Dua Puluh Enam|Hilang

     Dear Penny,
  
     Karena kau lebih merindukan sifatnya yang dulu daripada wajahnya, itu alasan mengapa kau masih merasakan rindu walau dia berada tepat di depan matamu.

***

Anya's POV

      Hujan.

      Mungkin suatu saat nanti aku akan membenci hujan.

       Aku menyandarkan kepalaku ke samping kiri, mataku yang sayu menatap bulir-bulir air yang menempel memenuhi kaca jendela mobil, yang perlahan mengalir turun, diganti dengan air hujan baru.

      Aku hanya mampu melihat cahaya-cahaya kota pudar yang terlihat kabur senada dengan cepatnya mobil melaju. Langit malam itu sangat kontras dengan lampu-lampu jalanan, serta air hujan yang turun perlahan.

     Dan hal itu membawa perasaaan tertentu.

       Aku tidak sadar telah menaikkan kaki hingga aku menekuk lutut dan meringkuk dingin, tidak sadar aku menggenggam erat jaket hitam Aidan menjadi penangkal dingin seolah  jaket itu adalah milikku sendiri.

     Aku berbalik perlahan, cowok itu memasang ekspresi serius, tangannya memegang setir mobil. Tadi aku tertidur, dan mungkin sekarang dia tidak tahu aku sudah terbagun.

        Mungkin itu alasan mengapa ia memasang ekspresi seperti itu terang-terangan.

        Ketika hujan yang deras menelan suara mesin yang menderu, ketika dingin menusuk kulit walau jaket hitam itu nyaris menutup seluruh lenganku, jauh di dalam hati aku merasakan sesuatu.

      Raut wajahnya bukan serius yang selalu membuatku tersenyum, matanya lagi-lagi memasang sorot sedih.

        Dan untuk pertama kali itu, aku berada di sampingnya bukan disertai tenang. Sama sekali.

      Melainkan cemas tanpa ada alasan yang jelas.

       Malam hangat, obrolan hangat, perasaan yang hangat malam itu diakhiri dengan hujan yang deras.

      Hingga hari ini aku sadar bahwa itu momen yang terakhir, hujan itu adalah penutup dari semuanya, mengakhiri yang terakhir.

       Mungkin itulah waktu pertama di mana aku mulai membenci hujan.

***

      Aku ingat hari itu Aidan bertingkah  sangat aneh. Kami berdua berdiri di depan koridor rumah sakit yang sudah gelap setelah pulang dari rumah lama Aidan yang penuh kunang-kunang.

      Hari memang sudah malam, dan rumah sakit ini bukan rumah sakit yang paling ramai di seluruh kota.

      Aidan tahu, aku benci gelap.

      Tapi ia malah berdiri diam di depan koridor. Sunyi senyap. "Ayo, lo tunggu apalagi, Dan?" tanyaku agak cemas, merasa suasana itu terlalu menakutkan. Tanganku mulai berkeringat. "Kenapa lo tinggal diem di sini?"

      Aidan menghela napas. "Maafin gue."

      Aku mengerutkan dahi, perasaan tidak enak mulai muncul di benakku. "Lo jangan nakutin gue, Dan," ucapku melirik kiri dan kanan, teringat dengan sorot sendu matanya di mobil tadi. "Maaf untuk apa? Lo gak ngelakuin kesalahan apa pun."

      Namun Aidan tetap bergeming.

       Rasanya waktu itu aku ingin sekali menangis dan menarik-narik kaos tipis yang ia kenakan, bertanya ada apa.

      Aku tidak suka jika dihadapkan sesuatu yang terlihat buruk tanpa tahu seluk beluknya. Tidak suka sama sekali.

        Melihatku cemas, Aidan berkata lagi, "Jangan terlalu paranoid, Anya, gak akan ada apa-apa yang terjadi." Hanya dengan melihat wajahnya saja, aku tahu dia berbohong. Aku sangat tahu jauh di dalam pikirannya ada sesuatu.

       Sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi, cowok yang tingginya beda jauh dariku itu menarik tanganku, menggenggamnya erat. Erat sekali sampai rasanya nyeri. Tapi aku hanya bisa menyamakan langkah saja hingga kami sampai di depan pintu kamar inapku.

      Suasana remang-remang.

      Lalu Aidan tersenyum. Tersenyum manis sekali sampai lesung pipinya kelihatan, dan aku merasa tenang sebentar.

       "Gue pulang dulu ya," ucapnya pelan, nyaris berbisik. Entah kenapa.

      Aku membulatkan mata. "Heh, heh, lo bilang tadi mau nemenin gue." Dengan bodoh aku menarik lengan Aidan. Lalu rasa maluku baru muncul lima detik kemudian.

      Alhasil aku menunduk menghindari wajahnya.

      Aidan tertawa kecil, entah sudah berapa kali dari dua hari ini aku melihat ekspresi yang belum pernah Aidan perlihatkan selama sekian bulan kami kenal.

       "Udah ada Lya di dalam, lo gak sendirian," ucapnya pelan.

       Dan di saat itu juga, aku menautkan alis bingung

        "Kok lo bisa tau kalau dia udah ada di dalam?" tanyaku.

       Aidan hanya tersenyum, lalu cowok itu mengacak-ngacak rambut di puncak kepalaku. "Udah lo masuk aja, udah hampir jam sepuluh."

       Aku memadangnya lekat, cemas. Dia tahu, Aidan tahu ada sorot cemas dan firasat buruk di mataku. Tapi dia cuma tersenyum, seolah meyakinkanku bahwa tidak akan ada apa-apa yang terjadi.

       Maka sesaat setelah aku berbalik, membelakanginya, memegang kenop pintu di tangan kanan. Kudengar samar-samar Aidan berkata, "Hati-hati."

      Hati-hati adalah kalimat yang seharusnya kuucapkan padanya.

       Tapi mengapa menjadi Aidan yang mengucapkannya padaku?

      Aku tidak mengerti sama sekali apa maksudnya.

       Sampai aku mendapati Lya duduk di pinggir ranjang, menatapku serius dan lekat sembari berkata, "Kita harus bicara, Anya."

-

-

-

Setelah itu aku akhirnya mengerti tentang kalimat yang kauucapkan, Aidan. Dan mungkin sekarang aku akan menyesal karena terlambat menyadarinya.

***

Aidan's POV

      Aku membuka pintu mobil, bunyinya yang khas terdengar jelas di pelataran parkir rumah sakit yang cukup sunyi itu.

      Aku menyandarkan punggungku ke jok mobil, memejamkan mata tanpa menutup pintu di pinggir kananku, tanpa menyalakan mesin terlebih dulu.

       "Besok-besok lagi, giliran gue yang bawa lo ke suatu tempat yang menurut gue juga menarik! Lo kira cuma lo yang tau tempat-tempat eye-catchy yang kayak gini? Gue juga punya. Entaran deh kalau nilai ujian udah keluar bulan depan, gue bakal ngajakin lo ke sana."

      Lalu aku ingat ekspresi cemasnya yang sangat mencolok ketika malah mendapatiku tidak menjawab pertanyaannya.

      "Hei, denger gak sih? Bulan depan nih ya,"

      Lalu sorot mata senangnya meredup.

      "Woi, Aidan, kalau gak bulan depan, bulan depannya lagi gak papa kok,"

       Namun sampai sekarang aku belum menjawab apa pun soal itu. Karena aku tidak yakin aku masih ada di dekatnya ketika waktu itu akan tiba.

Flashback

      Aku membuka mata pelan, disambut dengan sakit kepala berdenyut-denyut setelahnya. Lalu mataku melebar begitu melihat pemberitahuan di layar ponselku.

      (32 panggilan tak terjawab dari Kira. 3 pesan dari Kira.)

     (Pesan 1: Lo di mana sekarang? Cepat pulang, bisa bahaya kalau lo kedapatan sama Kak Lya di sana!)

      (Pesan 2: Astaga lo di mana sekarang?! Bisa-bisa Kak Lya gak ngizinin lo ketemu Anya lagi, Aidan. Gue ke sana sekarang.)

