Enam|Sketsa Baru
Dear Penny,
Kau adalah benda pertama yang Aidan berikan padaku. Dan mulai saat ini, kau akan penuh dengan tulisan tanganku yang berisi kisahku--eh maksudku, kisahnya. Atau ... Kisahku bersamanya, mungkin? Ah, entahlah!
***
Aku mencoba membuka mata, namun cahaya matahari dari jendela membuatku terpejam lagi. Aku mengerjapkan mataku, berusaha membiasakan penglihatan dengan sinar pagi yang menembus kaca jendela.
Tunggu dulu, kenapa aku bisa ada di sini? Seingatku setelah pulang dari festival kemarin malam, aku naik ke mobil Aidan lalu kemudian....
Aku melirik buku diary di sampingku yang langsung mengingatkanku tentang kejadian semalam.
"Hah?!" Aku berteriak, siapa yang membawaku ke dalam? Apa mungkin...
Aku segera duduk dari sofa
BRAK!
Tidak sengaja, kakiku langsung menghantam meja.
. "Aduh," rintihku sembari memegang telapak kakiku yang nyut-nyutan.
Tidak ada waktu untuk merintih-rintih ria, aku harus mengecek pintu rumah. Aku berusaha berdiri.
BRAK!
Aku goyah. Aduh, kenapa harus sial di saat seperti ini? Dengan susah payah, aku mengesot sampai ke pintu depan.
Aku memiringkan kepala heran saat melihat sebuah kunci rumah bertali biru muda tergeletak di lantai.
Aku memungut kunci itu.
"Kenapa kunci rumah ini bisa ada di sini?"
***
(Flashback)
Aidan's POV
"Anya, bangun." Sudah seratus kali aku mengucapkan kalimat itu. Siapa yang akan mengunci pintu rumahnya ketika aku akan pulang?
Karena anak itu tidak kunjung bangun, aku iseng mengambil sehelai kertas HVS dari kemasan yang tergeletak di atas meja tamu.
Aku mulai menggambar sesuatu dari pensil yang kuambil dari tempat yang sama, kebiasaanku.
Bahkan setelah aku selesai, anak itu tidak kunjung bangun juga. Malahan tidurnya semakin nyenak, sampai ngorok begitu. Aku tertawa tanpa suara. Bahan ledekan baru, nih.
Sketsa yang tadi kugambar kumasukkan ke dalam saku, jangan sampai Anya melihat gambarku.
Aku melirik jam tangan, sudah hampir jam sebelas malam. Aku tidak bisa lama-lama lagi.
Kusambar kunci rumah Anya lalu aku segara berjalan menuju pintu, kosong melompong, kemana orang tuanya?
Aku melangkah menuju pintu depan, lalu aku membukanya. Kukunci pintu dari luar menggunakan kunci rumah bertali biru itu.
Aku mengecek bagian paling bawah dari pintu rumah Anya. Bagus, celahnya lumayan besar.
Aku membungkuk, lalu kulempar kunci rumah itu ke dalam celah di bawah daun pintu. Kunci itu sudah masuk ke dalam rumahnya lagi.
"Beres."
(Flashback end)
***
Anya's POV
"Oh, jadi dia pakai cara itu." Aku manggut-manggut setelah herhasil memikirkan jawaban dari semuanya. "Pinter juga." Aku terus bergumam tidak jelas.
Tapi tunggu dulu, bagaimana bisa Aidan memindahkanku dari mobil? Aku tahu, membangunkan seorang Safanya Aluna dari tidur nyenyak itu bukan hal yang mudah.
Lalu bagaimana ia bisa? Tiba-tiba firasat burukku datang. Jangan-jangan ia menggendongku?! Oh, tentu saja, ia menggendongku, tidak ada cara lain.
Aku membayangkan diriku digendong Aidan saat aku masih tertidur.
Aku menepuk-nepuk kedua pipiku yang terasa panas.
"Sadar Anya! " Aku bergumam gaje lagi. Dengan sigap aku berlari, hendak menuju kamar mandi.
GUBRAK!
"Oh sial."
***
"Dia ngajak gue makan, trus kami pergi ngeliat kembang api di dekat sungai buatan. Di sana Dino bener-bener ketawa! Anya dia kelewat ganteng!" Kira mengguncang tubuhku seolah-olah aku adalah celengen berisi uang receh. "Dan lo tahu? Dia ngegandeng gue woy! Nyaris aja gue terbang." Kira mulai overacting. Kami sedang bersantai seperti biasa di taman sekolah.
"Dia ngasih gue buku diary!" aku tidak mau kalah. Menyebut-nyebut topik Penny, nama boneka penguinku.
"Oh ya? Dia beli?" tanya Kira antusias.
"Hadiah dari stan lempar ring," jawabku "Tapi...." Aku menunduk.
"Kenapa?" raut wajah kira ikut berubah.
"Enggak tahu kenapa, pas akhir-akhir hari, dia kayak badmood gitu. Tapi dia senyum dikit kok," jelasku.
"Ah, mungkin perasaan lo aja." Kira menenangkanku.
Aku tersenyum "Kayaknya gitu sih."
"Eh, gue balik ke kelas ya, mau ngerjain PR lagi" Kira cengar-cengir "Nanti kita lanjutin lagi ceritanya, siang ini jadi, kan?" Kira bangkit.
