Dua Puluh Dua|Rasa
Dear Penny,
---
Aidan's POV
Balok kayu sialan.
Lagi-lagi Dino menyerang balik dengan bilah kayu keras itu.
Aku segera menggeser dudukku ke depan Anya, menunggu rasa sakit ketika bilah kayu itu menghantamku.
1 detik
2 detik
3 detik
Aku membuka satu mata. Lalu seketika itu juga melebarkan keduanya ketika kedua manik mataku menemukan Dino malah berdiri dengan ekspresi terkejut, matanya menatap nanar ke samping kirinya.
Lalu kulihat bilah kayu itu tertahan di udara, aku menelusuri setiap bagiannya.
Bibirku langsung menyunggingkan cengiran sinis kepada Dino yang terkejut bukan main.
Cowok brengsek itu kemudian sadar, tangannya menarik mundur. Sehingga sosok-sosok yang menahan kayu itu ikut mundur lalu terdengar bunyi gebukan yang keras.
BRUK! BRUK!
"AAAAAAAKKKHHH!" jeritan horror khas cewek remaja yang melengking terdengar dari sana.
Seketika itu juga, telingaku rasanya tersumbat. Dino menatap horror, dan mata Anya terbuka sepenuhnya.
Ini kesempatan.
Aku memaksakan kakiku yang memar untuk berdiri, segera kukerahkan semua tenagaku pada lengan kiri. Melayangkan pukulan keras kea rah dahi Dino dengan kepalan yang kuat.
Dino lagi-lagi terlambat sadar, sepertinya refleksnya hilang.
BRUK!
Cowok itu jatuh, aku berdiri di dekat kakinya, menunggu reaksi selanjutnya. Namun cowok itu tak kunjung bergerak bergerak barang sedikit pun. Aku tidak lagi memukulinya, sepertinya luka di tubuhnya sudah cukup banyak. Aku tidak sampai ingin membunuhnya karena emosi. Jika begitu, apa bedanya aku dengannya?
Dino ambruk bersebelahan dengan kedua cewek yang wajahnya tak terlihat karena gelap itu. sangat bersebelahan hingga tangan Dino menyentuh lutut salah satu dari mereka.
"AAAAAAKKHHH!" mereka berdua menjerit lagi.
Aku menutup telinga, lalu menoleh dan menatap mereka tajam. "Kalian lama banget sih!" seruku kepada kedua cewek itu
Flashback
Aku mengumpat tak karuan. Tak peduli dengan Bu Tati yang tak hentinya meneriakkan namaku sesaat setelah aku kabur dari tugas mengepel di perpustakaan.
Kira bilang Anya sudah tidak ada semenjak jam pelajaran terakhir.
Thio bilang Dino izin dan tak kembali lagi ketika jam pelajaran terakhir.
Ini buruk.
Jantungku berpacu, setitik keringat mulai mengucur dari dahiku. Dengan jari yang tak henti bergetar, aku mengetikkan pesan singkat pada Kira. Berusaha menenangkan diri di saat pikiranku frustasi tak karuan.
17 : 35
Cepat datang ke sekolah, di sini udah kosong dan Anya gak ada. Hp-nya udah gak aktif, bawa Hp lo, nanti gue kirimin pesan lagi.
***
20 : 43
GPS gue gak terlacak, kan? Tapi daerah hutan yang tadi bener, lurus aja dan lo bakalan sampai di hamparan luas penuh ilalang.
***
Aku segera menancap gas, kakiku menekan keras pedalnya. Kemudi itu kubelokkan mendadak. Kubiarkan bagian mobil itu menghantam dan menerobos ilalang-ilalang yang tak bercelah itu. tak kupedulikan suara gesekan di kiri-kananku.
Aku menstabilkan kemudi secara mendadak. Mobil serasa berguncang, kepalaku membentur kaca mobil dan ponselku terlempar ke jok sebelah kiriku.
Untung saja, tanah di bawah ilalang ini rata. Tidak berlubang dan berlumpur. Aku diam sejenak, mengatur napas. Lalu memakai jaket abu-abuku dan keluar dari mobil.
***
Laki-laki malang itu tergeletak di tanah, aku menatapnya datar dan kosong. Tangan kiriku masih belum terbuka kepalan-kepalannya. Buku-buku tanganku berdenyut-denyut.
