Dua Puluh Satu|Misi (2)
Dear Penny,
----
***
Aidan's POV
Aku memperhatikan lokasi GPS Anya di ponselku lekat-lekat. Aku menyipitkan mataku, mengalihkan fokus secepatnya ke kemudi mobil, lalu berpikir keras. Mencocokkan setiap belokan-belokan dengan ingatan dan lokasi pada ponsel.
Menghindari pejalan kaki sebisa mungkin, menggerakkan kemudi di setiap belokan yang rasanya per detik jarak waktunya. Kecepatan sama sekali tak kukurangi. Tak peduli dengan suara-suara di sekitarku yang semakin gaduh.
Satu fokus saja.
Aku mengecek GPS.
Sialan! Dia terlalu cepat!
Lepas kendali, aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya. Mencuri kesempatan karena telah keluar dari jalanan sempit. Kemudi terus membanting, membuat tanganku pegal.
Satu-dua-tiga-bahkan lebih dari lima mobil kulambung dengan belokan tiba-tiba. Klakson-klakson mereka mulai berbunyi, membuat jalanan raya yang padat itu kacau dan gaduh. Tapi ...
Satu fokus saja.
Mobil sialan milik Dino juga rasanya tak mau kalah. Arahnya semakin jauh dan berkelok-kelok, jalan raya padat berhasil ia lewati. Sementara aku masih sibuk memacu mesin, membelokkan setir, dengan mata yang menyipit kualihkan semua fokusku ke satu hal saja. Berusaha semoga tidak ada benturan.
Aku terkejut begitu arah lokasi Anya membelok ke arah jalan yang lain. Aku membetur klakson kesal. Dari jalanannya tadi, ia dengan mudah putar arah. Aku tiba-tiba teringat sebuah jalan pintas yang pernah kutuju dulu.
Aku menginjak pedal gas lebih keras, mengihilangkan getar pada lututku. Keringat dingin dari dahiku mulai mengucur. Aku berpikir keras.
Mana jalan pintasnya?
Aku tak sadar ...
Mataku melebar.
... Pedal gas terus kuinjak,
Aku memutar setir secepat mungkin, sikuku mengeras.
Hingga mencapai kecepatan tertinggi.
***
Anya's POV
Aku membuka mata perlahan, lalu menemukan pelipisku bertumpu pada sebuah permukaan kasar yang keras.
Aku menggerakkannya pelan, lalu meringis begitu merasakan pedih pada bagian pelipis tadi. Kerikil kecil itu menggesek kulit dahiku sewaktu kepalaku kegeser ke samping, aduh, perih.
Aku memaksa badanku terduduk. Aku menggigit bibir bawah, seluruh badanku terasa pegal dan nyeri sesaat setelah bangun.
Aku menggerakkan tangan, "Aduh," erangku lalu kemudian menunduk menahan sakit yang berkelebat.
Aku masih diikat dengan tali yang sama.
"Uhuk! Uhuk!" Aku terbatuk-batuk, lalu segera sadar dan melihat sekitar.
Aku menggerakkan betis yang masih bergetar, lalu merasakan tekstur lantai kayu yang kasar.
Aku melihat sekitar dengan mata yang sulit dibuka sepenuhnya, lalu melihat kegelapan pekat dengan hanya secerca cahaya dari lobang reyot di sisi kiri.
Pedih kembali menjalar, mati rasa. Bahuku, bahuku benar-benar pedih. Lalu kepalaku memutar kejadian di mobil tadi. Di mana tali kasar itu mengikat seluruh badanku, lalu ujung tajamnya menancap di bahuku.
Aku merasakan sesuatu yang dingin jatuh perlahan ke lengan dari bahu. Sialan, sepertinya berdarah. Aku meringis lagi.
Aku mulai menelusuri setiap bagian dari tubuhku. Kaus kaki robek, terdapat lebam ungu yang masih nyeri berat di sana. Ikatan rambutku terlepas acak-acakan, poni mulai berjatuhan tak keruan menutupi wajah. Leherku rasanya ngilu dan perih apabila diangkat, oleh karena itu aku setengah menunduk.
Punggungku dalam keadaan bungkuk, dan tanganku mati rasa.
"Udah bangun, Anya?"
Suara dingin itu membuat semua lemah pada tubuhku digantikan dengan tegang yang memacu ketakutan. Sungguh leherku berdenyut nyeri ketika aku berusaha menatap wajah sang pemilik kaki yang hanya bisa kulihat hingga tulang keringnya, leherku tidak bisa diangkat.
DEG.
Aku sadar sesuatu.
Jadi sebelum aku bangun dia sudah main kekerasan duluan.
Cowok ini, dia psikopat.
