Empat Belas|Manis

       Dear Penny,
  
       Rasanya benar-benar melegakan ketika bercakap-cakap kepada seseorang lalu hal buruk di hari kemarin terasa seolah tidak pernah terjadi.

                                 ***
(Better with the music from multimedia// Daughtry-Start of Something Good.)  

      Aku duduk menghadap jendela, kamarku yang terletak di lantai dua ini membuatku bisa lebih leluasa melihat suasana di luar rumah. Aku sesekali memejamkan mata ketika angin kencang yang dingin menggelitik wajahku. 

       Di luar gelap dan buram, hujan belum reda sedari tadi siang sewaktu aku pulang dari sekolah bersama Aidan, malah bertambah kencang dan lebat. Juga disertai guntur dan petir.

     Aku termenung, menopang dagu dengan lipatan tangan. Lalu mataku terfokus ke benda yang terletak rapi di atas karpet lembut. Benda itu adalah jas hujan dan sepatu plastik laki-laki yang baru kudapat sepulang sekolah tadi.

       Itu milik Aidan, ia menitipkannya kepada Pak satpam untuk kemudian diberikan padaku. Aku tersenyum kecil begitu mengetahui Aidan yang tadi tidak memakai jas hujan dan sepatu, lalu ia basah terguyur hujan.

      Otakku memutar kilas balik di mana Aidan mengucapkan kata-kata ketus karena melihatku memegang buku sketsanya, di mana Aidan hanya menatapku dingin dan kosong, moment di mana Grace telah memutarbalikkan semuanya.

      Tidak mungkin Aidan memberikan jas hujan dan sepatunya itu tanpa alasan, kan? Lagipula mana mau ia basah kuyup untuk orang yang mengecewakannya?

      Lalu untuk apa Aidan memberikannya?

***

Aidan's POV

Flashback

      Aku menysuri koridor yang sudah sepi, sekarang sudah lewat dari jam pulang sekolah. Karena tadi sempat latihan basket bersama Thio dan anak-anak klub yang lain, aku jadi harus pulang terlambat.

      "Gue duluan, ya! Keburu hujan deras. Motor lo udah diperbaiki, kan?" Thio menepuk bahuku, lalu ia berlalu bersama Varo.

      Aku hanya menjitak belakang kepalanya sembari terkekeh.

     Ces ... Ces ... Ces

      Rintik-rintik hujan dari luar koridor mulai terdengar, aku mendekat ke arah jendela dan mulai menelusuri suasana luar.

      "Gelap bener, bakalan hujan deras nih kayaknya," gumamku pelan. Aku melirik jam, empat lewat dua puluh menit.

      Aku mempercepat langkah melewati koridor yang gelap, hari ini lampu tidak dinyalakan. Namun langkahku yang cepat berubah menjadi pelan begitu melewati kelas yang tidak asing. Kelas itu kosong, eh ralat, tidak kosong. Melainkan masih ada satu siswi yang kelihatan menyapu lantai dengan asalan.

      Cewek itu kelihatan buru-buru, lalu selesai menyapu, ia melempar sapu itu ke pojok ruangan begitu saja. Menimbulkan suara gedebuk yang keras.

      Dia⎯Anya, sedang membereskan barang-barangnya yang berhamburan di atas meja. Tak sadar, aku sudah memperhatikannya selama lima menit.

      Aku menghela napas berat.

       "Anya sakit waktu itu, dan dia malah milih lo ngejauhin dia daripada harus ngeretakin hubungan lo sama Grace."

      Aku teringat ucapan Kira beberapa hari lalu

      Aku tersenyum sendu.

      Aku menghela napas sambil geleng-geleng kepala, "Anya ... Anya ...."

      Lalu aku kembali menatap hujan yang sudah mulai turun dengan derasnya, sangat deras. Lalu aku berlari menuju pintu keluar, suara hujan dan guntur yang mulai menyambar, menyamarkan suara derap langkahku.

       "Aish!" Aku menggertu sembari mengacak rambutku begitu melihat tempat parkir yang kosong melompong. Hanya ada satu kendaraan yang terparkir, dan itu motorku.

