Dua Puluh Sembilan|Lima Lembar

"Kalian sudah datang." Kalimat yang beliau ucapkan memang terkesan menyambut tapi diucapkan dengan sorot dingin dan tajam. "Duduk di sini, ada yang harus saya bicarakan dengan kalian bertiga."

Aku meneguk ludah gugup, perlahan aku berbalik dan menatap Reza. Kakakku itu cuma balik menatap sekilas, lalu ia berjalan mendahuluiku. Pelan tapi pasti, ia duduk di kursi paling pinggir, menyisakan kursi tengah untukku.

Aku menghela napas panjang, berjalan dan duduk di atas kursi kayu itu. Reza di samping kiriku, dan Dino di samping kananku.

Aku bersandar santai dan tenang, namun sekali lagi kutegaskan, jantungku berdegup kenang di dalam. Mulutku terdiam, mataku menatap ke arah sepatuku sendiri. Aku berusaha agar tetap santai.

Aku tidak bisa lagi bertahan menunduk lebih lama, kurasakan tatapan ayahku terlalu lekat hingga memaksaku mengangkat kepala dan menatap wajahnya.

Itulah Ayah, bisa mengintimidasimu bahkan ketika dia tidak bicara sama sekali, hanya menatap. Dan boom, kau tahu kalau dia sedang menyuruhmu untuk mengangkat kepala.

Marah, sedih, senang, kecewa bercampur jadi satu begitu kami mengunci pandang.

"Aidan Fardhika Nathala." Detik itu aku sadar suara ayah sudah berubah semakin serak. "Kau sudah berubah banyak, tinggimu bertambah sekali ya?"

Aku cuma bisa mengangguk, entah kenapa, wajahku sama sekali tidak berniat mengeluarkan ekspresi apa pun.

"Dan kau, Reza." Ayah menoleh ke kiri. "Aku dengar nilaimu tidak naik tidak turun, tetap di posisi sedang-sedang saja, lumayanlan karena olahragamu menyeimbangi menjuarai peringkat satu umum."

"Dino, kamu pasti tidak tau kalau saya juga sering mengawasimu kan?" Langkah Ayah menjorok ke arah Dino. "Nilaimu di atas rata-rata, tapi belakangan ini kamu bandel." Aku sudah merasa kecil bahkan ketika tatapannya menajam kearah orang lain, bukan padaku.

"Sama seperti Aidan." Dan yah, bayangkan gugupku ketika sekarang tatapannya tertuju ke arahku. "Kalian berdua pintar, nilai di atas rata-rata, terampil, wajah menjamin, tapi ... kalian bandel, sangat bandel."

Aku yakin, walau setengah mati aku merasa ingin menonjok Dino, menendang, apalah itu, tapi aku bisa tahu sekarang dia juga gugup. Sama seperti aku dan Reza.

"Kenapa Ayah manggil kami ke sini?"

Duar.

Aku dan Dino otomatis menengok ke kiri bersamaan, terkejut bukan main dengan keberanian Reza yang entah datang dari mana.

Aku menyorotkan tatapan melebar kepada Reza. 'WHAT THE-?!' kurang lebih tatapanku mengatakan kalimat itu.

Namun Reza cuma menatapku tanpa ekspresi.

Jadi aku menatap lurus ke depan, memandangi ayah yang sekarang tersenyum aneh kepada Reza. "Saya kan sudah bilang, nak. Saya mau menyampaikan sesuatu kepada kalian bertiga."

"Mulai dari Dino dulu." Ayah melangkah ke depan Dino.

DEG.

Pasti Dino sekarang takut bukan main. Cowok berahang tegas yang membuat mataku muak itu menunduk, tidak menatap wajah Ayahku. Dan itu cukup untuk membuatku puas.

Hingga sial menimpaku, aku tidak sengaja cekikan kecil. Hingga semua pasang mata menatapku.

Aku menelan ludah. "A-apa?" tanyaku.

"Jangan menertawakan saudaramu Aidan," ucap Ayah, menghadiaiku tatapan tajam hingga membuatku terdiam membisu. "Jadi, ehm Dino dan Aidan."

PLAK!

Aku dan Reza otomatis menoleh cepat ke kanan bersamaan, mendapati ayah memukuli Dino tepat di wajahnya. Aku menatap Dino dengan mata melebar, cowok itu kini memegang pipi kanan dengan kedua tangan. Rambut cokelatnya yang nyaris sama warnanya dengan rambutku menutupi matanya sedikit.