Firasat buruk mulai datang, apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Aku gelisah, kaki di depanku terus berjalan dan berputar-putar. Semakin ia maju mendekat, degupan jantungku memacu tiga kali lebih cepat. Aku menelan ludah, tak bisa menyembunyikan takut. Tubuh sudah gemetaran seperti kedinginan.
Tolong, siapapun itu. Badanku tidak bisa gerak, tulangku seperti remuk, leherku kaku, sakit sekali.
DEG.
Sepasang kaki itu berhenti berjalan.
1 detik.
2 detik.
3 detik.
Lalu ujung sepatunya mengarah pada tempatku terikat.
Tap ...
Sepatu itu mengambil satu langkah ke depan, jantungku berpacu begitu menunggu langkah berikutnya, lalu semakin berdegup begitu ia mengambil langkah mendekat.
Tubuhku semakin bergetar sehingga mampu kudengar gigiku yang bergemeletuk.
Tap ... Tap.
Kini ia benar-benar dekat, sangat dekat. Hingga mungkin jika tanganku kugerakkan, bisa menyuntuh betisnya. Keringat dingin bercucuran, gelisah berkelebat.
Yang memacu takut adalah, aku tidak akan pernah tau apa yang akan ia lakukan, tidak bisa melihat wajahnya.
1 detik.
2 detik.
Mataku melebar begitu kurasakan tangannya mencengkeram rambut bagian ubun-ubunku, pelan, lalu kemudian berubah menjadi kasar hingga kulit kepalaku sakit. Lalu dengan hitungan detik, tanpa perasaan, cowok itu menarik paksa kepalaku terangkat.
Leherku yang tadi tidak bisa gerak, ia paksa tegak hingga kepalaku menatap lurus manik matanya.
Aku bisa merasakannya, aku bisa mendengar bunyi ketika ia melakukannya.
Walau samar karena tertutup suara teriakanku yang parau. Aku berteriak hingga kerongkonganku sakit bahkan saat menelan ludah sekalipun.
***
Aidan's POV
Jantungku berdegup kencang, ponsel ku terlempar hingga menghantam jok di sebelahku. Aku tiba-tiba melihat belokan pintas itu, dan dengan tak karuan, aku mencoba berbelok tajam bahkan hingga belokan itu hampir kulewati.
Aku membanting setir lalu mencoba meluruskan arah jalan mobil, pemandangan di luar jendela terlihat seperti warna-warna yang lebur karena kecepatan.
BUG
Mobil membentur trotoar, namun aku kembali mundur, membelokkan kemudi, lalu menginjak pedal gas hingga mobil kembali ke jalur.
***
Sialan.
GPS Anya tidak lagi bisa terlacak. Aku melaju dengan kerutan di dahi dan rasa takut. Kenapa GPS nya itu tidak terlacak? Telapak tanganku sudah mulai mati rasa.
Aku menginjak gak keras, sama sekali tidak merendahkan kecepatan. Hanya bertumpu pada jalan yang sekarang hanya lurus.
Terakhir kali GPS nya terlacak adalah beberapa menit yang lalu, dan aku sudah berada pada jalan yang lurus ini. Itu berarti Anya masih sejalur denganku, karena sejauh ini belum ada belokan.
Namun daerah ini aneh dan semakin liarlah firasat burukku. Ini pasti sudah direncanakan jauh sebelum hari ini. Benar-benar pemilihan tempat yang baik.
Aku menyipitkan mata.
Tapi Anya tidak boleh jadi korbannya, dan aku tidak akan membiarkannya. Gadis itu tidak boleh disakiti Dino dengan menjadikan aku sebagai alasannya. Sampai kapan pun juga, Anya tidak akan kubiarkan dalam bahaya.
Hanya Tuhan yang tahu seberapa jauh Dino akan berbuat.
Semburat oranye gelap di langit membuatku semakin tegang, hari sudah mulai malam. Dan aku masih ada di wilayah antah berantah ini. Sungguh aneh tapi menguntungkan, belum ada pembelokan atau pertigaan.
Apa yang ada di sekitarku adalah pohon-pohon berbatang besar yang seprtinya sudah tua sekali, hampir seperti hutan namun memiliki jalan beraspal pudar. Pohon itu menutupi cahaya petang, benar-benar gelap dan dingin. Hening, sama sekali tidak ada suara selain deru mobilku. Juga suram dan aneh karena hanya ada aku di sini.
Kuperhatikan sekitar, berusaha jaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang muncul dari balik hutan di kiri-kananku.
Mataku mengernyit begitu melihat celah di depan, celah cahaya.
Dan itu berarti pohonnya sudah tidak ada. Kecepatanku berada pada batasnya, bebas karena hanya lurus tanpa rintangan.
Kulewati bagian itu.
Dan mataku melebar.
Laju mobil tak kukurangi sama sekali, masih tercengang dengan pemandangan di depanku. Langit rasanya begitu luas, membuatku merasa kecil.