Dengan cepat aku membuka jaket laki-laki itu, lalu memakainya, mengenakan sepatunya. Lalu kupasang resleting jaket hitam itu hingga menutup pada batasnya.
Aku memasang tudung jaket hitam yang kukenakan hingga menutupi wajahku, lalu segera berlari meninggalkan kawasan itu setelah laki-laki tadi kukuncikan di dalam mobil.
Aku menyingkirkan semua ilalang-ilalang yang menghalangi. Lalu kakiku membeku dan berhenti bergerak sesaat setelah mataku menangkap ilalang yang bergoyang-goyang tak karuan di kejauhan sepuluh langkah dari tempatku berdiri.
Aku menyiapkan mental, kakiku melangkah cepat ke arah tempat aneh itu. Kusibak banyak ilalang sekaligus, lalu mataku melebar begitu melihat dua pengemis perempuan yang terlihat dekil.
"AAAAAKKKH!" kedua cewek itu menjerit horror.
Aku segera membekap mulut mereka berdua dengan kedua tanganku. Mengisyaratkan untuk diam dengan wajah yang cemas. Salah satu dari mereka mencakar lenganku dengan kukunya yang lumayan panjang dan mengkilap.
Tunggu dulu, ini aneh.
Mataku melebar begitu melihat dua pengemis itu dari jarak yang lebih dekat.
Lagi-lagi mereka berdua menjerit tanpa kendali, meneriakkan, "AIDAN?!"
Lagi-lagi mataku melebar. "KIRA?! GRACE?!" jeda. "Syukurlah kalian sudah di sini, kalian gak jadi ngebantuin gue secara langsung. Bahaya kalau sampai ada kaki-tangan lainnya."
Grace kelihatan bingung dan syok secara bersamaan. Sementara Kira sepertinya langsung menangkap arti kata yang kuucapkan. Terbukti dari ekspresi wajahnya yang berubah murung, dan matanya yang berkaca-kaca, sepertinya ia sudah tau soal Dino. Orang itu pasti yang pertama muncul di kepalanya berhubung karena Kira tau, waktu itu yang menguncikan Anya di dalam kelas adalah Dino.
"AIDAN! OH MY GOD, SYUKURLAH! GU-GUE PIKIR LO UDAH ... M-MOBIL LO TADI ....," ucapan histeris Grace kupotong.
"Cepat pergi cari bantuan terdekat!" seruku agak frustasi. "Nanti gue jelasin semuanya. Sekarang kalian bergerak cepetan, Anya masih di sana!"
"T-T-TAPI, AI-"
Belum sempat Grace menyelesaikan ucapannya, Kira dengan kurang ajarnya, menyeret gadis berpakaian cheerleader itu.
Kira menatapku sekilas, lalu berkata, "Gue bakalan cari bantuan secepat mungkin!"
Aku menganggung lalu segera memasang tudung jaket hitam milik laki-laki tadi, aku pun bergegas jalan ke pondok. Tak peduli kalah jumlah, tak peduli kalau penyamaran ini tidak maksimal, kakiku tetap saja melangkah maju.
Flashback end
***
Aku mengikat tali tambang itu sekali lagi hingga mencapat batasan yang tererat. Kini tangannya terjepit di antara ikatan yang kubuat. Aku berdiri, lalu mataku menatap ke bawah⎯tepatnya ke wajah Dino yang menunduk.
Perasaanku campur aduk begitu kulihat kepalanya. Marah, sedih, kasihan, geram, lega. Semua bercampur hingga menimbulkan perasaan yang membuatku gelisah.
Cepat-cepat aku berpaling ke arah Anya. Kira dan Grace yang menyadari itu segera menyingkir sedikit, menyediakan ruang untukku. Wajah mereka tak bisa diartikan. Mata Kira terlihat memerah, tersirat cemas yang dalam di sana. Sementara Grace hanya menatap datar, tapi tangannya tidak lepas dari bawah tangan Anya yang terkena luka sayatan cukup dalam.
Aku menyingkirkan poni Anya yang panjang. Terlihat wajah letih cewek itu, menatapku dengan mata yang nyaris tertutup. Menampakkan lebam ungu pada kedua pipinya, luka gores di sekitar bibirnya, bengkak pada mata sebelah kanannya.
