Dua|Hujan

    Aidan menatapku dengan sorot tajam. Aku hanya terdiam dan mengulum bibir gugup. Cowok itu lalu mendekat hingga ujung sepatu kami bersentuhan. Ia membungkuk hingga kepalanya berada tepat disamping kepalaku. Ia lalu menoleh ke arah ku sehingga dapat kurasakan napasnya yang pelan.

      Aidan lalu berbisik. "Tukang nyolong loker."

      Rasanya seperti disambar petir lima kali. Mataku terbelalak, lalu sadar bahwa ternyata di depanku adalah mading dan bukannya Aidan, membuatku lega sekali.

    Khayalan seperti itu rasanya nyata, lalu mengingat bahwa ada kemungkinan itu terjadi di realita, aku langsung menutup wajah dengan tangan sambil menghela napas lesu.

    "Hadu kalau gini mana kuat gue muncul depan dia," ujarku dalam hati

    Terlebih lagi membuat spanduk itu butuh banyak kerja sama.

    Aku menenggelamkan wajahku ke dalam lipatan tangan. Menendang-nendang udara geram.

      "Anya, lo bareng Aidan mau kerja spanduknya di mana?" Kira tersenyum jahil. "Kalau gue sama Dino sih di rumah gue, kalau elo? Di rumahnya Aidan ya?"

     Pipiku serasa merah padam, aku menunduk dan segera berjalan gontai menuju kelas.

      "Halah pake acara sok gusar segala, padahal dalam hati senang banget udah kayak kayang." kira mengikutiku dari belakang.

    Pikiranku kacau, aku tidak tahu ini perasaan apa. Antara takut, bingung, malu, dan juga marah. "Diem!" Aku menggerutu, tetap meneruskan langkahku menuju kelas.

     "Eh, eh, Anya!" Kira kesulitan menyusulku "Anya tungguin gue!"

***

     Aku sama sekali tidak fokus ke pelajaran, otakku terus memikirkan kejadian tadi, ditambah lagi spanduk itu.

    "Duh, gimana mau ngerjain bereng, muncul di depannya aja gue enggak bisa," batinku resah. "Apa sebaiknya gue ngerjain sendiri aja ya? Ah! Enggak mungkin, harus ada yang bantu."

    Melihatku yang tidak kunjung menulis, Kira memutar arah duduknya menghadapku "Anya, gue enggak bermaksud usil ya, tapi...," Kira memberi jeda, "lo mau ngerjain spanduknya di mana? Lo udah bikin rencana bareng, Ehm, Aidan?"

     Aku mendengus. Kira benar, aku harus segera berbicara pada Aidan. Harus.

      "Kalau elo?" tanyaku lesu.

     "Gue sekelompok sama Dino, bagian panitia lomba balap karung. Katanya, Dino bakalan datang ke rumah gue siang ini," jawab Kira.

     Aku hanya mengangguk, apa aku harus ke kelas Aidan sepulang sekolah nanti? Aku menenggelamkan kepalaku ke lipatan tangan lagi.

    Tiba-tiba, Kira menepuk-nepuk bahuku "Anya!" Kira berbisik tertahan "Anyaa!"

    Dia kenapa lagi sih? Aku menoleh malas "Apa lagi sih, Kir?" tanyaku tanpa minat. Masih tidak mau mengangkat kepalaku dari meja.

    "I-itu" Kira terbata "Anya itu!" Kira menunjuk ke arah meja guru.

    "Ap-" aku terkesiap, bibir bawahku kugigit keras ketika melihat sosok itu berdiri di sana, tengah berbincang dengan Pak Anton.

     Aidan.

     Kenapa dia ada di sana? Sejak kapan ia masuk?!

     Aku hanya bisa menunduk, berharap agar ia tidak melihatku.
Murid-murid perempuan mulai berbisik-bisik memuji tampang Aidan yang memang ganteng.

    Kira masih memegang bahuku. "Anya, dia senyum ke arah sini!" bisik Kira, aku hanya terdiam. Tersenyum ke arah sini? Aku mencuri pandang sekilas, benar.

    "Mana Anya?" panggil pak Anton lantang. "Ada yang nyariin kamu"

     DEG!

     Mendadak badanku kaku, jantungku serasa melompat-lompat. Aku tidak kunjung menyahut panggilan Pak Anton, kepalaku masih menunduk.