Tidak ada penghalang tinggi yang membatasiku melihat langit yang sudah menggelap itu, tidak ada rumah, pohon, atau apa pun. Benar-benar kosong dan lapang . seolah dunia cuma langit, dan tanah yang datar. Seolah berbanding lurus, antara kedunya. Semuanya keliatan luas dan kosong. Sangat kosong. Seolah hanya aku sendiri orang yang masih hidup,hening dan gelap.
Ini di mana?
Belum lagi jalanan lurus yang membuatku terus mengira-ngira keberadaan Anya, mataku menajam, kecepatan tak akan kukurangi.
Aku melihat ke kiri dan ke kanan, tidak ada apa-apa, bahkan satu batang pohon pun. Hanya ada ilalang-ilalang yang panjangnya mencapai setengah dari pintu mobil. Semakin jauh mobil melaju, maka semakin tinggi rumput ilalang yang terus bergoyang itu, hingga akhirnya hampir setinggi setengah dari jendela mobil. Sepeti ladang ilalang raksasa yang dibelah dengan jalan beraspal pudar.
Lampu mobil pun menyala, suasananya berubah jadi remang-remang.
Aku mengecek ponsel, lalu mataku melebar.
GPS Anya kembali terlacak, dan lokasinya lurus di depan.
Aku menginjak pedal gas.
Terus lurus, sangat cepat sampai adrenalinku memacu, sangat cepat hingga ilalalang-ilalang tinggi di kiri-kananku hanya terlihat bak bayangan gelap biru tua yang bergerak buram ke samping.
Kakiku yang penuh energi meletup-letup menginjak gas sebagai pelampiasannya. Memegang erat kemudi mobil itu seolah keselamatan Anya bergantung pada kuat-lemahnya aku mencengkeram benda berbentuk lingkaran hitam itu.
Aku mengecek ponsel.
Dan seketika itu aku terhempas ke depan, kakiku terangkat dan beralih pada rem, saking tingginya tekanan, ponselku ikut terhempas ke atas dashboard.
Mataku melebar, ada yang aneh pada alat pelacak di ponsel Anya itu. Membuatku memicingkan mata lalu berpikir keras. Hening.
GPS-nya berhenti.
Benar, alat pelacak ponsel itu kini menetap di suatu tempat yang jaraknya tak begitu jauh dengan lokasiku. Anya berhenti, ia tak lagi berjalan.
Aku memicingkan mata, sebulir keringat turun dari dahiku kala otakku berusaha berpikir keras. Mencocokkan detail jalanan pada ponselku, dengan lokasi nyata yang ada di depanku. Dan menemukan bahwa posisi GPS Anya berjarak kira-kira dua puluh meter dari lokasi GPS-ku.
Hanya 20 meter. Aku sudah dekat.
Aku meneguk ludah seketika strategi itu muncul di kepalaku, strategi agar Dino tidak menyadari keberadaanku yang sudah dekat.
Aku tidak boleh langsung saja datang dengan mesin mobil yang menderu tepat di depan lokasi mereka, otomatis dia⎯atau mereka⎯ akan segera tahu dan memblokir jalanku, atau lebih buruknya lagi, melukai Anya di depanku. Aku menggeleng kuat, berusaha menghilangkan pikiran buruk itu
Dengan cekatan, aku menggerakkan kunci ke samping, deru mobil langsung terdengar jelas di antara keheningan dan hembusan ilalang. Dengan segera, aku memutar kemudi mobil semiring-miringnya, menabrak ilalang-ilalang di sebelah kiri itu begitu saja, masuk ke dalam hingga mobilku bergesekan dengan tangkai-tangkai tumbuhan tinggi itu.
Aku menghela napas berat, lalu segera mematikan mesin mobil.
Beruntung, tanah di bawah ladang ilalang ini keras dan padat. Tidak lembek atau berlumpur, sehingga nantinya akan lebih mudah dikeluarkan.
Aku mengambil jaket hitam di jok belakang, memakainya, lalu segera membuka pintu mobil.
Aku berjalan tangkas, membelah setiap ilalang yang menghalang, memperhatikan GPS baik-baik, alat pelacak Anya berada pada tempat yang jauh melenceng dari jalan raya beraspal pudar.
Aku bergerak mundur perlahan, mataku memicing begitu melihat pondok reyot yang mengambil celah lebar di antara padang ilalang.
Mataku menajam, lalu menatap dan mengernyit ke arah pondok reyot yang nampak bak bayangan di tengah gelap. Kemudian menatap ponselku lagi.
Tak salah lagi, pondok ini, adalah tempat Anya dibawa.
Dengan cekatan, aku melangkah maju.
***
Anya's POV
Nyeri itu menusuk-nusuk tulang, ngilu yang sangat kurasakan pada tulang leherku begitu Dino menariknya ke atas secara paksa.