Kira terlihat menunduk dalam, tak mau memperlihatkan ekspresinya.
Sementara Grace menatap Anya dengan dingin. Tapi tangannya tak henti membersihkan pasir di sekujur luka Anya.
Aku tak bisa berhenti mengalihkan pandangan dari Anya. Tanganku bergetar, rasanya sekujur tubuhku kaku dipenuhi khawatir dan rasa bersalah. Aku menyunggingkan senyum penuh luka. Tak peduli dengan luka sobek di lututku yang kupakai sebagai tumpuan badanku.
Aku menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya.
Rasanya seperti diiris.
Rasanya lebih sakit dari semua luka yang ada pada tubuhku.
Entah kenapa, setumpuk rasa khawatir dan cemas yang berlebih ini datang dan berhujung pada rasa yang lain. Kali ini adalah puncaknya.
Aku terlalu fokus untuk melindunginya tanpa pernah memikirkan perasaanku padanya yang sudah terbawa kelewat jauh sebelum aku sempat sadar akan hal itu.
Tidak menyadari, bahwa rasa suka-- yang dari awal hanya sedikit--pada si cewek sketsa, ternyata sama saja seperti yang kurasakan pada Grace. Sudah tidak bersisa, hanya ingatan lama tentang rasa suka di masa lalu, dan akhirnya aku bisa membedakannya.
Aku terlalu fokus melindungi Anya berdasarkan tanggung jawab, hingga tidak menyadari perasaanku sendiri. Aku tidak menyadari bahwa selama ini aku melindunginya hingga perasaanku padanya terus bertambah.
Dia yang pertama kucari jika terjadi sesuatu, yang terlintas di otakku jika aku butuh orang untuk menemaniku melakukan berbagai macam hal, dia orang yang membuatku menyetel musik keras dengan volum 100% hanya karena aku khawatir kenapa sikapnya berubah.
Begitu semua potongan puzzle itu menyatu di kepalaku, aku langsung meraih tubuhnya yang lemas, lalu segera kudekap hangat.
Di saat khawatir dan cemasku berada pada puncaknya, di saat rasa legaku karena dia selamat mendominasi semuanya, di saat itulah semua kesadaran itu datang.
"Aidan?" Kudengar suara Anya berbisik.
"Iya gue di sini, udah gak apa-apa, udah aman, tahan ya bentar lagi kita ke rumah sakit." Aku menguatkan pelukku.
"Maafin gue," bisikku.
***
Kira's POV
Rasa cemas orang-orang perlahan berkurang sedikit demi sedikit ketika bunyi sirene polisi terdengar dari kejauhan. Memecah hening malam di ladang ilalang itu.
Aku segera berlari ke teras depan pondok yang sudah reot itu, lalu mataku melebar begitu melihat anak buah Dino yang tadi kutemukan di mobil Aidan, dipaksa masuk ke dalam mobil polisi.
Aku berbalik, memandang Grace, Aidan, dan Anya.
Kulangkahkan kakiku hingga berada di belakang punggung Aidan. Di sana Anya bersandar pada gendongan cowok itu. keringatnya bercucuran dari dahi, matanya bahkan tidak bisa terbuka sepenuhnya.
Mataku menelusuri setiap bagian dari tubuhnya.
Memar-memar ungu di mana-mana, luka sayatan yang dalam pada lengan-lengannya. Bibirnya berdarah, matanya bengkak.
Aku mengedip-ngedipkan mata, menahan getar pada bibirku. Dengan uringan aku menaikkan kepalaku, menahan agar pelupuk mataku tidak berair.
Aku menggeser poni Anya.
Kulihat kelopak mata sahabatku itu terbuka sedikit, menatapku dengan pandangan lemah.
Aku tersenyum pahit, lalu berkata, "Hei, tenang, semua bakal baik-baik aja."
Ujung bibirnya yang terkupas naik sedikit, senyum kecil ia sunggingkan. Tak mengindahkan sekujur tubuhnya yang luka-luka parah.