      "Tuh anak pasti sendirian lagi!" Aku masih bergumam. Tadi pagi Reza pergi bersama Lya, itu berarti tidak akan ada yang menjemput Anya. Dan itu buruk. 

      Aku terlonjak begitu guntur dan petir mulai muncul bersamaan, "Anjir!" seruku terkejut. Lalu aku mulai menerobos hujan dan pergi ke pos satpam, pos itu terletak tepat di samping gerbang sekolah.

       "PAK!" teriakku lega begitu melihat Pak Satpam masih duduk di pos itu, membaca koran sambil terkantuk-kantuk.

     "Eh, eh, iya dek! Kenapa?" tanyanya kaget, koran yang ia baca terjatuh ke lantai.

      Aku berpikir sejenak, lalu menatap sepatu plastik yang kukenakan. Aku selalu memakainya di musim hujan seperti sekarang, lalu aku mengecek tasku.

      "Sialan!" aku mengumpat begitu selesai memeriksa tasku itu, aku tidak menemukan benda yang kucari. Biasanya jika memakai sepatu plastik, aku selalu membawa sepatu kets lainnya. Tapi sialnya, aku tidak membawa sepatu cadangan itu.

      "Pak, kalau kita makai sepatu basah pas abis sembuh dari sakit itu bakalan sakit lagi, gak?" tanyaku bodoh. Entah kenapa pertanyaan itu keluar secara spontan.

      "Ya iyalah, dek," jawab Pak satpam itu cepat, menganggapku sebagai orang tolol. "Emangnya kenapa?" tanya Pak satpam itu lagi. 

       "Sial," aku mengumpat. Segera kubuka sepatu plastik yang kupakai, tersisa telapak kakiku tanpa balutan apa-apa.

      Pak satpam itu menatapku bingung, "Kenapa sepatunya dibuka, dek?" tanyanya heran.

        Aku tidak menjawab, kuambil lagi sesuatu di dalam tasku. 

      Jas hujan. 

      Kuserahkan sepatu plastik dan jas hujan itu kepada Pak Satpam, "Pak, nitip ini ya, tolong kasih ke siswi yang namanya Anya. Ciri-cirinya ...." Aku berpikir sejenak, "Oh, iya, badannya kecil, rambutnya cokelat-cokelat dikit di bawah bahu, tasnya warna biru muda, bakal ketahuan kok kalau satu kali lihat," jelasku.

      Dengan kaki tanpa sepatu⎯ah, andai saja aku bawa sepatu cadangan. Aku mulai berbalik meninggalkan pos itu.

      "Eh, dek." Aku menoleh begitu mendengar Pak satpam itu memanggil. "Kalau kamu gak mau dia basah, kok gak sekalian dianterin aja?" tanya Pak satpam itu.

      Aku menghela napas, ternyata mereka tidak memanggil Pak satpam ini dengan julukan 'kepo' tanpa alasan yang kuat. "Ada masalah yang susah dijelaskan, Pak," jawabku agak malas. Lalu aku segera meninggalkan pos itu, menaiki motorku dan mengebut menerobos hujan lebat.

       Ah, gak papa deh, itung-itung bisa jadi ungkapan rasa terima kasih. Atau rasa bersalah. 

Flashback end

***

Anya's POV

     Gawat! Gawat! Gawat!

       Aku sekarang sedang berlari menyusuri koridor sekolah yang panjang, sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Itu berarti koridor sudah sepi dan sunyi.

       Aku berlari, nafasku memburu. Kurasakan kakiku yang mulai panas dan pegal. Bukan, aku berlari bukan karena takut terlambat.

        Sialan! Bisa-bisanya aku lupa kalau hari ini adalah hari sabtu! Mana Kira terus-terusan menghindar lagi.

      Aku tahu anak itu sedang menyembunyikan sesuatu, dan aku mencurigainya. Tapi tidak! Tidak ada waktu untuk memikirkan Kira sekarang. Ada masalah yang seratus kali lebih gawat.

