Dua Belas|Kenyataan(2)


    Dear Penny,

    Menurutku hal yang paling mengganjal adalah masalah yang tidak terselesaikan. Menurutku, terkadang maaf harus dilontarkan meskipun kesalahan tidak sepenuhnya bersumber dari diri sendiri.

 
                               ***

Anya's POV

     Mataku yang tadinya sayu berubah menjadi bulat sempurna ketika mendengar suara teriakan Kira yang jantan dan lantang.

     "Woy! Berhenti, Woy!" teriak Kira berulang kali.

     Apa yang ada di kepalanya? Jangan katakan dia ingin memberitahu Aidan tentang kenyataan yang sebenarnya.

    "Berhenti! Woy!" teriak Kira lagi.

     Kepalaku yang tadinya menunduk, langsung berbalik menghadapnya seketika itu juga, mataku benar-benar terbelalak.

    Tidak, tidak, Kira tidak boleh memberitahu Aidan soal itu. Tidak bisa, aku tidak mau ada masalah lain lagi.

     "Gue bilang berhenti! Woy!" seru Kira, kini cewek gila itu berlari hendak mengejar mobil hitam Aidan yang mulai berjalan keluar dari tempat parkir.

     Sebelum dia melakukan hal yang gila, aku segera ikut berlari di belakang, mengejar Kira yang berjarak tak jauh dari mobil hitam Aidan.

      "Berhenti!" Kira berteriak, dan ketika sudah kesal, Kira bisa jadi cukup gila. Dan aku lupa kalau larinya itu sangat kencang, sampai-sampai bukan hanya abang shaleh dia juga mendapat julukan flash girl dari teman-teman.

     "Woy! Berhenti!" teriak Kira dengan suara  yang lebih lantang dari sebelumnya, membuat bulu kudukku berdiri semua. Aku mulai kesuliatan menyusul Kira, aku jauh di belakangnya.

     Untung saja, mobil hitam itu sudah sepenuhnya keluar dari tempat parkir, melaju kencang menyusuri jalan raya.

     "Sialan!" umpat Kira.

     Kulihat dia mulai melambatkan langkahnya, namun aku masih tetap jauh di belakangnya, masih berlari sambil mengatur nafasku yang ngos-ngosan.

      Lalu Kira berhenti, ia memegang lututnya sekilas. Pundaknya naik turun disertai nafas yang memburu. Aku yang tadinya masih berlari di belakang, mulai bisa menyusul dan kini berdiri sejajar dengannya.

     Aku buru-buru menunduk. Walau kutahu Kira sudah melihat wajahku, aku tetap ingin menutupinya.

     Kuraih ujung lengan kemeja Kira, lalu kutarik pelan ke bawah. Kira yang menyadari itu. langsung menoleh ke belakang, memandangku yang masih menunduk. Aku tahu ia memandangku dengan sorot mata teduh, sendu seperti yang selalu ia tunjukkan di saat seperti ini.

     Kira sepenuhnya berbalik dan mendesah pelan. Ia mulai berlirih, "Ayo pulang, Anya."

     Dia memang selalu mengerti.

***

Aidan's POV

     Wajahnya tadi benar-benar pucat, bibirnya membiru, dan keningnya berkeringat. Apa dia belum sembuh? namun kenapa dia belum pulang? Padahal sekolah sudah sepi.

     Aku mengutak atik ponsel, berharap menemukan kontak Anya dan menghubunginya. Tapi tidak ada.

     Aku berusaha menenangkan diri. Tenang saja, Aidan. Tadi kau lihat sendiri kan? Ada teman yang menemaninya pulang.

      Dengan satu persepsi itu di kepala, aku berangsur-angsur santai.

     "Aidan?" panggil Grace yang duduk di seberangku, ia menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah di depan wajahku.

     Lamunanku langsung buyar, sontak aku memperbaiki posisi duduk dan langsung memandang lurus ke arahnya.

      "Ah, apa?" tanyaku kaku.

      "Lo lagi mikirin apa sih? Dari tadi ngelamun mulu." Ujar Grace sambil cemberut.

      Aku menyeruput Americano di depanku, lalu berkata, "Gak ada, gue gak lagi mikirin apa-apa." Imbuhku cepat, sebelum dia berkata yang tidak-tidak.

