Dua Puluh Tujuh|Hitam Putih

     Dear Penny,
 
      Hari itu kita tidak memasang tangis karena waktu yang sudah dekat menuju perpisahan, sebaliknya kita malah mengukir senyum karena memutuskan untuk menikmati waktu yang tersisa, walau mungkin hanya sisa satu hari saja.

***

Previously

"Karena itu, gue mau yang terbaik buat lo," jeda. "Walau itu berarti gue harus pergi dan gak bakalan kembali lagi."

Aku memejamkan mata, tenggorokanku tiba-tiba sesak.

"It's over then," ucapnya pelan. pandangan kami saling bertemu. "I'am done."

-

-

"Dan lagi," ucap Lya. "Lo gak boleh sama sekali ngehubungin Anya kalau ia udah di Seattle nanti, itu kata ortu dia. Dan gue juga setuju, karena semakin lo hubungin dia, Anya malah makin sedih." Lya menatapku lekat. "Gue harap lo ngedukung ini, karena semuanya juga buat kebaikan Anya, dan lo sendiri."

***

Anya's POV

        Aku menggerakkan telapak tanganku yang bergetar, menekan kontak bernama "Kira." Begtu melihatnya sedang on di Skype.

      Aku menegakkan posisi iPad, menyandarkannya di bantal. Beberapa detik kemudian, wajah Kira muncul di layar. Aku tersenyum lemah.

         "Astaga, Anya!" suara Kira langsung memekakkan telingaku. "Lo kenapa pucat gitu? jam segini belum tidur, lihat lingkaran hitam di mata lo itu udah kayak eye-liner luntur."

      "Lo juga belum tidur jam segini lagi    ngapain?" aku memutar bola mataku main-main. "Btw, kamar lo gelap banget. Awas ada valak."

       "Jangan nakutin gue elah, lampu gue rusak Anya," ucapnya membuatku tersenyum kecil. "Lo habis nangis? Pasti lo begadang karena banyak pikiran kan? Jarang-jarang lo buka Skype malam-malam gini."

       Aku menunduk, memegangi kelopak mata kiriku yang terasa berdenyut-denut. "Kir," panggilku pelan. "Lo juga kelihatan gak baik, suara lo aja riang, muka lo murung."

         "Gue ...," Kira memngambil jeda. "Gue sama Dino udah gak ada apa-apa lagi."

        Sudah kuduga dari awal, pasti hari ini akan datang. "Jangan pernah nyesal sama pilihan lo itu kalau gitu, lo udah lakuin keputusan yang bener," ucapku sembari tersenyum lembut. "Lo gak boleh berjuang sendirian."

     "Tadi dia kelihatan buruk, Anya," mata Kira mulai berkaca-kaca. "Bibirnya kering, luka-luka. Matanya lesu, kulitnya pucat sekali. Gue, gue juga gak bisa liat dia kayak gitu." Suara Kira mulai mencicit serak.

        Aku tersenyum prihatin. "Gue ngerti, Kir. Gue ngerti," ucapku pelan. "Tapi gimana pun juga, lo mesti lupain dia. Gak ada pilihan lain lagi."

        Kira mengangguk. "Udah, udah." Ia mengusap wajahnya, setelah tangannya tersengkit, senyumnya langsung terukir cerah. "Gue males sedih-sedih mulu. Btw, lo belum jawab pertanyaan gue tadi."

      Aku mengerutkan alis. "Pertanyaan yang mana?"

       "Lo abis nangis ya?" tanyanya ulang.

       Aku cuma membalasnya dengan senyum lemah, dikuti dengan tarik napas panjangku setelahnya. "Kir," panggilku.

       "Hm?"

      "Besok lo dateng ya," Aku menelan ludah, susah payah untuk tidak menangis.

       "Hah? Dateng ke mana? Gue gagal paham." Kerutan di dahi Kira mulai bertambah.

       "Ke ... Bandara." Kurasakan pelupuk mataku mulai berair.

      "Ha? Untuk apa?" Wajah muai terliat agak cemas.

      "Seattle, ortu gue mau gue tinggal di sana." Aku menunduk begitu melihat ekspresi Kira yang mulai berubah.

***

Aidan's POV

       "Eh Aidan! Lo mau ke mana?!" Teriakan Reza terdengar di belakangku.

       Aku menuruni tangga sembari memakai jaket biru tua di atas kaus putih polosku. "Nge-date!" seruku spontan.

        "Halah! Sejak kapan lo punya pacar?" tanya Reza sarkastis. "Yang jelas jangan pake mobil! Gue mau pergi!" teriaknya keras pakai urat sepertinya.

       "Bodo amat!" aku balas berteriak sesaat setelah tanganku menyambar kunci mobil di atas meja ruang tamu.

       "HEH!" Lalu terdengar bunyi langkah kaki cepat seperti berlari dari arah kamar Reza. Aku yang kaget refleks membelalakkan mata lalu melipat bibir, berlari sekencang-kencangnya menuju garasi terbuka tempat mobilku terparkir.

      BUK!

      Pintu mobil tertutup bersamaan dengan Reza yang mengetuk-ngetu kaca jendela, suara hujatan dan sumpah serapahnya teredam karena aku sudah berada di dalam mobil. Aku menyalakan mesin, lalu menginjak pedal gas.

        Aku melihat ke arah kaca spion. Lalu dapat kulihat Reza berdiri di depan teras, mengenakan celana pendek abu-abu, tidak mengenakan atasan apa pun sambil mengacungkan jari tengahnya ke arah mobil yang sudah melaju.

       Aku tertawa kecil.

      Sekali-sekali pembangkang tidak apa- apa kan?

       Lagipula aku sedang mengejar waktu.
    
       Siapa yang tau kalau hari ini sudah jadi yang terakhir

***

       Aku melihat ke arah detik durasi berhenti di lampu lalu lintas, aku menyandarkan punggung di jok dengan santai. Sedari tadi, aku merasa ada sesuatu yang hilang.

      Seperti lupa sesuatu.

      Aku melirik ke jok di sampingku, lalu mendapati pensil yang biasanya kugunakan untuk menggambar sketsa tergeletak di sana.