Reza menyikutku sambil berbisik, "Mampus." Ia berbisik pelan sekali.

Tapi bisikan pelan itu dapat membuat Ayah berbalik menatapku dan Reza sekejap. Membuatku dan Reza mati kutu seketika. Kami menghela napas lega begitu tatapan galak Ayah kembali menghadap ke Dino.

Tangan besar Ayah memegang dahi Dino, membuat cowok itu otomatis menghadapkan wajahnya ke arah wajah Ayah. Aku meringis ngeri melihat darah di ujung bibirnya.

"Apa yang ada di dalam kepalamu? Apa akal sehatmu sudah dangkal sekali? Melibatkan dua orang perempuan di dalam masalah keluarga itu bukan hal yang keren sama sekali. Maafkan pukulannya, tapi kau harus mendapatkan itu sebelum menjelaskan alasanmu sendiri, jadi sekarang ... apa alasanmu melakukannya?"

Dino diam sesaat, membuat suasana hening. Aku dan Reza menonton dua orang itu bereaksi tanpa berkedip seperti menonton film horror.

"Hal yang bodoh memang, Ayah. Tapi ... aku rasa ini gak adil sama sekali. Ibu pergi bahkan sebelum aku lihat, semua orang tidak ada di sampingku. Aku cuma mau buat Aidan merasakan hal yang sama dengan melakukan itu ke ... pacarnya." Dino menunduk.

Aku tahu itu alasannya, aku tahu rasa frustrasi Dino, tapi ... seriously? Dia mengira Anya adalah orang yang dapat membuatku merasa kosong dan marah jika ia menajuhkannya dariku?

Well, ia memang benar sih. Tapi tetap saja, itu alasannya yang kekanakan.

Tatapan Ayah beralih padaku, membuatku bertambah gugup. "Kau punya pacar, Aidan?!"

GLEK.

Lalu tawa Reza memenuhi ruangan. Sialan, anak itu dasar kurang kerjaan. Memangnya dia sendiri punya pacar? Cih.

Tawa Reza membuat aku emosi, sementara Ayah dan Dino mentapnya bingung.

"Well, aku tidak punya, Anya bukan pacar gue, dan lo salah orang," ucapku, menatap Dino yang bingung dengan tatapan tajam. "Assh*le, lo salah orang!"

Di luar dugaanku, Dino malah tersenyum menantang. "Lalu kenapa lo khawatir sekali?" tanya Dino, menatapku penuh arti.

"Berhenti kalian berdua!" Ayah membentak. Membuatku dan Dino mati kutu.

"Sekarang yang jadi pertanyaan untukmu Dino...," jeda. "Ibumu yang meninggalkanmu sendirian, tapi kenapa kamu melampiaskan semuanya kepada Aidan? Kenapa Aidan yang harus menanggung rasa depresimu di saat dia juga merupakan orang yang ditinggalkan?"

Skakmat.

Finally, someone said it. Akhirnya ada yang menanyakan itu padanya. Ayah setahuku adalah orang yang brutal, tapi ia adalah pemecah masalah yang ulung.

"A-aku ...." Dan akhirnya lagi, Dino tidak tahu apa yang ia akan katakan selanjutnya.

"Kau cuma mencari orang untuk melampiaskan kekesalanmu, dan kau memilih saudaramu sendiri sebagai orang yang salah, benar kan nak?" ucap Ayah puas.

Kami bertiga tercengang.

PLAK

Satu pukulan lagi mendarat ke pipi kiri Dino, membuatku dan Reza menatap cowok itu nanar. Dino berdiri tegak, lagi-lagi memegang pipinya dengan kedua tangan.

"Balasan, Dino, balasan," ucap Ayah, kemudian mengusap kepala Dino, mengacak rambutnya, membuat Dino menggerutu. "Kau memang salah, dan yang lebih salah lagi, melibatkan perempuan yang kau sayangi dan memanfaatkannya untuk balas dendammu yang tidak ada gunanya itu, alhasil kau cuma rugi banyak. Pasti kalian bertanya-tanya dari mana aku tahu, jawabannya karena aku selalu mengawasi kalian."

Oh. Ucapan terakhir Ayah. Kirana Muthiara.

Jadi dia sama denganku.

Aku menatap wajah Dino. Jadi berkat keegoisannya, dia kehilangan Kira. Kami sama. Berkat keegoisanku, Anya juga sudah tidak ada lagi di sini.