      Lariku mulai melambat, suara napasku yang ngos-ngosan mulai terdengar. Sekarang nyeri dan panas di kakiku sudah mulai hilang.

      Aku menoleh ke kelas yang berada tepat di sampingku, kelas XI-9. Mataku melebar besar begitu melihat seseorang yang ada di dalamnya. Ini dia masalah besarnya.

        Aku mulai berdebar-debar panik begitu melihat orang yang menjadi masalah besar itu. Dia adalah ... Bu Tati!

      Siapa yang tidak kenal dengan razia mematikan Bu Tati? Asal ada satu barang saja yang melanggar aturan ... GREP! Langsung diambil, dihukum, dan dimasukkan ke dalam death note-nya.

       Iya, Bu Tati punya death note! Tidak ada siswa yang tidak takut padanya. Apalagi ketika hari sabtu datang, Bu Tati akan datang ke kelas dan melakukan razia yang menakutkan. Lebay memang, tapi percayalah, semua siswa pemikirannya akan sama denganku jika menyangkut Bu Tati.

      Razia itu dinamakan: "Tati on Fire" oleh anak-anak satu sekolah.

      Dan dengan bodohnya aku lupa bahwa hari ini adalah sabtu, dan coba tebak apa yang kupakai? Sepatu kets dengan tali berwarna merah tua, MERAH TUA! padahal seharusnya tali sesuai aturan adalah warna hitam atau putih. 

     Masalahnya bukan perihal nanti aku harus pulang tanpa tali sepatu, tapi kalau kena razia, kita bakal jadi bahan tontonan. Kalau cowok sih mendingan, tapi kalau cewek dan dikerumuni banyak orang? Siapa yang mau coba?

      Aku buru-buru masuk ke kelasku, kelas XI-11. Aku harus cepat-cepat, Bu Tati sudah ada di kelas XI-9. Tersisa satu kelas lagi, maka giliranku tiba.

      "Woy? Ada yang punya tali sepatu hitam, gak?!" tanyaku panik, aku mulai melompat-lompat kecil.

      "Gak ada!" seru teman-temanku kompak.

       Mati . 

      Dengan uring-uringan, aku segera berlari menuju lokerku. Aku berbalik sebentar, Bu Tati sekarang sudah ada di kelas XI-10. 

     Gawat.

      Aku segera mengerem ketika lokerku sudah terlihat sepuluh langkah di depan. Oh, tolong katakan tali sepatu hitamku masih ada di sana.

      Dengan cepat, aku membuka sepatuku. Siapa tahu tali hitam itu masih ada di sana, jadi aku sudah tidak repot-repot lagi, tinggal pasang.

        Tanpa sadar, tanpa dugaan, aku malah merasakan lututku membentur lantai. Telapak tanganku terasa panas dan nyeri, lalu refleks kurasakan sakit yang berkelebat.

       GEDEBUK! Aku terjatuh. Sial, selalu saja begitu.

       "Astaga!" seruku kemudian ketika kedua sepatuku terlepas dari tangan. Kedua pasang benda itu terbang melayang dengan gerakan slow-motion.

        Lalu berhenti terlempar ketika keduanya terjatuh tepat di depan kaki seseorang, membentur telapak kaki cowok yang terbalut sepatu converse, sepatu yang tidak asing.

      Aku yang masih meringkuk di lantai, tidak dapat melihat badan dan wajah cowok itu. Hanya sepatunya saja, juga sepatuku yang tergeletak tak jauh dari situ.

      Ck, tidak niatkah dia membantuku berdiri? Atau setidaknya menyerahkan sepatuku kembali? 

       Dengan susah payah, aku akhirnya bisa berdiri. Lalu mataku terbelalak sempurna begitu melihat siapa si empu-nya kaki tadi.

       "A-Aidan?" Aku bengong.

       Aidan menatapku dengan pandangan yang datar, sama seperti waktu itu. Aku yang melihat tatapan itu langsung menunduk, lalu menghela napas berat.

       Selama sepersekian detik itu, kami hanya diam. Aidan masih menatapku kosong, aku hanya terdiam. Mengingat hubungan kami yang agak ... entahlah.

