Dua puluh|Misi (1)
Dear Penny,
----
***
Aidan's POV
Aku mengernyit memperhatikan buku sketsaku. Terlihat Anya yang duduk sambil menunggu di halte.
Aku malah menggambar Anya.
Kuperhatikan bangku kayu di mana Kira tadinya duduk. Cewek yang seharusnya menjadi objek gambarku itu sudah tidak ada di sana. Aku tidak sadar kalau dia sudah pergi.
Aku mengalihkan pandangan dari bangku ke buku sketsa. Kurobek halaman tadi, lalu kuremas. Namun sebelum membuangnya, tanganku berhenti di udara.
Aku membuka kertas yang telah teremas itu, lalu memperhatikan isinya. Segera kulipat empat kali. Lalu kuselipkan di bagian tengah buku sketsa.
Entah kenapa rasanya sayang kalau dibuang.
Karena bayang-bayang Dino dan ancamannya itu tiba-tiba menghantui lagi, aku segera mengambil ponsel dari saku, lalu menghubungi Anya.
Teleponnya tidak aktif.
Sudah sejak pagi Anya terlihat menghindar. Aneh, belakangan ini juga ia tidak lagi nongkrong bersamaku.
Anya banyak berubah.
***
Kira's POV
Belakangan ini, hari-hariku berubah.
Semenjak peristiwa itu, semua tak lagi sama.
Flashback
Aku berbalik badan, bersembunyi di belakang pintu perpustakaan.
Kulihat Anya dan Aidan berbicara serius. Aku perlahan tersenyum usil, masalah soal Dino yang memiliki jaket biru tua bergaris putih itu terlupakan sebentar. Masalah soal Dino yang mengusirku dari mobilnya itu terlupakan sebentar.
"Pasti Anya bakalan di-'Dor' nih."
Itu dugaanku waktu itu. Aku tersenyum usil di belakang pintu.
Namun setelah mendengar kalimat itu, darahku terasa berdesir.
"Jauh sebelum hari ini, gue mulai ngegambar Kirana Muthiara karena gue pikir waktu itu gue sama dia."
Detik itu juga, senyumku hilang.
Flashback end
Aku menunduk sepanjang pelajaran dari Pak Sukirman dimulai.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan Bu Tati yang masuk ke kelas untuk razia ponsel. Kulihat sekilas Anya memasukkan ponselnya ke kaus kaki dan aku pun melakukab hal yang sama, dulu kalau sudah begini, kami berdua akan sama-sama susah payah menahan tawa sambil menahan rasa tidak nyaman karena ponsel yang tersembunyi di kaos kaki kami masing-masing.
Hari ini Anya berubah menjadi pemurung.
Dan itu membuatku merasa seperti benar-benar jadi orang jahat.
***
Semuanya terasa asing, aku benar-benar tidak tahu caranya bertindak, seperti semua yang kulakukan akan berujung jadi kesalahan.
Cemberut di bibirku memudar begitu melihat Anya duduk di salah satu kursi kantin sambil meminum jus jeruk. Aku segera berlari menghampiri, duduk di bangku depan Anya.
"Wa!" aku berseru, cengiran lebar kuukir di bibir.
Namun lagi-lagi, senyumku hilang.
Kulihat wajah Anya yang tidak lagi segar seperti dulu, sahabatku itu benar-benar menjadi pemurung. Banyak sekali perasaan bersalah yang muncul, aku menunduk dalam, kuremas ujung rokku.
"Anya, soal peristiwa itu, gue denger semuanya. Maaf ya, gu⎯" ucapanku terpotong.
"Eh, lo gak salah kok, kenapa juga lo minta maaf? Gak papalah, Ki," lalu Anya bangkit berdiri.
Ia memang tersenyum, tapi matanya kosong.
Ia memang berkata seolah tidak terjadi apa-apa, tapi matanya berkaca-kaca.
Dan detik ketika Anya pergi itu, aku tidak pernah melihatnya lagi setelahnya.
***
Aku pulang saat sekolah sudah benar-benar sepi. Tidak ada orang-orang, dan Anya sama sekali belum kulihat. Terakhir ia kulihat adalah sewaktu jam istirahat.
Anya bahkan tidak masuk jam pelajaran terakhir.