Ayah bisa membuat kami sadar; bahwa kami hanya dua orang konyol yang mengikuti ego, larut dalam permainan depresi masing-masing hingga kehilangan orang yang kami sukai.

Aku dan Dino terdiam. Aku bisa menebak, isi otaknya sama denganku.

"Untuk kamu Dino, ayah akan kirim kau ke pusat bantuan dulu, kamu benar-benar udah gak sehat mental, Ayah dengar anak yang kamu jadiin korban sampai luka parah," ucapnya. "Dia perempuan loh? Kamu hilang akal?!"

Mendengar itu, tanganku refleks mengepal kuat.

Dapat kurasakan tatapan ayah langsung tertuju padaku, mempelajari gerak-gerikku.

"S-sebenarnya..." Itu suara Dino.

Semua mendelik ke arahnya, aku hanya menatap lurus ke depan.

"Luka dia yang di punggung, yang bikin dia berdarah banyak, gue gak ngerencanain sejauh itu, g-gue mau menggertak dengan ngejatuhin dia tapi gak sengaja dia jatuh ke lantai dan ternyata di atasnya ada paku terbuka." Ucapnya. Tanganku semakin mengepal. "B-barulah pas gue ikat dia dan gue sadar dia punya luka yang itu, tujuan gue cuma mau bikin dia kelihatan cukup mengkhawatirkan untuk Aidan lihat, g-gu gak mau sam-"

Belum selesai ia bicara, aku sudah tidak bisa menahan darahku yang seperti mendidih di bawah kulitku. Tanpa peduli apapun, aku langsung melayangkan tinju terkerasku ke rahangnya sampai ia terjatuh ke lantai, aku berdiri lalu langsung menendang tak karuan. Bertubi-tubi, entah si brengsek ini tudak melawan atau dia tidak punya kesempatan di antara semua seranganku, aku tidak peduli.

"LO BENER-BENER-"

Reza segera bangkit lalu menahanku. "Woi, Aidan, Aidan berhenti, udah woi."

Ayah hanya menatap kami, ia tidak bicara sepatah kata pun.

Ia hanya maju satu langkah sambil berkata, "berhenti, kalian bertiga."

Aku tidak peduli, segala macam umpatan keluar dari mulutku, badanku meronta bahkan ketika Reza menahanku.

Ayah mendengus.

***

Kami semua duduk rapi, aku dengan buku-buku tanganku yang luka, Dino dengan beberapa luka babak belur baru dariku.

Namun kami semua mendapat benjolan baru di puncak kepala kami, lalu kami hanya diam di kursi seperti sebelumya tidak ada apa-apa yang terjadi.

Ayah mengusap-usap kedua telapak tangannya satu sama lain, gestur tipikal ketika habis menyelesaikan sebuah pekerjaan.

"Lain kali kalau saya bilang berhenti, kalian harus berhenti di saat itu juga, mengerti?"

Kami bertiga mengangguk.

Ayah tersenyum puas.

"As for you, Dini, ayah tetap mengirimmu sementara waktu ke tempat untuk memulihkan mentalmu, seberapa jauh kau melukai anak itu, kau akan tetap pergi seberapa sedikit pun perlakuan yang kamu rencanakan."

Dino mengangguk pelan.

"Kalau gitu, kembali ke topik." Ayah lalu melangkahkan kakinya ke arahku hingga kami berdiri berhadapan. "Aku tidak percaya putraku sudah tahu caranya minum-minum sejak SMP," ucap Ayah.

GLEK.

Sepertinya aku tahu apa yang akan terjadi selanjut-

PLAK

Nyeri menjalar di pipi kiriku, dapat kurasakan ujung bibirku berdarah. Semua tatapan terarah padaku.

"Saya gak pernah menyangka kamu bakal jadi badboy-badboy berandalan, Kamu pikir itu keren? Ha?! Tapi kemajuanmu lumayanlah," ucap Ayah puas.

"Kalau emang lumayan, kenapa ditonjok, Yah?" tanyaku sambil memutar bola mata.

Ayah tertawa ringan. "Gak adil, kan salah satunya salahmu juga. Karena dasar saya ke sini memang cuma untuk berikan hukuman ke kalian."

Aku, Dino, dan Reza memutar bola mata.

Tapi kemudian Reza tersenyum penuh kemenangan. "Well, I guess cuma gue yang gak punya masalah di sini, cuma kalian berdua adik-adik, jadi gue gak bakal pulang dengan bekas luk-"

PLAK!