      Grace menatapku dengan pandangan aneh. Aku hanya tersenyum kecil lagi.

     "Udah, kita ke sana yuk, kayaknya seru tuh," Grace menunjuk ke arah panggung besar di luar kafe.

      Grace tersenyum cerah, lalu ia menarik tanganku sambil berlari-lari kecil. 

      Kekanakan, seperti dulu.

      Dia tidak berubah.

***

       Setelah puas berkeliling sampai jam setengan enam, aku dan Grace akhirnya naik ke mobil sambil sekali-sekali bercerita atau bercanda. Juga bercakap-cakap ringan tentang masa lalu kami.

     Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan sedang, membelah jalanan petang yang padat.

     "Lo masih ingat waktu kita pergi tamasya sekolah ke bukit stroberi? Di situ kita tersesat dan gue nyaris mati kedinginan," oceh Grace dengan asyik. Semenjak berhari-hari di sini, Grace sudah mulai belajar bicara dengan tidak baku.

     "Iya gue ingat, waktu itu lo nangis terus kayak bocah!" ledekku sembari terus terkekeh.

     Grace mendelik seketika. "Apa lo bilang? Bukannya elo yang terus-terusan nangis?" balasnya

     "Eleh! Lo jangan ngeles, gue ingat lo yang merengek sampai telinga gue sakit." sahutku tak kalah sengit.

     "Gak! Elo yang ngeles!" wajah Grace memerah malu

      "Bocah," ledekku lagi

     "Ah, bodo." Grace menggerutu.

      Aku kembali fokus ke jalan raya, berhenti di depan lampu merah perempatan dekat rumah Grace, lalu merasakan tenggorokanku yang kembali kering. "Grace, tolong ambilin botol air di dashboard," suruhku.

     Dengan sigap, Grace mengambil botol air minum itu dan menyodorkannya padaku dengan tangan kanan.

     Namun sebelum aku menerima sodoran air minum itu, aku fokus ke satu hal yang janggal. Satu hal yang membuatku merasakan de javu seketika itu juga.

     "Grace, cincin lo ke mana?" tanyaku sembari melirik tajam ke arah jari-jari tangan kanannya.

     Grace langsung terbelalak kaget, dapat kulihat posisi duduknya yang menegang dan mendadak kaku. Kurasakan ia menelan ludah, setelah itu dia diam. Lama aku menunggu jawaban.

      Cincin itu, cincin putih keperakan yang pernah kuberikan ke Grace sewaktu umur kami masih tiga belas tahun. Sehari sebelum kepindahannya. Grace bilang, ia tidak akan melepaskan cincin itu sampai kami bertemu kembali.

     Dan ia benar-benar tidak melepasnya, terakhir kali aku melihat dia mengenakan cincin itu adalah sewaktu ia menghampiriku di kursi taman, dan aku pergi bersama Anya ke belakang sekolah sebelum Grace melihat sketsa yang kugambar. Iya, waktu itu aku melihat cincinnya yang masih pas. Namun mengapa sekarang ia tidak mengenakannya?

     Aku melirik Grace yang masih belum menjawab, ia duduk dengan kaku sambil sesekali menggaruk tengkuknya.

     "Grace, lo belum jawab pertanyaan gue tadi," kataku yang sukses membuat Grace tersentak. "dan kenapa lo gelisah kayak gitu?" tanyaku penuh selidik.

     "Eh, siapa yang gelisah? Lo ada-ada aja," sergahnya cepat. Lalu ia tertawa canggung.

      "Jujur aja, gue gak gigit kok," kataku dengan sedikit canda, supaya dia tidak terlalu grogi. Tapi sepertinya mataku tetap tajam, dan Grace terlihat tambah gugup.

     "Eh, eh, ketinggalan di rumah nih kayaknya." jawabnya kemudian dengan cepat.

     Aku mengernyitkan dahi. "Bilang kek dari tadi, gitu aja gugup," kataku, sebenarnya aku masih ingin tahu. Kalau jawabannya cuma itu, kenapa masih gugup.

     "Ah udah sampai, gue duluan ya, bye!" lalu ia buru-buru turun dari mobil bahkan sebelum mobilku itu berhenti dengan sempurna.

     "Eh, eh," aku mengerem mendadak, melihat punggung Grace yang mulai menjauh sambil mengernyitkan dahi curiga.

