Dua Puluh Delapan|Dokumen
Dear Penny,
Perpisahan. Sebentar lagi aku akan pulang, Lya bilang dia tidak bisa beritahu kapan, jadi untuk berjaga-jaga, aku akan membuat tulisan terakhirku di Indonesia lebih awal. Sekarang aku di rumah sakit, dan Aidan baru saja mengajakku pergi entah ke mana, aku terlalu senang dan secepat mungkin akan kuakhiri dulu supaya tidak ketahuan, Terima kasih telah menjadi tempatku bercerita.
-Anya
***
Aidan's POV
Aku memandang halaman depan buku diary itu. Terpampang tulisan tangan Anya yang rapi.
Mucul beberapa ingatan lama yang meyakinkan pikiranku, bahwa Anya memang senang menulis di buku ini ketika duduk di kursi taman saat jam istirahat sekolah.
Dan ia tidak sadar aku memperhatikannya melakukan itu, sembari masih menjaganya dari Dino, aku memperhatikannya dengan kening mengerut bingung ketika melihatnya tersenyum sendiri ke arah buku diary-nya.
Aku mengerutkan kening begitu melihat halaman pertama buku itu.
"Sketcher's Secret," gumamku membaca dua kata yang merupakan judul, merasakan sedikit tonjokan begitu sadar akan arti kalimat itu.
Aku menelan ludah gugup.
Lalu mataku melebar, merasakan sengatan rasa sakit lain begitu bibirku bergumam membaca paragraf pertama.
"Dear Penny..."
***
"Ayolah, Dan!" aku merasakan tatapan Reza jatuh padaku lagi. "Gue udah denger semuanya dari Lya sebelum dia pergi ke Seattle."
Aku mentap kosong, merasakan wajahku tidak lagi memiliki raut.
"Tapi lo gak bisa terus-terusan kayak gitu! Bisa-bisa telinga lo bener-bener tuli kalau lo denger lagu rock volume maksimal, ini sudah lebih dua jam lo gitu terus!" Lalu kudengar hembusan napas Reza yang terdengar frustrasi. "Lo gak bisa terus terbayang-bayang sama buku itu!"
Dear Penny,
Kau adalah benda pertama yang Aidan berikan padaku. Dan mulai saat ini, kau akan penuh dengan tulisan tanganku yang berisi kisahku--eh maksudku, kisahnya. Atau ... Kisahku bersamanya, mungkin? Ah, entahlah. Jangan tanya kenapa aku memberimu nama Penny, itu spontan saja, kok. Tapi Penny, Mulai hari ini aku yakin, aku akan menyelidiki isi buku sketsa Aidan
Aku mengusap wajahku kasar dengan telapak tangan. "Gue bener-bener gak tau apa pun yang terjadi di sekitar gue."
"Aidan--"
Dear Penny,
Mungkin mencari tahu tentang ini bisa saja jadi hal terbodoh atau pun tidak, karena aku malah menuruti rasa penasaranku padahal aku tahu, jika aku memecahkan rahasia gambaran itu, tidak akan ada dampaknya sama sekali bagiku. Hari ini seru , ngomong-ngomong kami jadi dekat seperti sudah kenal dari lama, couldn't be more happy!
"Gue lindungi dia dari serangan orang lain, tapi nyatanya gue termasuk orang yang nyakitin dia dengan cara yang berbeda, gue bahkan gak tau harus nyebut diri gue sendiri apa."
"Aidan, gue maklum lo emang brengsek. Tapi, hey, lihat saja dirimu sendiri! Lo udah lakuin semua yang lo bisa, alhasil dia juga selamat dari Dino kan?"
Dear Penny,
Di dalam hidupku banyak hal yang terjadi tidak sesuai harapan, namun baru kali ini aku merasa bodoh sekali--karena mau terbawa kesenangan pada sebuah hal yang masih abu-abu. Aidan salah paham padaku perihal buku sketsanya dan kata-katanya padaku hari ini membuat perasaanku seperti mencelus. Tapi yah, bukankah, menyukai seseorang secara sehat adalah bahagia ketika orang yang disukai juga bahagia? Itu alasan mengapa aku hanya diam saja ketika ia mendorongku mundur dari duniamu, lalu mengambil tempatku darimu, karena setelah ia melakukan itu, kau masih bisa tertawa bersamanya, Aidan.