Aku menimang-nimang pikiran. Lalu memutuskan untuk menelponnya.
Tidak aktif.
Ke mana dia?
Aku berjalan lesu keluar dari gerbang.
Anya.
Dino.
Mereka terngiang-ngiang di kepalaku, di setiap hal yang kulakukan, di setiap tidur yang berusaha kudapatkan, mereka selalu ada di pikiranku.
Belum lagi kepalaku sudah mau meledak memikirkan mengapa Dino menguncikan Anya waktu itu.
Langkah lesuku terhenti begitu melihat ke arah pelataran parkir. Hanya ada dua kendaraan di sana.
Kulihat mobil warna putih yang tidak asing itu. Mobil di mana hubunganku dengannya serasa berhenti. Mobil Dino.
Dan Dino ada di sana.
Lalu mata kami bertemu.
Kami sama sekali tidak melepas pandang.
Aku tidak ingin melepas pandanganku, dan begitu pula dengannya. Dino melihatku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Lama kami diam dalam posisi yang sama. Sampai akhirnya aku meneruskan langkah. Dari kejauhan, dapat kurasakan Dino ikut berpaling, lalu masuk ke dalam mobilnya.
***
Dino's POV
Kira berdiri di sana. Kami saling bersitatap.
Dalam hati aku menyesal, upaya mendekatinya karena modus untuk lebih tau tentang sahabatnya, berubah menjadi rasa sungguhan.
Pada akhirnya aku hanya menyakiti perasaanku sendiri. Dan perasaannya juga.
Aku menghela napas begitu melihat Kira berlalu. Tanganku kukepalkan erat-erat.
Aku tidak punya waktu untuk itu.
Aku punya suatu hal penting yang harus dilakukan.
Hal yang sangat penting.
Kubuka pintu mobil. Lalu kulihat ia menutup mata, wajah pucat, keringat bercucuran, dengan tali yang mengikat tubuhnya di jok belakang.
***
Aidan's POV
Ingat hukuman Bu Tati sewaktu aku menukar tali sepatuku dengan tali sepatu milik Anya?
Aku diberi hukuman membersihkan perpustakaan sepulang sekolah selama sebulan penuh.
Setiap semenit, aku selalu melihat jam tangan. Sudah sepuluh menit lamanya setelah bel pulang berbunyi.
Sekolah sepi, seharian ini Anya tidak ada, dan ia tidak mengangkat teleponnya.
Lalu itu sudah cukup untuk membuat tanganku bergetar dan keinginanku menelpon gadis itu setiap lima menit sekali.
Dan ponselnya selalu tidak aktif. Hal itu membuat keringat di dahiku semakin bercucuran.
Aku menggerakkan kain pel dengan satu tangan, tangan satunya kugunakan untuk merogeh ponsel dari saku lalu mencari nama Anya di kontak telepon.
Tidak aktif.
Perasaan buruk mulai berdatangan. Aku mulai gelisah, kugerakkan pel itu asal-asalan. Tanganku bergetar lemas begitu kuingat lagi ancaman Dino tempo hari.
Kulihat pintu perpustakaan terbuka lebar di depan mata, kulihat Bu Tati juga duduk di kursi informasi peminjaman di samping pintu itu.
Aku melihat jam lagi.
Ah masa bodo, terserah setelah ini aku mau dihukum sampai kapan, aku tidak peduli.
Kubuang pel itu ke lantai, lalu berlari keluar dari perpustakaan.
"AIDAAAAAANN!" Diikuti dengan teriakan Bu Tati setelahnya.
***
Aku berlari sekuat tenaga menyusuri koridor, bunyi hentakan sepatuku beradu dengan keramik lantai putih itu bergema di sepanjang koridor.
Kulihat papan nama kelas di atas, kelas XI.11, kelas Anya.
Aku masuk ke dalam, kelasnya sudah kosong. Aku mengecek semuanya, lapangan, loker, ruang OSIS, hingga bangku taman. Anya tidak ada.
Aku berlari dengan keringat yang bercucuran, jantungku berdegup, panik menjalar.
Jangan sampai, jangan sampai ...
Pelataran parkir juga kosong, tidak ada satupun kendaraan selain mobilku. Mobil Dino juga tidak ada.
