersenyum, dan ternyata aku baru sadar dia punya lesung pipi yang lumayan dalam.

"Kalau gitu makasih ya," ucapnya.

Baru ketika ia mengatakan itu, aku baru sadar semenit yang lalu aku sempat diam dan terpaku sebentar.

Aku cuma mengangguk menanggapi ucapannya. Tidak mengeluarkan satu kata pun.

Lama kami berdiam diri di situ, saling berhadapan di koridor yang sunyi.

Sampai cewek itu mengulurkan tangannya di depanku sembari mengatakan, "Gue Jean, Adara Jean." ucapnya ramah, masih mengulurkan tangannya. "Lo siapa?"

Aku membalas uluran tangannya. "Gue Dino, Andino Jullio."

Lalu hujan yang sangat deras turun tiba-tiba, menimbulkan suara gaduh seiring rintik air beradu dengan atap gedung.

"Yah, anjir hujan," gumam Jean sambil menoleh ke arah jendela, mungkin dia tidak sadar aku mendengarnya. "Gue pulangnya gimana?" lagi-lagi ia tidak sadar kalau gumamannya itu lumayan keras.

Entah apa yang mempengaruhiku sampai aku mengucapkan, "bareng gue aja, gue bawa mobil."

Cewek itu menoleh, matanya menatapku agak sedikit terkejut.

Dan sekali lagi, entah apa yang memengaruhiku, melihat eskpresinya yang seperti itu membuatku terpaku senentar, lalu menyunggimgkan senyum tipis.

***

Aidan Fardika Nathala

Aku membuka mata pelan, kurasakan tangan seseorang menarik-narik lembut rambut cokelatku yang sudah agak panjang. Tanganku meraba-raba asal selimut hingga menutupi leherku.

Mataku tidak mau membuka, kantuk memaksaku untuk tetap bergelayut d dalam selimutku yang hangat . "Apaan Reza? ganggu aja," aku mengerang tidak jelas. Tidak tahu jelas bahwa itu Reza atau Dino, yang jelas aku masih mau tidur. "Dasar kadal."

Rambutku masih tetap ditarik-tarik, kini lebih keras dari sebelumnya. Aku mengerutkan alis setengah jengkel, tanganku lalu refleks keluar dari selimut lalu menggenggam pergelangan tangan orang itu, mataku masih setengah tertutup.

Aku kembali mengerutkan alis.

Tunggu dulu.

Sejak kapan tangan Reza atau Dino sekecil ini?

Aku langsung terbelalak, membuka mata lebar, lalu badanku langsung terduduk.

Aku kaget setengah mati begitu melihat Anya, duduk di samping tempat tidurku, terlihat jengkel tapi juga ingin tertawa.

Pikiranku masih blank hingga aku tidak sadar telah membuka setengah mulutku selama lima detik. Aku sadar lalu sedikit salah tingkah, Membenarkan rambut cokelatku yang pasti sangat acak-acakan. Anya yang sedari tadi menahan tawanya sudah tidak tahan lagi hingga membiarkan tawanya berderai. Jenis tawa yang kusukai, suaranya lucu, lalu matanya menyipit dan lesung pipinya terlihat jelas.

Tanpa sadar, aku tersenyum hangat, memperhatikan--ehem--pacarku itu.

"Ngapain kamu di sini? Kamu gak ada kuliah?" tanyaku, suaraku masih agak serak.

Dalam hati aku bersyukur karena masih mengenakan kaus putihku, untung tadi malam tidak kulepaskan, kalau tidak mungkin sekarang aku akan gila. Aku sudah terbiasa tampil acakan depan Anya, karena dia selalu ke sini pagi-pagi. Tampilanku yang seperti orang gila baru bangun--yang biasanya cuma Ayah, Dino, dan Reza yang lihat--sudah pernah ia lihat berulang-ulang.

Anya meredakan tawanya. Masih tersenyum, ia agak bingung sesaat, lalu menjawab, "kamu gak ingat? Hari ini bukannya kamu mau pergi?" Tanyanya, rautnya lembut, tapi sedikit muram terbesit.

Aku menghela napas lemas, kembali teringat Ayah yang memyuruh aku, Reza, dan Dino ke Amerika selama sebulan secara bergilir, mempelajari perusahaan dan bisnis Ayah yang sudah ada di mana-mana. Dino sudah pergi sebulan yang lalu, Reza bahkan sudah pergi dua bulan yang lalu, dan giliranku hari ini.

Aku tidak mau, namun aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menolaknya. Reza dan Dino awalnya juga begitu, tapi Ayah bersikeras untuk membuat mereka mau bahkan jika satu-satunya cara adalah menyeret mereka, maka Ayah akan melakukannya, dan aku tidak mau diseret.

"Kamu sudah sejak kapan di sini?" Tanyaku, mengalihkah perhatian walau kedengaran maksa.

Anya tersenyum lagi, selama setahun ini kami pacaran, rasanya senyumnya tidak pernah gagal membuatku terpaku.

Lega sekali bisa mengakuinya. Lega sekali bisa berekspresi dan mengatakan perasaanku sekarang. Aku tidak perlu lagi berlagak tidak tertarik pada senyumnya yang selalu kulakukan dulu, atau berlagak bahwa aku tidak ingin mengajaknya ke mana-mana.

"Sejak jam enam pagi," jawabnya, merapikan rambutnya. "Reza sama Dino nge-chat, katanya kamu udah mau pergi, aku buru-buru ke sini tapi ternyata kamu masih molor dan mereka cuma giring aku buat ngerjain kamu."

Aku bersumpah akan me-wax betis-betis upin-ipin itu setelah ini.

Cewek di depanku itu hanya mengenakan sweater kebesaran warna putih dengan celana jeans, rambutnya yang sewarna dengan rambutku diikat satu.

"Pagi banget kan ya? Kamu baru bangun jam sembilan, katanya Reza ama Dino ampe mercikin air mandi ke muka kamu tapi tetep gak bangun! Dasar kebo!" Seru Anya, menyisir rambutku yang jatuh di depan dahi dengan jarinya sekilas ke belakang, lalu jari telunjuknya menyentil dahiku keras. Wajah jengkelnya yang tadi sempat diganti tawa kembali terpampang lagi.

Aku meringis memegang dahiku yang sakit. "Aduh!"

"Kalau kamu gini nanti mau digaplok lagi sama Om Nathala? Kalau kamu datang ke rumahku lagi dengan wajah lebam, aku gak bakalan ngobatin lagi--eh ralat, aku gak bakalan bukain pintu sekalian!" Anya mengomel.

Aku cuma memperhatikan wajahnya sambil nyengir. "Bawel!" seruku sambil mencubit pipinya, Anya tambah jengkel lalu menyentil--ralat, bukan menyentil, tapi menjitak dahiku. Lagi.

Aku meringis, "Aduh!"

"Kalau ada yang penting gini malah tidur! Kebo!" Serunya.

Tapi tak lama kemudian, aku tertawa lagi karena wajah Anya yang jengkel itu lucu. Detik selanjutnya aku berkata, "Ingat gak waktu hari libur? Aku ke rumahmu niatnya bawain kue ke bundamu, tapi kamu belum bangun. Waktu itu aku nunggu kamu bangun bisa sambil bantuin Om David benerin mesin mobilnya, bahkan bisa sambil nemenin Lya sama bundamu nonton Goblin sampe episode dua dan kamu gak bangun juga, kamu jam dua belas baru keluar dari kamar. Pake piyama pokemon. Ingat gak? Sekarang siapa yang kebo?" ucapku sudah tidak tahan menahan tawa, aku melepaskan ikat rambut Anya yang sudah mulai memerah wajahnya, Rambut cokelatnya yang halus sekarang terurai.