      (Pesan 3: Kak Lya marah sekali pas udah tau soal penyebab Anya diserang Dino, kalau lo gak ngangkat telepon gue, situasi bakal berubah jadi tambah buruk. Gue udah hampir sampai, lo keluar duluan aja!)

       Aku melirik jam tangan. Pukul Sembilan lewat sepuluh malam.

      Sialan.

      Sontak jantungku berdegup lebih kencang ketika mendegar suara ketukan pintu yang hampir mirip seperti gedoran. Aku bangkit berjalan ke arah pintu yang menimbulkan suara gaduh itu.

      Untung saja Anya tidak terbangun.

      Aku memutar kenop pintu, dan di situlah waktu di mana seluruh perasaanku campur aduk. Sesal, marah pada diri sendiri, dan sedih di saat yang bersamaan. Di situlah waktu di mana aku merasa semua akan berkahir karena kebodohanku sendiri.

       Di depan pintu berdirilah seorang perempuan tinggi berambut cokelat muda, memakai jas kuliah, keningnya dipenuhi keringat, dan tangannya mengepal. Ia melihatku dengan sorot mata tajam. Kecewa, marah, emosi dapat kulihat dari rautnya, matanya bahkan berkaca-kaca.

       Dan itu menambahkan satu poin terakhir dari kesalahanku.

       Lalu terdengar langkah kaki seseorang yang berlari dari samping kiri, bergema di lorong rumah sakit yang sunyi senyap.

       Aku dan Lya spontan berbalik ke asal suara langkah kaki yang sudah berhenti itu.

     Kira.

     Perempuan itu berdiri di sana, menatapku dengan sorot khawatir dan cemas, lalu ia menoleh ke arah Lya dengan pandangan takut.

      Keningnya dipenuhi keringat, penampilannya juga acak-acakan, ponsel ia pegang erat di tangan kanan.

       Kira menoleh ke arah Lya, dengan raut cemas tanpa bisa ditutupinya, ia berkata, "Kak Lya, aku bisa jelasin, Aidan datang ke sini cuma mau tau kab-"

      PLAK!

      Lalu kurasakan tamparan keras, membuat wajahku memanas dan nyeri. Aku mengepalkan tangan. Ini sudah benar, aku pantas mendapatkannya.

      Dapat kulihat Kira menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, menampilkan raut shock dan terkejut.

       "Lo pikir gara-gara siapa adek gue bisa berakhir luka-luka parah gitu?  Hampir kehabisan darah!" lalu terdengar suara geram Lya, matanya berkaca-kaca, wajahnya yang lelah dipenuhi emosi dan frustrasi. "Lo dan masalah keluarga lo yang cuma beban bagi orang lain, dan dengan gampangnya lo datang ke sini setelah bagian dari masalah lo-yang seharusnya resikonya lo tanggung sendiri-malah bikin adek gue kena imbasnya!"

     Aku tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, hanya datar.

       "Gue tau lo gak pernah sama sekali peduli sama adek gue sebelum insiden ini terjadi, iya kan? Lo yang malah bikin dia down dengan sketsa bodoh lo itu, dan setelah itu lagi-lagi lo buat dia kena imbas dari masalah lo sendiri!" Lya masih saja berteriak emosi. "Gue kakak Anya, gue tau semua tentang dia."

      Aku masih menunjukkan rekasi yang sama. Tidak berubah.

     "Lo cowok baj*ngan."

-

-

     Hening, sunyi senyap, dan canggung.

      Aku dan Lya duduk berhadapan di kafe dekat rumah sakit, Kira masih ada di kamar Anya, menjaganya selama aku dan Lya masih ada di kafe.

       Aku menatap perempuan di depanku. Wajahnya kini tidak lagi menampakkan frustrasi seperti yang ada di depan kamar tadi. Hanya ada kecewa, lelah, dan kosong.

      "Jadi gini." Lya langsung memulai percakapan tanpa basa-basi sama sekali. "Orang tua Anya tau soal apa yang terjadi pada Anya. Dan mereka memutuskan Anya kembali tinggal sama keluarga gue di Seattle, mereka gak bakalan ngebiarin Anya tinggal sendiri lagi."