"Eh Aidan lo mau ke mana!" suara teriakan Reza tidak kupedulikan, kakiku terus melangkah menuruni tangga, aku mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas kaca tidak peduli bahwa aku baru saja melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam.
"LO BEDEBAH! JANGAN BERANI LO BAWA KABUR MOBIL LAGI!" Suara teriakan emosi yang serius, sisi Reza yang paling suram itu tidak lagi kurasakan, digantikan dengan kosong dan tidak peduli lagi.
Lagi-lagi aku menutup pintu mobil tepat di saat Reza hampir menggapaiku. Begitu aku menginjak pedal gas. Dari kaca spion dapat kulihat kakakku itu mengambil motor, lalu mengebut hingga hampir mencapai sisi samping.
Aku menaikkan kecepatan, hingga Reza tertinggal jauh di belakang.
-
Dear Penny,
Kini aku tahu, semarah apa pun Aidan padaku, ia masih memberiku jas hujan ketika aku tidak membawa payung, menukar tali sepatuku dengan miliknya agar aku tidak kenna razia, dia tetap melakukan banyak hal padaku dan hal itu membuatku semakin yakin pada perasaanku sendiri padanya, parahnya, akumulai merasa berharap kalau sketsa-sketsa yang ia gambar itu adalah aku.
-
Dear Penny,
Lalu kemudian kurasa hari ini aku tahu satu hal, bahwa tidak selamanya melihat senyumnya itu menyenangkan.
-
Dear Penny,
Menurutku hal yang paling mengganjal adalah masalah yang tidak terselesaikan. Menurutku, terkadang maaf harus dilontarkan meskipun kesalahan tidak sepenuhnya bersumber dari diri sendiri.
-
Dear Penny,
Aku sadar satu hal. Yaitu: rasa rinduku yang paling besar ternyata jatuh kepada kejadian-kejadian kecil yang sederhana.
-
Aku tidak menurunkan batas kecepatan mobil itu, mesinnya menderu keras. Lagi-lagi, aku mengemudi dengan kalap, jalanan lebar itu lengang, munkin karena jam sudah hampir menunjukkan pukul setegah satu tengah malam.
Dear Penny,
Rasanya benar-benar melegakan ketika bercakap-cakap kepada seseorang lalu hal buruk di hari kemarin terasa seolah tidak pernah terjadi.
Mobil terus melaju, mataku disuguhkan pemandangan lampu-lampu kota yang masih menyala ramai di Jalan Merak Biru, jalan ini. Jalan di mana aku nyaris dirawat di rumah sakit jika saja dia tidak menolongku.
Dear Penny,
Mungkin hari ini aku tahu lagi satu hal, menyukai seseorang itu kemungkinan punya dua resiko, antara disakiti orang lain, atau menyakiti seseorang.
Mobilku berhenti di pinggir jalan, aku mematikan mesin dan keluar dari mobil. Menatap tempat berisik yang dipenuhi tawa-tawa serta gurauan pemuda-pemudi yang mabuk, atau cuma sekadar nongkrong sambil tertawa-tawa.
Dear Penny,
Terkadang rahasia ada yang lebih baik tetap tertutup daripada dicaritau. Karena kenyataan pada rahasia itu tidak hanya membawa fakta, namun juga mengikutsertakan luka.
Club malam yang dulu sering kujadikan pelarian. Aku pikir sewaktu Anya memapahku ke apotek sehabis diserang preman berbulan-bulan lalu itu adalah terakhir kalinya aku ke sini, nyatanya tidak.
Dear Penny,
Rumit itu adalah ketika orang yang kausayangi menyukai orang lain yang juga kausayangi.
Tatapan perempuan-perempuan berwajah eksotis yang bekerja di situ tampak menatapku terpukau ketika aku berjalan menuju meja paling ujung, musik yang berdentum-dentum benar-benar serasa tidak kudengar, kali ini aku benar-banar merasa kosong.
