Dua Puluh Lima|Momen
Dear Penny,
Hal yang paling kutakuti dari waktu adalah, ia mampu mengubah kejadian berharga yang kita alami sekarang menjadi memori lampau yang bisa saja dilupakan di masa depan.
***
Dan pada malam itu pula aku telah melakukan kesalahan yang membuat waktumu di sini pada saat itu semakin habis. Kita terlalu hanyut dalam pembicaraan hingga tertidur. Aku di atas karpet tebal, dan kamu di ranjang rumah sakit. Seharusnya aku terbangun pada pukul Sembilan, di mana ponselku berdering tanpa henti, dipenuhi oleh panggilan tak terjawab.
Kirana Muthiara
08:57
Kak Lya sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, lo harus pulang sekarang.
Namun semuanya sudah terlambat. Pada pukul sembilan lewat sepuluh, seorang perempuan berambut cokelat muda berdiri di depan kamar inapmu, masih memakai jas kuliah sambil menerima telepon dari orang tuamu. Mengucapkan kata "Baiklah." begitu mereka menyuruhnya membawamu pergi secepatnya.
***
Anya's POV
Semburat-semburat warna buram berubah menjadi jelas, menapakkan langit-langit rumah sakit yang terang. Aku menutup mataku ketika cahaya silau dari lampu putih di atasku membuat mataku sakit.
Aku menggerakkan kakiku, menimbulkan suara-suara samar antara selimut dan sprei putih yang berbau khas rumah sakit.
Perlahan, aku menggerakkan punggungku hingga tegak, memundurkan badan hingga kini punggungku telah bersandar pada bantal, menimbulkan rasa lega dan rileks.
Dengan mata yang masih setengah tertutup dan kesadaran dari tidur yang masih terkumpul lima puluh persen, aku menggerakkan leherku. Mataku menelusuri setiap bagian dari rumah sakit.
Sebelah kiri, jendela lebar berbingkai putih yang gordennya terbuka membuatku kembali menahan silau, lalu aku memutar kepalaku ke depan, pintu rumah sakit setengah terbuka.
Otakku sempat memproses, namun karena masih dihadang kantuk, aku tidak mempedulikan dan tidak memikirkan alasan mengapa pintu itu terbuka setengah.
Hingga tiba pada saat kepalaku menoleh ke samping kanan, ke arah pintu kamar mandi.
Mataku melebar, refleks seluruh kesadaranku terkumpul hingga seratus persen, degup jantungku meningkat, memacu teriakanku hingga rasanya naik ke pangkal tenggorokan.
Seorang laki-laki berambut cokelat-Aidan-berdiri di depan pintu kamar mandi itu. Ia memakai celana jeans hitam, rambut cokelatnya yang basah terlihat sangat acak-acakan, tetesan air dari rambutnya masih membasahi wajahnya.
Cahaya matahari dari jendela menerpa mata hitamnya, hingga membuat kedua manik itu terlihat mengkilap.
Dan yang membuat bola mataku nyaris keluar dari rongganya adalah, cowok yang tubuhnya tinggi menjulang itu sama sekali tidak memakai apa-apa yang menutupi pundak hingga perutnya, ia hanya memegang handuk kecil putih yang ia guanakan untuk mengeringkan rambutnya hingga acakan.
Melihat Aidan shirtless pagi-pagi begini di saat kondisi mataku baru bangun dalam beberapa menit yang lalu tentu saja bukan hal yang biasa.
Cowok berambut cokelat itu Cuma mentapku datar-seperti yang selalu ia lakukan-seolah badan yang lumayan atletis khas pemain basket itu tidak cukup membuat seluruh tubuhku terasa tersengat listrik.
Pagi itu, aku mengeluarkan teriakan terkerasku, bersamaan dengan bunyi PLAK dari guling yang mengayun dari tanganku sebelum mendarat tepat di dahinya.
***
"Emangnya kenapa lo mandi di sini? Gak ada tempat yang lain kah?!" Aku masih menutupi wajahku yang memanas dengan bantal.
"Denger ya, Safanya Aluna, lo mau ngebuat gue kembali ke rumah gue yang jauh cuma buat mandi doang? Padahal kamar mandi jelas-jelas ada enam-tujuh langkah di depan gue? lagipula kemarin gue juga udah bawa baju ganti buat jaga-jaga." Aku merapatkan gigi-gigiku keras sekali, mataku tertutup menahan sebal.
"Aidan Fhardika Nathala, lo pikir keluar dari kamar mandi gak pake baju padahal di luar ada cewek itu wajar?" tanyaku, menyingkirkan bantal dan melemparnya ke arah Aidan, tapi sialnya, ia berhasil menangkap bantal itu layaknya menangkap bola basket.
"Wajar kok, kan batas aurat cowok emang segitu, gue jug gak nyangka lo tiba-tiba bangun bersamaan dengan gue keluar dari kamar mandi," ucapnya masih dengan wajah datar yang membuatku ingin melempar satu lagi bantal ke arah wajahnya. "Lagipula biasa aja kali! Pernah nonton film gak sih?"