    "Mana Anya?" ulang Pak Anton.

    "Ini Anya pak" suara Kira memecah keheningan, mendahuluiku, jari telunjuknya mengarah ke arahku.

    "Cepetan ke sana Anya," bisik Kira sembari menyikutku.

    Aku mengangkat kepalaku, tidak ingin terlihat bodoh di depan Aidan. Aku berjalan ke meja guru sesantai mungkin.

    "Kami minta izin keluar dulu pak," ucap Aidan sopan.

    Aku salah tingkah, tidak berani melihat mata Aidan. 'Adegan loker' itu teringat jelas di kepalaku, membuat pipiku merah seketika.

    "Oh, iya silakan, saya kasih dua menit aja ya," jawab Pak Anton.

     Mati, Apa yang akan Aidan katakan?

     Aku gugup, namun berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkannya.
Aku mengekori Aidan yang sudah berjalan keluar duluan. Ia berhenti tak jauh dari pintu kelasku.

    "Tenang aja kok, gue gak bakalan marahin lo soal loker itu." Aidan memperlihatkan raut wajah serius, tepat mengena, seolah ia tahu apa yang membuatku gelisah. "Lagipula kalau lo mau nyolong juga enggak mungkin kan?" Nada suaranya terdengar jenaka.

     Sial. Malu banget.

    Aku tertawa hambar, jantungku melompat-lompat lagi saat melihat Aidan ikut tersenyum. Senyum yang manis, tapi agak berbeda. Berbeda dengan senyumnya sewaktu di taman pada hari itu, berbeda dengan senyumnya sewaktu di kelas tadi.

    Bedanya adalah, saat ini matanya tidak ikut berekspresi, aku tidak merasakan apa-apa dari kedua manik cokelat itu--yang dulu kurasakan sebelumnya. Ia hanya tersenyum biasa, tidak ada perasaan itu di matanya, hanya datar.

     "Kenapa?" Aidan membuyarkan lamunanku, mungkin sadar kalau aku menatapnya sambil bengong.

      Sial! Malu-maluin diri lagi, sudah tidak tahu berapa kali.

    Aku tersentak, kemudian menunduk lagi. "Eh, eh enggak kok. Em itu ... ngomong-ngomong lo nyari gue?" tanyaku sebelum suasana bertambah awkward.

    "Oh iya, soal spanduk itu," Aidan memberi jeda "di rumah gue aja ya, sepulang sekolah siang ini. Lo bisa kan? Biar cepat selesai aja, kan gak enak kalau jadi beban," tanya Aidan.

    "Iya" aku hanya mengangguk kosong. Pikiranku belum bisa mencerna dengan baik.

    "Oke, kalau gitu gue duluan ya." Aidan tersenyum 'biasa' lagi, tanpa sorotan mata yang kulihat sebelumnya. Entah kenapa aku agak sedikit kecewa, apa karena insiden loker itu? Ck, aku mulai ngelantur lagi.

    "Anya?" Aidan menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan mataku.
Spontan, aku menggeleng. Aish! Pasti tampangku tadi terlihat seperti orang bodoh, aku mengutuk diriku di dalam hati.

     "Eh, iya?" aku bertanya heran.

     "Ngomong-ngomong , senang bertemu dengan lo," ucap cowok berambut cokelat itu lalu melangkah pergi.

     Aidan pun pergi dari hadapanku, kembali menuju kelasnya.

     Eh?

    Tunggu sebentar, aku mulai 'memijak bumi' lagi.

    Tadi dia bilang apa? Siang ini? Di rumahnya?

    Hah?!

***

    "Cie, yang bakal ke rumahnya Aidan, cie." Sudah berapa kali Kira mengucapkan kata 'cie' dalam satu hari ini.

    "Apaan sih, gue ke sana kan cuma buat ngerjain spanduk doang." Aku menyandarkan badanku di dekat pintu kelas Aidan, menatap wajahnya yang sedang sibuk membaca sesuatu di buku catatannya. "Pulang sana gih, Dino udah nungguin lo di parkiran tuh." Aku menunjuk pintu keluar dengan daguku.

    "Kalau gitu gue balik dulu ya, semoga pulang-pulang lo udau gak jomblo!" Kira tersenyum jahil, lalu ia berlari-lari kecil menuju pintu keluar. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihatnya hampir menabrak orang lain.