Dear Penny,
Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa, karena aku terlalu sedih untuk tinggal, namun juga terlalu takut untuk pergi.
Aku menyelip-nyelip, keluar dari orang yang berdesak-desakan sambil tertawa dan memegang minuman di tangan mereka. Beberapa kali aku melihat perempuan-perempuan seusiaku, atau bahkan lebih tua mengerlingkan satu matanya.
Dear Penny,
Sepertinya aku benar-benar harus pergi.
Hingga langkahku terganggu oleh teriakan seorang wanita berbaju minim yang wajahnya tidak asing. "Hei! Bukannya itu Aidan?!"
Dear Penny,
Bayakkejadian-kejadian setelahnya yang terjadi, semuanya sudah mulai terang. Mulai dari ketika ia memegang tanganku dan mengajakku pergi bersamanya ke belakang gedung sekolah, sampai saat dia menyelamatkanku dari peristiwa mengerikan yang dilakoni oleh kakak tirinya sendiri. Semuanya baik-baik saja, hingga hari itu datang. Dan moment hangat itu serasa tidak akan pernah berakhir. Padahal ternyata waktu membuat semuanya berjalan semakin cepat menuju perpisahan
"Oh ya ampun!" wanita lain mengikik, "Lo dua kali lebih ganteng semenjak terakhir lo datang pas lo belum segede ini!"
"Benar itu elo Aidan astaga!" wanita yang dipinggir ikut mengikik. "Oh my god, lo tetep aja good-looking, bahkan bertambah!"
"Lo pasti udah punya cewek kan?"
"Mana cowok yang dulu sering ke sini bareng lo? Reza! Sama Thio juga, Mathio Raynaldi itu!"
"Ayo kita minum dan nongkrong, gue kangen sama lo yang dulu!"
Aku kenal baik mereka. Lima cewek yang paling terkenal di Club malam ini, dan mungkin masih sampai sekarang. Marlene, Jessi, Hanna, Fransesca, dan Jodie. Aku, Reza, dan Thio dulu sekali-sekali nongkrong dan mengobrol bersama mereka.
Namun rahang cewek-cewek itu nyaris jatuh begitu aku hanya menatap mereka tanpa ekspresi, tidak sama seperti aku yang lama
Pikiranku yang kacau membawaku menuju meja bartender di sudut, duduk di salah satu kursi tinggi di depan meja panjang tersebut.
Dear Penny,
Hal yang paling kutakuti dari waktu adalah, ia mampu mengubah kejadian berharga yang kita alami sekarang menjadi memori lampau yang bisa saja dilupakan di masa depan. Penny, semua hal yang kulewati ini, semua imbas yang dia berikan padaku, seharusnya aku marah kan? Tapi tidak sama sekali, melihatnya selalu ada seperti ini. Penny, soal Aidan, Aku semakin tidak bisa lepas, aku malah semakin ingin dia terus ada di dekatku. Salah sekali, karena sepertinya, aku akan pergi dalam beberapa hari lagi.
"Bart." Aku memanggil nama bartender yang sudah sangat akrab denganku, Bart berbalik, lalu wajahnya terkejut begitu melihatku duduk di depannya.
"Aidan? Lo Aidan bukan?" tanyanya sambil menunjukku dengan dua jari.
"Iya, dia Aidan, Bart," potong Francesca sebelum aku sempat menjawab. "Cowok ganteng termuda yang sering menyerobot masuk dan menyamar, yang dulu sering datang dan membuat onar bareng Reza sama Thio!"
Lalu cewek-cewek yang tadi tau-tau sudah duduk di kursi-kursi panjang yang ada di dekatku. "Kau sudah punya pacar, Aidan?" tanya Hanna.
Mendengar itu, aku memejamkan mataku kasar sambil menghebuskan napas panjang. Melihat itu, Bart buru-buru berkata, "Diamlah Hanna!" serunya.
Hanna mendengus. "Gue kan cuma bertanya."
Lalu Bart berdeham sebelum berkata, "Jadi, ehm ... Aidan," ucapnya. "Gue tau lo udah pernah berubah semenjak lo keluar dan gak pernah datang ke club lagi sampai dengan, ehm ...." Bart berpikir.