"Kalau di film sih beda, Nyet," aku memasang mata tersinisku, yang kurasa sudah cukup mengintimidasi. Tapi melihat itu, Aidan malah tertawa kecil, lalu cekikan hingga lesung pipinya terlihat. Membuatku terhenyak sebentar.
Wah ... ganteng.
"Jadi gue yang pertama gitu?" ucapnya masih tersenyum ringan. "Lagipula lagi, ngeliat gue juga lo gak bakalan rugi. Malah untung."
Sial pangkat lima, wajahku rasanya memerah semua. "HEH! Ngomong apaan sih, diem!"
"Pipi lo merah banget," bibir Aidan terangkat sedikit. "Kasihan ya jadi elo, susah bohongnya."
"HEH!"
Aidan tertawa sambil kemudian memakai kaus hitam yang baru saja ia ambil dari tasnya.
Aidan menyengir lebar, namun matanya terlihat memancarkan sorot yang sayu. "Lo kayak anak umur 10 tahun, mana badan kecil pula," ucapnya masih memungut bantal-bantal di lantai.
Lalu ia berjalan mendekat, masih membawa bantal-bantal itu di lengannya, lalu menjatuhkannya di atas lututku. Kemudian seluruh badanku terasa aneh, karena Aidan tidak langsung berdiri. Melainkan mengerahkan kepalanya hingga kepala kami berhadapan, kami menukar tatap.
Lalu cowok itu perlahan mendekatkan wajahnya. Sangat dekat hingga ujung hidung kami hampir bersentuhan, sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
Aidan menatapku dengan sorot mata datar, ia terlihat sangat santai. Sementara aku membeku, otakku tidak tahu mau menggerakkan anggota tubuh yang mana, benar-benar membeku.
Di saat wajah kami hampir tak terpisah jarak sama sekali, kulihat bibir Aidan bergerak lalu berkata, "Luka lo yang di muka lo udah hampir ilang ya," ucapnya hampir berbisik.
Mataku melebar, menatap lurus ke matanya yang dekaaaaat sekali, dia juga melakukan yang sama, matanya tidak lepas dan tatapannya serius. DAN DUH KOK DIA GAK GERAK-GERAK SIH MAU SAMPE KAPAN BEGINI WOI JANTUNG GUA COPOT!
Aidan tersenyum simpul, namun lagi-lagi, matanya sayu. Memancarkan sorot yang entahlah, mungkin sedih
Senyum simpul dan sorot matanya masih tetap sama ketika ia akhirnya berdiri tegak, tak lagi mendekatkan wajahnya. Saat ia sudah tidak di posisi yang tadi pun, aku masih menahan napas.
Kudengar suara cengiran kecilnya, bersamaan dengan perasaan hangat ketika kurasakan tangannya mengacak-ngacak rambut di puncak kepalaku.
Lalu cowok berambut cokelat itu berbalik dan berjalan ka arah jendela, melipat tangannya di atas bingkainya lalu membelakangiku sambil menikmati angin.
Aku menoleh ke kiri, memandangi cowok yang terdiam, memandangi pemandangan luar jendela sambil menikmati angin.
Percayalah, hari ini Aidan bertingkah lebih sulit ditebak dari biasanya. Jangankan membuat prediksi, bayangan tentang apa maksud dari ulahnya saja tidak ada.
Percayalah, hari ini Aidan bertingkah terlalu aneh. Yang keanehannya itu dapat membuatku berdegup lebih kencang berkali lipat, dan hari ini adalah puncaknya
Aidan itu misterius, menurutku ia punya sejuta hal abu-abu yang terlihat jelas di mata orang yang ada di sekitarnya, tapi hanya ia yang mengetahui maksud tersembunyi dari hal-hal itu. Dan akan sangat sulit memecahkan dinding pertahanannya, karena cowok itu adalah penjaga rahasia yang ulung.
***
Mataku melebar begitu terdengar suara, "Aku kehilangan atraksiku." Dari ponselku yang sekarang sedang kupegang. Game monopoli itu membuatku melupakan seluruh hal di sekitarku. Bagaimana tidak, aku hampir saja menang tadi, namun dengan cepat, si lawan langsung membalikkan kedudukan.
Hanya ada satu cara agar aku bisa memenangkan kembali game monopoli itu, yaitu menginjak "Parkir bebas" dan mendapat tiga wilayah dengan blok yang sama.
Deg ... Deg ... Deg...
Mataku melebar begitu dadu itu sudah mulai keluar di tengah papan permainan. Kumohon katakan lima, lima, lima. Karena lima langkah lagi hingga aku mencapai "Parkir bebas"
Dadu itu akhirnya berhenti dan hasilnya adalah ...
Lalu terdengar suara seseorang bernada cempreng dari ponselku mengatakan, "Lima!"
Mataku melebar, "OMG, YES! YES! YE-"
"Woi." Lalu ponsel itu hilang digantikan angin bersamaan dengan suara bernada sedatar triplek itu. Aku menelan ludah, menggumamkan kata What the fluck di ujung lidah.