***

Anya's POV

     Aku berjalan di koridor sekolah sambil menyentuh keningku sendiri, masih panas. Namun sudah tidak pusing lagi, rencananya, aku akan pergi ke rumah Aidan setelah ganti baju di rumah.

     Kulirik jam tangan biru muda yang melingkar pas di pergelangan tangan kiriku, jam empat lewat dua puluh tujuh menit. Masih dengan langkah yang agak lesu, aku berjalan menyusuri koridor yang masih penuh dengan siswa-siswa lain yang akan bergegas pulang.

     Aku tahu ini gila, tapi aku akan pergi ke rumah Aidan dan meminta maaf. Aku merasa harus menyelesaikan masalah ini sepenuhnya, tanpa menimbulkan masalah lain. Itulah sebab mengapa aku tidak ingin memberitahu Aidan tentang cewek itu.

     Aku rasa, belum cukup aku mengembalikan buku sketsanya kemarin, aku harus minta maaf.

     Aku ingat sesuatu, hari ini Kira tidak ada jadwal eskul. Jadi aku akan mengajaknya pulang bareng. Untung saja, aku melihatnya sedang mengambil barang dari dalam lokernya.

     "Kira!" panggilku, suaraku masih agak serak.

     Kira menoleh dan melotot aneh begitu melihatku datang menghampirinya.

     "Pulang bareng gue ya," ucapku to-the-point.

     Kira lagi-lagi melotot aneh, "Enggak!" serunya tiba-tiba, lalu ia menutup mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya.

    Aku mengernyitkan dahi sembari memiringkan kepala, "Lo kenapa? Mau ke mana?" tanyaku heran melihat reaksinya.

     "Somewhere lah, sorry gak bisa pulang bareng. Nih uang buat naik bus," ucapnya cepat lalu segera membuka kepalan tanganku dan menaruh uang di atasnya. Lalu ia ngacir entah ke mana.

     Aku menatap uang di tanganku, lalu memandang lurus ke arah di mana Kira lari tadi.

    Sebenarnya dia mau ke mana?

***

Aidan's POV

    Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu, sore ini panas sekali. Aku melepas kaitan dasi yang kupakai lalu melemparnya ke sofa lainnya. Begitu pula dengan rompi biru tua kotak-kotak yang sudah menjadi seragam sekolahku setiap hari kamis.

     Aku mengambil segelas air dingin dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Rumah sepi hari ini, seperti biasa Ayah kerja dan Reza ada acara camping. Tadi pagi ia pergi bersama Lya dan Raffa.

     Aku kembali ke posisiku tadi dan mulai memasang earphone setelah teringat sesuatu. Lalu kurogoh tas hitamku dan menemukan buku sketsa itu, Anya memberikannya padaku kemarin. Anya lagi, Anya lagi, sebentar lagi cewek itu akan membuatku gila⎯bagiku perumpaan ini tidak terlalu buruk.

    Aku melempar buku sketsa itu ke samping dengan gaya bumerang, buku itu langsung mendarat mulus di atas bantal sofa. Aku mengalihkan pikiran dengan cara menyalakan TV. Dan tak sadar, aku sudah terlelap.

     Ting ... Tong ...

     Aku membuka mata perlahan begitu mendengar bunyi bel. Aku menegakkan dudukku dengan pelan sambil melihat ke sekitar dengan mata yang masih menyipit. Aku melirik jam dinding, sudah jam lima lewat tiga menit.

     Ting ... Tong ...

     Bunyi bel itu lagi, aku sedikit meregangkan tubuh dan mengucek mata kananku. Dengan langkah malas, aku berdiri menghampiri pintu depan.

     Ting ... Tong ...

     "Iya, iya, tunggu seben⎯" perkataanku terhenti begitu pintu kubuka sepenuhnya, memperlihatkan wajah seseorang yang berdiri di depan pintu.

***

Kira's POV

     Kutu kampret!

      Aku benar-benar nekat datang ke sini bersama Dino yang sekarang sedang menunggu di dalam mobil. Biasalah, kami mau pergi nge-date. Ehe.

     Sadar, Kira! Lo gak bakalan jadian sampai sesenang itu kalau bukan karena bantuan Anya.