"I-i-itukan hari libur ih!" Seru Anya meredam rasa malu, ia lalu mengulum bibirnya, malu.

Ah, rasanya aku semakin tidak ingin pergi ke Amerika kalau begini.

"Udah sana mandi aja cepetan! Nanti kamu ketinggalan pesawat." Anya mengalihkan pembicaraan.

Lalu hening.

Aku masih duduk di atas tempat tidur, Anya di tepinya. Aku menatap Anya dengan wajah yang kubuat tidak mudah ditebak, dan Anya yang menatap balik dengan wajah bingung.

"Kenapa? Buruan sana mandi," ucap Anya ragu, menunjukkan pintu kamar mandi di kamarku dengan dagunya.

Aku kembali nyegir penuh arti, "kamu gak keluar? Nanti kalau aku selesai gimana? Mau liat aku ganti baju?"

Anya langsung tersadar, lalu mata cokelatnya melebar, dan aku tertawa lagi.

Anya kali ini benar-benar salah tingkah, dan aku menikmati waktuku melihatnya seperti itu. Ia langsung melempar bantal terdekat tepat ke wajahku. "Sembarangan!" Serunya masih memukulku dengan bantal. "Kamu mandi di luar aja!" ucapnya, salah mengira tempat karena kebiasaan.

Aku tertawa, "Oi, inget kan kalau ini rumahku?"

Anya sadar lagi, lalu ia salah tingkah lagi,  dan aku tertawa lagi.

Aku tidak puas menggoda Anya, buru-buru aku menambahkan, "Ahiya ya, gak papa, anggap aja rumah sendiri. Bentar lagi kuliahku selesai dan kalau emang udah jalannya, bentar lagi bakal jadi rumahmu juga kok," ucapku sambil tertawa penuh arti, dan Anya menangkap maksudku, pipinya sudah semerah tomat.

"AIDAN!"

PLAK.

"Aduh, sakit Anyaa!"

***


Aku merapikan letak jas hitam di luar baju kaus putihku, menyisir rambut ke atas. Aku tidak terlalu suka berpakaian terlalu formal walaupun sepertinya nanti, ayah akan mengenalkanku kepada rekan-rekan bisnisnya secara resmi.

Aku mengambil segelas kopi panas sebelum bergegas menaiki tangga menuju kamarku, menemui Anya yang sepertinya masih ada di sana.

Iya, gara-gara dia aku benar-benar mandi dan ganti baju di luar kamarku.

Aku berpapasan dengan Dino yang hendak turun. Matanya sayu, ekspresinya polos-polos songong. Handuk merah tersampir di bahunya, menutupi sebagian dari kaus biru lusuh favoritnya, boxer biru tua yang lebih lusuh lagi dari kausnya terlihat miring.

Rasanya penampilan kami berdua sekarang terlihat sangat kontras kalau berhadapan begini.

"Asik, rapi banget," ucap Dino, mengamatiku dari atas sampai bawah. "Tenang aja, waktu gue ke Amerika bulan lalu, gue cuma diajak keliling gedung sama sekretarisnya Ayah, dijelasin ini-itu doang."

Aku memutar bola mata, tidak menggubris pernyataannya dan langsung bertanya soal hal yang tidak masuk topik, diiring dengan tanganku yang menjitak ubun-ubunnya. "Kenapa sih lu sama Reza arap nyuruh Anya datang ke sini pagi-pagi banget, gue kan berangkat jam dua belas! Disuruh bangunin gue lagi, untung gue tidur pake baju!"

Dino meringis sambil memegang bekas jitakanku. "Munafike lu," ucapnya. "Gitu-gitu lo kan juga suka."

"Iya sih," ucapku, refleks menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal. "Tapi tetap aja salah, kurang kerjaan lo pada!"

Sekarang malah Dino yang memutar matanya.

"Eh, lo liat Anya gak?" tanyaku kemudian. "Dia masih di kamar gue?"

"Tadi pas lo mandi, gue liat dia sempat turun," ucapnya. "Tapi sekarang udah balik ke kamar lo lagi."

"Dia ngapain di bawah?" tanyaku, kemudian menyesap kopi panas di tanganku yang tadi kuambil sebelum naik ke tangga.

"Ngobrol sama Ayah," jawab Dino santai. Kopi yang tadi kuminum langsung keluar dan mengenai wajah Dino.

"Anjing!" serunya terkejut, langsung mengelap wajahnya dengan handuk. "Panas, setan!"

Aku tidak mempedulikan Dino, pikiranku melayang.

Ayah? Anya? 

Ngobrol?!

"Minggir, minggir," desakku, mendorong Dino ke samping.

Aku tahu sesudah itu Dino kembali memaki sambil berbisik supaya Ayah tidak dengar, tapi entahlah aku tidak mau fokus pada hal lain selain bertanya pada Anya soal apa yang ia bicarakan dengan Ayah--karena apa pun yang berkaitan dengan hal itu terdengar tidak begitu bagus.

Aku membuka pintu kamarku perlahan tanpa suara, langsung kulihat Anya duduk santai di windowsill, menatap ke arah jendela yang berlawanan dengan pintu tempatku berdiri. Jadi ia sama sekali tidak sadar aku melihatnya sekarang.

Jendela di samping windowsill terbuka setengah, dan angin membuat rambutnya yang super indah--tertiup angin.

Aku mendekat, berjalan pelan. Anya terlihat seperti perempuan-perempuan di music videos dan melihatnya membuatku tidak bisa menahan senyum.

Anya mendengarkan musik lewat earphone-nya yang terhubung ke ponsel. Tangannya yang memegang pensil bergerak membentuk gambar di kertas biru muda yang ada di pangkuannya.

Sekarang aku sama sekali tidak pernah melihat Anya pergi dan melakukan apa pun tanpa lembaran kertas biru muda dan pensil. Anehnya, aku sama sekali tidak pernah tahu isinya apa. Anya selalu marah-marah jika aku berusaha melihat apa yang ia tulis di atas kertas biru muda itu. 

Aku bahkan menyuruh Grace dan Kira melihat isi kertas biru muda itu dan memberitahukan padaku apa isinya.

Namun sayangnya Anya juga bahkan tidak mau memberitahukan hal itu pada mereka berdua.

Aku terus berjalan mendekat, Anya sama sekali belum sadar. Bahkan hingga aku sangat dekat  untuk bisa meraih bahunya.

Aku menunduk hingga kepalaku menghadap sisi kanan Anya, berniat mengagetkannya, aku langsung melepas earphone di telinga kanannya.

Refleks Anya langsung menoleh ke arahku, membuat kepala kami otomatis berhadapan.

Dan anjir, aku sama sekali tidak memperkirakan jika Anya menoleh, wajah kami akan nyaris tidak memiliki jarak, terlalu dekat dan bahkan ujung hidung kami hampir bersentuhan.

Anya masih memproses apa yang terjadi, matanya melebar menatapku terkejut.

Oke, sekarang jantungku rasanya hilang dari tempatnya semula.

Aku memandang bibir merah muda Anya, aku menelan ludah. Oke, ini gawat.

Istighfar Aidan, istighfar.