Aku menoleh ke samping kiri dengan cepat lalu mendapati Aidan dengan ekspresinya yang lagi-lagi kosong, terlihat menyebalkan karena di tangannya terdepat ponsel dengan game yang hampir kumenangkan itu.
Semenit kemudian, ponsel ditanganku berbunyi, membunyikan nada yang terdengar horror di telingaku. Nada yang menandakan bahwa aku kalah.
Mataku melebar lagi. "AH ELAH!" teriakku. Aku menatap Aidan lekat-lekat. "LO TAU, DAN?! ITU MODE PLATINUM!" Seruku sambil menarik ujung rambutku geram.
Kalian tahu? Butuh waktu lama dan aset yang banyak untuk memainkan mode platinum di game itu, dan jika kalah, akan hilang dan rugi besar. RUGI BESAR.
Sungguh, rasanya ingin menangis.
"Ngapain sih lo asal ngambil?! Itu gue udah hampir menang. AH TAI!" aku mengacak-ngacak selimutku.
Melihat Aidan yang tidak berekspresi sama sekali membuatku ingin melempar gelas ke arahnya.
"Abis lo berisik. neriakin 'Ah kampret," nendang sambil bilang "yes, yes, yes," neriakin "Please, please, please." Mulu pusing gue dengernya," ucap Aidan sambil kembali duduk di kursi samping tempat tidurku.
Aku tidak tahu aku melakukan itu semua.
Aku cuma melempar pandangan sinis ke cowok berambut cokelat yang kini mengantongi ponselku, memegang remot tv dan menekan salah satu tombol.
Santai sekali lagaknya.
"Tapi tetap aja! gak usah asal ngambil gitu!" Aku merenggut lalu segera merebahkan kepalaku ke atas bantal, menarik selimut hingga leher lalu menutup mataku, berusaha untuk tidur.
Seperkian detik kemudian, dapat kudengar suara dari televisi itu berhenti, Aidan mematikan televisinya. Aku sadar akan hal itu, tapi tetap menutup mata.
"Anya," panggil Aidan dengan nada yang tidak bisa kuartikan.
Aku berusaha memasang tampang datar. "Apaan?" tanyaku tanpa membuka mata.
"Cepet ganti baju, kita keluar," ucap Aidan dengan nada yang lagi-lagi tidak dapat kuartikan.
Tapi kalimat itu langsung membuat mataku serasa melotot walau kelopak mataku turun. Apa tadi katanya? Keluar? Jadi dia ngajakin jalan gitu? Jika aku sudah kehilangan kendali, mungkin sekarang aku sudah otomatis terbangun dan mengangguk pada cowok itu.
"Ogah ah! Males," ucapku spontan.
Gengsi selalu menang.
Aku memasang telinga baik-baik, lalu dapat mendengar suara decakan Aidan dari sana. Sial, aku penasaran, sangat penasaran.
Gimana kalau dia gak ngebujuk kayak kebanyakan cowok? Aidan kan manusia batu. Berarti gak jadi jalan bareng? Ah kampretos, seharusnya tadi aku mengiyakan saja.
Karena rasa penasaranku tak bisa kubendung lagi, aku membuka mata sedikit sekali agar Aidan tidak melihat. Lalu aku mendapatinya masih terduduk di sana, memegang ponselku dengan kedua tangan, alisnya tertaut, matanya menatap serius ke layar ponselku, dan bibirnya mengukir garis tipis hingga lesung pipinya terlihat samar-samar.
Ngomong-ngomong Aidan dengan ekspresi serius akan sesuatu adalah favoritku juga. 'serius' dan 'datar' itu bagiku beda, dan melihat Aidan serius sekarang membuatku rasanya ingin berkata. "Eh Aidan, jalan yuk, sekarang, tadi gue bercanda, lo tunggu di luar, gue ganti baju sekarang."
Aku menelan ludah kaget begitu kurasakan kepala Aidan mulai menoleh ke arahku. Dengan cepat, aku segera menutup mata dan memasang wajah sewaras mungkin agar dia tidak sadar tadi aku sempat membuka mata sedetik.
Kelopak mataku rasanya kram karena 10 menit menahan agar tetap datar, hingga akhirnya kurasakan tarikan di pipiku keras.
Otomatisku aku langsung terbangun, refleks dengan sangat cepat, punggungku langsung tegak menuju posisi terduduk.
PLAK!
"ADUH!" lalu kudengar Aidan berseru, bersamaan denganku, mengucapkan kata yang sama pula. Kami saling membentur dahi.
Aku meringis, menutupi seluruh wajahku, menumpkan siku pada paha, masih mengaduh sakit karena dahiku terrasa berdenyut dan nyeri.
Mataku melotot, kurasa aku tahu apa yang terjadi. Buru-buru aku menoleh ke kiri, lalu bibirku menahan senyum begitu melihat Aidan juga meringis sambil memegangi dahi dengan tangan kirinya.
Detik berikutnya mata kami bertemu.
"Lo bisa gak bangun gak kayak orang kesetanan gitu?" tanya Aidan, memasang wajah kesalnya, masih memegangi dahinya.
Ouch, itu benturan yang keras. Sangat keras.