     Aku menengok ke mobil Dino, ia masih menunggu di sana dengan wajah jengah. Kupercepat langkahku ke depan hingga sampai ke pintu rumah itu.

     Ya, kalau bukan karena Anya, gue gak bakalan nekat kayak gini. Masalahnya aku agak kasihan melihat dia yang belakangan ini suka irit bicara, gak kayak biasanya. Dia juga tambah lesu dan kurang bersemangat.

      Anggap sajalah ini balasan karena dia sudah mau membantuku jadian dengan Dino.

    Ting ... Tong ...

     Kupencet bel itu sampai tiga kali, lalu seorang cowok yang penampilannya mirip kayak habis diterpa badai dan angin topan itu membukakan pintu.

      Itu Aidan ternyata, jarang-jarang ngeliat dia amburadul kayak gini. Dia melongo menatapku.

     Itu sih wajar, dia pasti mengira aku ini anak sekolahan kesasar yang salah rumah.

     Well, gue emang hebat, datang ke rumah cowok yang sama sekali gak gue kenal. Pede tingkat kakap, Anya harus mentraktir bakso tenis raksasa jumbo di warung dekat sekolah kalau rencana ini berhasil.

     "Eh, eh, lo ... " Aidan mengernyitkan dahinya, lalu ia menatapku dengan tatapan yang aneh.

     Suara klakson yang sukses memekakkan telinga itu membuat kami menoleh ke asal suara, tepatnya mobil Dino.

     O-oh, Dino ngasih kode. Red alert! Gue mesti cepet-cepet ngomong sebelum Dino terbakar api cemburu⎯hehe agak over pede sih, tapi yah itu fakta.

     Kupegang erat benda kecil di tanganku, benda pemberian Anya⎯eh, maksudku benda yang kuambil dari Anya dengan alasan yang lain. Benda kecil berharga yang akan menjadi bukti.

      "Gue Kirana Muthiara, panggil aja Kira, gue temennya Anya. Dan gue mau ngasih tau sesuatu yang super-duper-tripel penting ke lo, sesuatu yang gak bakalan bisa lo tahu dari Anya,"

***

Anya's POV

     Aku mengucir rambutku dengan ikat rambut kuning cerah, aku mengecek penampilanku sekali lagi. Biasa, kaus putih polos dengan celana pendek jeans. Tak lupa sneakers warna abu-abu.

     Aku tidak percaya bisa senekat ini, bisa-bisanya aku berniat akan pergi ke rumah Aidan.  Mungkin karena aku merasa tidak nyaman memiliki masalah yang tidak kelar, selalu ada yang mengganjal pikiranku setiap saat. Terlebih lagi masalah ini menyangkut Aidan.

    Deg ... Deg .. Deg.

    Sialnya aku malah deg-degan tidak jelas, lalu aku menelan ludah dan menenangkan diri terlebih dulu.

      Sebelum pergi, aku segera menenggak tiga gelas air putih. Supaya panasku sedikit turun dan agar tenggorokanku tidak kering kerontang.

     Rumah sedang sepi. Ayah dan Ibu masih di luar negeri, sementara Lya masih belum pulang dari kegiatan camping-nya.

    Aku segera mengambil sepeda berwarna peach yang terparkir di samping taman rumah. Kukayuh sepeda itu keluar pekarangan. Kini kedua ban itu melaju pelan di atas trotoar jalan. Untung saja kompleks rumahku ini suasanya damai, cuaca juga tidak terlalu dingin. Sejuk dan segar seperti sore-sore biasanya.

     Ketika minta maaf untuk yang kedua kalinya ini, aku tidak akan menyinggung soal cewek itu, tentang hal yang cewek itu lakukan. Karena itu hanya akan memperumit semuanya.

     Aku mengayuh sepeda lebih cepat, susunan kejadian yang menyangkut penjebakan cewek itu kembali terputar di otakku.

Flashback

     Aku terbelalak kaget ketika melihat buku sketsa Aidan yang berharga tergeletak begitu saja di atas bangku taman. Setahuku, Aidan pernah bilang buku sketsa ini sangat berharga. Dan ia pernah bilang itu rahasia yang harus dijaga, bukan diumbar.

     Aku berinisiatif kembali duduk di bangku taman dan tetap menjaga buku sketsa itu dari jauh. Aku takut mengambilnya, karena Aidan pernah melarangku melakukan itu.