Lalu aku cepat-cepat menarik diri. Aku berkedip-kedip cepat, menghadap ke samping sambil mengusap belakang leherku. Sekilas aku melirik ke arah Anya, lalu kemudian aku mengalihkan pandangan dan langsung melirik lantai, lalu tembok, lalu atap, lalu lantai lagi.

Aku menelan ludah, seluruh wajahku rasanya panas.

"Kamu kenapa?" tanya Anya, barulah di saat itu aku sanggup menatapnya lurus.

Belum lima detik, aku mengalihkan pandangan lagi.

Aku melepas jas ku, menyisakan baju kaus putih di dalamnya. "Nggak kok, cuman ... ehm," Aku berdeham. "Kok tiba-tiba panas ya?" Aku tertawa canggung.

Anya hanya mengerutkan alisnya, menatapku bingung.

Tadi itu terlihat seperti salah satu adegan drama korea yang aku nonton bersama bundanya Anya dan Lya tempo hari.

"Kapan kamu masuk?" ucapnya, memilih berhenti menulis di  atas lembar biru muda dan memilih memasukkannya ke dalam tas. "Bikin kaget aja."

"Kamu juga bikin kaget kok," ucapku pelan.

"Tadi kamu bilang apa?" tanyanya.

Aku menelan ludah. "Oh? Gak, gak ada." Aku cuma tertawa kecil, lalu duduk di sampingnya.

Kami berdua menatap jendela, angin bertiup, wangi stroberi yang sangat kukenal tercium. Itu parfum Anya.

"Kapan kamu berangkat?" tanya Anya, tetap memandang lurus ke luar jendela.

Aku menoleh. "Jam dua belas, tiga jam lagi," jawabku, memandang setiap jengkal wajah Anya dari samping. "Jangan kangen," ucapku sambil tertawa.

Anya tetap memandang lurus, mengulum bibirnya. "Gak, ogah."

"Bohong sekali ini anaknya Om David," ucapku dengan nada khas, tersenyum jenaka.

Anya hanya tertawa kecil. Ia tersenyum sambil menunduk, lalu kembali menatap jendela lagi. "Berapa lama kamu di sana?"

Aku masih terus menatap wajah Anya. "Satu tahun kayaknya," jawabku, berusaha keras memasang tampang serius.

Untuk pertama kalinya semenjak aku duduk di sampingnya, Anya langsung menoleh dan menatapku. Ia tidak mengatakan apa-apa, ekspresinya tidak terbaca, namun hanya selama lima detik. Detik berikutnya, pandangannya meredup dan aku langsung bisa membaca semuanya.

Lama Anya menatapku seperti itu.

Aku meringis, tidak tahan untuk tidak mencubit pipi kirinya. "Gak kok, bercanda, sebulan doang."

Pandangan Anya langsung berubah menjadi pandangan marah sebentar, tapi aku tahu ia juga lega di saat yang bersamaan. Anya menendang kakiku, membuatku meringis, lalu tertawa setelahnya.

Cepat-cepat aku bertumpu ke kanan, berbaring dan menjadikan kaki Anya  sebagai bantal.

Aku menutup mata, bersiap-siap menerima tabokan atau jitakan darinya.

Tapi ternyata Anya tidak melakukan apa-apa, ia membiarkan saja. Sesekali tangannya bermain-main dengan bulu mataku, tapi tak jarang juga ia menariknya sekalian. Tidak keras sih.

Lalu aku membuka mata, di luar dugaan, Anya memasang senyum manis.

 Aku tertegun, lama mataku tidak lepas dari senyumnya, lalu aku mengulum bibiku, berusaha tidak ikut tersenyum.

"Jangan sampai kamu senyum kayak begitu ke laki-laki," ucapku.

"Lah kamu kan laki-laki," ucap Anya setengah bingung.

Aku tertawa kecil, menyisir rambut Anya dengan tanganku sekilas. "Kecuali aku maksudnya."

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Pokoknya jangan," jawabku. "Nanti ribet."

Anya cuma mengedikkan bahu, kembari menarik-narik bulu mataku.

"Ohiya!" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. "Tadi kata Dino kamu ngomong sama Ayah. Ngomongin apa?"

Anya merespon hanya dengan senyum penuh arti. Aku menghela napas lega, sepertinya ini berujung pada hal yang positif-positif saja.

"Kepo," jawabnya.

Aku menatapnya tajam, tapi tidak tahan untuk tidak tersenyum juga. "Ngomongin apa?" tanyaku lagi, mengangkat tanganku lalu memainkan rambutnya.

"Kepo."

Aku terus memaksa Anya dengan kalimat yang sama, namun jawabannya tetap sama. Aku menyerah, yang jelasnya aku tahu itu bukan hal yang buruk.

"Om Nathala baik banget, cool, berwiba, berkharisma, ganteng pula," ucapnya kemudian.

"Pantes aja anaknya kayak gini, kan?" balasku.

Anya tertawa kecil. Oke, sekarang aku sepenuhnya yakin pembicaraan Ayah dan Anya baik-baik saja.

Rambut Anya yang sekarang sudah panjang turun sedikit menyambar wajahku. Aku menyisirnya dengan jari lagi sekilas, halus seperti biasa.

"Rambutmu wangi stroberi, pakai sampo anak SD ya?" tanyaku, tertawa kecil.

"Yeee, enak aja," jawabnya. "Aku jauh-jauh beli dari Seattle malah dikira sampo anak SD."

Aku tertawa kecil. "Bercanda kok, aku suka baunya," ucapku jujur.

BRAK!

Aku dan Anya refleks menoleh ke arah pintu bersaman. Kakak-kakakku sudah ada di sana, bersandar dengan gaya songong di kedua sisi bingkai pintu.

"Hei, lovebirds!" seru Dino.

"Wah gue serasa liat adegan drama korea," ucap Reza. "Uwu."

Ah dasar perusak suasana.

"Apa?" tanyaku malas, bangkit dari posisiku yang tadi. "Gak bisa ngetuk dulu ya?"

"Emang kalau lo ke kamar gue pernah ngetuk?" balas Reza. "Lo kan juga sering masuk tanpa ngetuk ketika gue melakukan hal-hal yang bersifat sangat pribadi dan rahasia!"

"Nonton cewek bohay nge-live di instagram sama sekali gak pribadi dan rahasia," balasku.

Sebelum percakapan tidak penting antara aku dan Reza berlanjut, Dino langsung memotong.

"Ayah nyuruh kalian turun, katanya kita makan siang dulu sebelum ke bandara," jelas Dino kemudian.

"Aidan, Dino, Reza!" Lalu tiba-tiba terdengar suara Ayah di bawah. Kami bertiga langsung saling pandang memandang, berkomunikasi lewat tatapan. "Kenapa kalian belum turun juga?"

Ayah memang hanya berseru biasa. Tapi bagi kami bertiga, panggilan Ayah yang terabaikan sama dengan pintu gerbang menuju ajal.

Maka dengan satu kali panggilan itu, kami bertiga langsung melesat dan muncul di depan Ayah dalam sedetik.

Anya hanya bisa menatap kami dengan pandangan bingung.

***

Kami berempat mengelilingi meja makan yang kosong dengan pandangan kosong.

"Ayah hari ini kita makan angin?" tanya Dino.

Ayah hanya duduk santai sambil memegang ponsel. "Delivery aja. Kalian mau apa? Masakan cina, ayam goreng, atau pizza?"

Kami bertiga kompak memutar mata.