      Kurasa aku mulai mengerti arah pembicaraannya.

      "Gue minta maaf kalau gue harus bilang waktu pergi kami ke Seattle bakal dimajukan." Nada bicara Lya mulai menegas. "Gue beri lo waktu beberapa hari buat ngabisin hari lo bareng Anya."

      Dan yah, hal yang paling kutakutkan itu pun terjadi. Aku hanya terdiam seperti bisu, pikiranku pergi entah ke mana.

      "B-berapa hari lagi?" aku bertanya singkat.

      "Maaf, gue gak bisa beritahu lo soal itu." jawaban Lya mampu membuatku mati kutu. "Manfaatin waktu lo sebisa mungkin. Gue cuma pengen buat lo mikirin berapa banyak waktu yang lo habiskan bareng dia sebelum ini, tapi lo sama sekali gak mengharapkannya."

       Lagi dan lagi dalam hari ini ia selalu benar, pernyataanya mampu membuatku kaku seperti patung tanpa ekspresi. Hanya tersisa sesal.

      "Dan lagi," ucap Lya. "Lo gak boleh sama sekali ngehubungin Anya kalau ia udah di Seattle nanti, itu kata orang tua dia. Mereka mau hubungan apa pun di antara kalian berdua diputus koneksi. Dan gue juga setuju, karena semakin lo hubungin dia, Anya malah makin sedih." Lya menatapku lekat. "Gue harap lo ngedukung ini, karena semuanya juga buat kebaikan Anya, dan lo sendiri."

       "Gue permisi dulu," ucap Lya kemudian sesaat sebelum ia berdiri dan beranjak dari kursi di depanku. Meninggalkanku sendirian, mendengar semua ini terjadi begitu cepat dan bertubi-tubi, aku terlalu terkejut untuk dihadapkan pada tumpukan-tumpukan kejadian ini hingga apa yang bisa kulakukan hanya menatap kosong, tanganku membentuk kepalan kuat .

Flashback end

       Aku menumpukan kepala ke kemudi, menyandarkan dahiku ke setir mobil. Hanyut dalam hening.

      Benar, Anya tidak boleh tau apa yang kurasakan, ia tidak boleh tahu aku sudah jatuh padanya semakin dalam.

     Karena jika iya, maka beban yang ia bawa akan semakin berat dan aku tidak mau hal itu terjadi.

      Karena kali ini giliranku memendam rasa, giliranku menangkup sedih. Dan ia tidak perlu melakukan hal yang sama.

***

Dino's POV

      "Sebenarnya kau punya orang tua atau tidak?" tanya seorang petugas berbadan gemuk yang menemaniku semenjak aku mendekam dua hari yang lalu. "Apa dia hanya walimu? Kenapa susah sekali dihubungi?"

     Aku menatap kosong ke arah meja kayu kecil di depanku. Satu-satunya perabot yang ada di dalam ruangan berbentuk persegi empat itu, selain kursi yang kududuki.

      "Hei, nak. Apa kamu gak lapar? Sudah dua hari kau tidak makan apa pun selain minum air mineral. Lihat bibirmu seperti akan sobek saja," ucap petugas gemuk itu. "Memangnya apa tujuanmu melakukan tindakan brutal di usiamu yang masih segini? Anak jaman sekarang isi otaknya benar-benar...."

      Aku tetap saja menatap kosong. Bayang-bayang di kepalaku terus berputar-putar mengimajinasikan wajah seseorang.

      "Hey, Bob." Lalu masuklah seorang petugas lain berbadan kurus, jauh beda dengan petugas gemuk tadi-yang sepertinya-bernama Bob. "Aku sudah mendapat kabar dari orang tua anak ini."

      Ucapan itu sontak langung membuatku mengangkat kepala terkejut.

      Sudah berapa tahun aku tidak bertemu dengan orang itu. Walau aku tetap bergantung padanya lewat uang yang dikirimnya setiap bulan, namun sudah berapa tahun aku tidak melihatnya, dan aku nyaris lupa wajahnya.