"Oh siapa bilang kau tidak punya masalah, anak muda?" tanya Ayah sarkas. Mungkin semua gen keluargaku sudah dikarunai reaksi sarkastis.

Aku memasang wajah menahan tawa yang jelas-jelas membuar Reza kesal. Sementara Dino di sampingku cuma menatap Reza dengan satu alis yang diangkat dan smirk.

"Tapi ... Gue salah apa?!" tanya Reza dengan wajah didramatiskan sambil mengusap pipi kirinya.

"Kamu juga ikut mabuk bersama Aidan, jangan pura-pura. Lagipula kamu gagal menjaga adik-adikmu, buktinya Dino bahkan sampai menyewa apartemen."

"Ah, gue benci jadi anak sulung."

"Terserah Reza, terserah ... Oke, jadi masih ada yang ingin saya sampaikan selain hukuman," ucapan Ayah yang tajam membuat suasana di antara kami bertiga hening kembali. "Saya bakal menetap di Indo sekarang, seluruh urusan perusahaan sudah saya urus."

Jika kami bertiga adalah tokoh kartun, mungkin rahang kami akan turun hingga menyentuh lantai.

"A-apa?" Reza yang pertama mengeluarkan kata.

"Iya, saya bakal menetap. Kalian trio yang sudah melampaui batas, sampai salah satu di antara kalian dipanggil polisi." Ayah menoleh ke arah Dino cepat, membuat cowok itu menunduk pelan. "Mulai sekarang, kita berempat tinggal di sini, rumah ini. Tapi sambil menunggu renovasi selesai, kita tinggal dulu di tempat Reza."

Aku terdiam. Kembali tenang tanpa ekspresi

"Ehem." Reza berdeham, membuat semua mata tertuju padanya lagi, tak terkecuali aku. "Berempat maksudnya?"

Holly crap. Berempat. Aku baru sadar itu.

Pelan tapi pasti, aku dan Reza bersamaan menoleh ke arah Dino, membuat cowok yang sudah terkejut itu makin terkejut lagi.

"Iya, berempat." Dengan tegas, Ayah membenarkan. "Tapi setelah Dino pulang dari terapinya, di sana dia bakal banyak belajar," ucap Ayah sengit, mengintimidasi Dino, dan usahanya berhasil.

Aku, Reza, dan Dino mulai bertukar-tukar pandang.

***

Sekarang jam satu malam dan aku tidak bisa tidur. Kebiasaanku jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, biasanya yang kulakukan selalu menggambar di buku sketsa.

Aku bangun, sedikit mengernyitkan dahi begitu mendengar dengkuran keras Reza yang tertidur di tempat tidur lain.

Dengan cepat, aku segera berdiri mengambil lembar-lembaran kertas HVS di meja-aku masih belum menemukan buku sketsaku, benda itu juga tidak ada di rumah sakit-lalu aku juga mengambil pensil, dan earphone, aku bersiap turun ke bawah dan menggambar di lantai satu saja.

Aku membuka pintu. Lalu terkejut begitu melihat pintu di seberang kamarku juga ikut terbuka. Menampakkan Dino yang sepertinya ikut terkejut.

Aku menyipitkan mataku. "Ngapain lo?" tanyaku, benar-benar tidak ingin melihatnya sekarang.

"Menurut lo? Gue gak bisa tidur," ucapnya yang sepertinya juga tidak ingin melihatku sekarang. "Kenapa lo juga harus-cih."

"Well, assh*le apa yang lo harapkan? ini rumah gue," ucapku. "Kalau Ayah gak ada, lo mungkin udah babak belur lagi sekarang."

"Oh, ya?" ucapnya menantang.

Cih, aku tersenyum kecut

BRUK!

Cowok itu terpelanting ke belakang, menimbulkan bunyi gebrakan keras begitu punggungnya menghantam pintu kamarnya sendiri.

Lagi-lagi aku menyunggingkan smirk menyebalkan sambil mengangkat satu alis. "Lo tau? Gue gak bakal main-main, jadi lo hati-hati aja lain kali."

Lalu aku berlalu, tersenyum puas sebelum kemudian menuruni tangga.

***

"Bener-bener, masih aja lu mau nongol depan gue?" ucapku pada Dino yang sekarang duduk di salah satu sofa sambil memainkan game di ponselnya.

Aku berjalan ke sofa lainnya, memegang kertas, pensil, earphone, di tangan kiri. Dan segelas kopi di tangan kanan. Aku merebahkan badan di sofa empuk yang agak jauh dari Dino.