     Aku menepuk dahi. Buku Sketsa!
 
     Lalu perasaan tiak enak muncul di benakku. Firasat buruk. Sudah seharian ini aku tidak menggambar, di rumah sepulang dari rumah sakit juga aku tidak pernah melihat buku sketsa itu.

      Aku mengingat-ngigat lagi

       Pikiranku terlempar ke watku di mana terakhir kali aku menggambar. Dan itu di rumah sakit, sesaat sebelum Lya datang, sesaat sebelum jam Sembilan. Di mana aku berbaring di karpet, dan Anya di atas ranjang rumah sakit.

         "Gue? kalau gue sih punya seseorang yang gue sukai juga. Dan nanti, cepat atau lambat gue pasti ngasih tau perasaan gue ke dia. Iya, iya, gue tau agak aneh karena gue cewek tapi—tapi, entahlah. Yang jelasnya gue bakal ngasih tau semuanya ke dia, pasti nanti. Dan yang jelasnya lagi, bukan sekarang," jelasnya panjang lebar.

       "Gue harap lo bisa cepat-cepat bareng dia," ucapku, tersenyum menatap langit-langit rumah sakit. "Inget, poin utama, jangan minta makanan terus ama dia, kalau lo berdua udah jadian nanti," ucapku setengah bercanda, setengah serius.

       "Untuk poin itu sih, gue udah ngelanggar entah berapa kali haha," ucap Anya, terdengar seperti nada main-main.

      Di saat percakapan kecil itu terjadi.

Flashback 

       "Anya, kalau SMA udah selesai, lo mau lanjut di mana?" tanyaku.

      Tidak ada jawaban.

       Aku berdiri dan mendongak, lalu tertawa kecil begitu melihat cewek itu menutup mata tenang, beruntung posisi tidurnya bagus.

      Lama-lama, tawa kecilku berubah menjadi senyum lembut.

      Aku meraih tas yang kemarin kuambil dari rumah, mengeluarkan buku sketsa dan pensil yang selalu terselip di dalamnya.

      Aku membuka lembaran pertama, lalu kusobek. Lembaran kedua, juga kusobek. Hingga akhirnya ke halaman dua puluh dan semuanya terseobek. Artinya dua puluh gambar Kira kurobek.

        Menyisakan lima belas halaman terakhir dan lima di antaranya sudah kugambari.

      Aku melihat sekilas ke arah halaman keenam yang masih putih dan bersih. Aku naik ke kursi di dekat jendela, wajah Anya terlihat dari sini. Aku tersenyum sekilas, lalu suara khas torehan pensil mulai terdengar.

Flashback end

      AH IYA! Gawat, ketinggalan di rumah sakit!

       Sialan.

       Enam halaman buku sketsa itu tidak boleh dilihat Anya. Sangat tidak boleh!

       Dan dengan mengetahui fakta itu di kepalaku, aku segera menginjak pedal gas kuat-kuat.

***

      Aku setengah berlari melintasi koridor rumah sakit, pasien, dokter, dan suster-suster yang juga lewat di koridor rumah sakit pagi itu menatapku sebentar dengan ekspresi kebingungan

       Buru-buru aku mencari pintu kamar Anya yang bernomor 312. "Tiga ratus Sembilan ... tiga ratus sepuluh ... sebelas," gumamku tidak jelas.

        Raut mencerah ketika mendapati pintu bernomor 312 itu. Aku segera meraih kenop pintu, dalam benakku aku akan masuk dan segera duduk di sofa tempat buku sketsaku terakhir kutinggalkan. Menutupi buku sketsaku di sana, kemungkinan buku itu belum ia lihat kan? Siapa tahu terselip di balik bantal sofa atau jatuh di bawahnya.

       Jantungku agak berdegup lebih cepat dari sebelumnya.

       Aku menggerakkan kenop pintu ke bawah.

       Pintu tidak terkunci. Aku melangkah masuk, lalu segera berjalan senormal mungkin.

       Jantungku serasa berdegup lebih cepat lagi, rencana yang tadi kususun di kepala perlahan runtuh, dan mataku melebar sesaat setelah aku masuk, dan melihat apa yang terjadi.

***

Dino's POV

        "Hey, Nak!" Suara Bob sedikit  membuatku terhentak dan membuat mataku—yang tadinya setengah menutup—kembali terbuka dan terang. "Kau yakin tidak ingin makan? Minum atau apalah itu? belum ada kabar pasti dari orang tua walimu."

         "Berikan saja makanan di depannya, Bob!" seru petugas yang satunya, berbadan berotot yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Kalau dia lapar, pasti juga makanan itu akan ia makan!"

        Aku bahkan sudah tiak merasakan apa-apa, seperti seluruh bagian tubuhku tidak berfungsi. Hanya ada aku dan pikiranku yang hanya tertuju pada satu orang.

      Aku memutar bola mataku sarkastis.

       "Sudah tiga hari dan kau hanya minum dua gelas air." Bob menatapku lekat. "Apa kau tidak merasa sakit? Apa orang tuamu tidak kasihan padamu?"

       Aku bahkan tidak yakin punya orang tua atau tidak.

        Lalu tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras, aku dan dua orang petugas itu sontak menoleh ke arah pintu yang sekarang sudah terbuka lebar, menampakkan petugas perempuan lainnya, rautnya bersemangat campur lega.

       "Wali anak ini sudah datang!"

        Lalu mataku melebar.

***

       "Silakan masuk, tuan," ucap petugas perempuan tadi.

       Namun aku hanya menunduk, tidak berani melihat wajah si pemilik suara langkah kaki yang semakin besar, pertanda ia menuju kemari.

      "Betul anda wali anak ini?" tanya si petugas perempuan.

      "Benar, saya walinya."

       Suara itu. Suara berat nan dingin yang hanya kudengar sepatah-sepatah kata di telepon, suara tajam yang selalu berteriak ke arah Ibu yang dulu melakukan kesalahan, kesalahan yang membuatku lahir, dan kesalahan yang membuat keluarga mereka berantakan.