Cengkeramannya terasa berdenyut-denyut pada kepala bagian ubun-ubun. Aku menunduk, membiarkan setengah dari poniku yang panjang menutupi wajah, aku meringis keras sembari menggigit bibirku yang bergetar, berusaha agak suara tangisku tak keluar.
Bahuku sekarang benar-benar terasa seperti melepuh, luka tancapan tali tambang itu seperti sudah diberikan besi panas tepat pada bagian memerah yang sobek. Memberikan panas besi pada luka pedis yang berdarah, sekitar luka itu terlihat basah dan bernanah.
Belum lagi luka goresan parah yang masih baru pada sekujur betis dan lututku, aku ingat samar-samar menyakitkan saat Dino menarik lenganku paksa, membiarkan kakiku yang lemah tanpa kekuatan itu bergesekan dengan aspal dan jalanan sesaat setelah keluar dari mobil.
"Sepertinya efek sakit luka lo udah kerasa ya?" kudengar suara berat Dino. "Gimana rasanya? Bahu lo gue tambahin luka dikit, dikit banget, Cuma panas doang kok. Gimana juga goresan di punggung lo?"
Sudah lama sekali pertanyaan ini menyangkut pada ujung lidahku. Bibirku gemetaran begitu benakku menyuruh melontarkan kalimat itu, "K-kenapa, kenapa gue yang lo siksa? K-kenapa harus gue?"
Ada rasa sakit yang dalam begitu pertanyaan itu kuajukan.
Dino tertawa kecil, lalu cowok itu jongkok. Matanya yang tajam bertatapan dengan mataku yang lemah. "Karena," Dino mengangkat daguku pelan, lalu mengelus pipiku lembut. "Karena gue tau, lo adalah orang yang berharga buat Aidan. Gue bahkan udah tau bahkan sebelum dia sendiri sadar akan perasaannya."
"Lebih baik gue nyakitin orang yang berharga banget buat dia, daripada dirinya sendiri, mau tahu kenapa?" Dino memberi jeda, "karena rasanya berkali-kali lipat lebih sakit."
Dino masih mengelus pipiku sambil berjongkok dan tertawa kecil. "Lo cantik juga ya kalau diliat-liat, omongan orang ternyata gak bohong."
"Yah, beruntung lo manis gini. Kalau enggak, lo mungkin udah mati dari tadi," ucap Dino sembari tersenyum. "Eh bercanda!"
SRAK!
Dino menggoreskan cutter kecil pada bagian lengan atas kiriku. Satu sayatan yang dalam itu cukup membuat air mataku keluar, gigiku bergemeletuk.
"Lo harus kelihatan 'cantik' pas nanti Aidan datang," ucap Dino sambil menyeringai. "Prinsip gue itu, Aidan mesti liat orang yang ia sayangi luka-luka."
Air mataku mengalir deras, luka-lukaku pedih secara bersamaan. Aku tidak bisa menahan sakitnya lagi. dan baru kurasakan, tulang punggungku terasa ngilu bukan main.
Sakit sekali, aku sudah tidak bisa tahan lagi, energiku rasanya tandas.
Aku menangis tanpa suara karena bahkan leherku tidak bisa mengeluarkan rintihan karena kerongkonganku sakit.
Aidan mesti liat orang yang dia sayang luka-luka.
"Kalau gitu lo salah orang, No." aku mengangkat kepalaku menatap tepat pada bola mata hitam Dino yang terlihat benar-benar hitam. "Lo salah pilih orang."
"Ohya? Kalau gitu kenapa Aidan ngejar?" tanya Dino sarkas. Dino berbalik ke belakang, lalu berkata, "Mana ponselnya?" ia menjulurkan tangan pada kaki-tangannya yang bahkan tak pernah kusadari keberadaannya itu.
Lalu Dino memperlihatkan layar ponselku, kulihat GPS Aidan masih menyala, dan jaraknya terlihat sudah dekat dengan GPS-ku.
"Lo pikir dengan buat orang kehilangan, bisa bikin apa yang hilang dari lo balik lagi?" suara serakku keluar, membuat Dino berbalik dari anak buahnya Itu.
Kaki-tangan Dino berperawakan laki-laki bertubuh tegap dan berbadan besar, mengenakan pakaian hitam-hitam dari atas sampai bawah.
"Lo mau mati?" tanya Dino dingin. "Cepat keluar dan kejar GPS ini, bawa si bengis itu ke sini. Gue gak bisa nunggu lebih lama lagi," perintahnya pada si anak buah.
"Baik," ucapnya, suaranya sengaja diberat-beratkan. Lalu yang terakhir terdengar hanyalah derap langkah anak buahnya itu, keluar entah ke mana.
Aidan, lo di mana?
***
30 menit kemudian...
DRAP ... DRAP ... DRAP
Setelah dua puluh menit kemudian, seseorang datang dari pintu.