Namun dari sini aku masih bisa melihatnya tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari ponselnya.

"Lo tahu? Kalau ayah gak maksa, gue gak bakal mau tinggal di sini, lo bajingan dan kakak yang sama bajigannya." ucapnya ketus.

Aku sudah malas menanggapinya lagi. Lebih memilih mengambil pensil dan menorehkannya di kertas, menyeruput kopi.

Kupasang earphone di telinga.

Beberapa menit setelah seluruh fokusku terpaku pada kertas di pangkuan, pikiranku kembali melayang. Memikirkan satu orang yang sangat ingin kudengar suaranya.

Namun percuma saja menghubunginya, dia tidak akan pernah mengangkat.

Semakin aku memikirkan semuanya, rasa bersalah datang lagi. tentang bagaimana perasaannnya saat mengatakan aku menyukai orang lain secara tidak langsung. Bagaimana aku melewatkan banyak sekali waktu, namun aku sama sekali tidak menyadari apa-apa. Sekarang semua sudah habis, dan baru di saat inilah aku tahu dan menyesal.

Kenapa aku jadi bajingan bodoh yang melukainya entah berapa kali di saat banyak peluang untuk mendapatkannya, lalu menginginkannya di saat ia pergi.

Mengingat itu membuatku mengacak rambut.

Sekarang aku sudah tahu perasaanya, dan mungkin setiap mengingatnya aku akan terus merasa bersalah dan menyesal.

Tapi dia belum tahu perasaanku. Dan mungkin lebih baik begini saja. Dengan begini, setidaknya mungkin dia bisa lebih mudah lupa semua tentangku bukan?

Bagus jika hanya aku sendiri yang menginginkan dia di sini kembali untuk waktu yang lama. Aku tidak mau ia tahu apa yang kurasakan, itu akan semakin memberatkannya.

Aku tidak mau dia menangis sekarang, aku mau dia bergerak maju dan melupakan semua hal yang pernah kulakukan padanya.

Sekarang giliranku merasakan bagaimana rasanya berada di tempatnya.

"Hei, Lo tuli?" Aku menoleh begitu tersadar Dino memanggilku. "Musik lo terlalu kenceng sampai gue bisa denger dari sini. My Chemical Romance kan?" ucap Dino.

Aku tidak meresponnya sama sekali.

"Lo bener-bener suka sama cewek itu?" Tanyanya lagi.

Tanganku langsung berhenti menggambar.

"Bukan urursan lo," ucapku datar. Tapi kemudian aku sadar sesuatu, pertanyaan itu bisa kumanfaatkan. "Gue mau beritahu cuma kalau lo mau ngasih tau kenapa lo milih dia sebagai target lo."

Mendengar pancinganku, ia mendecih. "Gue milih dia jadi target karena gue pernah liat foto Ibu di rumah kosong yang tadi, gue nemu di kotak surat."

Pensilku berhenti bergerak. Aku meluruskan dudukku, menatapnya sambil menajamkan mata sedikit.

Dia sudah pernah melihat surat itu jauh sebelum aku melihatnya. Surat dari Ibu.

"Di situ gue bener-bener marah, banyak hal di kepala gue. Bayangin lo yang sama sekali gak peduli, sementara gue di sini bener-bener butuh beliau. Gue jadi marah," ucap Dino.

Aku mengernyitkan dahi. Wajar tapi salah. "Lo salah. Kita salah. Gue gak pernah bertindak gak peduli, gue sama Reza juga ngerasain hal yang sama dengan lo."

Ponsel Dino terpeleset dan jatuh menghantam hidungnya, membuat cowok itu menyumpah serapah setelahnya. "G-g-gue gak tau itu," ucap Dino tiba-tiba canggung. "G-gue bisa jadi brutal kalau gue benar-benar emosi. Sampai gue nemuin foto Ibu di salah surat itu, Lo tau kan? Yang ditempel di surat tanggal 29 kalau gue gak salah, fotonya di Seattle dengan seorang anak perempuan. Begitu gue balik fotonya, di belakang ada tulisan tangan 'Alina Safira Nathala (Fira) dan Safanya Aluna (Anya)'"

"Lo gak tahu kagetnya gue pas liat nama cewek itu ternyata ada di mading sekolah sebagai panitia dekor tujuh belasan barengan sama lo. Sampai akhirnya gue tahu, nama Safanya Aluna terkenal cukup manis, kecil, banyak temen-temen cowok gue suka sama dia. Sampai akhirnya mereka nyebut-nyebut nama lo di pembicaraan, nyebut kalau lo sama Safanya Aluna punya hubungan. Jadi yah gue cari tahu, dan kalian ternyata lumayan dekat-sangat dekat." Jeda. "Dan yah ... rencana buruk mulai tersusun di kepala gue."