"Lagian siapa suruh lo narik pipi gue, orang tidur mana yang gak kaget?" tanyaku bohong dengan mata yang sesinis mungkin.
Aidan menoleh ke kiri, aku memiringkan kepala bingung sewaktu melihatnya malah menahan senyum. Ralat, bukan menahan senyum, tapi menahan tawa, tawa yang keras hingga jika ditahan, lesung pipi cowok itu terlihat.
Walau tidak tahu alasan ia melakukannya, melihat Aidan yang jarang terlihat seperti itu, aku juga ikut tersenyum.
"Lo tadi pura-pura tidur, gue tau. Jangan bohong," ucap Aidan setelah berdeham, seolah ekspresi menahan senyum-ralat-tertawa tadi tidak ingin ia tunjukkan.
Tapi ... wait what?!
Jadi selama itu dia tau? Mengetahui itu, otomatis aku menunduk, menyembunyikan pipiku yang mulai panas. Merutuki diriku sendiri.
Lalu sepersekian menit kemudian, kurasakan sentilan di pelipis bagian kiriku. Aku menoleh, bodo amat dengan pipiku yang perlu disembunyikan. Aku menoleh hanya untuk mendapati Aidan memasang senyum jahil.
Menit kemudian wajahnya datar lagi.
Dia benar-benar mahir mengubah-ngubah ekspresinya.
Tangan Aidan kemudian terjulur, mengarahkan ponselku di tangannya tepat ke depan wajahku.
Aku mengernyit bingung, lalu mengambil ponsel itu dari tangannya, berusaha susah payah agar aku tidak terlihat bodoh. Pipi yang memanas dan degup jantungku yang semakin cepat dari biasanya cukup untunk membuat badanku kaku dan membeku seperti orang bodoh.
Bayangkan apa yang akan Aidan lakukan jika melihatku seperti itu.
Hell, no.
Jadi aku berusaha bergerak normal dan mengambil ponsel itu, meliat layarnya dan ... semua yang ingin kuhindari tadi malah kulakukan semuanya begitu mataku menangkap apa yang tertera pada layar ponselku.
Menang. Aidan memenangkan game monopoli tadi kembali, mode platinum hanya beberapa menit. Hanya satu kali tepat setelah ia membuatku kalah.
Tampangku semakin terasa memalukan ketika otakku memaksa bibirku ternganga.
Aku menoleh pada Aidan masih dengan ekspresi yang takjub, sementara cowok itu hanya memasang wajah datar.
"Tuh, gue menangin buat lo," ucapnya santai. "Sekarang cepetan mandi dan ganti baju."
Aku mengangguk. Tersenyum lebar sampai mataku terasa menyipit. Hal itu membuat Aidan ikut tersenyum, namun terasa janggal karena matanya sendu.
Senyumku memudar kala kuingat sesuatu.
Hening selama lima menit lamanya. Tidak ada satu pun dari kami yang membuka obrolan atau bergerak.
"Lo tunggu apa lagi?" tanya Aidan, menatapku tepat di manik mata. "Kenapa gak siap-siap sekarang?"
Aku menunduk.
Reaksiku membuat Aidan bingung selama beberapa saat. Namun akhirnya, ia akhirnya berkata, "Ohiya, bener." Ia berdiri dengan canggung. "Gue keluar dulu, lo jangan lama-lama."
Lalu cowok itu segera berjalan, menutup pintu dan keluar dari ruangan.
Meninggalkanku yang masih bergeming membeku dengan senyum yang tak bisa kutahan. Jantungku rasanya melompat-lompat begitu otakku mencerna fakta bahwa.
Aidan baru saja mengajakku jalan!
***
"Kita mau ke mana?" aku menatap Aidan dengan pandangan penasaran, duduk manis di jok sampingnya, masih memandanginya yang menatap lurus ke jalanan, menggerakkan kemudi dengan mata yang serius.
"Lo ikut aja," ucapnya datar, menginjak pedal gas lebih keras. "Ohiya, tadi pagi waktu lo masih tidur, Lya nyuruh gue nemenin lo untuk satu hari ini. Soalnya dia harus ngurus banyak hal hari ini."
"Oh ya?" aku menoleh otomatis. Ah, Lya selalu tau apa mauku.
Bibirku menyunggingkan senyum kecil. "Tapi ... lo gak keberatan liburan lo terusik?"
Lama Aidan tediam. Cukup lama hingga membuatku lumayan takut jika aku salah bicara.
Namun lega menyusul ketika Aidan menghela napas dan berkata, "Enggak." Ia menatap lurus, tidak menoleh sedikitpun.
Walau seluruh tubuhku diselimuti rasa senang yang banyak sekali, tetap masih ada satu hal yang membuatku takut: Senyum Aidan.
Senyumnya terasa aneh, berapa kali aku mendapatinya hari ini, memandangku dengan sorot mata yang ... sendu, sedih?
Entahlah. Dan fakta ini cukup mengusik.
Tapi apa coba yang bisa terjadi? Palingan hari ini dia menemaniku satu hari liburan, dan ketika di sekolah akan seperti biasa, fakta lain yang jelas-jelas mengatakan bahwa Aidan akan semakin banyak menghabiskan waktu denganku cukup membuat senyum hangat melengkung di bibirku.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Aidan, menoleh sekilas.
