Enam Belas|Sketsa yang Jatuh
Dear Penny,
Terkadang rahasia ada yang lebih baik tetap tertutup daripada dicaritau. Karena kenyataan pada rahasia itu tidak hanya membawa fakta, namun juga mengikutsertakan luka.
***
Aku terbelalak begitu melihat kertas sketsa di tanganku itu, sketsa yang menampakkan seorang gadis yang duduk di bangku taman. Bangku taman yang itu.
Gejolak perasaan mulai muncul di benakku, perasaan yang bahkan tidak bisa ku deskripsikan sendiri. Ada sedikit senang di sana, namun ada juga takut dan gugup.
Aku mendongak menatap teleskop di balkon, lalu mengalihkan padangan ke langit malam yang penuh bintang.
"Apa mungkin cewek ini ..."
Aku mulai menggeleng cepat, menghilangkan bayang-bayang semu yang tadi sempat muncul.
Bagaimana juga, aku tidak boleh se-geer ini, walau bangku taman di sketsa itu menjelaskan semuanya, aku tidak boleh menebak asal-asalan dulu.
Lalu aku mencoba mengalihkan pikiran dengan cara memikirkan hal yang lain. Tapi coba tebak apa yang kupikirkan pertama? Aku memikirkan diriku sendiri terjebak di kelas kosong kemarin, tentang cowok berjaket biru tua dan garis-garis putih yang mengunciku di dalam kelas sendirian.
Aku menggeleng lagi, "Enggak, gak boleh ada firasat buruk lagi."
Biasanya Aidan selalu menghilangkan firasat buruk. Aku membuka ponsel, lalu beralih ke instagram Aidan. Sambil senyam-senyum gaje, aku iseng membuka salah satu foto.
Terlihat Aidan tersenyum, menampakkan lesung pipinya. Tapi itu bukan selfie, yakali cowok semacam dia mau selfie. Seseorang memotretnya dari samping.
"Heol, kalau dia lebih rajin aktif di instagram, pasti udah jadi selebgram," gumamku.
Lalu aku mengalihkan pandangan lagi, memadangi sketsa di tanganku dengan perasaan campur aduk.
***
Aidan's POV
Aku mengumpat begitu melihat tinta pensilku yang patah, membuat noda hitam pengganggu di atas kertas putih yang ku gambari. Sketsa yang ku gambar jadi tercoreng.
Sedari tadi aku tidak bisa berpikir jernih, firasat buruk dan segala pikiran yang aneh-aneh muncul di kepalaku.
Aku memikirkan cowok berjaket biru tua itu, cowok yang kulihat melintas cepat di depanku, cowok yang tiba-tiba hilang di lorong koridor. Dan fakta yang paling mengganggu pikiran adalah : cowok yang mengunci Anya di kelas, sendirian.
Aku terus memikirkan hal yang sama, bayang-bayang samar yang sama terus terulang di kepalaku.
"Haish!" aku menggerutu sembari mencoret-coret kertas di depanku dengan pensil.
***
Kira's POV
Aku kembali mengingat foto-foto di ponsel Grace. Sontak aku mengernyit sembari memikirkan Anya, masa iya anak itu dikunci di dalam kelas sendirian?
Mengingat cowok berjaket biru tua bergaris-garis putih di ponsel Grace, aku merinding. Tiba-tiba firasat burukku mulai berkelebat, membuatku menampar diri dan kemudian menyesal setelah melakukannya.
Aku melirik ke luar jendela mobil Dino, kuubah posisi dudukku di jok menjadi menghadap ke samping. Kulihat Dino di luar sana, sedang berbicara dengan temannya.
Kami sedang dalam perjalanan pulang sekolah, dan pacarku itu berhenti untuk membeli sesuatu dan berakhir bercakap-cakap asyik dengan sobat-sobatnya. Langit di luar sudah mulai gelap, kami pulang agak malam karena tadi di sekolah Dino katanya ada urusan dan aku disuruh menunggu di cafe selama beberapa menit.
Lalu sebuah pikiran muncul di otakku. Pikiran iseng yang membuatku menyeringai jahat.
Aku melirik ke samping lagi, lalu tersenyum penuh arti. Mumpung Dino masih asyik bicara bareng temannya.