Aku berdiri dari kursi, berjalan menuju Dino dan menarik kausnya, seluruh emosi naik ke kepalaku. "Lo bags*t!" Aku berteriak di depan wajahnya.

"Kalau lo mau pukul gue, pukul aja. Gue gak ngelawan balik," bisiknya tajam sambil tersenyum sengit.

BRUK!

Aku hanya mendorongnya hingga ia terpental, melepaskan cengkraman ku dari bajunya sembari mendengus.

"Iya, gue suka sama cewek itu, lo bajingan!" seruku ketus. "Dan berkat lo, dia sudah gak ada lagi di sini. gue tau, gak sepenuhnya salah lo, tapi lo salah satu alasan besarnya pergi!"

"Lo boleh mengumpat, berteriak, bersumpah serapah gue gak keberatan," ucap Dino agak sengit, tapi kalimatnya mengungkap pasrah. "Gue juga rasain yang sama."

Pensil di tanganku lagi-lagi lepas dari genggaman. Aku menatapnya sambil mengerutkan alis lalu berkata, "Maksud lo?"

"Berkat masalah kita, berkat apa yang gue lakuin, gue juga kehilangan orang yang gue suka. Sama kayak lo," ucapnya kemudian begitu melihatku menatapnya mengisyaratakan untuk menjelaskan. "Gue gunain dia untuk ambil informasi tentang Anya-tolong jangan pukul gue di sini-tapi gue terlambat sadar, dia udah pergi dan sekarang gue merasa seperti bajingan."

"Lo gak salah, lo kan emang bajingan," ucapku tanpa ekspresi.

"Oh, terima kasih. Lo menghibur banget," ucapnya sarkas.

"Yah, kalau dipikir-pikir kita itu dua orang yang bodoh," ucapku langsung tanpa berpikir. Bahkan aku sendiri terkejut dengan apa yang baru saja kukatakan.

"I get it," ucapnya. "Kenapa juga kita libatkan cewek ke dalam masalah kita. Dan bodohnya lagi ... cewek yang gak bisa kita biarin pergi."

Aku tidak menyangka dia menangkap maksudku. "Well, yeah." Aku menghela napas. "Sekarang masalahnya udah menyurut, semuanya sudah kembali tertata. Tapi sekarang malah mereka yang gak ada," ucapku datar.

"Lo ... mau berniat minta maaf ke dia?" tanya Dino.

"Gue masih belum tau, elo? Ke Kira maksud gue," tanyaku balik.

"Kalau gue sih gak yakin, orang seperti dia mungkin sulit memaafkan orang lain," ucapnya, ada sedikit kecewa dan sedih yang terselip di sana. "Kalau lo? Anya seperti anak yang lumayan pemaaf, menurutku."

Aku memandang buku diary Anya yang ada di atas meja, membacanya lagi.

Tulisan "Sketcher's Secret." Tertera di halaman pertama, dengan tulisan tangan Anya sendiri.

"Sayangnya tidak seperti yang lo bayangkan." Aku menghela napas. "Anya sekarang gak ada lagi."

Aku melihat reaksi Dino, matanya melebar sekali. Ia bangkit, tak sengaja kakinya menghantam kaki meja. Ia meringis. "M-maksud lo ... D-dia meninggal?"

Aku tertawa kecut. "Bodoh, maksudku ... dia pergi jauh," ucapku. "Seattle."

"Oh," balas Dino singkat, rautnya menenang.B"Lo bakal ngelupain dia atau gimana?" tanya Dino lagi.

"Banyak tanya lo," ucapku diikuti dengusan. "Gue gak tahu soal tindakan gue ke dia, mungkin bakal susah bagi gue, tapi soal tindakan dia ke gue, gue gak mau egois. Jadi gue harap dia ngelupain gue secepat mungkin."

Dino menatapku, ekspresinya tidak terbaca.

Hening.

Kami berdua larut dengan pikiran masing-masing.

Aku menatap buku diary Anya, benda itu sudah seperti simbol penyesalanku saja. Fakta bahwa yang memberikan buku itu padanya adalah aku malah membuat semuanya jadi tambah ironis.

Aku mengelus sampul buku berwarna pastel itu, warna kesukaan Anya.