Aku mengacak rambut sembari meringis. Segera kukeluarkan ponsel dari saku, lalu menelpon Anya sekali lagi.
Tidak aktif.
Sialan.
Aku segera berlari ke arah mobilku, lalu dengan uring-uringan, masuk ke dalam. Dengan tangan yang bergetar, dengan perasaan yang tak karuan, aku menelpon Kira.
"Halo, Ki, lo tau sekarang Anya di mana?" tanyaku panik, setengah berteriak.
Dari ujung sana, dapat kutahu Kira terkejut, tertanda dengan gumaman tidak jelasnya sebelum berkata, "Gu-gue gak tahu, Dan," ucapnya. "Tadi Anya gak masuk pelajaran terakhir, gue gak liat dia sampai pu⎯"
Aku memutuskan panggilan.
Kutelan ludah gugup, segera kuhubugi Mathio Raynaldi. Thio, sobat dekatku, sekaligus teman sekelas Dino. "Halo Thio, lo tau Dino di mana?!" ucapku panik tanpa kontrol.
Thio yang asing dengan sikapku yang seperti ini ikut gelagapan seperti Kira, lalu berkata, "Ma-mana gue tau, Dan," ucapnya. "Tadi Dino bolos pas jam pelajaran terakhir, emangnya kena⎯"
Aku menutup telepon, lalu menginjak pedal gas keras-keras.
***
Anya's POV
Aku membuka mata perlahan, langsung disambut dengan bau parfum mobil yang membuatku pening, disambut dengan badan yang nyeri, seluruh tubuhku terasa kaku dan nyeri. Rasanya tenggorokanku sakit, keringat bercucuran, dan mataku tak bisa terbuka seutuhnya.
Kurasakan guncangan keras, rambutku bergoyang mengikuti arah guncangan. Kugerakkan pundakku, namun aku masih saja berada dalam posisi yang sama, tak bergerak. Aku diikat.
Kuteliti suasana sekitar. Jok mobil, dashboard, pintu mobil, cahaya silau dari kaca jendela. Aku ada di jok belakang sebuah mobil.
Dan dari situlah, kepalaku memutar peristiwa kilas balik samar-samar.
Flashback
Jam pelajaran terakhir. Di belakang sekolah. Di tembok perbatasan.
Aku merasakan seseorang yang datang dari belakang, aku sempat berbalik, lalu samar-samar wajah cowok yang tidak asing itu terlihat.
Selanjutnya kurasakan degup jantung yang semakin kencang, kurasakan tanganku yang bergetar, takut yang menjalar. Kurasakan aroma menyengat nan kuat dari kain yang menghantam bagian mulut dan hidungku, kurasakan cowok itu menahan tubuhku. Lalu badanku lemas, lalu semuanya gelap.
Sial, dia pasti melihatku berjalan ke belakang sekolah sebelum jam terakhir di mulai.
Di tengah kegelapan itu, aku sadar sedikit, aku tahu aku digendong Dino dan kami sudah berada di luar sekolah, tepat di lahan indah yang dulu Aidan perlihatkan padaku, aku masih bisa melihat samar-samar tembok pembatas itu.
Aku ingin meronta, tapi tubuhku tidak bisa bergerak, suaraku tidak bisa keluar. Di dalam gendongan orang itu, aku hanya melihatan pepohonan dan tanaman yang dulu cuma kulihat dari atas tembok pembatas sekolah.
Lama aku berusaha meronta, tidak ada hasil, aku hanya berakhir dibawa semakin jauh ke lahan antah berantah ini.
Lalu aku pusing, pandanganku langsung buram dan memutih.
Namun sebelum aku menutup mata, dibalik pepohonan dan semak rimbun, aku melihat sebuah mobil terparkir di sana.
Dugaanku salah, dia tidak hanya melihatku berjalan ke sini sebelum jam terakhir mulai siang ini, melainkan dia sudah tahu sejak lama bahwa aku selalu ke sini jika aku ingin, dia seteliti itu, dia selalu siap melakukan aksinya kapan saja, ia menungguku.
Ia akan menentukan waktu untuk memulai aksinya bukan tergantung pada rencananya, tapi tergantung pada keinginanku, pada keputusanku.
Flashback end
Seakan menghantui, getaran dan rasa takut itu kembali datang. Keringat bercucuran lagi, aku takut, rasanya ingin menangis.