Aku melirik ke arah tiang kayu di tengah ruangan. Nyeri itu datang kala kulihat Dino terduduk di sana, babak belur, dengan tangan yang terikat di belakang punggung. Dadaku sesak, tak sadar satu isakan keluar dari bibirku, tenggorokanku kering. Tanganku bergetar di belakang pinggangku.
Aku berbalik, membelakangi mereka. Kuganggam kedua tanganku yang bergetar, air mataku turun deras, kukeluarkan seluruh isakan yang sedari tadi mengganjal di pikiran. Aku terduduk memeluk lutut.
Fakta bahwa aku pernah bersama orang yang membuat Anya jadi seperti ini semakin membuatku jijik pada diriku sendiri.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Lalu kurasakan cengkeram kuat pada rambutku, aku mendongak.
Grace di sana, menyodorkan botol air mineral dingin yang entah dari mana ia dapatkan kepadaku. Aku memandanginya bingung.
"Ewh, lo jelek kalau nangis," ucap cewek berpakaian cheerleader yang dekil itu. "Bangun dari situ, dan minum ini, jijik gue ngeliat lo kayak gini. Ewh." Lalu cewek itu mengulurkan tangannya ke bawah. Ke arahku.
Aku menerima uluran tangannya, lalu mendorong tubuhku ke atas. Kuambil botol minum Grace, lalu kuteguk hingga tandas setengah.
"Kalau lo nangis, gue kan jadi awkward sendiri," celetuknya sembari merangkul bahuku.
Kami serasa dekat selama setahun. Padahal baru akrab beberapa jam yang lalu.
"Tck, sok akrab lu," ujarku sembari berusaha melepas rangkulannya.
Dalam perjalananku bersama cewek belagu itu selama seharian penuh ini, aku tau sesuatu yang penting darinya. Grace memang sok berkuasa, belagu, pemarah, centil minta ampun. Tapi ia juga punya rasa simpati yang tinggi, dan ia menunjukkannya dengan caranya sendiri.
Aku memandangnya, lalu mengikuti arah tatapan matanya.
Dan kulihat Aidan di sana. Berdiri tegak walau kutahu lututnya sedikit sobek, dan pingganya memar parah. Masih terus menggendong Anya di punggungnya, tidak mau menurunkannya walau kami berdua hendak menggantikannya melakukan itu.
Dapat juga kulihat setiap pandangannya pada Anya jadi melembut. Sekarang, seolah tidak punya luka sedikit pun, ia masih memandang lurus ke depan, sesekali menguatkan gendongannya.
Tatapannya kosong dan datar. Seolah di benaknya terdapat segepok masalah.
Aku dan Grace bergerak ke samping Aidan sesaat setelah kulihat aparat kepolisian menerobos masuk.
Mataku melebar begitu pria-pria berbadan besar itu berjalan ke arah pilar kayu di tengah ruangan itu.
Tanganku bergetar.
Lagi-lagi pelupuk mataku penuh.
Dino dipaksa berdiri, lalu cowok berambut cokelat itu berjalan keluar, tangannya yang masih terikat dipegang kuat.
Aku mengulum bibir, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di leherku.
DEG!
Mataku melebar ketika kulihat cowok yang pernah membuatku tertawa itu, ikut menoleh lalu menatapku lembut.
Diam seribu bahasa. Kali ini kami cuma saling tatap. Tidak bicara sepatah kata pun, seolah kami saling memandang, namun menyiratkan sesuatu.
Seolah waktu kembali sebelum semua ini terjadi, kejadian saat pulang sekolah waktu itu.
Kilas balik tiba-tiba tentang bagaimana aku tertawa bersamanya, bagaimana dia membuatku tersenyum dan berdegup, seolah memacu air mataku turun.
Cowok itu kemudian diseret dan dipaksa melangkah. Setelah polisi memaksa menghadapkan wajahnya ke depan, seolah semuanya berjalan lambat, akhirnya ia tidak menatapku lagi.
Namun sebelum itu, mataku menangkapnya, mengangguk pelan. Lalu tersenyum lembut dengan pandangan yang teduh.
Siapa yang tahu, kenyataan seolah berkata bahwa itu kali terakhir aku melihatnya tersenyum.
***
Maaf chap ini agak pendek:( karena titik potong chapternya memang paling pas di sini, semoga suka dan berikan komentar kalian soal cerita sketcher's secret sejauh ini:)
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top