       Aku tidak tau harus berbuat apa. Mau mengambil sepatuku yang tergeletak di dekat Aidan, Awkward sekali, mana dia gak pindah-pindah sama sekali dari situ. Mau bertanya soal jas hujan dan sepatu cowok yang kemarin, gak ada waktu dan terkesan terlalu tiba-tiba. Mau minta maaf, bad timing.

        Tiba-tiba, suatu hal yang tidak terduga terjadi dan itu berhasil membuatku kaget sampai terperangah.

       Aku terkejut melihat reaksi Aidan, ia memungut kedua sepatuku yang tak jauh darinya, lalu ia berlari. Membawa kedua sepatu itu.

       Tunggu dulu, otakku masih harus mencerna.

     Aidan.

     Aidan lari.

     Dan ia lari membawa sepatuku.

       "EH?!" aku menatap kakiku yang hanya terbalut kaus kaki putih. "Eh! Tunggu! AIDAN LO KENAPA SIH!"

        Bukannya Aidan sedang ... lalu kenapa dia membawa lari sepatuku? Aku sebenarnya masih belum connect ke server, tapi sumpah ini terlalu absurd, ngapain sih dia tiba-tiba begitu? 

      Karena tidak ada pilihan lain lagi, Dengan pikiran yang masih kacau, aku hanya ikut berlari, mengejar Aidan memutari koridor.

***

      Tersisa tiga menit lagi, dan bel masuk akan berbunyi. Tapi aku masih berputar-putar di sini. Sungguh, aku ingin menangis.

       Kini koridor sudah sepenuhnya sepi, semua siswa sudah masuk ke dalam kelas masing-masing. Aku sudah capek mengelilingi sekolah, rasanya napasku mau berhenti dan sekarang aku sudah kembali lagi ke tempat tadi, di dekat lokerku, tempat di mana Aidan dengan random-nya mengambil sepatuku dan lari.

      "AISH!" Aku mengacak rambutku frustasi, pakaianku sudah amburadul karena berlari terus. Napasku rasanya sudah hampir habis.

       "Aidan!" seruku muak, sudah seratus kali aku memanggil nama cowok itu. Aku panik, kacau, stress, sedih, dan bingung di waktu yang bersamaan.

       Bukannya sekarang Aidan menganggapku musuh? Berarti Aidan mencuri sepatu musuhnya, aneh sekali. Aidan-mencuri-sepatu-musuhnya.

      Tapi untuk apa? Untuk balas dendam?

      Apa-apaan sih dia? Emang umurnya berapa? Lima?!

       Namun rasa panik, kacau, stres, sedih, dan bingungku bertambah menjadi satu rasa lagi. Yaitu terkejut.

       Mataku terbelalak kaget begitu melihat sepasang sepatuku yang tadi dibawa lari Aidan sudah tergeletak rapi di depan lokerku.

       Aku berlari dan menggenggam sepasang sepatu itu layaknya Ibu yang baru saja menemukan anak semata wayangnya setelah sepuluh tahun berpisah. 

        Kenapa sepatuku tiba-tiba ada di sini? 

        Aku segera mengenakan sepatu itu. belum terlambat, aku tidak peduli lagi tentang alasan Aidan, ataupun razia Bu Tati, kalau nanti aku harus pulang tanpa tali sepatu atau dikerumuni banyak orang sambil diomeli, aku gak peduli. Aku hanya ingin masuk kel⎯

       "Eh?" aku melotot sempurna begitu melihat tali sepatuku yang tadinya merah tua, berubah menjadi warna hitam.

***

       "Bagus, kamu sudah lolos pemeriksaan." Bu Tati menepuk-nepuk bahuku. Matanya yang tajam menatap manik mataku sekilas, lalu ia berjalan keluar dari kelasku.

      Aku mengangguk kosong, larut dalam kebingungan. Kutatap sepatu bertali hitam itu lagi, lalu duduk kembali. Jadi ini yang namanya perasaan gado-gado? Semuanya bercampur dalam pikiran, lalu saling bertabrakan.