"Buka!" Aku menggedor pintu kelas itu. "Buka! Buka!"
"Anya astaga! kenapa lo bisa terkunci di dalam!"
"Tadi ada anak cowok yang datang minta kunci kelas X.11, alasannya karena barangnya ketinggalan di sana."
Sekarang aku sudah tahu.
Aku meneliti sekitar lagi, mataku yang sayu mendapati jaket biru tua bergaris-garis putih tersampir di bahu jok depan sebelah kanan.
Aku menutup mata ketakutan, tanganku tidak bisa berhenti bergetar.
Andino Jullio, Dino.
Kuarahkan bola mataku yang setengah tertutup itu ke jok sebelah kiri. Seorang cowok mengemudi dengan punggung tegak, memakai jaket hitam.
Dino.
-
Masih embayangkan adegan film horor yang tadi kunonton di rumah Kira, seseorang langsung menarik pergelangan tanganku, dengan terkejut, aku mendapati Dino di sana.
"Anya kan? Kita harus bicara."
-
"Wah untung ketemu di sini, kalau gak, mungkin gue akan sampai di rumah lo pas langit udah gelap, makasih ya infonya tentang Kira!"
Dino pun berbalik pergi.
"Eh? Darimana dia tau alamatku?" batinku
-
Sial, selama ini ternyata dia begitu dekat
Aku menutup mata, badanku lemas dan sakit. Nyeri di pundak karena ikatan yang terlalu kuat itu sakit bukan main, rasanya menggores dan menancap di kulit.
Laju mobil bertambah kencang, membuat kepalaku pusing, tenggorokanku bertambah sakit.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Tidak ada.
"Dan lagi, lo kok gak nyalain GPS, sih?!" serunya lagi. "Kan mulai kemarin kita udah sepakat kalau lo udah pulang, ya dinyalain, lo juga setuju kan? Emang lu udah lupa ya? udah gak takut dikunciin?"
"Ih emang perlu banget ya? Kayak berlebihan gitu, kan bisa nelfon?" ucapku.
"Ck! ikutin aja perintah gue, dulu waktu lo kekunci di kelas, emang lo nelfon?"
"Ya kan itu karna hp gue mati! Kalau kayak gitu, emang GPS juga bisa nyala, hah?"
"Bodo, lo udah janji, kesepakatan soal GPS gak berubah, jangan bawel."
Mataku melebar.
Benar, GPS.
Apa Aidan masih menungguku di tempat parkir?
Apa dia akan mencari?
Aku teringat razia ponsel yang diadakan Bu Tati di sekolah tadi. Sebelum pelajaran terakhir, aku menyelipkan ponselku di dalam kaos kaki.
Aku menggigit bibir begitu tali tambang kasar itu menggores pundakku saat mobil berguncang. Ngilu dan pedis di pundak itu membuatku hampir meringis tapi kutahan dengan upaya menggigit bibir.
Kacau jika iblis itu tahu aku terbangun.
Aku kembali fokus pada betisku yang terasa aneh. Benar, ponselku masih di sana. Dengan susah payah agar tidak menimbulkan bunyi, aku berusaha menggerakkan lengan mencapai betis.
Perlahan aku membengkokkan betis hingga mudah dicapai tangan, beruntung, sama sekali tidak menimbulkan suara, walau hanya sedikit pergerakan.
Aku menelan ludah, menghilangkan gugup.
Perlahan kugerakkan lengan hingga hampir mencapai ujung kaus kaki. Sial bagiku, begitu terdengar sedikit bunyi gesekan antara lengan dan tali.
Aku memejamkan mata, badanku kugerakkan selemas mungkin.
DEG!
Lalu kurasakan Dino berbalik, setan itu sempat memperlambat laju mobil. Lima menit kemudian, mobil kembali melaju kencang.
Aku mengernyitkan dahi lega begitu kubuka mataku setengah, dan Dino sudah kembali fokus pada kemudi.
Aku akan menunggu hingga mobil pelan, tanda ada cekungan atau polisi tidur. Di saat mobil berguncang, aku punya kesempatan bergerak dan menimbulkan suara karena kemungkinan tidak akan terdengar.