"Bosan, Yah," ucap Reza akhirnya. "Pengan masakan rumah aja."

Beginilah nasib rumah besar yang lebih mirip asrama laki-laki ini bila Bibi Aminah-pembantu rumah tangga kami-sedang pulang kampung.

Tanpa kusadari Anya berjalan dari depan meja makan ke depan kulkas di dapur. Ia membuka pintunya, lalu menelusuri setiap isinya.

"Aku aja yang masak."

Itu suara Anya.

Dan semua orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arahnya.

***

"Enak sekali, kamu pintar masak juga ya Anya," ucap Ayah di sela-sela makannya. Aku, Dino, dan Reza melongo. Oke, itu pertama kali kami mendengar Ayah bicara dengan nada yang se-friendly itu. Tahulah, semacam gaya ngomong ibu-ibu yang berbicara pada anak berumur delapan tahun. "Sejak Aminah pulang kampung dua minggu lalu, baru kali ini kami makan masakan rumah."

Anya tersenyum manis. "Makasih, Om," ucapnya.

Oh, sial. Dia manis sekali.

"Lampu hijau, tenenet," bisik Reza ke arahku dan Dino. "Hebat nih, Anya."

"Siapa dulu dong yang punya," ucapku jenaka. "Tenang, Yah, nanti Anya bakal ngajarin aku masak. Supaya nanti kita gak usah makan makanan luar terus."

"Halah diam kamu, Dan," ucap Ayah. "Masak air juga kamu biasanya gosong."

Reza dan Dino keselek nasi karena tertawa. Aku menatap mereka sinis.

"Reza sama Dino juga sama saja," kata Ayah kemudian.

Kini giliranku yang keselek nasi karena tertawa.

"Saya sudah lama sekali mau punya anak perempuan, Anya, bosan saya sama tiga anak laki-laki kayak mereka, bikin rusuh saja kerjaannya," ucap Ayah pada Anya yang dibalas tawa.

"Sering-sering ke sini ya," ucap Ayah. Dan lagi-lagi, aku, Reza, dan Dino dibuat melongo. "Alangkah bagusnya kalau ada anak kayak Anya yang tinggal di rumah ini."

"EHEM!" Dino dan Reza berdehem sambil sok-sok melihat ke langit-langit.

"Alert, Ayah ngasih kode. Alert, Ayah ngasih kode!" seru Reza, menyikutku.

Ayah, Reza, dan Dino tertawa.

Aku mengerti apa maksudnya, dan sepertinya Anya juga. Dengan satu kalimat itu, kami berdua langsung mendadak salah tingkah.

***

"Denger ya, Anya," ucapku. "Dua hari ke depan kamu bakal sendirian di rumah kan? Katanya Bundamu sama Om David mau pulang kampung. Makanya kalau selesai ngampus, langsung pulang aja, jangan ke mana-mana. Kalau kamu diganggu Robi, Farhan, sama Taufik, atau digodain Chandra sama Irsan sampai kelewatan, lapor ke Dino atau Reza. Kalau habis latihan dance terus Lya gak jemput, jagan naik taksi sendirian. Jangan diet, makan aja kalau malam, kalau di rumah kamu gak ada orang dalam waktu yang lama, jangan keluyuran gak jelas, ke rumahku aja, kamu boleh pake kamarku kapan pun kamu mau. Inget?"

Anya dan aku punya jarak tinggi badan yang cukup jauh, makanya sekarang dia harus mendongak sambil tersenyum dan mengangguk.

Bandara dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang ke sana kemari, menenteng koper di tangan mereka.

Reza dan Dino ada di belakang kami, menatap kami berdua dengan pandangan jengah. "Udah kalimat-kalimat penuh cintanya?" tanya Dino.

"Sirik aja lo, monyet," balasku. "Reza arap, Dinosaurus, jagain Anya buat gue ya? Kalau kalian macam-macam, ingat video yang waktu itu? bakal gue kasih ke Lya sama Jean."

"Ampun ancamannya berbahaya sekali," ucap Reza dengan nada jenaka. "Untuk orang yang cuma mau pergi sebulan sebenernya lo agak berlebihan sih, tapi teneng aja Bro, Anya bahkan gak bakal kegores kok, yekan Din?"

Dino mengangguk.

Aku tersenyum, kembali menatap Anya.

"Aku pergi ya?" ucapku, mengusap puncak kepala Anya.

Ia tersenyum lembut dan teduh, membawa perasaan hangat tersendiri ke dalam benakku. "Cepat pergi sana," ucapnya. Lama sampai ia menyambung ucapannya dengan suara yang lebih pelan, "Biar cepat kembali juga." Tapi aku masih bisa mendengarnya.

Mendengar ucapan dan nada bicaranya, rasanya aku semakin tidak mau pergi.

Aku menyisir rambut Anya dengan jari lagi sekilas, lalu melangkah pergi, menenteng koper di tangan kanan.

Sebelum aku bebalik, aku yakin tadi Anya berkata, "Hati-hati."

Dan itu cukup untuk membuatku senyum sendiri seperti orang gila selama duduk di kursi pesawat, membuat Ayah yang duduk di sampingku memandangku dengan tatapan bingung.

***

Aku menghepaskan badanku ke salah satu sofa hotel yang empuk, melonggarkan dasi, lalu melepas jasku.

Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan. Semenjak sampai kemarin, aku sama sekali tidak tidur atau bahkan istirahat. Ayah langsung mengantarku ke perusahaan dan rasanya kepalaku ingin meledak.

Aku terus berpikir-pikir, bagaimana bisa Dino dan bahkan Reza menyelesaikan semua ini selama sebulan.

Aku melepaskan dasi yang melilit leherku, lalu membuka dua kancing paling atas dari kemeja putih yang kukenakan.

Aku mengeluarkan ponsel di saku celana, lalu menekan tombol unlock. . Aku sengaja tidak menyalakan lampu kamar hotel, gemerlap lampu-lampu kota dari dinding kaca di sebelah kiriku serta cahaya ponsel kubiarkan jadi sumber cahaya.

Aku menghela napas pelan.

Jika sekarang sekitaran jam empat sore, mungkin di sana sekitaran jam dua atau tiga pagi. Dan aku sama sekali tidak ingin membangunkan Anya dan membuatnya mengomel hanya karena aku ingin melihat wajahnya saja.

Makanya aku nyaris melempar ponselku ke tempat tidur begitu nada deringnya tiba-tiba terdengar padahal sebelumnya suasana kamarku benar-benar hening.

Aku mengecek caller ID dan langsung terbelalak kaget begitu tahu kalau itu Anya, dan ini adalah panggilan video lewat skype. Buru-buru aku berlari ke saklar lampu, lalu menerima panggilan itu.

Di layar ponsel, aku langsung tahu Anya menggunakan laptopnya kali ini. Ia berbaring tengkurap, mengenakan sweater longgar seperti biasa, rambutnya diurai, selimut naik sampai ke ujung kepalanya, dan ia menggunakan kacamata berbingkai hitam yang terlihat lebih besar dari wajahnya dan itu membuatnya terlihat lucu.

"Kenapa belum tidur?" tanyaku langsung. "Jangan begadang, besok kuliah kan?"

"Geez, Aidan," Anya tersenyum. Jenis senyum yang membuatku bisa otomatis tersenyum juga seperti mesin.

"Kenapa?" tanyaku bingung, Anya masih saja tersenyum seperti itu, seolah-olah ia menyadari sesuatu tentangku yang tidak kuketahui.