       "Benarkah?!" Bob terbelalak. "Hubungan keluarga anak ini benar-benar membingungkan. Wali atau orang tua saja susah sekali dihubungi minta ampun."

      "Mbak Maya bilang orang tuanya sudah berjanji akan datang kemarin, tapi nyatanya hilang kabar dan tahu-tahunya baru bisa datang sekarang. Itu pun kabarnya masih tidak terlalu jelas," ucap si petugas kurus panjang lebar. "Lihat wajah anak ini ya ampun, namun kita juga tidak bisa melakukan apa-apa. Kau tidak bisa dikeluarkan dan juga tidak bisa ditindak-lanjuti sebelum walimu ada di sini."

      Aku melirik kaca kecil di dekat dinding. Bibirku kering, ujungnya ada luka lebar yang darahnya sudah tidak mengalir, kantong mataku terlihat kontras dengan kulitku yang memucat.

      "Bob, Johan!" Suara dari luar pintu yang memanggil nama kedua petugas itu sontak membuat keduanya berbalik bersamaan.

      "Ya Mbak Maya?" ucap Bob setengah berteriak.

      "Salah satu dari kalian cepat ke sini!" seru suara perempuan tegas itu.

      Maka Johan si petugas kurus yang keluar dan menerima informasi dari Mbak Maya selama lima menit, dan akhirnya kembali lagi ke dalam ruangan.

       "Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anak ini," kata Johan kepada Bob. Mataku melebar, refleks aku mengangkat kepala.

     "Apa dia orang tuanya?" tanya Bob antusias.

     "Sepertinya bukan," jawab Johan sekenanya.

     "Kalau begitu biarkan saja mereka masuk dan bicara, diizinkan dengan privasi selama kita melihat gerak mereka lewat kaca itu," jelas Bob panjang lebar. "Tapi durasinya cuma lima belas menit saja."

       "Baiklah kalau begitu." Johan berjalan menuju pintu diikuti dengan Bob di belakangnya. Mereka berdua keluar dari ruangan.

      Lima detik kemudian, sebuah suara deritan pintu yang terbuka membuatku menoleh. Menatap seseorang yang mulai terlihat rupanya seiring pintu itu semakin terbuka melebar.

       Lalu aku melihatnya dengan jelas, dan jantungku memacu kencang.

      Kedua manik mata yang sangat ingin kulihat lagi selama dua hari, kini bertemu pandang dengan manik mataku sendiri.

      Cewek yang diam-diam ketika tidak ada selalu kuinginkan keberadaanya, kini berdiri tak lebih dari sepuluh langkah di depan jangkauanku.

     Cewek yang dulu akan berusaha kusingkirkan dariku jika kepentingan telah terselesaikan, namun sekarang menjadi orang yang berusaha kudekatkan denganku bahkan jika aku sedang tidak melakukan apa pun yang penting.

      Cewek itu, cewek yang pada waktu pertama hanya kuinginkan kehadirannya untuk keuntungan rencana semata, namun sekarang malah kuinginkan kehadirannya setiap saat.

       Dia, Kirana Muthiara.

***

       "Hai, Din," Suaranya yang riang menyapa telingaku, walau selalu ingin kulihat wajahnya sedekat ini, namun entah kenapa aku masih saja menatap permukaan meja, bukannya wajahnya.

      Aku melihat ke arahnya sebentar, lalu kualihkan lagi ketika kulihat sorot sedih padanya. Menghadapinya sekarang bercampur senang, lega, malu, dan bersalah, hingga aku tidak tau lagi harus melakukan apa.

      Alhasil aku hanya diam.

       "Udah lama kita gak ngobrol, lo gak rindu ama gue?" tanya Kira agak jenaka, mungkin berusaha mencairkan suasana. Ekspresiku menyendu melihat senyum cerianya yang di sisi lain juga hangat.

      Rindu lah pe'a gitu aja nanya.

      Kata-kata itu tersangkut di ujung lidah. Hanya tersisa diam.