Aku memulai melepas sabuk pengaman, kepalaku celangak-celinguk menelusuri setiap bagian dari mobil Dino.
Yah, siapa tau cowok itu ... ehm, menyimpan fotoku, atau ... foto cewek lain. Maksudku, aku bukan tipe cewek yang curigaan sih, tapi dari dulu aku sudah naruh minat untuk kepoin dia, toh kan dia juga pacarku.
Oke, aku mulai ngawur.
Lalu gerakanku sontak berhenti begitu melihat sebuah benda di jok belakang, benda yang sukses membuat mataku melebar.
Benda yang berhasil membuatku membeku.
***
Anya's POV
Aku mengacak-ngacak lemari buku, sibuk memilah semua barang dan mencari benda itu. Benda yang selama ini kukumpulkan.
Lalu senyumku melebar begitu tanganku meraba map biru muda yang berisi kertas-kertas penting.
Iya, kertas-kertas itu adalah sketsa yang selama ini Aidan gambar. Sketsa yang kukumpulkan terus-menerus.
"Satu ... dua ... Lima." Aku menghitung kertas-kertas sketsa itu. Selama ini aku sudah mengumpulkan lima lembar sketsa, dan sketsa terakhirlah yang paling membuatku merasakan sesuatu yang berbeda dari sketsa sebelumnya.
Lalu aku berpikir sembari menguatkan genggamanku pada map biru muda itu.
Misteri cewek di sketsa Aidan ini harus dipecahkan.
***
Keeseokan harinya...
Sekarang aku sedang duduk di sofa empuk, sofa empuk di sekolah. Sekarang jam pulang, Kira sudah pulang bersama pacarnya, dan aku tak menyangka aku sendiri menghabiskan waktuku di perpustakaan sekolah.
Aidan bilang, aku tinggal ke lapangan saja jika sudah ingin pulang, karena sekarang cowok itu masih latihan basket untuk turnamen bulan depan.
Aku menyesap segelas jus jeruk dingin di meja perpustakaan yang sepi, tanganku mulai mengeluarkan kertas-kertas itu dari dalam map biru muda, lalu menyusun semuanya di atas meja.
Berasa jadi detektif beneran.
Aku menyusun sketsa-sketsa itu dari yang pertama kutemukan dulu, sampai sketsa yang kutemukan paling terakhir.
Semangat yang dulunya hilang, sudah mulai kembali sedikit demi sedikit. Membuatku menatap kertas-kertas itu tajam sembari berpikir keras.
Sketsa pertama adalah gambar seorang cewek yang sedang menatap sesuatu sambil memiringkan kepalanya menyentuh batang pohon.
Lalu sketsa kedua adalah gambar cewek yang masih sama, sedang mengambil buku dari loker.
Yang ketiga, gambar cewek yang sedang berdiri di sudut lapangan. Yang keempat, masih cewek itu, sedang membuka pintu mobil. Dan terakhir, gambar cewek itu sedang duduk di kursi taman.
Aku berpikir lagi. "Apa yang bisa disimpulkan?"
Sudah berapa menit dan aku sama sekali belum punya jawaban.
Aku membenturkan dahiku ke atas meja.
***
Sekarang sudah jam pulang, sekolah sudah hampir sepi, dan aku masih saja berkeliaran di sekitar taman.
Aku tadi sempat ke sini untuk mengecek tempat sampah itu lagi. Aku stuck, otakku tidak bisa menyimpulkan apa-apa, membuat perasaan penasaranku bergejolak. Hingga aku nekad datang ke sini hanya untuk melihat isi tempat sampah, dengan berani, seolah-olah kejadian terkunci-di-dalam-kelas-sendirian itu tidak pernah terjadi.
Aku mengha napas kecewa, tidak ada selembar kertas pun di dalam tempat sampah itu. Jadi aku kembali ke perpustakaan, hendak mengambil map biru muda itu lalu pulang secepat mungkin.
Penyelidikan itu mungkin harus berlanjut besok saja, atau setelah Aidan menggambar⎯eh, maksudku membuang sketsa lagi ke tong sampah dan akhirnya aku punya petunjuk baru.