Benar saja, mobil memelan. Saat guncangan itu tiba, aku buru-buru memanfaatkan waktu singkat itu dan meraih ujung kaus kakiku. Dengan sigap, aku segera menarik ponsel itu, lalu menjatuhkannya ke belakang punggung.
Ponsel ini ada di belakang punggungku sekarang.
Walau tak melihat layar, aku menekan tombol unlock, lalu membuka kunci dengan cara menggeser layar.
Dengan telapak yang bergetar di balik punggung, aku segera megusap layar ponsel dari atas ke bawah. Mode pengaturan cepat.
Walau aku menggunakan ponsel ini setiap hari, aku masih saja lupa di mana letak mode GPS di pengaturan cepat.
Tidak ada cara lain lagi, aku harus menekan semua mode pada layar. Terserah baik itu pencahayaan, Bluetooth, wifi, hotspot, ataupun data seluler aku tak peduli, yang penting tentunya, GPS adalah salah satu dari semua mode yang menyala.
Aku melemaskan badan, lalu memejamkan mata.
Satu-satunya harapan cuma satu orang; semoga Aidan masih menunggu, semoga ia masih mencari.
***
Kira's POV
Setelah mendapat telepon buru-buru Aidan tentang Anya, aku sedetik pun tak bisa merasa tenang. Selalu panik dan gelisah.
Firasat buruk terus-terusan datang, dan otakku tiba-tiba mengaitkan ini dengan peristiwa sewaktu Anya terkunci di dalam kelas sendirian. Dengan cowok berjaket biru tua dan garis-garis putih itu. Dengan Dino.
Alhasil aku memaksa tukang ojek di depan rumahku yang sedang jam tidur untuk mengantarku ke sekolah.
Aku berlari menuju pelataran parkir, berharap menemukan Aidan atau jika aku bernasib baik⎯menemukan Anya.
Namun aku memang tidak pernah bernasib baik.
Aku malah menemukan Grace di pelataran parkir.
Kambing.
Aku merogoh saku begitu ponselku bergetar, mataku melebar begitu membaca pesan singkat dari Aidan.
Aku langsung panik, seluruh tubuhku rasanya bergetar. Aku melihat Grace, lalu menelan ludah. Cuma itu satu-satunya cara.
Aku berlari sekencang-kencang ke arah Grace sebelum ia menutup pintu mobil yang akan ia kemudikan itu. Mata gadis berpakaian cheerleader itu melotot horror begitu melihat cewek yang pernah menjambak rambut pirangnya, tiba-tiba nongol dan menahan pintu mobilnya.
Tanpa kontrol, aku segera mendorong tubuh Grace, sehingga cewek berkaki jenjang itu terhempas ke jok di sebelah kanannya.
"HEH! LO NGAPAIN!" semburnya.
Dengan wajah innocent, alias tak bersalah, aku segera duduk di depan kemudi. Tak mengindahkan wajah Grace yang bingung setengah takut setengah marah melihatku duduk di depan kemudi mobilnya.
"Pinjem mobil lo ya, beb," ucapku sembari mengedipkan mata.
Kantong mata sebelah kanan Grace terlihat bergetar-getar, cewek itu cuma bisa terhempas mencium dashboard sesaat setelah kakiku menginjak pedal gas.
***
Aidan's POV
Aku mempertajam penglihatan, pedal gas yang kuinjak sama sekali tidak merubah tekanan di sekujur tubuhku.
Kecepatan di atas rata-rata, sangat di atas rata-rata.
Adrenalinku berpacu.
Semburat oranye yang sudah muncul di langit sama sekali tidak kuhiraukan, aku terus membelok-belokkan kemudi, mobil bertambah cepat.
Aku mengerem mendadak lalu segera membanting stir bergitu melihat seorang pejalan kaki. Semua orang di sekitarku tampak terkajut, begitu roda mobil melaju melewati si pejalan kaki, bunyi klakson kendaraan dan teriakan orang-orang menyusul.
Tapi mobilku terus kulajukan, terus membelah jalan petang yang padat. Mencari celah di antara dempetan kendaraan, menerobos lampu merah. Tapi kerutan di dahiku tak berkuran satu pun, seluruh fokusku ada pada jalanan di depanku.
Aku meninju klakson berulang-ulang begitu mendapat kemacetan parah tanpa celah.