DRAP ... DRAP ... DRAP
Pandanganku mulai mengabur, lalu kemudian berubah menjadi jelas. Setelah itu mengebur, lalu jelas lagi.
Aku merasakannya, aku sudah tidak lagi sepenuhnya sadar.
"Aku tidak berhasil menemukannya," ucap suara yang sepertinya adalah anak buah Dino tadi, masih sama dengan suara sebelumnya. Suara laki-laki yang diberat-beratkan.
DEG!
Rasa takut datang dan menjalar.
Kalau begitu, ke mana Aidan pergi?
Kuperhatikan sepatu Dino yang mulai berputar arah dari anak buahnya, ke arahku. Lalu cowok itu terdiam lama. "Biarkan dia datang ke sini, buktinya GPS-nya masih menyala namun tak terlacak karena sinyal buruk. Nanti dia juga datang," ucap Dino dengan suara pelan. "Yang jelasnya,"
Dino berpaling lagi, lalu ia berjongkok dan mengangkat daguku. Sehingga kami bertatapan. Sorot lemah tanpa energiku tenggelam dan seolah lenyap oleh tatap tajam gelap Dino "yang jelasnya kita udah punya Kartu As."
Aidan pasti datang.
Aidan pasti datang.
Tapi ...
Mataku melebar, jeritan kaget bercampur takut keluar dari mulutku, degupan jantungku
berpacu pada batasnya, seluruh tubuhku bergetar oleh takut yang bergejolak.
Dino.
Ia terpental ke depan, lalu darah segar membasahi kaus kakiku yang lusuh. Kepala Dino yang berdarah bertumpu pada telapak kakiku. Seluruh tubuhku berasa sakit bukan main, takut menyelubungi.
laki-laki itu memukulnya, anak buahnya sendiri.
Aku mendongak meski sakit, kudapati pria berpakaian serba hitam yang mengkhianati bosnya sendiri itu, berjalan mendekat, lalu ia berjongkok di depanku, gelap membuat wajahnya bak bayangan hitam.
Aku berusaha mundur ketakutan sekaligus bingung, hingga tubuhku bersandar di tiang tempatku terikat.
Kuperhatikan dengan tatapan mata nanar begitu laki-laki itu membuka tudung jaket hitamnya.
Aidan.
Mataku melebar begitu melihat Aidan, menatapku dengan mata yang dalam, yang terlihat berkaca-kaca.
Cowok itu tersenyum lalu mengangguk mantap seolah berusaha memberitahukan bahwa semuanya baik-baik saja.
Aku menangis. Untuk yang kesekian kalinya lagi, aku menangis.
Aidan mengusap darah dari luka sayatan di lenganku, lalu berusaha membuka ikatan yang mengikat punggungku.
Di saat itulah kurasakan seluruh tulangku remuk, namun aku sama sekali tidak mempedulikan sakit itu. Tetap memandang Aidan melepaskan ikatan pada kakiku.
Di saat itulah aku benar-benar menaruh harapan terbesarku, ia benar-benar ada, dan aku tidak bisa lagi merasa lebih lega.
Sesaat itu juga, tepat setelah persepsi itu kuutarakan di dalam kepala, mataku menutup lalu mengakhiri semua itu.
***
Aidan's POV
Flashback
Mataku menajam, lalu menatap dan mengernyit ke arah pondok reyot yang nampak bak bayangan di tengah gelap. Kemudian menatap ponselku lagi.
Tak salah lagi, pondok ini, adalah tempat Anya dibawa.
Dengan cekatan, aku melangkah maju.
Tapi langkahku tertahan, seluruh tubuhku berhenti bergerak begitu pikiran itu tiba-tiba muncul di otakku.
Bagaimana jika Dino punya kaki-tangan atau anak buah?
Tentunya aku tidak ingin kalah jumlah.
Aku menatap layar ponsel, memperhatikan icon GPS yang masih menyala itu. lalu tiba-tiba seluruh harapanku bertumpu pada benda di tanganku itu.
Dengan degupan yang memacu kencang, dengan cepat aku berlari lalu kembali ke tempat mobilku kuparkir. Agak jauh dari tempatku terakhir berdiri tadi, tapi karena rencana ini, aku kembali.
Suara derap langkah dan bunyi kresek saat tanganku membelah ilalang-ilalang yang tak memberiku celah untuk lewat itu terdengar jelas dalam suasana malam yang hening. Bunyi derap dan kresek itu seolah tak berhenti dan terus berbunyi, menandakan gerakanku yang benar-benar berada pada batas tercepatku.
Begitu kulihat mobilku yang masih terlihat di gelap malam hening, aku segera berlari lalu membuka pintunya.
Kutatap ponsel itu lekat-lekat, sekali lagi kuperhatikan GPS-nya masih menyala. Dan GPS itu tidak akan kumatikan.