Aku mengulum bibirku canggung, mencari kalimat untuk diucapkan. "Nop, nothing." Dan aku mulai khawatir jika nada bicaraku sekarang dan seterusnya akan terlalu terdengar senang.
Mendengar itu, Aidan tertawa kecil.
"Lo ngapain, Nya?" tanyaku pada Anya yang mengutak-atik tas kecilnya, meletakkan semua barang-barang di dalamnya ke atas dashboard mobil. Lalu sebuah gedebuk terdengar, menandakan ada sesuatu yang jatuh dari dalam tas kecilnya, dan ia tidak menyadarinya.
Baru aku mau mengingatkan bahwa ada benda bawaannya yang jatuh ke bawah jok, cewek itu langsung menjawab pertanyaanku.
"Nyari masker, aneh perasaan tadi ada di sini," ucapnya masih sibuk dengan tas kecilnya.
"Mungkin ketinggalan di rumah sakit," ucapku.
"Ah, nevermind lah, gak pakai masker sekali mungkin gak papa." Lalu cewek itu memasukkan kembali semua barang yang tergeletak di atas dashboard mobil ke dalam tas nya
Aku mengambil earphone dari tas selempang kecil yang kupakai, lalu memasangnya di telinga kanan.
Tanpa kusadari bibirku bersenandung-senandung kecil. Suasana mobil yang hening tentu membuat senandungan itu otomatis terdengar lebih keras.
"Seriously? foo fighters?" tanya Aidan sembari menoleh ke arahku, membuat nyanyian kecilku terhenti. "Selera musik lo berkebalikan dengan penampilan lo." Cowok itu tertawa kecil.
"Yup, gue kadang suka dengerin lagu-lagu mereka di waktu tertentu," ucapku. "Well, yeah."
"Band atau penyanyi kesukaan lo?" tanyanya penasaran. Dengan gerakan bibirnya yang melanjutkan senandungku, aku langsung tau bagaimana selera musiknya.
"For now, One Direction," ucapku santai.
Namun Aidan terlihat terkejut. Dan dia Aidan, cowok yang ekspresinya irit.
Untuk aku yang sudah cukup sering bersamanya, aku sudah tau menoleh sambil menatap sudah masuk ke dalam ekspresi terkejutnya. "Lo suka Foo Fighters dan One Direction bersamaan?"
"Mm-hm." Aku mengangguk. "They're hot, lo tau? I'am a fangirl, gue bahkan pernah ngimpi kalau suatu saat gue bakalan jadian ama Harry Styles atau nikah ama Louis Tomlinson."
"Geez," Aidan meringis sambil tersenyum jahil. "Jangan mimpi, udah siang. Mending lo jadian ama gue," ucap Aidan santai. Santai sekali.
"Tadi lo bilang apa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya dengan alis tertaut.
Aidan tidak menjawab, hanya tersenyum santai, cowok berambut cokelat itu cuma mengedikkan bahu sembari mengambil earphone di telinga kananku ku lalu memasangnya di telinga kirinya.
Hingga kami mendengarkan musik di earphone yang sama.
Aku di telinga kanan, dia di telinga kiri. Lagu yang sama, Angel-Aerosmith.
Aku bergumam, Aidan mengangguk pelan, menghentakkan telapak kakiknya mengikuti lagu itu.
Kami bernyanyi, menggumamkan nada, saling sambung menyambung lirik. Hanyut ke dalam alunan lagu itu. Seolah di sekitar kami tidak ada apa-apa.
Selama lima menit lebih enam detik durasi lagu itu, aku dan cowok berambut cokelat yang kini terduduk santai di jok mobil itu seolah lupa situasi, tidak mempedulikan riuh klakson keras yang sudah seperti orkestra karena lampu hijau yang sudah mulai menyala sedari tadi.
Untuk lima menit lebih enam detik durasi lagu itu, Aku dan cowok berambut cokelat yang kini terduduk santai di jok mobil seolah lupa ke mana kami akan pergi
***
Mataku mulai menyorot khawatir, alisku mulai tertaut, dan degupku semakin mengencang begitu sadar sejak sepuluh menit yang lalu, mobil Aidan mulai semakin melaju menjauh dari kota.
Bukan perumahan, pemukiman, atau pun kompleks dan blok. Melainkan hutan.
Suara klakson mobil dan riuh-riuh kelap-kelip kota mulai digantikan dengan sayup-sayupan angin malam serta daun-daun jatuh yang melewati kaca depan mobil.
Aku jadi teringat kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana Aidan mengebut setengah waras seperti kriminal yang hampir menabrak pejalan kaki dan ujungnya malah berakhir di rumah makan.
Tapi ini tidak mungkin, karena orang normal macam apa yang membuka restoran di tengah hutan yang bahkan tidak ditempati satu rumah pun?
Dan satu hal lagi yang aneh, udaranya jadi lebih dingin, padahal pendingin mobil sudah dinaikkan suhunya dibanding sewaktu masih di jalan raya.