Aku segera memasukkan semua kertas-kertas itu ke dalam map biru muda secara asal-asalan.
Beruntung, Bu Tati yang bertugas mengurus perpustakaan tidak ada di dalam sana, jadi aku tidak kena ocehannya. Dan beruntung lagi, hanya aku sendiri yang ada di dalam perpustakaan itu.
Aku segera membereskan meja tadi. Kumasukkan buku catatan, ponsel, pulpen, pensil, dan sebangsanya ke dalam tas.
Baru saja aku akan menenteng tas, pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka. Membuatku terkesiap. Mataku melebar begitu melihat siapa yang masuk itu.
Aidan.
Buru-buru aku menyembunyikan map biru muda itu di belakang punggungku, membuat Aidan mengernyit bingung, membuatku menelan ludah tegang.
"Lama banget, lo ngapain di perpustakaan? Capek banget gue nyariin lo dari tadi. Gue nungguin lo di parkiran dari tadi, latihan gue udah selesai," ucap Aidan. "Lo gak takut kalau kejadiaan hari itu terulang lagi? Lo gak takut kenapa-napa? Dari kemarin gue udah punya perasaan gak enak, jadi Anya gue gak berniat nakut-nakutin, tapi tolong lain kali lo harus lebih hati-hati, " oceh Aidan tanpa spasi.
"Dan lagi, lo kok gak nyalain GPS, sih?!" serunya lagi. "Kan mulai kemarin kita udah sepakat kalau lo udah pulang, ya dinyalain, lo juga setuju kan? Emang lu udah lupa ya? udah gak takut dikunciin?"
"Ih emang perlu banget ya? Kayak berlebihan gitu, kan bisa nelfon?" ucapku.
"Ck! ikutin aja perintah gue, dulu waktu lo kekunci di kelas, emang lo nelfon?"
"Ya kan itu karna hp gue mati! Kalau kayak gitu, emang GPS juga bisa nyala, hah?"
"Bodo, lo udah janji, kesepakatan soal GPS gak berubah, jangan bawel."
Aku lowkey senang karena dia kedengaran begitu peduli. Oke, Anya, bad timing.
Kerutan di dahi Aidan seakan bertambah begitu melihat poseku yang aneh. Kedua tanganku di sembunyikan di belakang punggung.
Aku mulai takut dan gugup, kueratkan cengkramanku pada map biru muda itu.
Tubuhku serasa membeku ketika Aidan tiba-tiba berjalan cepat ke arahku, cowok itu menarik tanganku tiba-tiba. Aku yang gugup langsung saja terbelalak dan terkejut melihat reaksi Aidan.
Di saat itulah, satu gerakan itu saja, semuanya langsung berantakan. Hanya seperti itu, sesingkat itu.
Sial!
Tolong jangan terjadi, jangan terjadi!
PLAK!
Kami berdua bergeming menatap map biru muda itu tergeletak di lantai, kertas-kertas di dalamnya berhamburan keluar.
Kalian pernah berada di situasi yang benar-benar baik-baik saja? seperti tidak akan ada yang menghancurkan sama sekali, lalu tanpa pertanda, sesuatu terjadi dan kau bahkan tidak langsung merasa hancur dan buruk karena tertutup rasa terkejut oleh ketiba-tibaannya dan itu membuatmu hanya berdiri di sana, terpaku, barulah kemudian segala perasaan menyerang lalu kau pun sadar bahwa segalanya sedang kacau dan kau hanya bisa melihat.
Hal itu adalah salah satu hal terburuk yang pernah aku rasakan.
Map itu jatuh dari tanganku.
Anjir.
Ini.
Gawat.
Aku berdebar-debar begitu melihat Aidan membungkuk, mengambil salah satu sketsa itu.
Mati.
Mampus.
Aku membeku melihat Aidan menatap sketsa itu sembari terbelalak.
"Aidan--"
Lalu ia menatapku tajam.
"Kenapa semua gambar gue bisa ada di lo?"
***
Kira's POV
Aku berlari secepat mungkin, menyusuri koridor yang sudah gelap menuju perpustakaan. Pikiranku kacau balau, sangat kacau balau.
Aku tidak ingin melakukan apapun saat ini, aku akan bolos dari eskul. Aku tidak mau latihan, hari ini saja.