     Tapi belum dua langkah pergi, aku kembali berbalik dan menatap ragu.

     "Ambil gak, ya?" tanyaku lebih kepada diri sendiri.

     "Ambil aja, lo mau kalau buku sketsa Aidan diambil orang?" suara itu mengagetkanku. Sontak aku berbalik dan agak terkejut melihat siapa yang tiba-tiba datang. Grace.

     "Eh, eh, hai," jawabku kikuk, wow, Grace benar-benar cantik terlebih jika dilihat dari jarak sedekat ini. Ia tersenyum simpul.

     "Gak usah kikuk gitu kali," ujarnya santai, lalu senyum tadi lenyap digantikan wajah serius. "Itu buku sketsa Aidan, dia lagi tanding basket, sebaiknya lo ambil aja."

     Secerca firasat buruk mulai berkelebat, ingin sekali aku berkata: kok lo nyuruh-nyuruh gue sih?

     "Er, gak deh, kan Aidan paling gak suka kalau buku sketsanya diusik," jawabku sekenanya.

    Senyum Grace pudar lagi. "Oh, jadi lo udah tau." Ia memberi sedikit jeda, "Yaudah kalau gitu," setelah berkata begitu, ia langsung pergi.

    Cewek aneh.

     Aku mengedikkan bahu dan segera kembali ke tempat dudukku tadi, lalu hanyut ke dalam cerita yang kubuat, hari-hariku masih bagus waktu itu.

      Sampai aku tak sadar telah melakukan hal terbodoh yan pernah ada.

      "Anya, ada yang manggil tuh di depan ruang OSIS, gue gak tau siapa namanya. Yang jelas dia nyuruh gue manggil lo," ucap seseorang tiba-tiba. Aku berbalik, dia Kiranti. Sekeretaris kelasku, plus ketua PMR.

      "Siapa, ti? Cowok apa cewek?" tanyaku penasaran.

     "Cewek," jawabnya singkat.

      Aku mengernyit bingung, kira-kira siapa yang mencariku di sana? menyusahkan saja.

      Dengan kantuk yang tak tertahankan, aku melangkah malas menuju ruang OSIS. Saat aku sudah hampir tiba di pembelokan koridor, aku teringat sesuatu. Rasa malasku langsung digantikan debaran kencang yang mampu membuatku meneguk ludah, aku lupa sesuatu!

     Buku sketsa Aidan! Aku lupa mengawasinya!

      Dengan langkah secepat kilat, aku segera berlari kencang menuju bangku taman tadi. Aku menggigit bibir bawahku begitu melihat apa yang ada di sana.

     Tolong katakan ini tidak pernah terjadi.

     Buku sketsa Aidan tidak ada di sana, hilang tanpa tanda sedikit pun.

     Dengan panik, aku segera mengemas semua barang di bangku taman yang tadi sempat kutinggalkan. Kumasukkan semuanya ke dalam tas.

     Terima kasih kepada kantukku.

     Namun sebelum selesai mengemas semua barang-barangku, aku langsung merasakan sesuatu yang ganjil di dalam tas yang tadi kubawa.

     Lalu aku melotot tak percaya melihat apa yang ada di dalam tas ku. Kukeluarkan benda itu sembari mengernyitkan dahi.

    Ini ... buku sketsa milik Aidan.

     Aku mengangkat buku sketsa itu tak percaya.

      Ke-kenapa bisa ada di sini?

      firasat buruk mulai menjalar.

     Aku mengangkat buku itu, mengeluarkan sepenuhnya dari dalam tas ku.  Saat gerakan itu terjadi, terdengar bunyi nyaring di dekat sepatuku. Ada sesuatu yang jatuh dari dalam himpitan buku sketsa itu, ada benda kecil yang terselip di salah satu halaman.

      Aku menunduk, lalu membungkuk dan memungut benda kecil yang terlihat begitu berkilau itu. Aku meletakkannya di tengah-tengah telapak tanganku, mulai menelusuri setiap bentuknya.

     Eh? Ini cincin?

     Lalu di waktu yang sangat tidak tepat, dari semua kemungkinan orang yang akan lewat di dekatku waktu itu, Aidan sudah berdiri di belakangku.

      "Sudah kubilang lo jangan buku buku sketsa gue," ucapnya.