"K-kita mau kemana?" tanyaku agak gugup. Walau aku tahu Aidan tidak mungkin melakukan hal yang macam-macam, tapi tetap saja ini menakutkan.
"Agak susah dijelaskan, nanti gue kasih tau pas udah sampai," ucap Aidan. Nah, jawaban macam ini yang membuat perasaan takutku meningkat.
"A-agak su-sah dijelaskan gimana?" tanyaku agak terbata-bata. Setengah takut, dan setengah malu. Karena ekspresi dan getar pada suaraku itu terdengar terlalu jelas.
"Kalau lo kedinginan, jaket gue ada di jok belakang," ucap Aidan datar, menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke kemudi.
Aku melihat ke jendela, memasukkan tanganku yang memang agak dingin itu ke dalam kantong celana jeans yang kukenakan, menyandarkan tubuhku ke sandaran jok karena hawa dinginnya masuk hingga kaus putih yang kukenakan.
"G-gue gak kedinginan." Bagus, karena suaraku seolah mengatakan bahwa aku berbohong.
Aidan menatapku lama, lalu cowok itu menghela napas. Ia menghentikan mobil lalu berdecak.
Ia berbalik dan segera mengarahkan tangannya cepat ke jok belakang, mengambil jaket hitam lalu menyampirkannya ke bahu kananku. "Pakai," ucapnya singkat.
Aku memakai jaket hitam itu, lalu menutup mata pelan begitu mobil kembali berjalan lurus. Baunya harum, sama seperti bau Aidan. Mungkin perasaanku saja, tapi kenapa ya bau cologne cowok itu selalu tahan berkali-kali lipat dari parfum cewek.
Lalu sepertinya, seluruh rasa cemasku hilang.
Hingga mobil itu terhenti tepat di depan sebuah rumah tingkat dua yang lapuk. Dengan pagar kayu gaya barat yang sudah nyaris roboh keseluruhan.
Di dalam pagar itu terdapat halaman kecil yang tanamannya sudah kering, tersisa tanah dan kotak pos berkarat yang sudah mulai miring.
Hanya dalam melihatnya sekali, aku sudah tahu jika rumah ini diperbaiki, rumah ini akan jadi sangat manis dan bagus.
Aidan menatapku sekilas, tanpa ekspresi, mengisyaratkanku untuk segera turun dari mobil. Dengan lutut yang agak lemas, aku segera turun, merapatkan jaket hitam Aidan lalu segera berlari hingga berdiri di sampingnya.
Percayalah, pohon-pohon berbatang lebar berhimpun yang terlihat di depanku sesaat setelah aku turun dari mobil sudah dapat membuat seluruh badanku bergetar, otakku memikirkan hal-hal yang membuatku ngeri.
"Ini tempat apa sih, Dan?" tanyaku masih agak merinding. "Ngapain si lo bawa-bawa gue ke rumah kosong?"
Oke, firasat buruk tambah imajinasi sama dengan bulu kuduk yang merinding.
"You'll see," ucap Aidan.
Lalu cowok itu melangkah ke arah pagar rumah tadi, membuka pagarnya hanya dengan satu kali tendangan kecil.
Pikir Anya, pikir. Jika kau mengikuti Aidan masuk, ada berapa kemungkinan kau akan celaka? Ada berapa? Mungkin hanya sekitar tiga puluh persen, tapi kira-kira apa yang ia tunjukkan di rumah kosong? Apa?
Tapi jika kau tidak masuk bersamanya, kau akan ke mana? Kunci mobil ada padanya, lagipula aku yang ingin ditunjukkan 'sesuatu' itu. Pulang sendiri? Hell, no. Jalan kaki sendirian di tengah hutan-hutan yang entah di mana ini mungkin memiliki resiko celaka hingga delapan puluh persen.
Tepat setelah otakku akhirnya selesai berdebat, kakiku melangkah mengikuti Aidan yang sudah sampai ke pintu depan. "Eh, Aidan! Tungguin gue!" seruku.
Aku berlari masuk, hingga akhirnya ngos-ngosan di samping Aidan, cowok itu cuma bisa menatapku bingung.
"Loh? Lo punya kuncinya?" tanyaku agak terkejut ketika kulihat Aidan sudah memutar kunci itu di lubang pintu.
Aidan mengangguk lalu ia segera menurunkan gagang pintu, lalu pintu itu terubuka di depan kami berdua, suara deritan pintu yang nyaring kemudian mengusik telingaku.
Sepersekian detik kemudian, hening. Sama sekali tidak ada suara di dalam sana.
Aidan melangkah masuk, kakinya menimbulkan suara deritan kayu di setiap langkahnya. Namun aku masih bergeming di tempatku, tidak mengambil satu langkah pun.
Terlalu gelap.
Menyadari aku tidak mengikutinya di belakang, Aidan berbalik lalu menghela napas panjang. Ia kembali melangkah ke arahku.
"Lo kenapa?" tanyanya datar.
Aku menggeleng.
"Lo takut ya? Gue gak bakal macam-macam kok. Lo percaya aja sama gue," ucapnya. "Gue bener-bener mau nunjukin sesuatu ke lo."