Sekarang yang kubutuhkan hanya Anya, Safanya Aluna. Hari ini saja, aku ingin pulang bersamanya.
Aku menggigit bibir sembari mengencangkan lariku, perasaanku mulai bertubruk-tubruk. Begitu mendengar kabar Anya masih di perpustakaan, aku segera berlari tak karuan menuju tempat itu.
Aku tidak ingin pulang bersama Dino. Aku tidak mau.
Flashback
Aku mulai celingak-celinguk menelusuri setiap bagian dari mobil Dino. Siapa tau dia menyimpan ... ehm, fotoku. Atau mungkin ... foto cewek lain.
Seluruh badanku serasa membeku ketika melihat sebuah benda yang tidak asing tergeletak di jok belakang, benda yang sukses membuatku terpaku, benda yang sukses membuatku takut.
Jaket biru tua.
Jaket biru tua bergaris-garis putih itu , terletak di jok mobil Dino. Refleks, lidahku terasa kelu, tenggorokanku kering.
Firasat buruk mulai berkelebat, segala pikiran-pikiran menakutkan mulai berputar-putar di kepala.
Dengan tangan yang bergetar hebat, aku segera mengecek ponsel, lalu membuka galeri. Kucari foto-foto yang Grace kirim kepadaku, lalu mataku terbelalak begitu menemukan foto itu.
Sama persis.
Aku yakin, jaket biru tua bergaris-garis putih itu adalah jaket yang sama dengan yang ada di foto.
Itu berarti Dino...
KLEP!
Pintu mobil tiba-tiba terbuka, menampakkan Dino yang masuk sambil tersenyum hangat. Namun seketika senyumnya lenyap ketika melihatku.
"Ki? Lo kenapa?" tanya Dino pelan.
"D-Dino, lo bisa jelasin tentang ini?" tanyaku to-the-point sembari memperlihatkan gambar di ponselku. Getar di tanganku mulai semakin bertambah ketika melihat wajah Dino yang tadinya teduh, berubah menajam.
Aku tidak sadar, sungguh. Tadi itu refleks, aku bahkan terkejut dengan reaksiku sendiri. Namun semuanya sudah terlambat, Dino menatapku dengan tatapan dingin. Membuatku gemetaran, Dino tidak pernah menatapku seperti itu.
Di situ aku merasa, Dino yang hangat sudah menghilang.
Apa ini? Apa maksudnya? Kenapa secepat itu dia langsung jadi orang yang berbeda. Tidak, tidak, atau dari dulu, aku tidak tahu telah bersama dengan orang yang bukan dirinya.
"Keluar," ucap Dino singkat.
Dari situ, aku sadar bahwa ternyata aku tidak menyukai Dino yang sebenarnya.
"Tapi lo bel⎯"
"Gue bilang keluar!" Dino meninggikan suaranya.
Aku menyukai orang lain, aku menyukai Dino, Dino yang berpura-pura.
Teriakan Dino membuat mataku melebar, tiba-tiba dadaku sesak, dapat kurasakan pandanganku memudar, berkaca-kaca.
Dengan badan yang gemetaran, aku segera membuka pintu mobil dan pergi dari mobil Dino sambil menghapus air mataku kasar.
Flashback end
Aku sampai di depan perpustakaan. Baru saja kakiku mengambil satu langkah memasuki perpustakaan yang lenggang itu, kakiku tiba-tiba berhenti melangkah begitu mendengar suara Aidan.
Aku mengintip dari balik pintu perpustakaan, Anya dan Aidan sedang berhadapan, mereka memasang tampang yang tidak main-main.
Karena takut mengganggu, aku memutuskan untuk tetap berdiri seraya mengintip. Juga menguping mereka, mungkin aku akan berbicara ke Anya setelah Aidan selesai.
"Kenapa semua gambar gue ada di lo?" aku mendengar Aidan berbicara dengan nada datar, namun dapat kulihat samar-samar wajah Anya yang terlihat takut.
"Eh, um ... itu ..." kudengar Anya berbicara, suaranya agak bergetar.
Aku mengernyit, sebenarnya ada apa?