      Membuat Aidan dan Reza ikut jadi korban, membuatku depresi dan kehilangan satu-satunya orang yang bisa kujadikan tempat bersandar di saat umurku benar-benar membutuhkan seorang yang harus selalu ada di sampingku.

       "Tuan Jonathan Fardhika Nathala?" ulang si petugas perempuan. Membuat seluruh bulu kudukku berdiri hanya dengan mendengar sebutan namanya.

       "Benar, saya Jonathan," jawabnya lagi.

        Lalu semenit kemudian, entah kenapa kepalaku pusing dan pandanganku serasa berputar-putar, membuatku terpaksa mencengkram ujung kursi. Dan begitu kepalaku mendongak, orang itu sudah ada di hadapanku, duduk di seberangku dengan hanya dibatasi meja. Dan para petugas tadi sudah keluar dari ruangan.

        Sontak seluruh tubuhku langsung bergetar hebat bukan main begitu mata kami bertemu. Mata hitam pekat yang gelap dan selalu dingin ketika menatap ke arahku, sama sekali tidak berubah.

       Rahangnya tetap keras, badannya tetap terlihat besar dan kuat. Hanya saja rambutnya mulai putih di beberapa bagian, dan kerutan di wajahnya bertambah.

       "Sekarang masalah apa lagi yang sudah kau lakukan, Dino?"

***

Aidan's POV

         Mataku melebar. Rasanya jantungku yang berdegup kencang memacu cemas terus naik ke kepalaku. Tanganku mengepal begitu melihat kamar itu.

      Kosong.

      Tidak ada lagi Anya, tidak ada lagi dia yang memasang wajah sinis lalu tertawa setelahnya begitu melihatku masuk ke dalam kamarnya, Anya yang tertidur atau sedang makan snack di atas tempat tiurnya. Tidak ada lagi bau stroberi yang khas setiap ia ada di sekitarku, tidak ada lagi barang-barang serba berwarna pastel di kamar itu.

       Seolah kamar itu tidak pernah ditempati oleh siapa pun.

        "Permisi." Aku berbalik begitu mendengar suara ragu seorang perempuan dari belakangku. "Tolong keluar, pintu kamar ini akan segera dikunci," ucap suster berbaju dominan putih itu.

       "K-kemana orang yang menempati kamar ini sebelumnya?" jantungku mulai lagi, keringat rasanya mulai mengucur dari dahiku.

       Suster itu diam sebentar, lalu ia meraih kantongnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil. Jari telunjuknya menerawang lembaran buku itu lalu matanya melebar terang dan menatapku kembali. "Pasien yang bernama Safanya Aluna ya?" tanya si suster sambil masih mengarahkan matanya pada buku kecil di tangannya.

      Aku menelan ludah gugup, lalu mengangguk membenarkan.

       Rasa cemas yang membuat seluruh tubuhku lemas terjadi lagi ketika suster tadi menimang-nimang sebentar lalu mentapku bingung. "Anda tidak tahu?" tanya si suster. "Pasien yang bernama Safanya Aluna sudah keluar sejak sekitar jam setengah enam pagi tadi."

***

     Aku sama sekali tidak tau.

     Aku sama sekali tidak sampai pikir.

     Aku sama sekali tidak pernah menduga.

       Dengan kalap kakiku menginjak pedal gas tanpa menurunkan kecepatan mobil sama sekali. Tanganku yang panik dan bergetar sama sekali tidak memikirkan keselamatan. Pikiranku seolah hanya memikirkan satu hal saja. Membuatku merasa seolah apa yang ada di sekitarku adalah hal yang sepele.

      "Gue minta maaf kalau gue harus bilang waktu pergi kami ke Seattle bakal dimajukan." Nada bicara Lya mulai menegas. "Gue beri lo waktu beberapa hari buat ngabisin hari lo bareng Anya."

     Aku tidak sampai pikir. Ternyata Lya hanya memberi waktu dua hari. Hal yang paling kutakutkan itu pun terjadi. Aku hanya terdiam seperti bisu, pikiranku pergi entah ke mana.

      "B-berapa hari lagi?" aku bertanya singkat.

        "Maaf, gue gak bisa beritahu lo soal itu." jawaban Lya mampu membuatku mati kutu. "Manfaatin waktu lo sebisa mungkin. Gue Cuma pengen buat lo mikirin berapa banyak waktu yang lo habiskan bareng dia sebelum ini, tapi lo sama sekali gak mengharapkannya."

       Sialan.

        Terlalu cepat, ternyata melihat kunang-kunang adalah hal terakhir yang kulakukan bersama Anya.

        Aku bahkan tidak tahu apa yang ada di pikirannya, dan sebaliknya. Apa yang ia rasakan setiap bersamaku, dan juga sebaliknya lagi.

        "HEY BAJIN*AN LO TAU CARANYA NYETIR GAK SIH?!"

          Aku tidak memperhatikan apa pun di sekitarku, roda mobil yang kunaiki sama sekali tidak menurunkan kecepatannya. Hanya melaju datar seperti tanpa jarum yang menunjukkan kecepatan itu hanya memiliki angka-angka tinggi untuk ditunjuk.

       Keringat mulai mengucur di dahiku. Ini lebih meng-khawatirkan dari Anya yang dulunya berada bersama Dino.

        Ini benar-benar mencemaskan, karena kemungkinan besar, satu detik saja terlewati, mungkin wajahnya tidak akan pernah kulihat lagi.

***

Anya's POV

        Aku menatap jalanan dari jendela mobil tanpa ekspresi sama sekali. Dapat kulihat refleksi wajahku, lingkaran hitam yang besar dan kontras dengan kulitku tertera jelas di bawah mata.

        Kau tahu, perasaan yang sering kau dapatkan ketika kau sudah terlalu sedih hingga tubuhmu bahkan tidak tahu harus mengeluarkan respon apa.

       Sangat tidak bisa meninggalkan sesuatu hingga ketika kau tau bahwa sudah beberapa menit lagi sesuatu itu akan hilang, kau sudah merasa kosong dan mati.

      "Lo gak papa?" tanya Lya.