       "Gue ngerti kok sekarang lo lagi tertekan," jeda. "Untuk itu gak papa kalau lo gak mau bicara, gue ... Cuma butuh lo denger."

       Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Sekarang leherku tidak bisa lagi menolak untuk meluruskan kepala dan menatap wajahnya. Rasa hangat dan luka seketika ada setelah kami bertukar pandang, sorot matanya berbeda.

      Tidak ada riang seperti dulu, hanya ada luka.

      "Gue ... udah ngerti," ucapnya pelan, menunduk sebentar lalu kembali menatapku. "Gue udah ngerti kalau, dulu lo gak ngerasa senang seperti yang gue rasain pas kita bareng kan?"

      Aku benci jika gadis itu tersenyum sedih. Raut yang paling kubenci darinya.

       "Gue yakin sekarang gue keliatan seperti orang bego, bego banget. Udah tahu semuanya, tapi tetap aja dateng ke sini." Kira menatap permukaan meja. "Gue tetep aja betah cemas sama lo sekarang, padahal rencana lo udah berakhir, pasti yang lo mau gue sebaiknya pergi sekarang kan?"

       Rasanya seperti dipukuli terus menerus begitu kulihat matanya berkaca-kaca. Aku ingin bilang kalau aku mau dia berhenti menangis karena semua ini pasti akan selesai, tidak peduli lama atau sebentar.

       Tapi apa yang kulakukan hanya diam.

      "Gue cuma mau bilang, gue gak nyalahin lo atas semuanya. Malahan, gue nyalahain diri gue sendiri karena udah terlalu larut, di saat lo sebenanya cuma mau gue pergi."

      Lalu semua dinginku hancur lebur begitu melihat gadis itu mulai menyeka air yang sudah membasahi pipinya dengan punggung tangan.

     "Maaf, maaf udah jadi beban buat lo," ucapnya mulai parau. "Kalau disuruh ngomong, gue cuma mau bilang...."

      "Lo Andino Jullio brengsek! Lo cowok paling brengsek yang pernah gue temui! Lo bodoh, kampret, gak punya otak, bego!" Tangisnya mulai menderas. "Sialnya, gue gak bisa berhenti suka sama lo, cemas kalau lo mendekam di sini. Gue gak pernah bisa berhenti sampai sekarang."

      "Karena itu, gue mau yang terbaik buat lo," jeda. "Walau itu berarti gue harus pergi dan gak bakalan kembali lagi."

      Aku memejamkan mata, tenggorokanku tiba-tiba sesak.

      "It's over then," ucapnya pelan. pandangan kami saling bertemu. "I'am done."

      Lalu gadis itu menyunggingkan senyum paling manis yang ia punya, yang paling terakhir ia tunjukkan untukku. Namun lagi-lagi aku hanya membeku, terus memandangi langkahnya hingga pundaknya menghilang dari balik pintu.

      "Enggak, gue ngerasa senang pas kita bareng, bahkan senang sekali sampai gue lupa rencana besar yang gue bakal lakuin setelah itu."

      "Bagi gue lo gak bego, lo baik. Gue bahkan hampir ngelunjak dan meluk lo pas pertama gue liat lo di depan pintu. Ya seperti itu, bisa-bisanya lo bilang kalau gue malah mau lo pergi."

      "Kalau gitu kita melakukan hal yang sama. Sama-sama menyalahkan diri sendiri. Gue nyalahin diri sendiri karena waktu yang gak baik. Di saat lo lagi ada depan gue, senyum, ketawa. Tapi gue sama sekali gak berharap lo ada. Tapi giliran di saat gue harep keberadaan lo di sini, lo malah udah menangis, sedih, dan memilih untuk pergi."

      Aku menyalahkan diri sendiri. Dan juga waktu.

      Hari itu aku terus diam, memikirkan kalimat-kalimat jawaban yang tersangkut di ujung lidah. Lagi-lagi ... keterlambatan.

***

    Aku gak percaya cerita ini bentar lagi epilog terima kasih atas belasan ribu viewers dan ribuan vote kalian, huge thanks!

🌹,
Lycha


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top