***
Anya's POV
"Kenapa semua gambar itu ada di lo?" tanya Aidan datar dan dingin. Aku menunduk, tidak berani melihat wajahnya.
"Eh, um ... itu .. ." sial, suaraku bergetar.
"Sejak kapan?" tanya Aidan dingin. "Sejak kapan lo ngumpulin sketsa-sketsa gue?"
Aku masih menunduk menahan getir. Semua sudah berakhir.
"Kenapa lo ngumpulin sketsa-sketsa gue dari tempat sampah?" suara Aidan meninggi, membuat tundukanku semakin dalam. "Lo tau dari mana?"
Aku tetap menunduk, sama sekali tidak berani menatap Aidan.
Kudengar Aidan menghela napas, lalu ia berkata, "Mungkin sudah waktunya gue ngasih tau semuanya ke lo," ucapnya.
Aku terbelalak. Refleks, aku mengangkat kepala, menatap Aidan yang pandangannya sudah mulai meneduh. Aku mengernyit melihat perubahan ekspresinya.
"Soal apa?" tanyaku, berlagak bingung. Tapi sebenarnya aku sudah tahu apa yang akan terjadi.
Ini waktunya, beberapa detik lagi gue akan tau semuanya, bukankah dari dulu ini yang gue mau?
Aku mengepalkan tangan erat-erat, mataku tidak melepaskan pandangan dari matanya.
Tapi ... Kenapa gue gak senang? Kenapa gue malah mau menutup telinga?
"Anya, lo tau gue selalu ngegambar apa yang gue suka, kan?" tanya Aidan sambil tersenyum, membuatku bertambah heran. "Begitu juga dengan cewek itu, lama sebelum hari ini, gue mulai ngegambar dia karena gue rasa gue suka dia."
Aku tertegun, hanya bisa mengangguk.
Pandangan cowok itu semakin meneduh. Lalu ia merogoh tasnya, mengeluarkan buku sketsa. Aidan menatap buku sketsa itu sebentar.
"Gue selalu gambar apa yang cewek itu lakuin. Tapi di kertas-kertas yang baru gue tau ternyata lo kumpulin, gue gak pernah gambar wajahnya, kan?" Aidan memberi jeda. "Gak pernah, itu karena kertas-kertas itu cuma cara gue buat nyalurin hobi, hanya saja cewek itu gue jadiin objek. Itu juga alasan kenapa gue selalu buang sketsa yang wajahnya gak gue gambar. Tapi ... gue nyimpen semua gambar utuh di dalam buku sketsa. Gambar utuh dengan wajah, gambar yang bakalan gue kasih ke cewek itu di saat yang tepat ada di dalam buku ini. Lo boleh liat wajahnya." Aidan menyodorkan buku sketsanya padaku.
Dengan tangan yang gemetar, aku menerima buku itu. pelan-pelan, kubuka isinya. Kulihat halaman pertama, di saat itulah mataku sontak terbelalak. Jantungku semakin berpacu begitu membuka halaman demi halaman.
"Kayaknya lo penasaran banget, sampai ngumpulin gambar-gambar yang gue buang, dan lo udah cukup gue percaya, Anya, makanya setelah berpikir, mungkin gak apa-apa kalau lo tau sekarang," ucap Aidan. "Jadi ... kayaknya sekarang sudah waktunya gue kasih tau semua ini ke lo."
Aku diam menunduk, tidak tau mau berkata apa lagi. Bahkan ekspresi wajahku tidak ingin kuperlihatkan.
"Lo udah liat, kan? Iya, cewek yang gue gambar itu Kira." Aku menunduk mendegar itu, tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Jauh sebelum hari ini, gue mutusin untuk mulai ngegambar dia karena gue pikir waktu itu, gue suka sama Kirana Muthiara."
***
DRR!
Jadi yah sudah terungkap soal siapa yang Aidan gambar kan? Tapi ini belum konflik paling tengah ya, masih ada misteri yang belum terkuak, Sketchers secret tidak hanya berputar-putar di sketsanya Aidan doang hehe. semoga kalian tidak bosan dan jangan benci sama Kira atau Aidan ya ngehe:c karena kalau kalian perhatiin, jadi Kira sama Aidan juga gak mudah hehe
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top