"Sip." Aku mengangkat jempol.
Kira langsung berlari ke kelas, hampir dari semua kejadian di cerita ini, Kira selalu pergi karena lupa PR.
Dasar pelupa.
Aku larut lagi dalam imajinasi. Kubuka tas kecilku, hendak mengeluarkan buku diary yang Aidan berika sewaktu di festival kemarin. Tak sengaja, selembar kertas ikut keluar bersamaan dengan buku itu.
Aku segera membuka lipatannya, sketsa itu. Gambar gadis berseragam SMA yang digambar dari belakang, gadis yang tidak asing. Gambar itu adalah sketsa pertama yang kudapatkan.
Aku langsung teringat Aidan. Kulirik bangku tempatnya duduk, lagi-lagi ia tidak ada di sana.
Mataku menyapu setiap bagian yang dekat dengan tempat duduknya, sampai akhirnya mataku terpaku pada satu objek. Tempat sampah itu, tempat sampah yang dulu di dalamnya terdapat sketsa yang sekarang kupegang.
Mataku melotot sempurna, jangan-jangan si penggambar membuang sketsa indah lagi? Aku benar-benar penasaran dengan gadis dua dimensi itu.
Aku bangkit dari dudukku, berjalan hingga sampai ke depan tempat sampah. Berharap menemukan sketsa baru. Begitu tiba di sana, aku melihat ke dalam.
Tidak, tidak ada sketsa.
Raut wajahku berubah menjadi kecewa. Aku mendengus, lagi pula tidak mungkin si penggambar akan membuang sketsa itu terus di tempat yang sama kan? Kecuali jika ada alasan tertentu.
Setelah membereskan barang-barangku, aku segera melangkah menuju kelas. Padahal jam istirahat masih banyak. Entah kenapa, aku kehilangan mood.
Dengan langkah berat, aku berjalan menyusuri koridor yang agak padat. Tapi, mataku yang sayu langsung melotot horor ketika melihat seorang cowok tinggi yang memegang buku sketsa dan sebuah pensil di satu tangannya. Itu Aidan.
Aku bersembunyi. Ini kesempatan emasku, kemungkinan besar Aidan akan menggambar sketsa.
Aku bisa mengintip gambarnya di saat ia menggambar dan melihat hasil gambarnya, dengan cara itu kan aku bisa tahu apakah dia yang membuat sketsa gadis itu atau bukan.
Aku mengikuti Aidan, mencoba berjalan sesantai mungkin hingga ia menuntunku kembali ke taman yang tadi.
Seperti biasa, Aidan duduk di kursi yang sama. Kursi yang agak dekat dengan tempat sampah itu. Dan yes! Dia menggambar!
Aku diam-diam menatapnya sembari sesekali pura-pura memainkan handphone, aku berdiri di pilar koridor yang menghadap kursi taman yang Aidan duduki, agak menyembunyikan diri. Just in case tiba-tiba dia melihat ke sini.
Setelah beberapa menit, Aidan pun meletakkan pensilnya. Sepertinya ia sudah selesai, tapi bagaimana caranya aku mengintip gambar itu?
Kuberanikan diriku melangkah ke arahnya, tentu saja dengan diam-diam. Baru selangkah aku beranjak dari balik pilar koridor tempatku tadi berdiri, Aidan mencabut sehelai kertas buku sketsa yang di atasnya ia gambari sedari tadi.
Jangan bilang dia mau memasukkan gambarannya itu ke dalam tas. Kalau itu terjadi, aku tidak akan bisa melihatnya.
Aidan melipat kertas itu menjadi persegi yang rapi.
Aku pun teringat waktu awal aku menemukan sketsa pertama yang isinya adalah gambar cewek bersandar di pohon yang diambil dari sisi belakang, sketsa itu juga dilipat serapi itu, dengan lipatan yang sama seperti yang baru saja Aidan lipat tadi.
Aidan mulai berdiri dari duduknya, aku langsung cemberut. Gagal! Aku badmood lagi. Tak lain tak bukan, pasti cowok itu akan mengantongi kertas sketsa yang tadi ia gambar.
Tapi tidak jadi, Aidan berjalan menuju tempat sampah itu. Mataku menyipit penuh selidik plus harapan.
Aku bersorak dalam hati saat Aidan membuang sketsa itu ke dalan tempat sampah.
Yes!
Saat Aidan mulai menjauh, aku berjalan dengan antusias menuju tempat sampah tadi.
Lipatan rapi itu masih ada di sana. Segera kuambil dan kuamati. Aku mengambil kertas sketsa pertama yang kudapat sebelum ini, lalu kubandingkan dengan sketsa yang baru tadi.
Kertasnya persis sama.
Namun aku tidak mau terlalu cepat menyimpulkannya.
Karena aku belum membuka lipatannya.
Apakah Aidan yang menggambar sketsa gadis itu? Jika iya, pasti ciri khas cara menggambarnya akan sama dengan kertas yang sebelumnya kutemukan di tempat yang sama.
Aku tersenyum, Aku akan segera tahu setelah membuka lipatannya.
***
Dedicated to viewers who read this story for sure.
Lebih baik punya banyak silent readers yang bener-bener baca, daripada vommenters yang nunjukin apresiasi palsu:)
Thousand thanks from me!
With joy,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top