Akan lebih mudah bagi Anya untuk tidak tahu perasaanku sama sekali, kan. Aku bersyukur akan hal itu.

Karena dia tidak perlu menyesal seperti aku yang sudah tahu kalau sewaktu salah satu dari kami harus pergi jauh, ternyata andaikan itu tidak terjadi, jarak antara kami hanya tinggal selangkah lagi.

***

Anya's POV

"Lya!" Aku berteriak, menyerukan nama kakak sepupuku itu. "Lya? Lo liat buku diary gue gak gak?!" Aku berteriak kencang sekali.

Mood-ku hancur lebur. Sekarang pagi menjelang siang di Seattle, aku dan Lya baru sampai beberapa jam lalu. Aku kurang tidur, kepalaku sakit, dan pikiranku kacau.

"LYANJIR!" Aku berteriak setengah emosi.

"Iya, iya, tante Eva, Anya udah ada di sini. Kami baru saja sampai," ucapnya di telepon, aku berhenti berteriak begitu melihat rautnya berubah serius. "C-cowok itu, ehm ... gak ada lagi hubungannya sama Anya. Iya, iya Tan, saya udah minta dia biar ga ngehubungin Anya lagi."

Mendengar itu badanku melemas, aku pergi ke kamarku, menutup pintu lalu bersandar, perlahan membiarkan tubuhku terduduk di lantai.

Aku tidak bisa menyalahkan Lya. Lagipula Lya sudah berusaha keras menuruti kemauan orang tuaku, akan menjadi sangat egois jika aku menguapkan semua kesal dan sedihku padanya.

Aku menghela napas panjang, menutupi wajahku dengan kedua tangan.

Dia tidak datang.

Mungkin memang dia sama sekali tidak berniat datang. Siapa aku sampai dia pergi ke rumah sakit sepagi itu? dan walaupun pagi atau siangnya dia datang, apa dia benar-benar seserius itu untuk mencariku?

Suruhan dan jebakan Lya mungkin memang bukan hal yang berat baginya. Lya menyuruhnya untuk tidak menghubungiku, dia mungkin cuma mengangguk santai. Baginya itu adalah suruhan yang gampang diterima.

Ya, benar. Cuma aku sendiri yang menganggap ini sulit diterima.

"Lo gak tahu perasaan dia, Anya. Yang lo tahu cuma perasaan lo sendiri. Dan itu bagus karja lo akan lebih mudah melupakannya dengan cara ini. Cepat atau lambat lo bakal merasa bodoh karena memikirkan orang yang belum tentu mikirin lo juga. Cepat atau lambat lo akan sadar, lo cuma nyakitin diri sendiri." Ucapan Lya yang itu belakangan ini sangat terngiang-ngiang di kepalaku.

Benar, Lya benar. Siapa yang tahu, mungkin di sana Aidan cuma santai-santai saja, sementara apa yang kulakukan di sini?

Cepat-cepat aku berdiri, merapikan rambut, dan duduk di tempat tidur. Membuka laptop dan mencari-cari buku diary pemberian Aidan, namun sedari tadi, buku itu tidak kunjung kudapatkan.

Koperku sudah kukeluarkan isinya, tapi tidak ada tanda-tanda benda kecil itu.

Mungkin tercecer di rumah sakit, lalu Lya mengemasnya dan memasukkannya ke dalam kopernya sendiri kali ya?

Aku melirik koper biru Lya di sisi tempat tidur.

Lya masih menelpon, jadi aku langsung membuka koper itu dan menggeledah isinya. Mencoba mencari buku diary itu.

Tanganku serasa membeku begitu melihat benda yang tidak asing terselip di antara baju-baju Lya yang dominan berwarna gelap.

Aku menarik benda itu, lalu mataku menatap nanar ke arah benda yang sekarang kupegang.

Buku Sketsa.

Aku tahu betul, itu buku sketsa Aidan.

Jantungku berdegup kencang. Berbagai macam pertanyaan-pertanyaan muncul di kepalaku; Kenapa buku sketsa ini bisa ada di sini? Bagaimana bisa Lya menemukannya?

Dan satu-satunya pertanyaan yang bisa kujawab adalah: Apa isinya?

Dengan cepat aku membuka buku itu. lalu mengernyitkan alis begitu melihat banyak bekas-bekas halaman yang sudah disobek. Menyisakan buku itu tinggal lima lembar.

Gambar sebelumnya, gambar wajah Kira, sudah ia robek semuanya. menyisakan lima lembar tadi.