        Pandanganku tetap lurus ke depan, sama sekali tidak berniat untuk menyahut.

      "Listen," Lya menghela napas panjang, namun wajahnya tidak lepas dari kemudi mobil. "Waktu lo gak bisa habis menunggu sesuatu yang Cuma bisa buat lo berhenti di tengah dan gak akan pernah sampai ke titik akhir yang sama, lebih baik lo pakai waktu itu untuk kembali ke awal lain dan mengambil kesempatan menuju titik akhir yang berbeda. Jalan gak hanya ada satu."

       Aku masih tidak mengalihkan penglihatan, wajahku yang tak berekpresi masih menoleh ke kiri dan mencari cara agar bayang-bayang yang setiap kali muncul selalu membuatku ingin menangis, terbuang dari pikiranku.

       "Semua akan mudah, Anya. Karena lo gak tahu apa yang dia rasakan tentang lo, hanya ada lo, dan perasaan lo sendiri." Jeda. "Semua akan mudah, semua akan membuatmu terbiasa, aku harap."

        Lalu turun hujan. Rintik dan bulirnya membasahi jendela mobil pelan.

       Orang bilang menangis saat turun hujan itu menenangkan, karena tidak akan ada orang yang tahu. Kecuali jika ada penghalang, kecuali jika membiarkan orang tahu adalah hal yang terbaik, maka lain persoalan.

       Aku melihat ke jendela, refleksi ku tidak sedang menangis, karena ditutup bulir-bulir air yang lain. Tapi Lya tahu, namun dia hanya diam, membiarkanku beranggapan bahwa tangisku tersamarkan.

       Dulu aku benar-benar percaya pada ucapan Lya. Mengatakan semua akan mudah, semua akan membuatku terbiasa. Iya karena waktu itu aku tidak tahu apa yang kaurasakan, apa yang kaupikirkan ketika melihatku.

        Tapi setahun setelahnya—sekarang—semua terasa sulit, semua terasa membuatku asing. Iya karena sekarang aku sudah tahu apa yang kaurasakan, sudah tahu apa yang kaupikirkan.

      Genggamanku pada kertas-kertas sketsa di tangan semakin mengerat.

       Tahu isi pikiranmu semakin membuatku serasa ditampar karena telah pergi di saat kau sudah merasakan hal yang sama. Hal yang seharusnya sudah membuat kita berdua bahagia jika saja aku tidak pergi.

        Tahu isi pikiranmu semakin membuatku serasa ditampar karena dulunya aku mengira hanya menyakiti diri sendiri saja, tapi tanpa sadar aku sudah menyakitimu juga.

***

Aidan's POV

      Aku menggedor-gedor pagar bercat abu-abu yang membingkai rumah minimalis itu. membunyikan bel di sampingnya hampir tanpa jeda.

       Aku menyandarkan dahiku ke pagar itu sembari memejamkan mata dan mengatur napas yang rasanya benar-benar seperti akan habis, cengkeramanku pada benda besi itu melemas.

      "Hei, lo nyari siapa?" tanya suara di belakangku tiba-tiba.

       Aku menoleh, mendapati seorang perempuan berkacamata tebal dengan rambut acak-acakan menyembulkan kepalanya dari pagar rumah di seberang rumah Anya.

      "Tadi pagi-pagi sekali, si bule yang tinggal di situ pergi sambil membawa tiga koper besar," ucapnya tak jelas karena menguap. "Mungkin mereka akan pergi lama, berhentilah menggedor pagar, lo ngeganggu orang-orang di sini."

      Mendengar itu, aku buru-buru masuk ke dalam mobil lagi. menginjak pedal gas dan sama sekali tidak mempedulikan reaksi perempuan tadi setelahnya. Kembali membelah jalan dengan kalang kabut.

       Aku tidak tahu harus kemana lagi. Di mana kira-kira aku bisa menemukan Anya.

       Bandara.

         Tapi ada lebih dari satu bandara. Kecil kemungkinan jika aku bisa menemukannya tepat waktu jika pergi di kedua bandara satu per satu.

       Aku berhenti tiba-tiba di pinggir trotoar. Kembali menghapus napasku yang kacau, jantungku tidak berhenti berdegup tak beraturan, kerutan di dahiku bertambah. Kusandarkan dahiku ke depan kemudi, pikiranku benar-benar terobrak-abrik.

       Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu.

        GPS itu. Apa mungkin sejak kejadian itu, Anya belum pernah mematikan GPS di ponselnya?

       Tanganku masih penuh adrenalin sampai bergetar, cepat-cepat merogoh ponselku dari kantong celana jeans.

        Mataku menatap nanar penuh harap, sekaligus gugup berlebih begitu melihat bahwa ponsel Anya terlacak walau hanya sekejap.

       Jalan Merak Biru, dan jalan itu  menjurus pada salah satu dari dua bandara tadi. Tidak salah lagi, ia akan pergi ke sana.

       Aku menancap gas, menajamkan mata menghadap jalan, berusaha agar bisa mengemudi dengan batas tinggi tanpa menabrak apa pun, pikiranku hanya fokus pada satu tujuan.

       Tentu saja karena aku tidak ingin menjadikan malam bertabur kunang-kunang itu sebagai waktu bersama kami sebelum ia pergi. Aku hanya butuh melihat wajah dan ekspresinya setelah mengerti semuanya.

       Aku ingin melihat bagaimana perasaannya, memastikan agar ia tidak pernah sedih.

       Sebelum dia pergi, Aku butuh waktu, tidak peduli seberapa singkat itu.

      "Dan gue minta tolong, kalau Anya udah di Seattle, kalian gak boleh saling kontak, itu permintaan orang tuanya. Lo ngerti kan? ini demi kebaikan Anya, dan kebaikan lo juga." 

      Aku langsung teringat ucapan Lya malam itu, ucapan yang kemudian kubalas dengan anggukan, tanda bahwa aku setuju dan aku janji.

        Sekali saja, barang hanya mengobrol sepuluh detik.

       Aku menguatkan cengkraman pada kemudi mobil.

       Karena jika kulewatkan, aku sudah tidak punya kesempatan lagi.