"Sudah tiga tahun, Bart!" dengus Marlene sambil memutar bola matanya.
"Oh ya, tiga tahun, terserahlah." Bart menatapku serius. "Man, apa yang lo lakuin lagi sampai baru datang di versi anak SMA kelas tiga! Lo punya masalah la-"
"Bart, gue cuma mau minum, balik dan bikinin gue satu," ucapku, membuat Bart mengangguk dan memilih berbalik daripada melanjutkan pertanyaannya.
Dear Penny
Hari itu kita tidak memasang tangis karena waktu yang sudah dekat menujuperpisahan, sebaliknya kita malah mengukir senyum karena memutuskan untukmenikmati waktu yang tersisa, walau mungkin hanya sisa satu hari saja.
Mungkin ini sudah terakhir kalinya aku mengetik catatan yang entah-apa-gunanya-dan-entah-kenapa-aku-menulisnya lagi. Aku tidak akan lagi bisa bertemu Aidan, dan mungkin hari ini yang terakhir setelah tahu informasi itu dari Lya.
"Waw, Aidan. Suara lo jadi tambah...," ucap Hanna centil main-main, seperti biasa.
"Suaranya memang selalu begitu, Hanna," ucap Marlene.
Aku memutar bola mata, berusaha mengabaikan lima cewek itu, padahal dulu aku dekat sekali dengan mereka.
"Aidan lo jadi tinggi banget, bahkan berkali-kali kepala lebih tinggi dari Jodie!" celetuk Jessi yang tadi suaranya tidak kedengaran. Jodie adalah cewek paling tinggi dari mereka.
"Padahal gue ingat dulu lo cuma sampai dagu gue," ucap Jodie.
"Ehm, Jodie? Untuk ukuran seusianya waktu itu, setinggi dagu lo itu udah tinggi ideal. Kan Aidan?" ucap Hanna dengan nada yang lebih centil.
"Tingginya memang selalu Ideal, Hanna," ucap Marlene lagi.
Aku lagi-lagi menghembuskan
napas panjang sambil memejamkan mata.
"Sudahlah gadis-gadis, kalian liat dia pasti punya masalah di sini, berhentilah menggodanya!" sergah Bart sambil meletakkan segelas besar bir yang menimbulkan suara khas begitu bawahan gelasnya menghantam meja pelan. "Terutama elo, Hanna," tambah Bart.
"Ha? Apa? Gue gak ngegodain dia kok," ucap Hanna, membuat cewek-cewek yang lain memutar bola mata sarkastis. Aku mengangkat gagang gelas bir itu, mengarahkannya ke bibirku. "Godaan gue kan Cuma tertuju untuk Reza, Arkhan Fahreza Nathala," ucapnya lagi sambil bergaya seperti cewek yang habis dibusur panah cupid.
"EH BUKANNYA ITU REZA?!" teriak Jodie histeris sambil menunjuk kea rah kiri.
Hanna dan cewek-cewek itu langsung berbalik.
Dan yang terakhir kuingat adalah bunyi gebukan keras, disertai dengan jeritan kelima cewek itu, gelas yang jatuh dari tanganku sebelum bahkan menyentuh bibirku, dan sekujur tubuhku yang mendadak nyeri.
Karena setelah itu yang kurasakan cuma kepalaku yang berdenyut-denyut.
Dear Penny,
Perpisahan. Sebentar lagi aku akan pulang, Lya bilang dia tidak bisa beritahu kapan, jadi untuk berjaga-jaga, aku akan membuat tulisan terakhirku di Indonesia lebih awal. Sekarang aku di rumah sakit, dan Aidan baru saja mengajakku pergi entah ke mana, aku terlalu senang dan secepat mungkin akan kuakhiri dulu supaya tidak ketahuan, Terima kasih telah menjadi tempatku bercerita.
-Anya
***
Penglihatanku akhirnya jelas, aku terkejut begitu mataku menangkap langit-langit yang sangat kukenal. Dengan cepat tanpa berpikir sebelumnya, aku bangkit dari tidur.
Aku menyumpah serapah begitu nyeri menghantam pelipisku.