Ya, biarkan Dino melacakku.
Lalu kulempar ponsel itu ke dalam mobil.
Sepersekian detik, barulah terdengar bunyi BRUK yang agak keras menandakan ponselku sudah mendarat di dalam mobil.
Biarkan Dino⎯atau kaki tangannya itu-pergi kea rah yang salah.
Namun tidak seperti yang kubayangkan, mataku melotot begitu kudengar suara ilalang yang bergoyang dari arah pondok reyot itu.
Aku menoleh, lalu adrenalinku berpacu, membuat kakiku berasa ingin terus berlari hingga meloncat turun begitu kulihat gerakan seirama yang cepat antara ilalang-ilalang itu.
Itu adalah pertanda bahwa ada yang menuju ke sini.
Dengan cepat aku memutari mobil lalu segera terduduk dan bersandar di belakang mobil. Refleks kutahan nafasku, kuhentikan setiap gerakan pada tubuhku.
Hening.
DRAP ... DRAP ... DRAP ...
Sampai langkah kaki itu datang dengan cepat, lalu melambat. Pasti ia terkejut melihat mobil ini terparkir di sini.
Seperti berjalan biasa, sosok itu tidak menyadari, ada seseorang yang mengintainya dari belakang mobil yang sedang ia pandangi.
Itulah gunanya GPS itu kulempar jauh. Jika tidak kulempar, mungkin sekarang aku sudah ditemukan. Jika kumatikan, dan ternyata ia memiliki anak buah, maka anak buah yang dimaksud tidak akan keluar dari pondok dan mencariku. Jika itu terjadi, maka aku akan dihabisi karena kalah jumlah.
Aku mencari celah untuk melihat ke bawah mobil, sehati-hati mungkin agat tidak bersuara. Dia di sana, aku melihat sepatunya.
Aku pun berdiri dengan hati-hati.
Dapat kulihat ia berusaha mengintip, berusaha melihat ke dalam. Laki-laki itu bertubuh besar, tapi sayangnya tidak terlalu cermat...
BRUK!
Kepala cowok itu terhempas keras ke depan, menghantam kaca jendela mobilku. suara gebukan yang terdengar keras membuat suasana kembali hening. Darah segar tercetak pada kaca mobilku.
Laki-laki malang itu tergeletak di tanah. Aku menatapnya datar dan kosong, tangan kiriku masih belum kubuka kepalan kerasnya, kutatap buku-buku tanganku yang berdenyut-denyut.
Dengan cepat aku membuka jaket laki-laki itu, lalu memakainya, mengenakan sepatunya. Lalu kupasang resletingnya hingga menutup pada batasnya
Namun sebelum pergi, sebuah ponsel berwarna hitam itu menarik perhatianku. Aku membungkuk, lalu memungutnya.
Itu ponsel Anya.
Tidak salah lagi, laki-laki ini anak buahnya.
Aku memasang tudung jaket hitam yang kukenakan hingga menutupi wajahku, lalu segera berlari setelah laki-laki tadi kukuncikan di dalam mobil.
Aku tidak tahu apa mungkin Dino masih punya kaki-tangan lain. Yang kutahu, apa pun yang terjadi, aku harus melihat Anya sekarang, apa pun yang terjadi padaku nantinya.
Flashback End
***
Marah dan emosiku memuncak dan ini adalah titik tertinggi selama aku hidup, aku tidak pernah sedendam ini.
Melihat Anya, melihat kondisinya.
Aku mengepalkan tangan erat.
Aku hampir saja memeluknya begitu kulihat badannya bergetar takut, penampilannya amburadul, dan matanya sembab. Darah bercucuran dari bagian-bagian tubuhnya.
Aku melepaskan ikatan yang mengikat punggung, tangan, dan kakinya. Lalu puncak kesabaranku melampaui batas begitu melihat punggung, bahunya, dan sayatan-sayatan dalam di bagian tubuhnya.
Aku menatap mata lemah Anya.
Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.
Melihat Anya, aku benar-benar tidak akan peduli jika apa pun yang kulakukan setelah ini akan membunuh si brengsek itu, aku sudah tidak memikirkannya lagi.
Aku berbalik, lalu melihat Dino melebarkan matanya sembari menyeringai lebar, bilah kayu besar sudah ia angkat.
Aku terkejut lalu berusaha menghindar.
Tapi terlambat, rasa sakit menjalar di bagian kepala bagian kiriku. Melebihi nyeri, sebuah hantaman telak itu berhasil membuatku meringis. Gusiku refleks meriak pedih membuatku harus mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Dan darah mengalir dari sana.
Aku berusaha bangun, segera kutegakkan badanku walau lunglai. Lalu menangkap bilah kayu itu hingga berada di tanganku. Tapi Dino cekatan, dengan cepat ia mundur lagi lalu menarik bilah kayu itu.