Namun aku tetap bergeming di tempatku. Aidan memutar bola matanya sembari menghela napas, cowok itu kemudian mengambil tanganku, lalu menggenggam telapaknya.
Tanpa sepatah kata pun ia menarikku dalam diam.
Aku tau timing-nya jelek, tapi pipiku lagi-lagi panas. Entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.
Mau tak mau, aku mengikuti langkah Aidan. Tangan kami tetap tertaut sampai kami berhasil menapak anak tangga terakhir, maju ke dalam rumah berdebu itu kemudian berbelok ke kiri.
Di saat itulah aku sadar, rumah ini lebih luas dari tampak luarnya.
Seolah sudah hapal betuh tata lokasi rumah kosong ini, Aidan mengarahkan tangannya ke depan, membuka pintu di hadapan kami.
Dan itulah waktu di mana aku tercengang, mataku melebar, mengucapkan kata Wow di ujung lidah dengan takjub.
***
"Wah!" seruku, berjalan mendekat hingga kedua telapak tanganku memegang pagar balkon berukuran sedang itu. "Keren."
"Kan gue udah bilang," balas Aidan santai.
Aku memandang rombongan besar binatang yang sangat kecil itu, binatang yang cahayanya menerangi tempat yang ia hinggapi, seperti bintang-bintang yang bersinar sendirian di dalam gelap malam. Tidak ada satu pun cahaya lain selain kunang-kunang itu, jadi mereka terlihat sangat berkilau.
Aku terus memandangi mereka berterbangan, hingga lama dan akhirnya kusadari sedari tadi, tatapan Aidan ada padaku, lekat. Namun aku tidak menoleh, tetap memandangi kuang-kunang.
dua menit Aidan menatapku lekat seperti itu, dan aku mulai merasa tidak nyaman. Tapi aku tetap tidak menoleh. "Mata lo berbinar-binar." Cowok itu akhirnya berkata.
Aku menoleh. "Apa?"
"Mata lo berbinar-binar." Lalu selanjutnya ia berhasil membuatku terkejut. Karena entah sejak kapan, ia tersenyum.
Senyum yang lain, senyum yang lembut. Dan seperti biasa, aku juga ikut terbawa.
"Oh ya? Mungkin gue kaget aja, soalnya baru kali ini gue ngeliat kunang-kunang secara langsung, sebanyak ini," ucapku sambil kembali menatap lima puluhan lebih kunang-kunang yang berhinggapan itu.
"Gue suka liat mata lo," ucapnya tanpa menoleh.
Aku menautkan alis. "Hm?"
Aku menelan ludah. Malam ini gelap, mustahil ia bisa melihat wajahku yang sekarang eskpresinya salting bukan main. Tapi tetap saja, ini canggung karena aku tidak tau harus menjawab apa.
Aidan tetap Aidan, santai dan datar dalam berbagai situasi.
"So ... kenapa tiba-tiba lo ngajak gue ke sini?" aku bertanya, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Tentu saja.
"Hm ... gue cuma ngerasa lo harus ngeliat ini," ucapnya sembari menunduk, sikunya ditumpukan pada pagar balkon. "Karena kunang-kunang ini bakalan pergi jauh sekali dalam waktu dekat."
"Pergi jauh? Kenapa?" tanyaku bingung, mencoba meraih satu kunang-kunang, tapi gagal.
"Gue juga gak tau kenapa," ucapnya agak mengherankan.
"Trus kok lo bisa tau kalau kunang-kunang ini bakalan pergi?" tanyaku masih gagal paham.
"Seseorang ngasih tau itu ke gue," jawabnya.
"Siapa orangnya? Dan dari mana dia tahu?" tanyaku.
"Lo gak perlu tahu, dan lo gak perlu tahu," ucapnya menyebalkan.
Aku melempar tatapan sinis ke arah cowok yang kini sedang tertawa jahil itu.
Tertawa jahil.
"Ngomong-ngomong, kenapa harus gue?" tanyaku.
"Hm?" ia menoleh.
"Maksud gue, kalau kunang-kunang ini bakalan pergi jauh dan lo mau ngeliatnya sebelum itu, kenapa yang lo ajak itu gue?" tanyaku spontan. Lalu sepersekian detik setelahnya, aku menyesal.
Bhak, pertanyaan macam apa itu?
"Entahlah, gue cuma ngerasa lo yang harus ngeliat ini," jawabnya pelan.
Dan bhak, jawaban macam itu?
"Anyway, anyway, anyway, dari mana lo tau tempat ini?" tanyaku, akhirnya meminta jawaban atas pertanyaan yang sedari tadi lupa kuajukan.
"Karena sebelumnya gue pernah tinggal di sini, waktu masih bocah banget. Gue inget, gue sama Reza selalu nyelinap ke sini setiap tengah malam, liat kunang-kunang," jelasnya. "Tapi semenjak Nyokap gue meninggal, gue pindah sekeluarga, Cuma ada Reza, gue, dan bokap."
"Oh, maaf," ucapku canggung.
Aidan mengangguk.