"Sudah bangun?" tanya Reza, menatapku dengan sorot mata yang benar-benar tajam dan gelap. "Gimana rasanya? lo udah seger blum?"
Dan itu nada bicara emosi Reza yang paling kukenal. Yang sangat jarang ia tunjukkan.
"Gue tahu, soal lo dan Anya, lo emang sial kalau menyangkut perasaan lo ke dia. Ditambah lagi lo sendiri yang buat dia pergi."
Aku memutar bola mata. "Terima kasih sudah ngebuat perasaan gue lebih baik. Dan terima kasih atas pukulan lo," ucapku sarkastis.
Lalu hembusan napas kasar Reza terdengar. "Tapi ... Seriously, lo mau minum lagi setelah lama udah berhasil merubah kebiasaan lo?" suara Reza menajam, aku tidak niat melihat wajahnya, memilih bersandar kembali ke bantal ranjangku sambil menyetel lagu dengan volume keras. "Coba pikir apa yang akan terjadi kalau ayah tahu soal ini! Lo mungkin gak bakalan bisa masuk rumah lagi."
"Cih, Ayah ingat kalau punya dua anak aja kayaknya udah gak mungkin."
"Lebih tepatnya, tiga."
Aku tertawa hambar. "Dia itu beda, jangan samain dia," ucapku. "Apa pun yang lo mau bilang soal Ayah, dia gak bakal balik lagi kok, tenang aja."
Lalu telepon Reza berdering. Ia mengangkatnya tanpa menempelkannya ke telinga-kebiasaannya yang entah buruk atau baik, ia selalu menyalakan speaker panggilan jika sedang berada di rumah.
Suara yang sangat tidak asing terdengar. Sesaat setelahnya, aku mengecilkan volume musikku.
"Reza, ini ayah."
Aku dan Reza langsung terbelalak, lalu kami berdua saling
What a perfect timing.
***
"A-a-ayah?" Emosi Reza menyurut. digantikan dengan ekpresi terkejut bukan main. Matanya melebar,dan bicaranya beru
Masih dengan ekspresiku yang datar seperti biasa, aku tetap bersandar di tempat tidur. Tapi tetap saja, di dalamnya jantungku berdegup kencang sekali, masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
Ayah menelepon. Setelah setahun tidak menampakkan wajahnya, dan hanya mengirim uang yang bisa dibilang terlampau banyak. Membuat kami hanya bertahan lama, namun tidak ada asuhan. Hingga masa remajaku menjadi liar karena tidak ada yang memegang control.
"Reza, bawa Aidan ke rumah kita yang lama." Suara itu serak, namun tegas. Bagi pendengar, pasti sudah tahu bahwa si pemilik suara itu adalah orang berwibawa, berparas keras, dan memang itu kenyataanya. "Saya tunggu kalian sekarang juga."
Aku tahu Reza ingin berbicara, dan aku tahu dia tidak sempat kerena lidahnya kelu. Panggilan singkat itu pun berakhir.
Hening.
Kemudian aku mendapati Reza menatapku. Dari sekian banyak sorot mata khas Reza yang kuketahui, baru kali ini aku melihat sorot matanya yang sekarang. Antara takut, kaget, penasaran, dan juga bingung.
"Ambil jaketmu," ucapnya pelan, namun tajam. "Kita pergi sekarang juga."
***
Hening.
Mobil yang dikendarai Reza melaju kencang sekali, membelah jalan raya pukul dua belas malam yang lengang. Sunyi dan senyap. Kami berdua diam membisu, tidak canggung,
Melainkan mencekam.
Aku tahu kepala Reza pasti menyimpan banyak hal gelap yang selama ini tidak kupedulikan, dengan adanya panggilan Ayah, kakakku itu pasti bertambah terpukul.
Lidahku kelu, sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepatah kata kepada Reza yang sekarang mengemudi dengan ekspresi kosong, namun tangannya tegang.
Pikiranku hanya terbagi dua; Ayah dan Anya.
Walau Ayah adalah hal yang mesti memanipulasi semua pikiranku, aku tidak bisa mengelak dan mengatakan; Anya juga ikut mengambil tempat di kepalaku.