Sialan, tidak ada waktu unduk melongo menunggu kendaraan-kendaraan ini berajalan.
Aku melihat sekitar, lalu mataku melebar.
Kukeraskan segera sabuk pengamanku, kubelokkan stir, lalu segera kuinjak pedal gas. Pantulan kuat itu hampir membuat kepalaku membentur jendela mobil. Kini kedua rodanya melaju pada trotoar, menerobos tumpukan daun-daun kering di depanku.
Teriakan itu tak lagi kuhiraukan.
Bunyi klakson tak hentinya menelusup ke lubang telinga.
Jari-jariku bergetar. Kulihat ponselku yang disangga pada dashboard.
GPS Anya menyala, dan itu berarti ia mengirim tanda. Dan itu berarti si bengis itu sudah memulai aksinya.
Di saat itu juga, aku mempercepat laju mobil.
"SIAL!" Ratusan kali aku mengumpat, meninju kemudi mobil, emosi memuncak hingga ujung kepalaku hingga mataku rasanya mulai berair. Aku menyalahkan diriku berulang kali. Dino sialan itu melihat celah! Soal Anya yang tidak masuk jam pelajaran terakhir itu sama sekali tidak kuperhitungkan.
Aku gelisah, terlalu gelisah untuk mempedulikan jalanan di depanku.
Guncangan itu berulang ketika mobilku turun dari trotoar itu, dapat kurasakan sedikit benturan dengan sebuah mobil truk, namun seoalah tak terjadi apa-apa, aku terus melajukan mobil. Menggerakkan stir dengan fokus, namun tanpa control.
Keringat di dahiku bercucuran.
Aku berada jauh di belakang mobil sialan Dino.
Tapi demi apa pun juga, aku tidak akan membiarkan Dino menang. Demi apapun juga, aku tidak akan membiakan Anya terlibat, dan akhirnya terluka.
Anya, tunggu aja, gue gak akan lama.
***
Anya's POV
Aku mengernyitkan dahi menahan perih dan sakit di pundak. Tali tambang ini memiliki sisi yang runcing seperti jarum. Dan sebagian seperti menancap di pundakku, menimbulkan ngilu yang sakit luar biasa.
Aku membuka mata setengah lalu sadar bawah tak ada lagi cahaya terang yang menelusup ke kaca jendela mobil. Digantikan dengan semburat oranye yang perlahan-lahan berubah menjadi gelap. Hingga pekat.
Sudah lewat petang.
Tidak ada lagi cahaya.
Aku mengintip sedikit lagi, yang tadinya langit biru disertai bangunan-bangunan tinggi yang masih bisa kulihat bahkan saat aku berbaring, diganti dengan langit kelabu pekat yang dihiasi pohon-pohon lebat.
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat menghilangkan getar, takut, sakit, dan firasat buruk.
Apa Aidan masih mencari?
Apa Aidan mengejar?
Aku terkesiap, jantungku berdebar begitu kurasakan mobil itu berhenti, lalu mesinnya mati.
Aku buru-buru memasukkan ponsel ke dalam kaus kaki lagi, lalu pura-pura pingsan. Kulemaskan badan selemah mungkin, bahkan jariku tidak kuberikan power sedikit pun.
Jantungku berdegup lebih kencang, begitu kurasakan Dino keluar dari mobil lalu berjalan dan membuka pintu belakang, tempat di mana kepalaku menghadap.
"Gak usah pura-pura lemas, gue tau efek obat bius lo udah lama habis," bisik Dino di telingaku, membuat badanku serasa membeku. "Ohya, dan makasih udah bawain Aidan buat gue."
Dino menarik ponselku dari kaus kaki, lalu tersenyum begitu melihat GPS di ponsel ku yang sedang dalam keadaan menyala.
***
Aku benar-benar suka nulis scene gini-ginian dan aku harap kalian juga suka bacanya, but once again guys, iam not a pro, iam far from it and iam currently trying to be better . Kalau ada bagian yang kalian tidak mengerti, tanyain aja ke kolom komentar nanti aku jawab. Plus, siapa tokoh Sketcher's Secret yang kalian suka dan apa alasannya? Segini dulu yaw, sampai ketemu di chap berikutnya!
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top