"Btw, makasih ya," ucapku sambil mengangkat kepala, memandangi sebagian kunang-kunang yang terbang lebih tinggi. Seperti melihat bintang kerlap-kerlip secara dekat, sesuatu yang selalu kuinginkan sejak kecil. "Ngeliat ini aja gue udah seneng."
"Besok-besok lagi, giliran gue yang bawa lo ke suatu tempat yang menurut gue juga menarik! Lo kira cuma lo yang tau tempat-tempat eye-catchy yang kayak gini? Gue juga punya. Entaran deh kalau nilai ujian udah keluar bulan depan, gue bakal ngajakin lo ke sana," ucapku penuh semangat. Entah dari mana kepercayaan diriku keluar begitu saja.
Namun Aidan tidak menjawab, hanya terdiam.
"Hei, denger gak sih? Bulan depan nih ya," ulangku lagi.
Tetap saja, Aidan tidak menyahut. Ia menatap lurus ke depan, memasang ekspresi yang tidak bisa kubaca sama sekali, ekspresi yang selalu membuat perasaan tidak enak di pikiranku.
Ekspresi yang selalu membuatku memikirkan hal yang membuatku takut.
"Woi, Aidan, kalau gak bulan depan, bulan depannya lagi gak papa kok," ucapku mulai agak canggung.
Mendengar nada bicaraku yang mulai berubah, Aidan menoleh dan tersenyum hangat sesaat setelah ia mengacak-ngacak rambutku hingga berantakan lagi.
Namun ia masih juga tak menjawab.
"Gue hitung itu sebagai jawaban 'iya' dari lo," aku tersenyum, cukup yakin soal persepsiku.
Aidan tertawa ringan. "Nih," lalu tiba- tiba kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit lenganku.
Sontak aku menoleh, dan mendapati gelas Cappuchino hangat berukuran sedang di tangan kiri Aidan. Di tangan kanannya, terdapat minuman yang sama.
Aku memasang earphone ke telinga kanan, lalu tersenyum hangat, karena Cappuchino itu juga hal yang kuinginkan sekarang. Melihat aku tersenyum, Aidan membalasnya.
Dan itu hal yang bikin kesenangan di hari ini sempurna. Rasanya dari semua hari yang kami habiskan, hari inilah yang paling berkesan, membekaskan cerita.
Aidan memasang earphone-ku ke telinga kirinya. Kami bedua mendengarkan lagu yang sama. Melalui earphone yg sama
"Ini lagu apa?" tanyanya.
Aku menyunggingkan cengiran. "Coba tebak."
"Gue sama sekali gak punya bayangan."
Aku menghela napas sambil memutar bola mata main-main. "Itu Night Changes-nya One Direction."
"Really not my taste. But pretty cool, I guess."
"They're more than that." Aku tersenyum. Menyeruput cappuchino dan memejamkan mata begitu rasa hangat menyambut kerongkonganku.
Going out tonight, changes into something red.
Her mother doesn't like that kind of dress, everything she never had she's showing off.
Driving to fast, moon is breaking trough her hair.
She said it was something that she won't forget, having no regrets it''s all that she really wants.
We're only getting older baby, and I've been thinking about you lately.
Does it ever drive you crazy, just how fast the night changes.
Everything that you ever dreamed of, disappearing when you wake up.
But there's nothing to be afraid of even when the night changes, it will never changes me and you.
Dengan segelas Cappuchino hangat di tangan, kunang-kunang, dan lagu yang terputar dengan earphone yang dibagi sudah membuat semua yang ada pada malam itu menjadi sempurna.
Obrolan ringan dan tawa-tawa senang yang berulang itu sama sekali tidak membawa firasat.
Bahwa semua tawa-tawa senang dan momen hangat itu cuma bisa jadi cerita sedih jika diingat di kemudian hari.
-
-
-
Kurasa itu ungkapan yang paling benar, Aidan. Karena sekarang, di saat jam dindingku menunjukkan pukul dua pagi, aku menahan sesak sambil meminum cappuchino hangat.
Memegang kertas sketsa yang mulai menguning, kertas yang baru kutemukan walau telah tersimpan selama setahun lebih.
Jam dua pagi, seorang perempuan terbangun dan melihat lembar-lembaran kertas yang mampu membuat pelupuk matanya berair. Lalu ia berjalan menuju balkon kamarnya.
Berharap malam hari penuh kunang-kunang dua tahun yang lalu itu kembali, di mana orang itu ada di sampingnya, mereka berdiri berdampingan.
Namun sekarang aku membuka mata lalu menoleh, dan kamu tidak lagi berdiri di sana.
Does it ever drive you crazy? Just how fast the night changes.
***
I just found out that night changes describe it all so it turns out like this. Lol. About the driving in the night, time changes, stuff like that fit perfectly Ha. tentang chap kemarin yang ada seseorang berdiri di depan pintu kamar RS itu dijelasin di chap depan pov Aidan, ada sesuatu yang terjadi di sana tapi gak dijelasin di sini, soalnya ini pake pov Anya dan Anya gak tau. Oke,ini ribet penjelasannya, but hope that makes sense. Jadi sampai ketemu di chap berikutnya!
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top