***

Anya's POV

       "Oh ayolah," jeda. "Gue yang ditinggalin kok malah lo yang nangis kan tai." Kira tersenyum main-main melihatku yang susah payah menahan isak.

       "Lo bukannya nangis malah ngeledek kan lebih tai," balasku, menampilkan sedikit tawa di sela-sela ruang ketika air mataku turun.

       Mata Kira berkaca-kaca, tapi bibirnya mengukir senyum. "Lo baik-baik di sana ya nying," ujarnya, menelan ludah begitu suaranya terdengar bergetar. "Jangan suka maksa orang buat beliin lo snack, jangan suka meriksa-meriksa chat orang gak bilang-bilang, jangan gampang marah, kalau tidur di kelas inget bangun, dan kalau ada bule yang sirik, langsung jotos aja biar tau rasa. Oke? Kalau lo udah ada sahabat di sana, jangan malu-maluin ya."

     Aku mengusap pipiku, berusaha tertawa.

        Kira menghela napas panjang, ia tersenyum sedih begitu melihat Lya sudah memberikan isyarat bahwa kami akan segera pergi.

       "Jadi ... gak bakal ada yang nemenin gue nonton ama jalan lagi dong? Gue nyontek nanti ama siapa? Ke kantin sendiri gue kesannya jomblo banget kali ya?" Kira tertawa, tapi air matanya sudah jatuh sedari tadi.

      Aku memeluk Kira hangat.

     "Anjir, dramatis banget lo ah!" serunya main-main, membalas pelukanku juga. "Gue pasti bakal rindu banget sama lo, Nyak."

      Aku melepas pelukanku, tersenyum pada Kira. "Gue juga pasti bakal gitu, Kir."

        Lalu aku berbalik begitu suara Lya terdengar lagi. "Gue pergi ya, Kir. Makasih udah rela jadi kayak pengasuh gue," seruku.

      "Makasih juga udah rela gue pelihara," ucapnya. Mengukir senyum sedih.

       Aku mengangguk sambil segera berbalik, berjalan menuju tempat di mana Lya berdiri seraya menyeret koper di tangan.

       Lya menatapku penuh tanya, aku menjawabnya dengan anggukan yakin.

          "Anya!" sebelum kakiku melangkah, aku mendengar suara teriakan Kira dari tempat kami berdiri tadi. "Jaga diri lo baik-baik ya, nying!"

       Aku tersenyum pada Kira.

      Aku melangkah ke depan, lalu pintu di belakang kami tertutup. Lya menatapku sendu. "Jadi, gak ada lagi kan?"

     Aku mengangguk pelan. Ekspresiku kembali berubah datar dan kosong kembali.

      Belum sampai lima langkah kakiku dan Lya bergerak maju, aku sudah berhenti tiba-tiba, menahan pergelangan lengan Lya, membuat cewek itu berbalik.

       Aku menunduk sebentar, menunduk, memperhatikan ponsel di tangan, memastikan bahwa GPS-nya menyala.

       "Lo bisa berhenti sebentar?" tanyaku , membuat Lya menatapku penuh tanda tanya. "Gue—gue mau nunggu seseorang."

***

Aidan's POV

      Deru mesin mobil yang melaju kencang sampai terdengar hingga ke dalam, membuatku menelan ludah gugup entah yang keberapa kalinya hari ini. Ini jalanan pusat kota yang padat, besar kmungkinan di jam seperti ini, macet di mana-mana.

        Sejauh ini jalan masih mulus saja hingga akhirnya tiba waktu sekarang, di mana aku menjotos setir mobil karena adrenalin dan kegugupanku yang tertahan berubah menjadi emosi ketika melihat mobil di depanku berhenti.

Aku menengok lebih jauh, dan ternyata mobil di depannya ikut berhenti. Kiri dan kananku diapit mobil –mobil yang jaraknya rapat.

     Sial!

       Tempat di belakangku juga sudah diisi dengan mobil lain. Emosiku memuncak, tanganku mengepal, dalam hati aku tidak berhenti mengumpat. Kupijat pelipisku menahan diri agar tidak menancap gas menuju jarak  mobil di depanku.

       Aku merogoh ponsel dari saku lagi, bibir bawahku kugigit begitu melihat GPS Anya masih berada di tempat yang sama.

      Aku terjebak macet. Di saat seperti ini.

***

Anya's POV

     "Lo nunggu siapa?" Dahi Lya mengerut curiga, melihat ekspresi tidak tenangku yang sedikit-sedikit selalu melihat jam atau ponsel.

        "Lya," panggilku. "Tolong biarin gue   nunggu dulu sampai waktu berangkat kita mepet. Nanti kalau dia belum ada juga, kita pergi kok."

       "Kita gak bakal tinggal kalau lo gak mau ngasih tau gue siapa yang lo tunggu!" Nada suara Lya mulai menegas.

       Aku menelan ludah gugup.

      "Siapa yang lo tunggu? Jujur," tegasnya agak menekan.

       Aku memejamkan mata pelan, menghela napas panjang. "Lya, dua puluh menit tolong. Kalau enggak, lima belas menit atau sepuluh menit aja biarin gue tinggal dulu." Aku memohon.

        "Kita gak bakalan tinggal selama semenit pun kalau lo gak ngasih tau siapa yang mau lo tunggu." Mata Lya menajam. "Jawab Anya, siapa yang lo tunggu?"

***

Aidan's POV

      Mataku menatap tajam ke arah mobil di samping kiriku, jarak dengan mobil di depannya agak sedikit terlalu terbuka. Sementara jalan di sampingnya lagi cukup lebar.

      Aku hanya perlu menunggu saat ...

       Mobil di depannya maju sedikit. Dari detik itulah mataku melebar, adrenalinku langsung memacu, membuat kakiku kalap menginjak gas dan membelokkan setir ke samping. Dengan sekejap, mobil ku menyerempet dan mengambil tempat di antara celah-celah itu.

        Dengan nekad mengambil jalur di antara keduanya sebelum mobil yang berada tepat di sampingku itu menyusul maju.

      BRUK!