    "Lama ya?" tanya seseorang dari belakang. Aku menoleh, Aidan tiba-tiba sudah berdiri di sana.

    "Oh? Gak kok, gue baru aja keluar." Aku menggeleng seraya tersenyum simpul, mencoba bersikap tenang dan ramah walau sebenarnya jantungku sedang 'melompat-lompat'

    "Kalau gitu, ayo. Bahan-bahannya udah aku beli, kita tinggal bikin spanduknya aja," ajak Aidan, ia melangkahkan kakinya mendahuluiku, aku mengikutinya dari belakang.

     Kutepuk pipiku pelan, meyakinkan diriku sendiri agar tidak bertindak memalukan selama dua jam ke depan.

     Tapi sayangnya, waktu pengerjaan spanduk itu lebih dari dua jam

***

    Aidan mengenakan helm hitam yang senada dengan warna motor yang dinaikinya, ia menyalakan mesin lalu menoleh ke arahku yang masih berdiri mematung.

    "Buruan naik, Anya," ajaknya sambil memberikan isyarat padaku.

    Degup jantungku semakin tak terkontrol.

    Santai saja Anya, santai.

    Tanpa basa-basi lagi, aku segera naik ke atas motor hitamnya. Aidan pun melajukan kendaraan itu dengan kecepatan yang lumayan kencang.

    "Anya, umur lo berapa?" ucap Aidan.

     Aku melirik kaca spion, melihatnya menatapku dari situ, membuatku menunduk malu.

     "Gue 16, kenapa?" tanyaku.

     "Oh haha, Pantesan aja cowok-cowok di kelas gue pada ngomongin soal cewek baby face dari kelas lo," ucap Aidan.

     Aku menaikkan kepalaku terkejut begitu mendengar itu. Oke, dari kelas sepuluh, title itu melekat padaku, salah satu penyebab yang membuat namaku disebut-sebut selain karena peringkatku.

     "Awalnya gue gak tau cewek itu siapa," ucap Aidan. Aku mendengarkan dengan seksama. "Tapi begitu masuk ke kelas lo, gue langsung tau cewek itu ternyata lo."

    Itu sudah jadi berita lama.

     Namun dengannya mengucapkan pujian itu, rasanya berbeda.

     Aku tersenyum hangat, secara spontan.

      Dapat kurasakan Aidan melirik kaca spion sebentar, lalu tersenyum kecil sambil kembali melihat jalan.

                                 ***

    Kami akhirnya sampai. Aku memandangi rumah berlantai dua yang dirancang modern tapi simpel, pekarangannya yang luas ditumbuhi rumput hijau cerah dan berbagai jenis tumbuhan yang memberikan nuansa tersendiri. Rumah Aidan bagus.

    Walau secerca sinar mentari berhasil menembus awan kelabu yang tebal, namun suasana tetap saja gelap. Suara desiran terdengar jelas dari pohon-pohon yang ditiup angin kencang. Hawa dingin mulai menyelimuti, serasa menusuk-nusuk kulit. Aku merapatkan lenganku.

    "Ayo masuk, di sini dingin" Aidan mengelus lengan kirinya.

    Aku benar-benar terkejut saat Aidan menyambar telapak tanganku, lalu menggamitnya.

    Cowok itu menarikku sembari berjalan cepat, masih tetap menggandeng tanganku erat.

    Aku menelan ludah, berusaha keras mengulum bibir bawahku agar tidak tersenyum.

    "Assalamualaikum!" Aidan setengah berteriak saat pintu depan terbuka lebar. Menampakkan seorang remaja laki-laki yang sedang duduk di sofa sambil berkutat dengan gadget-nya.

    "Eh waalaikumsalam, tumben lo pulangnya cepet," kata cowok itu, pandangannya masih tetap tertuju pada gadget yang ia pegang "Tutup pin-Eh? Lo siapa?"

    Wajah seriusnya berubah menjadi terkejut saat melihatku.

    "Hai, gue Anya, temennya Aidan" Aku tersenyum simpul, memperkenalkan diri. Wajah cowok itu mirip dengan Aidan, mungkin dia saudaranya.

    "Eh... Aidan udah gak jomblo, tumben banget lo bawa cewek cantik ke rumah, pacar lo bukan?" Cowok itu terkekeh jahil.

    Eh?