       Seisi kelasku menatapku dengan pandangan yang seolah mengatakan: "Darimana lo dapet tali sepatu?"

      Lalu aku menjawabnya dengan pandangan yang seolah mengatakan: "Gue juga gak tau."

        Lima menit kemudian, terdengar teriakan kencang Hannah, wakil ketua kelas dari bingkai pintu. "Woy! Woy! Cepetan ada yang kena razia, tuh!" teriak Hannah heboh.

       Sebagian dari siswa di dalam kelas segera menyerbu keluar, ingin melihat siapa lagi korban malang kali ini.

      Well, melihat siswa yang kena razia memang selalu menjadi tontonan yang menarik.

        Aku akhirnya sampai ke depan rombongan siswa-siswi yang sedang berkerumun. Wow! Kerumunannya sebanyak ini? Mana cewek semua lagi.

      Karena penasaran, aku segera menyerobot kerumunan itu dengan susah payah. lalu melotot lagi untuk yang kesekian kalinya ketika melihat siapa yang sedang dimarahi sekarang.

       Cowok itu terlihat santai saja walau sudah diomeli oleh Bu Tati. 

      Pantas saja kerumunannya sebanyak ini.

      Dia-Aidan, beridiri di tengah-tengah kerumunan, menjadi pusat perhatian dalam sisi negatif untuk yang pertama kalinya. Untuk yang pertama kalinya, Aidan si cowok most-wanted sekolah dijadikan pusat perhatian untuk hal yang negatif.

      Tidak seperti orang-orang lain yang pernah diomeli Bu Tati menunduk, menangis, ciut atau apa pun itu. Tapi Aidan malah santai sesantai-santainya, benar-benar mencerminkan dirinya.

       Aku menelusuri Aidan, lalu ternganga begitu melihat sepatu yang ia kenakan. Aku menatap sepatuku, lalu kemudian kembali menatap sepatu Aidan.

     Sepatunya Aidan tetap sama, namun talinya berbeda. Talinya berwana merah tua.

***

     Aku duduk sendirian di bangku taman yang sudah ku-landmark itu. Hanyut ke dalam rasa bingung yang berputar-putar di kepalaku.

      Kutatap lagi sepatu bertali hitam yang kukenakan itu. Aku tau banyak hal yang semakin kupirkan, semakin membuatku bingung :

      Satu, kemarin Aidan memberiku jas hujan dan sepatunya.

     Dua, dan ia dihujani karena itu.

     Tiga, tadi Aidan mengambil sepatuku

      Empat, dan ia menukar tali merah tuaku dengan tali hitam miliknya.

      Lima, dan lagi ia ditahan Bu Tati karena itu.

     Aku meneguk es teh manis di tanganku, kutelan semuanya hingga tandas.

     Sebenarnya apa yang ada di dalam kepala Aidan?

     Aku menunduk, terus menatap rumput sembari berpikir. Memfokuskan mataku pada sepatu bertali hitam yang keliatan tidak cocok dengan sepatuku.

      Aku nyaris menyemburkan es teh manis di dalam mulutku begitu melihat sepasang sepatu bertali merah tua muncul di depanku.

      Aku buru-buru menangkat kepala, lalu melihat si empu-nya sepatu.

      "A-Aidan?" tanyaku sembari meneguk ludah, persaan gugup mulai berkelebat.

       Aidan tetap diam bergeming, menatap tajam mataku dengan pandangan kosong yang dingin. Membuatku takut dan lesu.

      "Anya," panggil Aidan lirih.

       Untuk tiga minggu ini, baru kali itu Aidan memanggil namaku. "Y-ya?" jawabku gemetaran.

      "Gue minta maaf."

       Aku membeku, walaupun sekarang aku menganga bak orang tolol, aku tidak peduli lagi. Rahangku serasa mengeras, otakku dipenuhi beribu pertanyaan.

      "A-apa?" tanyaku bego.