      Ah sialan!

      Jalanan di sampingnya lagi ternyata agak sedikit terlalu sempit dan kecil. Membuat roda mobilku terserempet berdecit karena diapit trotoar dan barisan mobil di kiri kanan.

       Suara klakson-klakson mobil yang gaduh mulai membuatku bertambah panik dan stress, keringat mulai mengucur lagi. Pikiranku sibuk mencari solusi, namun karena terlalu gugup, ssemuanya jadi kacau sekali.

      Hingga aku memutuskan menginjak pedal gas.

       Tidak peduli dengan sisi kiri mobilku yang mulai bergesekan dengan pinggir trotoar. Terus melaju melewati mobil demi mobil, macetnya benar-benar panjang.

       Hingga rasanya dingin mulai menyelusup lagi. lega mulai menghapus gugup begitu mobilku mendapat tempat untuk berbelok dan keluar dari jalanan berdempet tadi, melaju mulus di jalanan lengang yang lebar.

 "Dan lagi, lo kok gak nyalain GPS, sih?!" serunya lagi. "Kan mulai kemarin kita udah sepakat kalau lo udah pulang, ya dinyalain, lo juga setuju kan? Emang lu udah lupa ya? udah gak takut dikunciin?"

"Ih emang perlu banget ya? Kayak berlebihan gitu, kan bisa nelfon?" ucapku.

"Ck! ikutin aja perintah gue, dulu waktu lo kekunci di kelas, emang lo nelfon?"

"Ya kan itu karna hp gue mati! Kalau kayak gitu, emang GPS juga bisa nyala, hah?"

"Bodo, lo udah janji, kesepakatan soal GPS gak berubah, jangan bawel." 

  Aku melirik GPS pada ponsel.

  Anya mengaktifkannya miliknya.

 Seperti janji dan kesepakatan yang kami buat beberapa bulan yang lalu, kesepakatan soal GPS tidak berubah.

Dan ini cukup bagiku untuk tahu bahwa lagi-lagi, aku harus mengikuti lokasi itu.

Karena Anya tahu, kesepakatan soal GPS tidak pernah berubah.

***

Anya's POV

     "Siapa, Anya?" Lya mulai mendesakku.

      Aku menelan ludah gugup, melihat ke mana-mana, menhindari tatap mata Lya. Sepatu yang kukenekan mengetuk-ngetuk di lantai.

      "Gue nunggu temen gue," ucapku setengah berbohong.

        Jantungku berdegup kencang begitu Lya melempar sorot curiga. "Temen? Siapa?" Dahinya mengerut. "Kalau pun ada, pasti dia udah datang dari tadi. Kalau alasan lo dia baru tau hari ini, kenapa coba lo gak sampain ke dia jauh-jauh hari?"

       Ucapan Lya yang cepat itu menghapus semua alasan yang kubentuk sedari tadi. Membuat semaunya tiak bisa lagi diutarakan.

        "Temen ... temen ...." Lya menerawang. "Siapa teman lo yang sama sekali gak tau kita bakal berangkat hari ini? Cuma Aidan."

      Deg. Mataku agak melebar sekilas.

      "Kalau dia alasannya, gue minta maaf karena kita gak bakal nunggu."

      Entah kenapa emosiku meletup. "Sok tahu. Dan sok ngatur." Telapak tanganku mengepal, tidak mau melihat reaksi Lya dengan cara menunduk. "Lo bilang ke Aidan kalau kita bakal pergi, tapi gak ngasih tahu waktunya, alhasil dia gak menyangka kalau waktu kita pergi itu bakalan secepat hari ini!"

      Ekspresi Lya mulai berubah.

      "Padahal sebelum ke sini hari ini, lo sendiri pergi ketemu sama Reza kan?" Aku kesal, kesal sekali. "Lo ngelarang orang, tapi di saat itu lo ngelakuin hal yang sama."

       Di luar ugaanku, bukannya mengeluarkan ekpresi marahnya yang menyeramkan seperti biasa, Lya malah menghela napas sembari menunduk.

      "Well, I give you ten minutes," Lya mentapku lekat, ekspresinya sangat serius. "Sepuluh menit, Anya. Tapi gue tanya satu hal, apa lo yakin dia bakal datang?"

      Skakmat.

        Pertanyaan itu langsung membuatku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku menunduk seraya bergumam tidak jelas.

      "Darimana lo yakin benar dia bakal datang?" Pandangan Lya mulai menajam lagi.

         "Apa dia sepeduli itu bakal datang ke sini tepat pada hari ini juga?" ucap Lya lagi, memberikan peneknan pada kata 'tepat' "Inget ya, lo udah janji sama gue dan orang tua lo, kalau lo gak bakal nelpon atau ngehubungi dia mulai dari kemarin."

      "Well ...." Aku menimang-nimang perkataanku selanjutnya. "Dia pasti bakal datang ke rumah sakit, dan mendapati kalau gue sudah gak ada di sana."

     Lya memutar bola matanya. "Anya, lo tau kan, gue mau kalian gak ketemu supaya gak jadi beban lagi buat lo." Lya menghela napas. "Dan bagaimana lo tahu kalau dia akan langsung ke sini pas sudah tahu kalau kamar lo di RS udah kosong?"

     Aku menghela napas.

      Lya selalu benar. Bagaimana jika Aidan berpersepsi seperti itu? lagi pula kami tidak ada apa-apa yang khusus, atas dasar apa dia mau susah-susah mencari pagi-pagi begini?

      Dari mana datang kemauan bodohku untuk menunggunya?

        "Biarkan gue nunggu sepuluh menit dulu." Tapi malah kalimat itu yang kukeluarkan dari mulutku.

***

Aidan's POV

        Aku membuka kaca mobil, membiarkan angin menyapu wajah dan rambutku. Jalanan menuju bandara sekarang sudah mulai luas dan leluasa. Di samping kiriku pesisir pantai sudah mulai terlihat, angin datang dari arah berlawanan, membuatku serasa menerobos udara.

       Aku bahkan sudah berani menginjak gas hingga hampir mencapai batas akhir, membiarkan mobil melaju lurus. Mataku menajam, kali ini harus berakhir seperti hari-hari sebelumnya.