    Aidan salah tingkah, aku tersenyum kecil melihat wajahnya yang lucu. "Mulai lagi ya lo," ucao Aidan dengan suara yang ditekan.

     "Eh, eh sorry bos, gue bercanda kok." cowok itu terkekeh "Kenalin, gue Reza, kakaknya pacar lo." Cowok yang bernama Reza itu tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya, tidak tahu harus berkata apa padanya.

    "Reza!" Aidan memanggil nama kakaknya dengan nada mengancam

    "Anya temen gue." Aidan mendengus. Aku tertawa di dalam hati, entah kenapa aku teringat Kira. "Malu-maluin orang mulu kerjaannya."

     "Kalau enggak pacaran terus kenapa..." Reza menunduk sedikit ke bawah "... lo dari tadi ngegandeng tangan dia mulu?" Reza tertawa jenaka.

     Hah?

     Oh iya! Astaga, Aidan belum melepaskan genggaman tangannya sedari tadi. Aku sama sekali tidak sadar, begitu pula dengan Aidan. Sontak, kami berdua terkejut. Aidan buru-buru melepaskan gandengannya pelan. Benar saja, tanganku agak memerah. Cowok itu agak sedikit salah tingkah.

      Apalagi aku.

     "Eh? Oh, i-iya, sori Anya," Aidan menggaruk tengkuknya. Aku menggeleng pelan, mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-apa.

     "Kasian noh tangan anak orang merah, kenceng bener lu, Dan!" Reza belum kapok.

      "Anj—" Aidan yang masih agak salah tingkah langsung maju menghampiri Resa.

    Aku hanya terkekeh pelan melihat perdebatan kakak-beradik itu, menyembunyikan rasa malu yang meludak.

    Reza melompati sandaran sofa yang ia duduki tadi, cowok itu buru-buru menaiki tangga menuju lantai atas.

     "Sorry ya, Nya, kakak gue emang gitu. Kurang kerajaan." Aidan tersenyum ke arahku.

    "Hehehe, gak kok santai aja." Aku tertawa.

     "Santai aja pala mu Anya, padahal jantung sudah kayak lepas." Ucapku dalam hati

***

    "Ini dicat warna apa, Dan?" tanyaku sembari menunjuk potongan karton manila putih.

    "Um, Biru muda," jawab Aidan sembari menyodorkan kemasan cat biru muda.

    Aku mengambil kemasan itu, kubuka tutupnya, namun aku tidak sengaja menekannya.

    Cat biru muda langsung terciprat mengenai wajahku, tepat di dahiku.

     shyit, kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan Aidan?

     Untung saja, Aidan belum melihatku. Tapi apa yang harus kulakukan untuk menutupinya?

    PLAK!

   Aku menutupi dahiku, menutup noda cat biru muda itu dengan telapak tanganku. Iya, aku tahu ini bodoh.

    "Lo kenapa nepuk dahi?" Aidan menatapku heran.

    Tanganku masih menempel di dahi "Ah, hehe, itu...," Aku tertawa canggung,  "itu, eh, kepala gue sakit! Iya, kepala gue sakit. Hehe." Aku tertawa canggung lagi.

    "Lo gak apa-apa?" tanya Aidan, raut wajahnya agak cemas.

    "Eh, hehe ... Gue? gak kok." Aku tersenyum paksa, telapak tanganku masih menutupi dahiku, seolah terekat dengan lem.

    Aidan melanjutkan pekerjaannya, kemudian ia berhenti lagi dan menatapku.

    "Anya?" Aidan menyebut namaku.

    Aku tersentak, "Ya?" jawabku kemudian.

    "Tolong pegangin sisi kiri sama sisi kanan kertasnya, gue mau ngeliat ukurannya," kata Aidan, tangannya memegang penggaris.

    Mampus.

    Bagaimana caranya memegang dua sisi kertas lebar sekaligus? Aku tidak bisa menggunakan salah satu telapak tanganku.

    "Anya, kok cuma megang satu sisi? Dua-duanya dong,"  ucap Aidan, ia memasang ekspresi heran. "Dahi lo kenapa? Pusing ya?"

    Kini Aidan menatapku penuh selidik, sorot matanya tajam.

"Eh, gak kok."

"Sini coba gue lihat."

"Enggak usah."

"Gue lihat sebentar aja kok."

"Enggak ada apa-apa."

"Jangan bohong."