       "Lo tuh tuli, ya? gue bilang maaf!" Aidan memaki, membuat pikiranku semakin bertubruk-tubruk. "Gue tau lo udah denger, dan gue tau otak lo yang lemot itu masih loading. Gue pergi dulu, mau tanding basket." Lalu cowok itu pergi begitu saja.

       Aku hanya terbengong-bengong menatap punggung Aidan yang perlahan-lahan menghilang.

      Aidan baru saja mengatakan 'maaf'

      Beberapa detik kemudian, mataku langsung membelalak kaget. 

***

       Aku berjalan terhuyung-huyung menuju tempat parkir sekolah. Kepalaku dipenuhi berbagai macam pertanyaan:

      Kenapa Aidan minta maaf?

     Dia kesambet apa?

     atau jangan-jangan ada seseorang yang memberitahu hal sebenarnya?

     Hari ini aku pulang tepat waktu. Wali kelas ataupun Pak Sukirman, tidak ada yang menyuruhku sesuatu yang penting.

     Koridor tentu saja masih ramai, bising dari siswa-siswa lain itu sama sekali tidak bisa mengganggu. Otakku hanya dipenuhi oleh satu orang.

      Aku terkejut begitu sampai di depan pintu gerbang sekolah, seseorang mencengkram pergelangan tanganku, lalu menariknya. Siswa-siswi yang berhamburan keluar gerbang sontak menoleh ke arahku sekilas.

       Tarikan kencang dari orang itu berhasil membawaku ke dalam tempat parkir sekolah, aku yang terkejut plus marah langsung mendelik ke arah orang yang masih mencengkram pergelangan tanganku itu. "Kurang ajar lu, ke⎯" Lalu aku membeku ketika melihat wajahnya.

       Aidan di sana, tersenyum manis padaku.  Lesung pipinya samar-samar terlihat, pandangannya hangat. 

      Cakep banget asli.

       "Oi? Kenapa bengong?"

       Lalu mataku berkedip-kedip cepat, segera kualihkan pandanganku.

      Walaupun masih bingung setengah hidup, aku hanya terkekeh. Membuat Aidan tersenyum lagi, tersenyum lebar.

       Wah gila.

      "Nih," Aidan tiba-tiba menyodorkan helm padaku. Aku diam membeku, "Buruan pake, panas nih."

      Aidan membenturkan pelan helm itu ke dahiku, membuatku sadar dan terbelalak. Tanpa mengatakan apa-apa, aku menerima benda itu dan segera memakainya.

       "Cepetan naik, lo mau pulang atau enggak?" tanya Aidan sembari duduk di atas motornya. Masih tersenyum.

       Dengan perasaan yang campur aduk, aku akhirnya menuruti permintaannya.

      Hari itu, semuanya kembali terulang.

     Hari itu, aku seperti kembali ke masa sebelum abu-abu.

     Hari itu, semuanya seperti tiga minggu yang lalu.

      Saat motor sudah melaju, kami masih diam. Kulihat Aidan sesekali mencuri pandang ke arah kaca spion.

     Aku pun memberanikan diri untuk bicara, aku berdeham dulu sebelum memulai, "Jadi, Aidan?"

     "Hm?" jawabnya, sepertinya ia agak kaget juga mendengarku akhirnya bicara.

     "Jadi lo kerasukan apaan?"

     "Hah?"

     "Loh kok udah kembali lagi, abis kesandung?" tanyaku, mulai sedikit menyungginkan senyum main-main. 

      "Hmm." Cuma itu jawaban Aidan.

      Aku mengerutkan alis. "Jadi lu gak marah lagi nih?" ucapku dengan nada main-main. "Oi! jawab dong!" Aku menyentil pinggang Aidan hingga ia hilang kendali dan motornya jalan agak belok.

     "Eh anjir Anya, bahaya!"

      Aku menyentil lagi kedua sisi pinggangnya berkali-kali, lalu motor kami mulai jalan terhuyung-huyung.

     "E-eh! WOI! ANYA! TURUN LO TURUN!"

     "HAHAHAHAHA."