Terbayang sosok dingin bermata tegas yang dulu sering membuat kakiku mundur ke belakang, kini menelepon dan menyuruh kami datang menemuinya.
Setelah semua kabar perkelahianku dengan Dino, Reza, aku, dan teman-temanku yang sering memalsukan identitas demi memasuki club malam, Dino yang sering bergabung dengan geng motor mungkin telah sampai di telinga Ayah.
Dan sekarang ia meminta kami menemuinya.
Aku berbohong jika aku mengaku tidak takut.
***
Aku menghela napas panjang, berusha menenangkan perasaanku.
Untuk sesaat aku merasa kehilangan sifatku yang lama. Sifat Aidan si tenang, dingin, datar tanpa ekspresi-ku hilang entah ke mana.
Aku menghela napas panjang lagi, menoleh, lalu mataku melebar begitu melihat Reza sudah keluar dari mobil. Buru-buru aku juga ikut keluar, merapatkan jaket, dan berjalan di belakangnya.
Ingatan suramku lagi-lagi berputar-putar di atas kepalaku begitu kakiku menginjak taman rumah lama yang sudah tidak terurus itu. terlihat di depan, punggung tegak Reza melangkah ragu.
Namun walau panik, aku tidak pernah seragu dia. Aku selalu tahu, Ayah tidak pernah berbohong. Ayah yang keras, tegas, seperti tanpa belas kasihan, tapi tidak pernah memutar balikkan realita dan anti salah paham. Apa pun yang terjadi nanti, itulah yang betul-betul harus kami terima menurut Ayah.
Dengan segenap pikiran itu, tidak sadar kakiku sudah mendahului Reza. Pelan tapi pasti, aku memutar kenop pintu dan mendorongnya.
Bunyi deritan pintu kayu yang sudah lapuk itu terdengar seperti menjerit, memilukan telinga.
Benar, Ayah ada di dalam. Pintunya tidak terkunci.
Kami berdua mengambil langkah. Lalu mataku melebar, degup jantungku memacu kencang, seluruh tubuhku rasanya lemas. Ada banyak takut di benakku, tapi juga ada rindu bercampur kecewa begitu melihat sosok itu.
Sosok berbahu tegak nan lebar, berpunggung lurus, berbadan besar, berperawakan kasar dan gelap. Dan aku tahu, di dalamnya juga ada sosok yang dingin. Wajah dan sorot matanya tidak berubah, hanya tertutup kerutan dan rambut yang sudah mulai berubah kelabu.
Pemimpin perusahaan luar negeri yang tidak pernah menengok atau mengurus kami, membiarkan kami tumbuh hanya dengan uangnya saja; Jonathan Fardhika Nathala, ayahku--ayah kami.
Mataku menatapnya nanar. Ia duduk menghadap ke arah kami di atas sebuah sofa lama yang tidak terlalu berdebu karena tertutup kain sesaat sebelum kami pindah, di depannya terdapat tiga kursi kayu yang diputar sehingga arahnya menghadap beliau.
Dan salah satu dari tiga kursi itu telah diduduki satu orang. Mataku melebar begitu melihat siapa yang menduduki kursi itu;
Dino, Andino Jullio.
Dan sekilas, kutangkap sorot ragu dan takut di matanya begitu ia melihatku.
"Kalian sudah datang." Kalimat yang beliau ucapkan memang terkesan menyambut tapi diucapkan dengan sorot dingin dan tajam. "Duduk di sini, ada yang harus saya bicarakan dengan kalian bertiga."
***
Iam so so so sorry for the slow update lately. Maaf karena Sketcher's Secret gak diupdate selama satu bulan setengah, ternyata penyelesaian konflik dan penyusunan ending gak semudah DAN sependek yang saya bayangkan. Jadi mungkin ada beberapa tambahan chap lagi kedepannya, karena saya gak bisa paksain bisa cepat kelar, entar alurnya kecepetan pas akhir kan jadinya aneh:v it's takes forever for these chapter to be done, and I'am having such a frustrating silly battle with my wifi wich pushed it's bitchy mode. I hope y'all understand, the struggle's seriously real c:
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top