Dalam hitungan detik, ia kembali mengayunkan tongkat itu hingga menghantam bahuku, aku oleng sesaat. Namun tidak lagi saat pinggang kiri Dino berhasil kuraih, saat berhasil melakukan itu, aku meraih pinggang kanannya lalu kutarik kerah bajunya, kueratkan cengkeraman tanganku pada lehernya, hingga bilah kayu yang Dino pegang itu jatuh ke lantai.
"Lo tau?! Lo gak bisa gitu aja luapin dendam lo ke orang yang gak bersalah!" teriakku serak. "Lo boleh balas dendam! Tapi jangan sekali-kali lo luapkan ke Anya!"
BRAK! BRUK!
Dua kali aku menghantamkan kepalan tanganku ke wajah Dino. Meluapkan kekesalan, setiap kali kulihat Anya yang bahkan di sudut sana tidak bisa berdiri, semakin kuat pula setiap pukulan, bogeman, tendangan yang kuarahkan padanya.
Aku melukainya seolah setiap luka yang ada pada Anya akan hilang begitu saja jika aku melakukannya.
Aku memukulnya berulang-ulang. Lagi, lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi.
Seolah jika melakukannya Anya akan berhenti kesakitan, seolah jika melakukannya waktu akan berputar dan aku akan kembali waktu sekolah hari ini, dan aku akan menunggu Anya di tembok pembatas.
Bahkan aku yang mengenalkan tempat itu padanya.
Aku menggeram, gigiku kukatupkan satu sama lain sekuat mungkin, kerahnya kucengkram kuat hingga kakinya nyaris terangkat.
"MATI LO! MATI!"
Sebelum aku sempat melakukan satu pukulan lagi, Dino menendangku hingga aku terpental ke depan, ia lalu menghampiriku lalu menarik kerah bajuku, dan setelah itu ia tidak memukul.
Ia mencekikku.
Aku tidak bernapas, tangan kukerahkan sekuat mungkin untuk memukul lengannya. Dengan kekuatan yang masih tersisa, aku berusaha menendangnya, tapi ia sudah lebih dulu meninju mataku begitu keras hingga penglihatanku langsung memutih sekejap, seperti bohlam yang jatuh ke lantai.
"Aidan," suara Anya yang terdengar parau dan kecil membuatku mengurungkan niat untuk maju dan memukul Dino lagi.
Aku segera berlari ke arah Anya, duduk di depannya.
Aku segera mengangkatnya, kulihat ia masih sadar, namun lemah hingga matanya tak bisa terbuka total.
Aku langsung duduk sekeras mungkin hingga pinggang kiriku menghantap lantai kayu, menimbulkan bunyi remuk yang keras dari sana. Aku segera meletakkan lengan di bawah lutut dan di punggung atasnya.
Namun sebelum aku sempat berdiri, hantaman pada pinggangku membuatku melepas Anya. Aku menoleh lalu mendapati Dino, berdiri di sampingku, masih menyeringai sambil memegang balok itu.
***
Anya's POV
Aku hanya bisa terduduk dan diam. Luka sayatan pada pinggang dan betisku sama sekali tidak mengizinkanku berdiri.
Aku menangis begitu Dino kembali bisa meraih balok itu dan menghantamkannya pada pinggang Aidan. Teriakanku bahkan tak bisa keluar saat Dino memukul mata kiri Aidan, lalu melemparnya ke sisi tembok hingga kami berdua tersandar di tembok yang sama.
Dino meraih sebuah tangki, lalu membuka tutupnya. Tercium sebuah bau minyak tanah yang menyengat, lalu dengan tangkas, cowok itu menyiramkan satu tangki full minyak tanah itu ke atas kepalaku, dan ke atas kepala Aidan.
Aku menoleh pada Aidan yang juga terduduk di sampingku, mungkin juga menahan sakit, aku menggigit bibir begitu melihat sekujur wajahnya. Bibirnya berdarah, lebam ungu terdapat pada mata, wajahnya babak belur parah.
Namun untuk satu hal yang tak kumengerti, cowok itu tersenyum padaku.
***
Aidan's POV
Aku cuma bisa menyimak Dino yang tertawa-tawa penuh kemenangan ketika ia membuka tangki minyak tanah itu dan menyiramnya di sekitarku dan Anya, lalu menyiramnya di sekujur tubuhku.
Oh, aku tau apa yang akan dilakukan.
Ia juga menyiramkan tangki minyak tanah kedua ke arah benda-benda dan lantai di sekitar kami.
Aku menoleh pada Anya, lalu tersenyum pada cewek itu.
Pada saat berkelahi tadi, jangan katakan aku tidak mempelajari apa-apa.
Lewat semua benda di sekitar, lewat semua gerak-geriknya, aku tau banyak hal sekaligus.