      Lalu karnaval, mengecat spanduk, makan di semua tempat baru, semuanya yang dulu sempat hilang, kembali lagi seperti hal buruk setelahnya tidak pernah terjadi, dan aku tidak bisa lebih heran lagi.

     

***

        Sekarang aku sedang duduk di bangku taman yang sudah ku-'landmark' itu. Aku masih tidak bisa berhenti tersenyum mengingat kejadian kemarin, sampai pipiku pegal.

       Namun kembali ke pertanyaan yang sama:

      Mengapa Aidan tiba-tiba melakukan semuanya?

       Aku mengacak rambutku frustasi, lalu aku bangkit, segera berjalan menuju kelasku. Sekarang yang kubutuhkan hanya Kira. Aku butuh solusi dari si goblok itu, sekaligus menanyakan alasan mengapa belakangan ini ia selalu saja menghindar. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu.

       Aku membanting pintu kelas yang tertutup, "Kira!" teriakku heboh.

      "Kira gak ada di sini," kata Hannah, ia sedang mengetik sesuatu di laptop miliknya.

      Spontan, aku berbalik sembari menahan malu. Anak itu! awas saja kalau kutemukan nanti!

      Tapi tidak, sepertinya aku melewatkan sesuatu. dengan cepat, kubalikkan badan lagi, lalu menatap Hannah lekat. Dari balik kacamatanya itu, kulihat dia sedang menahan grogi.

       "Lo gak bohong, kan?" tanyaku sembari memasang senyum songong.

      "Eh, enggak, buat apa?" Hannah malah balik bertanya.

      "Trus itu di bawah meja lo ada apa, tuh? Kok kayak ada sesuatu?" aku berjalan mendekati mejanya, memicingkan mata curiga.

      "Eh-eh, i-itu⎯"

      Tanpa permisi aku membungkuk, menelusuri setiap bagian dari bawah meja Hannah, lalu aku tersenyum songong lagi.

       "Kira lo gak usah ngumpet gitu, keluar. Gue mau nanya sesuatu ke lo."

***

      "Apaan, sih. Lepasin tangan gue, Nya!" seru Kira sembari meronta-ronta. Aku tetap bergeming, menyeret cewek itu menuju bangku taman yang biasanya. "Bisa-bisa tangan gue putus!"

      "Eleh, lebay." Aku duduk di atas bangku taman itu, mengisyaratkan Kira untuk ikut duduk juga.

      Kira yang sudah kedapatan itu langsung memutar bola matanya, lalu ia duduk sembari menghela napas berat.

      "Apa?" tanya Kira.

      "Gini, gue mau nanya." Aku memberi jeda, lalu menatap wajah Kira yang sudah mulai pucat. Dia selalu pucat ketika gugup. Dan ketika gugup, Ia pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tahu semua hal tentang orang yang sudah lebih tujuh tahun berteman denganku itu. "Lo belakangan ini kenapa sering menghindar? Apa yang lo sembunyiin?"

      Skakmat.

     Kira bungkam, ekspresinya pias.

      "Eh, eh, tapi lo harus janji ke gue. Lo gak boleh marah," ucap Kira ragu.

       Benar, kan? Kira sedang menyembunyikan sesuatu. "Gue janji," jawabku singkat menunggu jawaban Kira dengan berdebar-debar.

        "Gue ngasih cincin itu ke Aidan trus gue bilang semuanya tentang buku sketsa di tas elo yang muncul tiba-tiba trus gue ngasih tau soal Grace trus gue nyuruh dia cek itu cincin Grace apa bukan," jelas Kira dalam sekali tarikan napas.

      Aku terbelalak, napasku terasa tercekat.

      Jadi ini sebabnya Aidan minta maaf?

      Berarti benar itu cincin Grace?

       Lalu apa yang terjadi padanya? Pada Grace.

  . Firasatku tidak enak.

***

        "LO DI MANA?!" suara teriakan cowok di ujung telepon membuatku menjauhkan benda itu dari telinga sembari meringis.

        "Santai, Dan. Lo Budek tau!" Aku mengusap-ngusap telinga, "Gue abis dari ruang guru, bantuin Pak Sukirman nyusun dokumen."