      Mendengar itu, aku langsung membeku, segera kumasukkan cincin tadi ke dalam saku.

Flashback end

      Mengingat itu, kayuhan sepedaku mulai melambat.

      Kalian pasti tau apa yang akan terjadi selanjutnya, kan? Iya, Aidan datang dan memandangku sebagai pencuri yang mematahkan kepercayaannya. Bahkan sebelum aku melakukan apa-apa, bahkan di saat aku tidak bermaksud melakukan apa-apa selain mengembalikan buku sketsa itu padanya.

      Lalu satu yang mungkin kalian belum tahu, sesaat setelah Aidan pergi, cewek itu tersenyum menantang melihatku terduduk lesu.

      Aku tahu hubungan Grace dan Aidan sangat dekat, aku tidak bisa menghancurkannya. Itu terlalu egois. Melakukan hal yang sama padanya akan membuatku tidak ada bedanya dengan dia. 

     Hal itu yang membuatku menyebutkan predikat 'cewek itu' sebagai cewek yang memulai semua masalah. Hal itu yang membuat Kira marah besar.

     Ngomong-ngomong soal cincin, aku memberikannya kepada Kira. Entah kenapa ia tiba-tiba meminta cincin yang belum jelas dari mana asalnya itu.

     Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, dari arah rumah Aidan, terlihat mobil berwarna putih melaju dengan kecepatan yang super kencang. Aku terkejut dan kehilangan keseimbangan.

     "Eh, eh, eh." Aku agak menjerit sembari terbelalak ketika sepeda yang kukendarai tiba-tiba oleng, arahnya mulai kacau, ke kiri dan ke kanan secara tidak beraturan. Keseimbanganku mulai goyah.

      Untung saja kakiku langsung menapak tanah dan mulai berdiri tegak lagi. aku melirik ke belakang, menatap bagian belakang mobil putih itu dengan wajah sebal. Tapi wajah kesalku itu berubah menjadi bingung ketika melihat detail mobil itu.

      Eh? Bukannya itu mobilnya Dino?

***

      Deg ... Deg ... Deg ...

      Egjrihwegnlfdkl!

       Aku tidak berhenti mengucap sumpah serapah ketika degup jantungku semakin tidak terkontrol.

     Kini aku bersandar di dekat pagar rumah Aidan seperti orang bodoh.

     Ah, bodo amat!

     Aku langsung saja lari hingga kakiku sampai di depan pintu rumah itu.

      Deg ... Deg ... Deg ...

      Degupan itu semakin memacu, membuat tanganku yang kini sudah hampir mendekati tombol bel itu bergetar hebat.

      Ting ... Tong ...

      GLEK!

     Akhirnya tombol itu kutekan juga. Aku meremas ujung kaosku, menunggu reaksi yang akan datang dengan berdebar-debar.

     1 detik.

     2 detik.

    3 detik.

     Klek.

     Akhirnya pintu itu terbuka, kutelan ludahku sekali lagi. namun reaksi wajahku berubah seketika melihat siapa yang membukakan pintu.

    Ada sedikit rasa kecewa dan lega yang berhambur barsamaan ketika melihat sosok yang kini menatapku dengan wajah lelah dan jenuh.

    "Ka-Kak Reza?" aku menyebut namanya.

    "Eh? Lo Anya, kan? Kenapa?" tanyanya menahan lelah, pasti karena kegiatan camping itu, aku tahu, dia pergi bersama Lya.

    "A-Aidan mana kak?" tanyaku balik.

    "Oh, tuh anak tadi langsung nyerobot uring-uringan. Pas gue baru dateng, tiba-tiba dia menerobos trus cabut pakai mobil hitam yang biasanya. Kayak ada urusan penting, mukanya serius banget lagi," jelas Kak Reza panjang lebar.

     "Kapan perginya, Kak?" tanyaku lagi.

     "Barusan, lima belas menit yang lalu kayaknya," jawab Kak Reza.

     "Oh gitu, aku balik dulu deh, kak. Makasih ya," aku pamit sambil tersenyum hambar.

     Reza hanya tersenyum simpul, lalu ia menutup pintu rumah begitu aku keluar dari pekarangan.

     Dia pergi ke mana?

***

Aidan's POV

     Semburat jingga mulai memperlihatkan kilauannya, diikuti dengan langit yang mulai berangsur-angsur gelap.