       Bisa dibilang sejak aku kenal dengan Anya, aku sudah sering sekali mengemudi dengan kalap. Bahkan mau membuat mobil ini—mobil ayahku—lecet.

       Dan biasanya jika aku sudah mengemudi dengan kalap dengan bertujuan Anya, semua berhasil.

      Dan aku harap, kali ini aku bisa berasil lagi.

       Mataku menyipit, aderenalin memacu lagi begitu melihat tulisan dan bangunan bandara di depan semakin menjelas.

***

Anya's POV

      "Anya,  pesawat bakal berangkat! Kita gak boleh terlalu mepet," desak Lya.

       Aku melirik GPS sekali lagi, masih menyala. Berulang-ulang aku terus menengok ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan.

      Aku menunduk, mengulum bibir sembari memejamkan mata kasar, alisku juga ikut tertaut. "Tunggu sebentar lagi!" Berkali-kali aku menengok ke arah pintu luar bandara.

       "Sisa tujuh menit, Anya," tegas Lya tajam. "Gue gak mau ketinggalan pesawat cuma gara-gara lo nunggu orang yang gak tentu bakal datang atau enggak!"

       Aku melirik GPS dan jam di ponsel sembari menggigit bibir bawah. "Dia datang, dia bakal datang, semoga."

***

Aidan's POV

      Kakiku berlari kencang sekali, menimbulkan suara-suara khas di lantai bandara itu.

      Kalap, tidak mempedulikan tatapan-tatapan orang yang biasa kulihat di mata cewek ketika aku sedang latihan atau bertanding basket.

       Hingga tiba waktu di mana kepalaku tiba-tiba pusing. Bingung, gugup, takut, bergabung jadi satu membuat pikiranku kacau. Sangat kacau.

      Kepalaku melihat ke kiri dan kanan, berlari sambil mengarahkan mataku ke mana-mana, berusaha mencari perempuan bertubuh mungil dan berambut cokelat.

      Orang-orang yang terlalu banyak     dalam bangunan lebar nan luas itu membuatku pusing, hingga mataku melebar.

       Hingga mataku menangkap seorang perempuan yang tidak asing, lalu segera berlari menghampirinya.

***

Anya's POV

     "Anya, lo gak papa?" Suara Lya hanya tinggal sayup-sayup.

    Pandanganku terlempar ke arah jendela pesawat. Suara peringatan pramugari juga sama sekali tidak kudengar. Bising-bising penumpang lain di depan dan di belakangku sama sekali hanya kuanggap angin.

     Hingga tubuhku merasa hanya aku sendiri yang ada di dalam pesawat itu.

       Bibirku yang kering sama sekali tidak bergerak, mataku kosong, pikiranku menerawang bak meninggalkan tubuh. Aku menyandarkan kepala, duduk lemas bersandar pada kursi pesawat yang empuk.

      Dia tidak datang.

     Aku memasang earphone di kedua telingaku, mengutak-atik playlist hingga ibu jariku menekan tombol play di sebuah lagu.

        Dia tidak akan pernah datang, tidak ada kata perpisahan sama sekali, malam bertabur kunang-kunang itu adalah yang terakhir.

     Aku memejamkan mata, membiarkan  telingaku hanya mendengar suara lantunan musik hingga hanyut di dalamnya.

       Pada akhir, ternyata hanya aku sendiri yang menyimpan rasa. Sementara apa yang dia rasakan mungkin hanya pertemanan biasa. 

     Atau aku tidak akan pernah tahu.

     Mungkin Lya benar, dengan saling tidak tahu begini, akan semakin mudah.

       Aku menoleh kepala ke arah yang berlawanan dengan Lya, membiarkan pikiranku bermain-main ditemani alunan musik.

      Pada akhir, apa yang kurasakan hanya menjadi sebuah kalimat yang tidak akan pernah tersampaikan.

        Aku melihat ke bawah, mengusap pipiku yang basah dengan telapak tangan. Entah sejak kapan pelupuk mataku sekarang sudah penuh.

        Pada akhir, dia tidak akan pernah tahu, dan semuanya berakhir abu-abu.

        Bukan hitam,

        dan bukan juga putih.

***

Aidan's POV

      Aku menepuk pundak gadis yang terlihat tidak asing itu. gadis tadi berbalik, lalu dapat kulihat matanya yang memerah.

       "K-kira?" Mataku menatap nanar begitu melihat pundaknya agak bergetar, habis menangis. "Lo kenapa bisa ada di sini?"

      Firasat buruk mulai menjalari tubuhku, membuat bulu kudukkku meremang.

      "Dan kenapa lo menangis?" tanyaku hampir mencicit.

       Kira mengusap kedua pipinya yang basah. Ia menunduk dalam, seperti takut melihat mataku. Pundaknya masih agak bergetar, ia tidak menjawab.

       "Jawab, Kir," ucapku sembari menelan ludah, keringat kembali membasahi keningku. Tetap memaksakan diri menunggu jawaban cewek di depanku meski aku sudah yakin akan apa yang terjadi.

     Tapi aku menolak untuk menerima itu dan memilih terus bertanya saja sampai ia mau menjawab.

        Bukannya jawaban yang ia keluarkan, melankan isakan kecil yang mirip cicitan. Seluruh adrenalin yang tadi kugunakan untuk mengebut habis-habisan, semua panik dan cemas yang sudah memenuhi seluruh rasa yang kupunya sontak bergabung menjadi segepok perasaan yang meninggalkanku sendiri dengan tatapan yang sudah berubah kosong.

       Tidak sadar tanganku sudah mengepal keras, setengah mencengkeram pundak Kira pelan dengan kedua tangan, aku menatapnya nanar dan kalang kabut, cewek itu tetap menunduk dalam hingga aku hanya bisa melihat puncak kepalanya.

       Tidak sadar aku berseru di depan Kira, berseru menanyakan di mana Anya  sekarang.

***

    Aku memejamkan mata kasar. Hanya satu yang kurasakan; putus asa.