Aku berbalik sebentar ke belakang, mencari apa yang Anya perhatikan. Aku mengulum bibir, lalu berbalik lagi dengan ekspresi wajah yang se-tidak-salah-tingkah-mungkin.

"Kenapa kamu senyum terus?" tanyaku lagi.

"Geez, Aidan." Lalu tawanya kemudian menyelusup keluar. "Kamu mirip kayak model laki-laki di majalah Nylon yang biasa aku liat."

Aku menunduk ke bawah, lalu menyadari penampilanku. Dengan cepat aku segera mengacing dua kancing atas kemejaku yang tadi sempat kubuka, berdeham.

"Ehem." Aku berdeham lagi. "Kenapa kamu nelpon? di situ tengah malam kan? Tidur."

Anya cemberut, "aku tadi tidur," ucapnya.

"Mimpi buruk kan?" tebakku langsung.

Anya mengangguk.

"Mau kutemani sampai tidur kan?" tebakku lagi.

Anya mengangguk, tersenyum malu.

"Tapi kalau kamu capek, aku gak maksa," ucapnya kemudian, tersenyum teduh.

Aku menghela napas, mengabaikan lelah yang sudah menumpuk di belakang leherku.

Anya masih di sana, tersenyum lembut.

Aku mengangguk, membuat senyum Anya berubah jadi cengiran senang.

Walaupun aku lelah, aku tetap mengiyakan. Toh, sepertinya aku juga tidak akan bisa menolak.

***

Dua hari lagi bulan Juni, dan pembelajaran yang melelahkan ini akan segera berakhir. Hari ini Ayah kembali memberiku kesempatan istirahat. Aku tidak punya jadwal apa-apa selain bergelayut di kasur hotel yang empuk sambil menonton Netflix.

Aku mengambil laptop dari dalam koper yang selama tiga minggu lebih ini tidak pernah kukeluarkan dari dalam tasnya sama sekali. Begitu benda persegi itu kukeluarkan, benda yang lain keluar dan jatuh ke lantai. Benda itu adalah buku sketsaku yang kedua. Buku yang kubeli sebelum acara reuni SMA--buku sketsa lamaku yang tersisa tujuh lembar masih ada pada Anya dan aku ingin dia menyimpannya.

Aku mengambil buku itu, membuka halaman pertama lalu tersenyum kecil. Sampai sekarang, aku masih sering membuat sketsa. Walau tidak sesering dulu karena fokus kuliah, mempelajari bisnis Ayah, dan turnamen basket, aku masih suka menyisihkan waktu untuk menggambar.

Tentang objek gambarnya, aku rasa aku tidak perlu lagi menjelaskannya.

Aku terkejut begitu di sela-sela halaman keempat dan kelima, tersisip lembar-lembaran kertas warna biru muda.

Mataku melebar, segera kuambil lembar-lembaran yang diklip itu.

Bukannya ini kertas yang selalu Anya bawa kemana-mana?

Buru-buru aku mengambil lembaran itu lalu membuka halaman per halamannya. Begitu kulihat gores-goresan pensil di atas setiap kertas itu, jantungku berdegup kencang dan memberiku rasa hangat. Tanpa sadar, aku tersenyum.

Dia menyisipkan lembaran-lembaran ini sebelum aku berangkat ke bandara.

Jadi ini alasan mengapa dia selalu membawa kertas biru muda ini kemana-mana?

Jadi ini alasan mengapa dia selalu lebih fokus dengan lembaran biru muda daripada hal-hal di sekitarnya belakangan ini?

Jadi ini alasannya Anya sering berdiam diri di rumah sekarang?

Aku tertawa kecil. Aish, dasar Anya.

Aku tertawa kecil lagi, kali ini menenggelamkan wajahku ke telapak tangan kiriku.

Aku melirik kertas biru muda di tangan, lalu tersenyum lagi.

Di atas kertas itu, goresan-goresan pensil yang Anya bentuk menyerupai aku. Ia membuat sketsaku, sama seperti aku yang membuat sketsanya sewaktu SMA. Padahal sebelum ini Anya sama sekali tidak bisa menggambar. Namun sepertinya dia mempelajarinya semuanya hanya untuk memberiku ini.

Aku tersenyum lagi.

Segera kuambil pensil dari atas meja kaca di dekat tempat tidurku. Lalu kubuka buku sketsaku dan segera mencari halaman kosong terdekat.

***

Satu bulan kemudian...

Aku berjalan di atas keramik bandara yang ramai, menenteng koper di sebelah kiri.

"Bulan depan bagaimana?" tanyaku pada Ayah yang berjalan di sampingku.

"Minggu depan giliran Reza lagi, rencananya saya mau tempatkan dia dulu di perusahaan yang lebih dekat, hanya di luar kota tapi waktu menetapnya dua bulan," jelas Ayah.

Aku mengangguk mengerti. Aku melirik jam, sudah jam dua siang, sebentar lagi Anya pulang dari kampus.

"Ayah, aku gak langsung pulang dulu ya, aku mau pergi dulu," ucapku.

Seperti yang aku duga, mata Ayah langsung menajam dan itu membuatku merinding. "Mau ke mana kamu?" tanyanya.

"Eh m-mau...," Aku terbata-bata sebentar, tatapan mata Ayah sama sekali belum berubah. "Mau jemput Anya."

Sekejap, tatapan Ayah langsung berubah menjadi berbinar-binar. "Ohya?" tanyanya. "Yaudah cepetan sana pergi, kasian nanti Anya nunggu lama."

Ckckck, mantra apa yang cewek itu sematkan pada ayahku?

***

Aku berjalan santai di area kampus yang sudah mulai lengang, mencari-cari sosok berambut cokelat dari semua mahasiswa yang berlalu lalang di wilayah sekitarku.

Aku tersenyum kecil begitu kulihat orang yang kucari berdiri di sana, lagi-lagi memakai hoodie longgar yang semakin membuat tubuhnya yang sudah kecil jadi tambah kecil, rambut cokelatnya yang panjang diikat menjadi kucir satu.

Aku tersenyum kecil, lalu melangkah pelan ke arahnya.

Begitu aku sudah berada tepat di belakangnya, tanganku langsung bergerak ke arah ikat rambut hitam yang ia kenakan, lalu menaiknya hingga rambutnya yang halus turun dan terurai.

Aku memperlihatkan cengiran, menyembunyikan ikat rambutnya di saku jasku, pandangan Anya terkejut, lalu berbinar begitu ia mendongak dan melihat wajahku.

"Aidan?!" ia nyaris memekik, suaranya yang melengking membuat orang-orang di sekitar kami menoleh.

"Ssh!" aku menempelkan jari telunjukku ke bibir, meminta maaf kepada orang-orang di sekitar kami. "Sadar gak tadi kamu teriak?"

"Wah, sejak kapan kamu pakai setelan jas?" ucapnya, tidak peduli dengan orang-orang di sekitar kami.

"Hehe, iya, waktu di sana, Ayah yang suruh."

Anya tidak menggubrisku, ia terlalu sibuk memandangku dengan tatapan seolah aku ini tidak ada selama setahun. Cewek itu langsung berjinjit, membuatku melotot. Ia memeluk leherku, aroma vanilla yang hangat dan bau stroberi khas langsung menyambutku. Tangannya yang telalu erat nyaris membuatku tercekik, tapi aku tidak protes, toh ujungnya aku tersenyum kecil juga.