       "HAH?! Sekolah udah kosong, Anya!" teriak Aidan lagi, membuatku melakukan hal yang sama dua kali.

      "Lo bisa gak teriak?" Aku mengusap telingaku lagi. "Gue udah mau ke tempat parkir, tunggu aja bentar napa?"

       Lalu aku segera memutus sambungan telepon secara sepihak. Aku buru-buru kembali ke kelas, buku cetak bahasa Indonesiaku tidak ada di dalam tas. Entah kenapa, padahal aku ingat telah memasukkannya ke dalam tas tadi.

      Kupercepat langkahku menuju kelas untuk mengecek apa buku itu ada atau tidak. Jangan sampai Aidan mengomel karena aku terlalu lama.

      Aku sampai di kelas, lalu menelan ludah begitu melihat kelas yang sudah kosong tanpa suara. Semua lampu sudah dimatikan.

     Anjir, serem.

      Dengan cepat aku segera berjalan menuju bangkuku yang sialnya, terletak di bagian belakang. Kuakui, suasananya agak seram.

      KLAP!

     Pintu tertutup pelan tiba-tiba, membuatku mendelik ke asal suara. Aku menelan ludah, ah mungkin hanya angin.

     KLEK!

     Lalu terdengar bunyi gembok pintu yang terkunci dari luar. Napasku serasa berhenti.

     Oh sial, itu bukan angin.

      Aku segera berlari ke arah pintu itu, lalu kutarik gagangnya. Benar, pintu itu tidak bisa lagi terbuka. Gembok besinya terpasang.

     Aku segera menggedor-gedor pintu itu, "Heh! Di sini masih ada orang! Pak satpam! Di sini masih ada orang!" teriakku panik.

     Hening, tidak ada jawaban.

       "Tolong! Jangan dikunci! Di sini masih ada orang!" napasku mulai memburu, kulirik jam. Sudah sore, hampir maghrib, ini resiko jadi anak teladan yang hobi banget disuruh-suruh guru. "BUKA!" aku menepuk-nepuk pintu itu hingga telapak tanganku perih.

      Masih sepi tanpa jawaban.

      "BUKA!" aku berteriak sembari menaik-turunkan gagang besi itu, "TOLONG!" aku melakukan hal yang sama berulang-ulang. Aku panik, tidak ada lagi hal lain yang kupikiran selain pintu di depanku itu.

      Napasku memburu, firasat buruk mulai menjalar, panik mulai berkelebat. Bagaimana jika malam tiba dan gak ada yang tahu kalau gue di sini?!

      Dengan uring-uringan, aku segera merogoh saku dengan tangan yang bergetar hebat. Kuambil ponsel lalu kutekan tombol on, aku telah melakukannya belasan kali, namun benda di tanganku itu tak kunjung menyala.

       Aku mulai menggigit bibir bawah, tidak. Tolong jangan katakan ... baterinya habis. Sial sekali.

       "DI SINI ADA ORANG!" aku kembali berteriak sembari menggedor-gedor pintu itu.

      Aku berbalik perlahan, kegelapan pekat langsung menyambut. Lampu tidak dinyalakan, deretan kursi terlihat berkali-kali lipat jika semuanya kosong, tidak ada yang duduk di atasnya.

       Aku menatap ponselku yang lowbat, sekarang bagaimana? Rasanya aku ingin menangis, sungguh. 

      Lalu satu nama yang kemungkinan besar bisa menolongku sekarang terngiang di dalam kepalaku.

       "AIDAN TOLONGIN GUE ELAH!"

***

     Aku gak begitu jago bikin scene-scene sederhana yang manis, takut ketuker sama scene yang kelewat manis dan ujungnya jadi cheesy '-' semoga yang ada di chapter ini dan chapter sebelumnya itu bisa buat kalian dapat feel yang sama dengan yang  kudapat dari novel-novel sweet yang biasa aku baca:) dan ... soal scene yang paling terakhir itu, menurut kalian apa yang bakalan terjadi?

With Joy,
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top