"Gue enggak bohong."

"Kalau gitu biarin gue lihat!"

"Eh, eh jangan!"

    Ini buruk, pergelangan tanganku kini digenggam Aidan.

      Deg.

      Lalu cowok itu pun berhasil menyingkirkan tangan kananku dari dahi.

      Dengan kata lain, Ia berhasil melihat noda biru itu.

      "Hahaha!" Aidan tertawa terbahak-bahak. "Jadi tadi lo nepuk dahi cuma buat nutupin itu?" Aidan tertawa kencang, lesung pipinya terlihat jelas.

   Wajahku merah sampai ke telinga, bibirku kutekuk.

    "Jangan sok jutek kalau pipi lo aja merah gitu," goda Aidan.

       Serta merta Aidan mendekatkan wajahnya ke wajahku, membuat mataku melebar kaget karena jarak yang terlalu dekat.

      Refleks, aku melempar bungkus cat biru tadi hingga mengenai dahinya.

    "Bacot lu!" seruku.

    "Denger ya, Safanya Alona atau siapa pun nama panjang lo itu, gue lupa." Aidan masih tertawa. "Lo mau denger rahasia?"

    Cukup, jantungku serasa lari marathon. "Apa?" tanyaku langsung serius.

     "Sini gue bisikin," ucapnya.

      Aku menelan ludah. "Apaan?" kataku, sedikit mendekatkan diri.

      Begitu merasakan tangannya menyambar pelan pelipisku, rasanya seperti semua suara di ruangan itu herhenti, bahkan detak jarum jam.

     Aku menyentuh pelipisku lalu melihat cat biru melekat di jari.

     Anjirlah ini anak.

     Aku segera meraih wadah cat, lalu membalas kelakuannya.

                               ***

     "Hujannya deras banget, lo yakin mau pulang sekarang?" tanya Aidan, ia duduk di sampingku. Jarak yang cukup lebar di tengah-tengah.

     Kami menatap hujan yang turun di luar, deras memburamkan pandangan. Suara gemericik terdengar kencang dan cepat, guntur terus bergemuruh, ditambah kilat yang menyambar-nyambar.

    Aku melipat tanganku, kepalaku kusandarkan di sandaran sofa yang empuk. Terasa nyaman sekali, entah kenapa aku merasa sangat lelah.

    "Gak tahu juga nih, kalau pulang juga palingan basah kuyup." Aku menjawab malas, masih bersandar di sandaran kursi.

     "Gue anter?" tawar Aidan.

     "Gak usah, nanti juga reda sendiri kok." Aku menolak tawarannya.

     "Heleh sok jual mahal." Aidan senyum hingga lesung pipinya terlihat. Membuatku menelan ludah sambil meredakan degup.

    "Gue nunggu sampai reda aja, belum terlalu sore kok." Aku menenggelamkan kepalaku ke dalam lipatan tangan, bertumpu pada sandaran kursi.

    "Yaudah," Kata Aidan, lalu bangkit berdiri.

      Cowok ini benar-benar enteng sekali lagaknya.

      "Gue ke dapur ya, kalau lo mau pulang panggil aja." Lalu cowok itu menyentuh puncak kepalaku satu kali, membuatku mengulum bibir sendiri.

     Aku hanya mengangguk lesu. Dan semuanya menjadi gelap.

                              ***

     "Hoam." Aku menguap pelan, badanku langsung sakit semua.

     Eh? Aku di mana?

     Kukucek kedua mataku, berharap pandanganku berubah jelas.

     Sofa berwarna merah? Aku ketiduran di sofa? Pantasan badanku sakit semua.

    Tunggu dulu, sejak kapan aku punya sofa merah? Aku melirik jam tanganku, lalu terbelalak kaget saat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore.

    Ohiya, aku ketiduran di rumah Aidan sampai jam 6 sore.

    Tunggu sebentar.

     "Gue tidur sampai jam 6 sore?!" aku berbisik tertahan.

    Ini benar-benar buruk, belum lagi penampilanku yang acak-acakan. Rambut berantakan, mata bengkak, pakaian tidak terpasang rapi

    "Udah bangun?"

     Mampus.

***

Halo!
Bagaimana menurut kalian sejauh ini?
Thanks to readers, big thanks to voter, Huge thanks to you guys who add this story into their reading list🍭
All the love!

-Lychadiva

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top