Pernahkah kau bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya kepada tokoh utama perempuan dan laki-laki dalan cerita remaja yang berakhir bahagia?

"Aku lapar," ucapku begitu Anya melepas pelukannya-ralat, cekikannya dari leherku. "Kamu mau makan apa?"

Anya menunjukkan cengirannya yang paling manis hingga matanya berbentuk bulan sabit dan lesung pipinya terlihat, membuatku mengacak rambutnya hingga poninya berantakan.

"Sushi," jawabnya. "Udah lama sekali aku gak makan sushi."

"Yaudah, ayo," ucapku, langsung menarik tangannya lalu sengaja bergerak setengah berlari kea rah parkiran supaya cewek itu ngos-ngosan.

Padahal kan logisnya, selalu ada hal yang terjadi terus menerus bahkan setelah ending...

Begitu kami sudah duduk di dalam mobil, bersiap memasak seatbelt, aku langsung bertanya, "Ohiya, Nya."

"Hm?" ia menoleh ke arahku.

"Sejak kapan kamu pintar menggambar?" tanyaku.

Satu pertanyaan itu mampu membuat pipinya memerah, melihat itu, tawaku keluar.

"Gambarmu lumayan," ucapku. "Aku harap kamu menggambar di media yang sudah aku kosongkan." Ucapku lagi, memberi kode. Namun sepertinya Anya tidak mengerti. Belum.

Kalau kita bersama hari ini, esoknya belum tentu begitu. Karena hidup kan bukan cerita remaja...

Aku tertawa, mengacak lagi rambut cewek itu sampai seberantakan mungkin. 

... Makanya setiap waktu yang kuhabiskan denganmu adalah berharga

***

Safanya Aluna

Dear Penny,

Oke, aku benar-benar tidak pernah menyangka aku akan membukamu lagi selama tiga tahun aku menumpukmu di dalam kotak bersama buku sketsa Aidan.

Ingat kan? Buku sketsa yang menyeretku masuk ke dalam dunia kecil Aidan, melibatkanku ke dalam masalah besar yang anehnya, kusyukuri. Karena dengan adanya semua itu, sekarang aku bisa berada dalam keadaan yang lebih baik.

Tidak terasa sudah tiga tahun peristiwa-peristiwa masa SMA-ku berlalu. Banyak sekali hal-hal baru yang terjadi semenjak aku kembali ke Indonesia setelah dua tahun lamanya, dan aku menetap di sini sudah lebih setahun.

Aku kembali menjadi Anya yang dulu, menjalani rutinitasku secara normal-normal saja sampai sekarang. Dan aku punya mimpi baru, aku ingin menjadi seorang penyiar. Mulai dari sekarang, aku sudah menyusun rencana-rencana masa depanku dan itu menyenangkan sekaligus menegangkan. Setelah lulus kuliah nanti, aku akan mulai menjadi pribadi yang kuinginkan. Lucu begitu tahu bahwa aku bahkan belum memulai.

Orang-orang di sekitarku banyak membantuku. Orang tuaku juga mendukungku. Sembilan orang yang sering nongkrong bersamaku juga banyak memberi dorongan. Sembilan orang itu maksudnya teman-temanku-yang salah satu di antara mereka juga sekaligus pacarku.

Ohiya, Penny. Kau adalah kumpulan memori masa SMA, mengenai pacar dan semacamnya, aku belum pernah sama sekali menuliskan hal-hal yang berhubungan tentang itu. Makanya soal kalimat terakhir di paragraph sebelumnya, nanti akan kujelaskan padamu, kenapa terakhir? Karena jika aku tulis sekarang, mungkin tinta pulpenku akan habis sebelum aku menceritakan hal-hal yang lainnya.

Makanya lagi, aku akan bahas yang lain dulu.

Tentang Kira dan Thio.

Ingat sahabatku yang seberisik toa? Kirana Muthiara, Kira. Orang terakhir yang kupeluk sebelum pergi, dan orang pertama yang kupeluk ketika kembali. Aku masih sering bareng dia, ini pun baru kemarin lagi kami menghabiskan waktu di rumahnya. Kami masih seperti dua orang anak umur tujuh belas yang sering keluyuran jika punya waktu, tidak ada yang berubah, dan aku bersyukur karena itu. Sekarang Kira baik-baik saja, dan ia disibukkan dengan kegiatan barunya di dunia jurnalis-yang sebelumnya tidak pernah kutau ia geluti.

Si Kira masih pacaran sama Thio. Ingat? Teman sepermainan Aidan waktu SMA dulu. Yang sekarang merupakan teman dekatku juga. Thio pernah memberikan surat cinta ke Kira waktu SMA dan isi surat itu alaynya tidak ketulungan. Mereka berdua sering diledeki oleh Reza, Dino, Aidan, Grace, Hannah, dan Jean setiap kali salah satu dari kami ingat. Tapi gitu-gitu juga, mereka sudah pacaran tiga tahun, hebatnya mereka sekalipun tidak pernah putus (katanya), dan itu jadi ledekan jenaka lagi oleh orang-orang yang sama. Kadang Reza dan Varo bilang, "Udah, nikah aja sekalian!"

Tentang Grace dan Varo.

Ingat tidak dengan Grace? Anak cheerleader waktu SMA, selalu berlagak jadi mean girl yang agak centil kayak di film-film, tapi lagaknya keliatan terpaksa banget karena sebenarnya dia tidak sejahat itu, malah baik. Sekarang si bule itu sepermainan denganku dan yang lainnya, kuliah jurusan ekonomi-tapi kerjaannya cuman desain baju dan ngurus butik milik ibunya yang vibe-nya tidak beda jauh dengan Grace. Like mother, like daughter.

Grace itu pacaran sama Varo-ketua klub renang kampus dan gaya pacaran mereka lebih mirip kayak ratu dan seorang budak. Tapi tidak seburuk itu juga sih, malah lucu dan terkesan cute. Varo itu orangnya humoris, berisik, dan hobi bersenang-senang, Grace akan menjitak cowok itu kapan saja Varo bertindak keluar batas.

Tentang Dino dan Jean.

Belakangan ini aku baru sadar kalau Dino dan Jean itu sering bersama-sama. Maksudku, ini agak mencolok karena Dino itu ... yah, pendiam. Namun beberapa hari terakhir ini, Dino sering tertawa bersama Jean. Mereka berdua sekarang dijadikan bahan olokan baru. Aku selalu tersenyum setiap melihat mereka berdua. Maksudku, Dino itu galak, tajam, dan punya aura gelap ala asap, kabut, dan semacamnya (ini kata Varo dan Aidan) lalu Jean itu berisik dan hiperaktif macam Kira, dan punya aura super terang ala pelangi yang penuh unicorn ber glitter merah muda (Setidaknya ini perumpamaan yang menurutku cocok) Jean suka mengganggu Dino, dan lucu saja melihat cowok itu suka sok kesal padahal terlihat jelas ia mati-matian menahan senyum.

Aku sudah menceritakan hampir semua kabar temanku. Ohiya, Hannah.

Hannah sih masih jomblo dan mageran. Namun kemarin untuk pertama kalinya, Hannah berdandan. Kami berdelapan sampai dibuat kaget melihatnya memakai rok, flat shoes unyu, dan memoles liptint di bibirnya. Padahal sebelumnya, kalau dibolehkan pakai baju tidur, ia akan rela pakai demi kenyamanannya. Aku, Jean, Mia, dan Kira alias para-para cewek membuntutinya sepulang kuliah dan mendapatinya duduk di café bersama seoang cowok. Ganteng pula. Varo, Aidan, Thio, dan Reza tertawa setengah hidup begitu kami memberitahukan hal itu pada mereka.