Aku membalik lembar pertama yang masih utuh. Tanganku bergetar tiba-tiba begitu melihat gambar di halaman itu, masih kental dengan ciri khas torehan pensil Aidan.

Garis-garisnya membentuk seorang perempuan yang duduk di kursi mobil. Di bawah gambar itu tertera tulisan "Mungkin menyenangkan jika aku bisa melihatmu duduk di sana terus menerus, bisa membawamu kemana-mana tanpa dikejar waktu."

Lembar kedua, masih perempuan yang sama, namun kali ini menggambarkan aktivitas dengan sudut berbeda. Kali ini lebih dekat dan digambar dari samping. Menangkap cewek itu tersenyum lembut dengan satu earphone di telinga kanannya. "Mendengar musik yang sama denganmu mungkin sudah menjadi hal favorit dari sekian banyak hal dari sudut pandangku tentangmu."

Lembar ketiga, lagi-Lagi digambar dari samping. Cewek itu melihat ke atas, tersenyum antusias. Kunang-kunang-yang merupakan satu-satunya figur yang memiliki warna-terbang di sekelilingnya. "Kau terlihat dua kali lipat lebih cantik di saat kau tertawa, dan aku merasakan perasaan yang dua kali lipat jika alasannya adalah aku."

Lembar keempat, kali ini dari sudut depan. Cewek itu menatap ke depan, matanya berbinar. Bibirnya ditutupi gelas Cappuchino. "Hal yang paling tidak ingin kuterima adalah mengetahui kau ingin pergi, tapi tidak tahu kapan harus mengatakan selamat tinggal."

Lembar kelima, kali ini cewek itu tertidur, wajahnya tenang. Ia mengenakan piyama rumah sakit. "This time when I saw your face, I fall for you like a hundred times."

Lalu pintu kamarku terbuka, menampakkan Lya yang menatapku nanar, ekspresinya cemas begitu melihat buku sketsa itu kupegang di tangan.

Tidak sadar, mataku sudah panas. Aku menelan ludah lalu berkata, "Kenapa lo sembunyiin ini dari gue Ly?!" tanyaku, hampir berbisik dengan suara parau.

"Lo gak tahu perasaan dia, Anya, dengan cara ini semuanya jadi tambah mudah. Cepat atau lambat lo bakal berpikir kalau lo Cuma nyakitin diri sendiri. Buang-buang waktu mikirin orang yang bahkan belum tentu peduli."

Dan semua hal itu sudah tidak berlaku lagi sekarang.

Karena aku sudah tahu perasaannya.

Aku menunduk dalam, mengusap wajahku, menelan ludah berharap sesak di leherku menghilang.

Aku pergi dan terus berpikir bahwa dia sosok egois yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin peduli dengan apa yang kurasakan.

Sementara ternyata selama itu aku sendiri tidak sadar telah melakukan hal yang sama.

***

"Sekarang satu kali ini, Kira," aku membetulkan letak iPad-ku, menatap wajah Kira dari layar video call itu, berusaha menyembunyikan bengkak di mataku, dan kondisiku yang kacau. "Apa lo tau di mana Aidan di hari gue berangkat ke Seattle?"

Kira menampakkan ekspresi cemas, ia berapa kali menunduk, menghindari mataku. "Anya, maafin gue," ucapnya.

Aku menghela napas frustrasi. "Jawab, Kir."

Kira menatapku cemas. "D-dia ada di sana, d-dia datang ke bandara, Anya."

Sesaat setelah mendengar itu, seluruh badanku lemas. Lalu pandanganku mulai buram akan air yang menumpuk di pelupuk mataku.

"Dia datang, dia nyari lo, sampai dia bahkan berteriak ke gue, bertanya di mana lo waktu itu," ucap Kira pelan. "Tapi, lo udah terlanjur pergi, pesawat lo udah berangkat."

***

Aku pergi dan terus berpikir bahwa dia sosok egois yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin peduli dengan apa yang kurasakan.

Sementara ternyata selama itu aku sendiri tidak sadar telah melakukan hal yang sama

***

Maaf belakangan ini update chapternya tidak teratur, mungkin karena efek liburan, saya jadi malas hehe/slap/ Show your username at my notification with a star under it enough to make me feel happier:) even tho you guys didn't show any comment. it feels so good to know the readers and I didn't take any second of sleep just to write this to keep my promise could you please guys appreciate it?:( come on, it just takes a second to press the star! c:

🌹
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top