Lewat tangki minyak tanah yang sedari tadi baunya tercium itu, aku tau ia sedang merencanakan apa setelahnya.
"Sayang banget ya, Aidan," Dino mendekatkan wajahnya ke telingaku. "lo kurang licik."
Lalu buru-buru sebelum minyak tanahnya mengering, cowok itu bergegas meraba-raba pinggangnya, meraba-raba saku celana jeans hitamnya. Mencari benda itu.
Aku tersenyum penuh arti.
"Sayang banget ya, Dino," Aku menatap Dino tajam. "Lo kurang cerdas." Lalu aku mengeluarkan benda itu dari kantongku. Sebuah korek api yang sudah remuk.
Dalam hitungan detik, ia kembali mengayunkan tongkat itu hingga menghantam bahuku, aku oleng sesaat. Namun tidak lagi saat pinggang kiri Dino berhasil kuraih, saat berhasil melakukan itu, aku meraih pinggang kanannya lalu kutarik kerah bajunya, kueratkan cengkeraman tanganku pada lehernya, hingga bilah kayu yang Dino pegang itu jatuh ke lantai.
Iya, aku mengambil korek api itu dari sakunya saat kuraih pinggangnya.
Sesaat setelah melihat tangki minyak tanah di sudut ruangan, aku sudah tau ia pasti mengantongi korek api dan ternyata benar.
Aku langsung duduk sekeras mungkin hingga pinggangku menghantap lantai kayu, menimbulkan bunyi remuk yang keras dari sana. Aku segera meletakkan lengan di bawah lutut dan di punggung atasnya.
Namun sebelum aku sempat berdiri, hantaman pada pinggangku membuatku melepas Anya. Aku menoleh lalu mendapati Dino, berdiri di sampingku, masih menyeringai sambil memegang balok itu.
Dan iya, aku meremukkan korek api di sakuku itu saat aku sengaja menghantamkan pinggang kiriku sebelum duduk dan mengambil ancang-ancang untuk menggendong Anya. hantamannya kulakukan sekeras mungkin, tidak kupedulikan seberapa sakit tulangku setelahnya.
Kuliat raut wajah Dino berubah total, dari seringai kemenangan berubah menjadi kesal dan marah. Sangat marah.
Dan tak lain tak bukan, ia meraih tongkat kayu itu lagi, lalu mengangkatnya.
Aku membelokkan badanku menutupi badan Anya. Namun sebelum kurasakan hantaman keras itu lagi, aku melihat seseorang⎯ralat, lebih dari satu orang⎯menahan kayu itu sebelum bergerak memukuliku.
***
Extra:
Kira's POV
Flashback
"OH MY GOD! AAAAAAAAAAAH!" Aku nyaris tuli begitu mendengar suara melengkik cewek berpakaian cheerleader di sampingku.
Sementara aku cuma menutup mulutku kaget, degup jantungku berpacu begitu melihat kaca mobil Aidan yang penuh darah. Sementara di dalamnya terlihat seseoang yang kepalanya berdarah, menyandar tak sadarkan diri di kemudi mobil.
Wajahnya memang tak terlihat, tapi ... dia mengenakan jaket Aidan.
Tidak salah lagi. di-dia adalah Aidan. Aku memperhatikan GPS cowok itu yang masih menyala di ponsel Grace. Dan alat pelacak itu berhenti di mobil Aidan ini, dan ponselnya ada di dalam mobil. Bersama ia yang tak sadarkan diri di kemudi mobil.
SRAK
Kurasakan cengkeraman jari-jari Grace di rambutku, lalu aku meringis.
"Elo sih! Elo! Elo gak becus! Hiks, liat gara-gara lo ngemudiin mobil lama banget kita terlambat! Hiks, liat Aidan gue-Aidan gue udah ... HUAAA!"
Grace mengamuk, ia menangis. Dan aku ketakutan.
Di tengah ladang ilalang pada tengah malam, berdiri memperhatikan teman kami yang sudah ... bersama seorang cheerleader lepas kendali yang tengah menjambak rambutku.
***
Next part:
"Sekarang terus terang, lo punya rasa ke Anya apa enggak?!"
"Untuk sekarang gue," jeda. "gue ... iya, gue suka sama Anya! Gue baru sadar gue udah suka dia dari lama, gue baru sadar rasa gue dari dulu lebih dari sekedar 'mau melindungi' Gue gelisah dia baring di sana dalam keadaan gak sadar! Gue mau setiap waktu yang gue habiskan bareng dia bertambah!"
"Kalau gitu gue minta maaf, karena mulai sekarang lo harus lupain Anya."
***
i cant believe i finished this chapter! Aku tunggu respon kalian di kolom komentar!:) Aku benar-benar suka nulis chapter ini dan aku harap kalian juga suka bacanya.
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top