Satu lagi Mia, dari kami semua, Mia yang hidupnya paling adem tentram sejahtera, ia single bahagia dan sekarang udah punya channel youtube tempat dia sering nge-cover lagu-lagu bagus.

Tentang Reza dan Lya masih menjadi misteri. Tapi aku pernah beberapa kali mendengar Lya video call-an dengan seseorang sambil senyum-senyum sendiri. Reza sekarang ada di Amerika, sebagai anak tertua, ia kebagian jatah mengurus bisnis Om Nathala dengan waktu yang paling lama, di cabang yang paling utama.

Sepertinya sudah kutuliskan semua. Aku baru sadar ternyata sedari tadi tanganku sudah agak pegal. Tinta pulpenku sekarang seperempat, nyaris habis. Nanggung sih, sekalian dihabiskan saja kalau begitu.

Makanya sekarang, aku akan menuliskan sedikit-mungkin tidak sedikit juga sih-hal tentang seseorang yang kujanjikan padamu akan kubahas di akhir paragraf pertama.

Pasti kau bertanya-tanya bagaimana kabar cowok berambut cokelat yang setinggi tiang listrik itu kan? Tiang listrik, tiang listrik yang berwajah ganteng.

Cowok yang selalu pergi ke rumahku jam tujuh pagi setiap liburan, menonton drama korea bersama bundaku, atau membantu Ayahku mencuci mobil dan bicara soal hal-hal berbau politik yang sama sekali tidak kuketahui sambil menungguku terbangun.

Cowok yang selalu mengemudi jam dua pagi hanya karena aku menelponnya setengah sadar dan sambil menangis karena mimpi buruk.

Atau cowok yang sering membawaku ke rumahnya karena ayah dan kakak-kakaknya butuh makanan dan tidak ada di antara mereka yang pandai memasak.

Cowok yang sering mengajakku pergi ke makam ibunya, membuatku terpukau kerena ia tidak pernah sekalipun menunjukkan kesedihannya di depan tempat peristirahatan orang yang dulu pernah menemani masa kecilku di Seattle. Namun menangis dan memelukku setelah kami meninggalkan pemakaman.

Cowok yang tidak bisa lepas dari rasa bersalah waktu aku mematahkan tanganku karena tertabrak sepeda motor di depan kampus saat dia dalam perjalanan untuk menjemputku. Atau soal dia yang entah berapa kali kuomeli karena memukul laki-laki yang menggangguku sampai babak belur.

Tentang dia yang berhasil kukenali lebih jauh seluk beluknya. Tentang dia yang sering kutunggu karena sering pergi bahkan sampai empat bulan ke mana-mana karena bisnis Ayahnya. Atau tentang dia yang rela kuganggu di sela pekerjaannya dengan rentenan panggilan video.

Juga cowok yang pernah membuatku menangis tiga hari dan menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduaku karena khawatir padanya waktu ia mengalami kecelakaan parah hingga meremukkan tulang rusuknya sepulang dari Amerika.

Tentang cowok yang memarahi semua orang yang memarahiku-kecuali orang tuaku tentu saja.

Aidan yang ketika kulihat penampilannya dari atas sampai bawah, terkadang mampu membuatku membayangkan seolah ia memakai seragam putih abu-abu, memakai earphone di kedua telinganya sambil menatap serius ke lembaran buku sketsanya.

Atau membuatku membayangkan punggungnya di tengah keramaian festival kembang api, raut heran-nya waktu aku tertidur di sofa merah rumah lamanya, matanya yang menatap tajam ketika menyuruhku pulang dengannya saat hujan deras di halte dekat sekolah, senyum teduhnya waktu perlahan wajahnya terlihat dari balik tudung jaketnya ketika ia menyelamatkanku yang nyaris mati kehabisan darah, matanya yang sayu ketika menikmati angin di atas rooftop rumah sakit, dan bahkan wajah sedihnya waktu menemaniku di balkon rumah lamanya, memandang puluhan kunang-kunang lima tahun yang lalu.

Cowok itu mampu membuatku merasakan kembali semua suasana dari masa dan waktu yang berbeda-beda dalam sekali li-

Aku menatap pulpen di tanganku dengan alis mengerut. Tinta hitamnya sudah nyaris lenyap sepenuhnya, aku mengguncang benda itu ke atas dan ke bawah, berharap cairan hitam itu akan keluar lagi begitu ujung pulpen kugerakkan di atas kertas.

-hat. Sekarang jam enam sore, lima menit lagi Aidan akan datang menjemputku, kami akan pergi ke acara reuni SMA-yang lagi-lagi berkonsep resmi-yang kudatangi pertama kali waktu pulang dari Seattle setahun lalu. Aku sudah selesai berdandan, gaun selutut warna cream, dan wedges yang persis sewarna dengan gaunku.  

Ingat reuni SMA pertama yang kudatangi semenjak pulang dari Seattle? Waktu pertama kalinya lagi aku menemui Aidan, tidak terasa, peristiwa itu sudah lewat setahun lebih, dan sekarang, reuni di tahun ini akan berlangsung kurang dari sejam lagi.

"HOO!"

Aku refleks menjatuhkan Penny dan pulpen dari tangan begitu suara itu terdengar tepat di depan wajahku.

"AAA!" Aku menjerit, mendapati Aidan di depanku, cowok itu membuatku terpaku sebentar ketika melihat tatanan rambut cokelatnya yang disisir ke atas--itu gaya rambutnya khusus jika ingin berurusan dengan bisnis Om Nathala. Ia mengenakan setelan jas dan dasi.

Refleks aku langsung memukulnya, "sejak kapan kamu masuk ke kamarku?" Tanyaku.

Aidan tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia menatapku lama sambil tersenyum-senyum tidak jelas. "Cantik," ucapnya kemudian.

Aku mengulum bibirku, berusaha mati-matian supaya tidak tersenyum seperti orang bodoh di depannya.

"Kalau mau senyum tuh jangan ditahan-tahan," ucapnya, membuatku langsung berhenti mengulum bibir dan langsung tersenyum sepenuhnya. "Nah gitu. Aku baru datang lima menit lalu, bundamu suruh aku langsung naik ke kamarmu."

Aku mengangguk. Aidan duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Menatap Penny yang kupegang di tangan dengan tampang selidik. "Eh bukannya itu buku yang aku kasih waktu festival kembang api? Waktu masih SMA, kan?" tanyanya.

Aku mengangguk, menutup Penny, berusaha keras menyembunyikan isinya.

"Kamu masih nyimpen ternyata," ucapnya, tersenyum lebar. "Ngomong-ngomong kamu tadi nulis apaan?"

Aku langsung siaga satu, menyembunyikan Penny di balik punggung "Gak kok, bukan apa-apa."

Sekilas Aidan menatapku lekat, membuatku berdebar-debar sebentar, namun setelah itu ia kembali tersenyum, membuatku kembali lega.

"Hari ini kamu senyum mulu ya," ucapku, nyengir.

"Yaiyalah kan seneng," ucapnya. "Kamu udah siap? Ayo pergi, acaranya beberapa menit lagi mulai," ajaknya kemudian

Aku mengangguk. "Yaudah, kamu tunggu aja di bawah," ucapku.