      Aku menghela napas, memijat pelipisku, membiarkan seluruh kekesalanku keluar di tengah hening dalam mobil. Membiarkan punggungku bersandar pada jok, membiarkan keringat di dahiku bercucuran.

        Aku masih tidak bisa percaya. Aku masih tidak bisa berhenti bertingkah seolah masih ada Anya setelah malam bertabur kunang-kunang. Bahkan juga masih tidak bisa berhenti berpikir seolah aku lega-lega saja karena aku akan melihatnya di sekolah nanti, tersenyum girang dengan mata berbinar ketika aku baru saja menutup loker, melihatnya di jok mobil sampingku ketika pulang sekolah, atau melihatnya duduk di kursi taman sambil tersenyum-senyum—mengetik sesuatu di laptopnya.

     Tapi ternyata tidak begitu.

      Aku malah mendapati diri sendiri menyandarkan kening pada telapak tangan di atas kemudi, mengacak rambut.

       Setelah ini tidak ada lagi Anya. Wajah berbinar-binarnya di bawah cahaya kunang-kunang adalah yang terakhir kulihat.

      Mungkin suatu saat nanti aku juga akan merindukan suaranya, atau mungkin aku sudah merindukannya sekarang.

      Bagiku ini bukan abu-abu, bukan juga putih.

      Tetapi hitam.

       Semua berakhir tanpa kita masing-masing tahu perasaan satu sama lain, masing-masing beranggapan sendiri. Membiarkan perasaan yang sebenarnya ada, malah tidak tersampaikan.

***

         Mungkin dalam hari-hari yang mereka berdua alami, menjalani masa terakhir SMA, masing-masing hanya berpikir dengan persepsi sendiri.

       Berpikir bahwa mereka menyimpan rasa sendirian, padahal keduanya beranggapan sama, hanya saja waktu dan jarak membuat hal itu sama sekali tidak tersampaikan. Mulai dari itulah, hubungan yang nyaris ada, mulai merenggang.

...

      Hingga mata mereka menemukan benda.

      Dua benda berbeda yang seolah berbicara, mengatakan yang tidak sempat tersampaikan.

...

Flashback

Lya's POV

     Hari ini adalah hari di mana aku dan Anya akan kembali ke Seattle atas permintaan orang tuanya sendiri.

      Ketika gadis itu tertidur di ranjang rumah sakit, aku memutuskan berkemas.

        Hingga tanganku menemukan sebuah benda yang terselip di belakang bantal sofa. Tanganku meraih dan mengambilnya.

      "Ini ... buku sketsa?" gumamku pelan.

       Aku membuka isinya, lalu mataku melebar begitu melihat buku sketsa yang tipis bukan main, seperti habis disobek.

     Enam halaman buku sketsa itu telah digambari dan ditambah satu note kecil yang terselip di tengahnya.

     Segera kumasukkan buku itu ke dalam koperku. Aku rasa ini milik cowok itu, dan aku tidak boleh memperlihatkannya pada Anya. Mungkin nanti setelah kami sampai di sana.

      Karena jika Anya melihatnya, aku yakin ia akan menolak pergi ke Seattle di saat itu juga.

Flashback end

...

       Dua benda yang tak sengaja ada pada dua orang itu. Yang mungkin akan membuat mereka menyesal di saat melihatnya. Menyesal karena terlambat sadar akan semuanya.

...

Aidan's POV

      Aku menoleh menatap jok penumpang di sampingku, yang belum lama ini ditempati Anya, bayangan dia tertidur di sana masih bisa kugambarkan di pikiran dengan jelas.

       Tenggorokanku rasanya tercekat, kuperhatikan setiap detail jok mobil itu, tempat Anya. Lalu pandanganku berubah begitu melihat sesuatu di sana. Sebuah benda kecil.

       Benda itu tidak asing, tergeletak begitu saja di bawah jok penumpang mobilku. Benda yang bukan milikku, tapi sepertinya pernah kulihat entah di mana.

      Aku meraih benda itu, lalu mataku menyipit begitu mengetahui benda apa itu.

     Ini buku diary yang pernah kuberikan pada Anya sewaktu malam festival.

     "Lo ngapain, Nya?" tanyaku pada Anya yang mengutak-atik tas kecilnya, meletakkan semua barang-barang di dalamnya ke atas dashboard mobil. Lalu sebuah gedebuk terdengar, menandakan ada sesuatu yang jatuh dari dalam tas kecilnya, dan ia tidak menyadarinya.

       Baru aku mau mengingatkan bahwa ada benda bawaannya yang jatuh ke bawah jok, cewek itu langsung menjawab pertanyaanku

     "Nyari masker, aneh perasaan tadi ada di sini," ucapnya masih sibuk dengan tas kecilnya.

     "Mungkin ketinggalan di rumah sakit," ucapku.

     "Ah, nevermind lah, gak pakai masker sekali mungkin gak papa." Lalu cewek itu memasukkan kembali semua barang yang tergeletak di atas dashboard mobil ke dalam tas nya. (Chapter 25)

     Aku teringat. Aku ingat! hari itu, waktu dia kubawa ke rumah lamaku untuk melihat kunang-kunang. Aku lupa memberitahunya kalau barangnya jatuh karena topik pembicaraan kami teralih.

     Jadi benda itu adalah buku diary ini.

     Aku menelusuri setiap bagian buku kecil itu. Mengingatkanku tentang memori lama tentang waktu-waktu kami di festival. Membuatku tersenyum sendu.

      Aku membuka buku itu perlahan dengan degupan keras di dada. Lalu pada bagian depan buku itu ada tulisan: Safanya Aluna

...

      Tapi percuma saja, karena keduanya menemukan dua benda itu, dua benda yang menyatakan perasaan masing-masing, di saat salah satu dari mereka sudah terlanjur pergi.

***

A Little unimportant thing:
Cuma mau nanya kalian baca nama 'Lya' itu cara nyebutnya gimana? Cuma mau ngasih tau kalau penyebutannya itu sebenarnya 'Laya' bukan 'Lia' tapi kalau mau baca lia sih gapapa juga ngehe

Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top