     Di waktu seperti itu, di sinilah aku, membelah jalan raya yang penuh dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.

      Begitu mendengar penjelasan tentang Anya dari cewek tadi, aku langsung mengebut uring-uringan di jalanan. Menuju satu tujuan, rumah Grace.

     Serius, baru kali ini aku mengemudi sekencang ini.

      Keringat mulai membasahi sebagian dari keningku, berapa kali aku harus menelan ludah atau meninju stir. Mataku tak bisa berpaling dari jalanan malam yang padat, masih terfokus penuh mencari jalan yang tercepat.

     Buku sketsa lo ada di tas Anya sewaktu dia dipancing ke ruang OSIS.

     Aku menginjak pedal gas keras-keras, tidak peduli seberapa banyak bunyi klakson berbunyi setiap aku lewat.

    Anya beneran dijebak, cewek itu tersenyum ke Anya. Tapi cewek itu melewatkan satu hal, cincin ini.

     Aku menggertakkan gigi, kupegang benda kecil yang penuh memori lama itu. benda yang kuberikan sendiri, benda yang kembali lagi sebagai bukti.

     Lo gak pernah tahu, Anya  gak pernah mau ngasih tau soal ini ke lo, cuman buat menutup masalah. Dia takut hubungan lo sama cewek itu retak.

      Aku berbelok tajam menuju kompleks perumahan yang sunyi senyap itu, bunyi mesin mobilku menderu keras.

     Sampai sekarang dia gak mau ngasih tahu. Iya, Anya ngebiarin hubungannya dengan lo retak, demi menjaga hubungan lo dengan Grace. Karena dia tahu, kan? kalau Grace itu sudah kenal lo jauh sebelum dia, Anya bilang ia tahu diri dan gak mau meperkeruh hal.

     Tapi Aku mengerem mobilku secara mendadak⎯sangat mendadak. Sampai tubuhku nyaris terpental ke depan.

     Sampai sekarang Anya belum ngasih tahu itu ke lo, lo tahu ini cincin siapa, kan? Kalau iya, lo mungkin bisa tau siapa sebenarnya yang salah.

     Aku membuka pintu mobil dengan asalan, lalu aku segera berlari kecil menuju salah satu rumah bertingkat tiga.

      Kuketuk pintu rumahnya dengan nafas yang masih memburu, kugenggam cincin putih keperakan itu erat.

     Klek.

     Pintu itu mulai terbuka.

    Cewek bermata bulat berkilau itu memandangku dengan sorot mata yang begitu terkejut. Bibirnya membuka sedikit, menatapku yang terlihat kacau, tentu saja ia terkejut.

    "A-Aidan, lo-lo kok di sini?" tanyanya gelagapan, aku semakin mengeratkan genggamanku pada cincin itu. Melihatku yang mulai menjalarkan pandanganku ke jari tangan kanannya, ia mendadak kikuk dan buru-buru memasukkan telapaknya ke dalam saku jaket yang ia kenakan.

     Aku tersenyum miring. Namun mataku memancarkan sorotan yang dingin.

     "A-aidan? Lo kenapa?" tanyanya, lagi-lagi terbata.

      Aku membuka kepalan tangan kiriku, memperlihatkan benda itu, benda yang sukses membuat Grace terpaku membeku tanpa suara.

     "Ini cincin lo, kan?" tanyaku to-the-point, "Cincin yang pernah gue kasih ke lo sebelum lo pindah sekolah."

     Sekilas, kulihat mata Grace berkaca-kaca, ia masih diam tanpa suara.

    "Lo tahu kenapa buku sketsa gue bisa ada di dalam tas Anya?" tanyaku dengan nada tajam penuh selidik, belum bisa takluk dengan mata Grace yang mulai agak berair. "Dan kenapa bisa cincin lo ikut di dalamnya?"

Aku meneguk ludah, "Lo bisa jelasin?"

***

Gak terasa udah chapter dua belas ehe. Gimana konsep pengantar konfliknya? Yang baik tolong tulis kesan kalian tentang Sketcher's Secret sejauh ini di kolom komentar ya. Atau kalau ada bagian alur yang gak kalian mengerti, tanya aja nanti aku jawab. Makasih udah baca🍭✨

🌹,
Lycha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top