Ia mengangguk, tersenyum--lagi--sambil beranjak dan menutup pintu. Hening kembali terasa.

Aku menatap Penny lagi, mengelus pelan sampulnya. Tidak mau membiarkan Aidan menunggu, aku menutup buku itu sambil tersenyum sekilas, aku berdiri dari dudukku, menghampiri meja belajarku lalu membuka laci kecil di bagian kiri. Kuletakkan Penny di dalam sana.

Begitu laci kecil itu kututup dengan dentuman, menciptakan getaran, membuat salah satu benda dari rak buku di atas laci kecil itu jatuh ke lantai.

Aku menunduk, segera mengambil benda yang tergeletak itu.

Benda itu adalah buku sketsa Aidan yang lama.

Melihat sampul buku itu membuatku tersenyum kecil, teringat kejadian-kejadian lama. Suasana-suasana hangat yang dulu kurasakan tiga tahun lalu kembali datang begitu perlahan kubalikkan lembaran-lembaran buku yang isinya cuma enam lembar itu.

Lalu aku berhenti di halaman terakhir.

Mataku melebar. Untuk pertama kali itu aku sadar, ternyata halaman buku sketsa itu ada tujuh lembar, namun hanya enam yang digambari oleh Aidan, disisakan kosong, tidak disobek seperti yang lainnya.

"Aku harap kamu menggambar di media yang sudah aku kosongkan."

Tiba-tiba aku teringat ucapan Aidan beberapa bulan lalu di mobilnya, waktu ia menjemputku di kampus setelah pulang dari perusahaan ayahnya untuk pertama kali. Waktu itu aku tidak mengerti maksudnya apa, dan terus memikirkannya.

Aku menatap kertas kosong di bagian akhir buku sketsa itu.

Mataku melebar begitu sadar ucapannya dua bulan lalu itu ada hubungannya dengan lembaran terakhir ini.

Jadi itu maksudnya! Sekarang aku mengerti.

Cepat-cepat aku mengambil tas kecil lalu memasukkan buku itu ke dalamnya.

Aku segera turun ke bawah, mendapati Aidan di teras, ia tersenyum dan aku membalas senyumannya.

"Udah siap?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Aidan berjalan ke arahku, menggenggam tangan kananku, lalu menariknya pelan ke arah mobilnya.

Aku mendongak ke kanan, menatap wajah Aidan dari samping. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum lembut.

Sepertinya aku tahu mengapa Aidan membiarkan halaman terakhir dari buku sketsa itu kosong.

"Aidan," panggilku pelan.

"hm?" jawabnya, menunduk menatapku.

"Kamu punya pensil gak?"

"Punya, di mobil, kenapa?"

"Boleh aku pinjam gak?"

"Bolehlah. Tapi buat apa?"

"Ra-ha-si-a."

Dengan satu kata itu, aku tersenyum kecil, menguatkan genggaman tanganku pada tangan Aidan.

Aku sekarang sudah mengerti, sudah tahu mengapa ia menyisakan satu lembaran kosong di bagian akhir buku sketsannya. Lembaran itu adalah sebuah pertanyaan.

Dan malam ini, aku rasa aku akan menorehkan pertanyaan itu dengan sebuah jawaban.

Dear Penny,

Penny kau cukup tebal, di balik halaman ini, kau masih punya banyak sekali lembaran kosong yang perlu diisi. Kau punya halaman kosong, sama seperti buku sketsa Aidan di lembaran akhirnya. Dan itu berarti akan ada banyak sekali kejadian sesudah ini, menunggu untuk dihadapi. Dan di antara itu, pasti terselip hal-hal yang tidak diinginkan sebagai tantangan, karena seperti kata semua orang, akan selalu ada hal baru yang menanti di depan, dan cepat atau lambat, semuanya pasti akan menemukan waktu untuk muncul. Ketika semuanya telah datang, aku tahu, kelak lembaran-lembaran kosongmu akan kupenuhi dengan goresan tinta pena lagi. Sama seperti lembaran terakhir dari buku sketsa itu. Ingat? Dulu Aidan pernah membuatku masuk ke dalam dunianya melalui lembaran-lembaran kertas. Sepertinya itu alasan mengapa ia menyisakan lembaran kosong di akhir buku sketsanya. Dan mulai hari ini serta seterusnya, aku akan melakukan hal yang sama. Melalui lembaran kertas itu, aku akan menunjukkan dunia kecilku padanya.

Anya.

The End

***

A/N

Iya itu selesai! Bener-bener selesaii! :D tbh, I cant believe I finish this story! iya itu selesai, dan artinya bakal gak ada chap lagi setelah ini.

Tanggal 01 Juni 2017 hari kamis jam 07:07, Lycha menyelesaikan novel pertamanya di umur 14 tahun! Iam so exciteddd till I want to jump from somewhere highhh!

Ohya, mari tutup dengan ucapan yang normal. Makasih kepada readersku yang tercintah, tanpa kalian Aidan, Anya, dan kawan-kawan gak bakal sampai sini. Thanksss!

Pas saya tulis prolog, yang baca cuma dua orang, itu pun cuman teman kelas yang memang saya paksa untuk baca:'v sekarang udah seratus ribu aja waw padahal saya gak ngapa-ngapain. Bukan gak ngapa-ngapain sih, saya ngapa-ngapain kok, ngapa-ngapain banget malah. Sedikit pesan sih, buat readers yang baca ini sekarang dan kebetulan baru nulis cerita juga dan readersnya sedikit, berusaha aja jangan berhenti, selesaikan ceritamu terlebih dulu, jangan nyerah padahal baru nulis dikit, semua butuh proses.

Halah sok tau gue.

Oiya, also I wanna thank @Retha_Chan and @Dwi_Nurul for giving me a spirit! Semoga kalian masuk ke SMA yang kalian inginkan!:)

Epilog ini adalah chapter terpanjang yang pernah saya tulis dari awal Sketcher's Secret. Sepuluh ribu words hampir sama dengan tiga kali chapter biasa dan saya gak yakin kalau chap sepanjang ini pantes jadi epilog hehe. Tapi biarlah kalian juga udah nunggu lama, jadi semoga kalian suka!:) dan ya, you guys can find me on instagram @lycheekadif and you can ask for follback there:)

Topic yang lain: saya bener-bener seneng nulis chapter ini kayak gak ada beban dan ringan, isinya 100 persen cuma keadaan after konflik. Semoga unyu-unyunya bagian ini bisa mengimbangi keseluruhan cerita yang bikin pening dan semoga jatuhnya gak norak dan alay (Please)

Saya gak tahu bikin bagian sweet kayak author lain yang bisa bikin kalian senyum gak jelas, makanya ini uploadnya lama karena saya stuck di bagiannya Aidan dan Anya, entahlah saya bingung mau mengakhir ceritanya kayak gimana dan untungnya pas sahur tadi, saya dapat ide.

Dan juga saya rencana mau revisi cerita ini karena banyak typo dan ada beberapa plot hole, karakter dari setiap POV nya juga mau saya perkuat. 

Sepertinya An nya udah lebih panjang dari chapter-nya ya, jadi sampai sini dulu, terima kasih sudah membaca dan mohon vote chapternya jika kalian suka:D

Ohiya, baca juga ceritaku yang lain, Dating With The Star dan Stranger Passenger yang sudah ada di work! Kalian boleh cek blurbnya dulu, siapa tahu suka.

Sampai ketemu di karya-karyaku yang lain:)


🌹,
Lycha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top