Delapan Belas|Surat
Dear Penny,
Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa, karena aku terlalu sedih untuk tinggal, namun juga terlalu takut untuk pergi.
***
Aidan's POV
Aku menatap sendu ke arah papan kayu penanda itu. Rasanya sakit begitu tahu jika tempat itu tidak lagi sama seperti dulu.
Sudah yang kedua kalinya aku datang ke sini. Namun papan penanda itu masih saja belum tercabut. Menyisakan bagian dalamnya terbengkalai. Sama sekali tidak ada yang berubah, hal itu lah yang menjadikan upaya untuk datang ke sini semakin sulit untuk dilakukan.
Aku mulai mengambil satu langkah ke depan, namun ingatanku kembali berputar ke kilas balik. Kilas balik beberapa tahun yang lalu, saat aku terpaksa datang ke tempat ini, oleh orang yang sama.
Flashback
Tidak ada secerca cahaya, hanya bulan berwarna kuning pucat. Tidak ada suara, hanya gemersik daun bambu yang tertiup angin.
Aku mengambil selangkah ragu, mendekatkan kakiku ke arah pagar kayu pendek yang sudah hampir lapuk itu
Lama aku terdiam dengan tangan yang bergetar, ragu untuk mengambil langkah selanjutnya semakin bertambah besar. Aku memejamkan mata keras, membuat alisku saling menaut. Tanganku sudah mulai berkeringat.
.-.-.-.-.-.-
"Aidan, ayo buka pagarnya."
"Hehe, Aidan gak mau!"
"Kalau Aidan gak buka pagarnya, Ibu gak bakal kasih coklat!"
"Coklat! Iya, iya, Aidan buka kok. Tapi kasih cokelat ya?"
"Iya."
.-.-.-.-.-.-.-.
Aku menggeleng dan segera membuang ingatan itu jauh-jauh, segera kubuka pagar itu dan masuk ke dalam, rumah itu terlalu sama dengan yang dulu, nyaris tidak berubah kecuali keadaannya yang semakin tidak terawat dan itu membuatku benar-benar tidak berani melihat sekeliling dan hanya menatap lurus, aku tidak mau mengingat terlalu banyak.
Lalu aku melihatnya, ia di sana, sudah berdiri menungguku entah sejak kapan.
"Lo bodoh, Dan," katanya setengah berbisik. Suaranya serak.
"Lo nyuruh gue datang ke sini cuma buat ngatain gue bodoh?" tanyaku sarkastis.
"Tapi lo emang bodoh, Dan! Lo orang paling bodoh yang gue pernah kenal!" Dino mulai berteriak. Suaranya yang serak sudah mulai menjadi bergetar. Ini aneh. Dia kenapa?
"Bisa langsung aja? Kenapa lo mau gue datang ke sini?" ucapku singkat.
"Mungkin ini bisa ngebuat semuanya jelas!" cowok itu melemparkan sesuatu kepadaku. Aku yang merasakannya refleks langsung menangkap benda yang ia lemparkan. Kertas.
"Ini apa?" tanyaku mulai agak bingung.
"Kenapa lo gak baca dulu sebelum bertanya, Adik!" ia menekan kata 'Adik' di akhir perkataannya. Lalu ia membuka pintu sedikit, membuat suasana tidak lagi gelap gulita.
Dan di saat itulah aku terkejut, kulihat wajah Dino yang murung, ia terlihat sakit. Bibirnya pucat, matanya tidak jernih, dan yang paling mengejutkan, ia menangis. Tanpa ekspresi.
"Jangan panggil gue 'Adik,' dulu gue dipaksa manggil lu 'kakak' sekarang gue udah lega karna gak harus manggil lo dengan sebutan itu lagi," seruku emosi, ada banyak sekali bingung yang mengisi kepalaku.
Aku pun memberanikan diri melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah, dan aku teringat Ibuku lagi. Mungkin sama hal nya dengan Dino. Ia juga mengenang Ibunya, tanggal 17 Maret hari ini. Ulang tahun Ibuku, ulang tahun Ibu Dino. Ibu kami.
"Lo bukan Kakak! Lo saingan! Lo sendiri yang bilang itu ke gue kan? Lo gak ingat?!" seruku mulai emosi. Kepalaku memanas, rahangku mengeras. Dapat kurasakan kuku-ku menusuk telapak tangan yang mengepal. "Andai saja lo gak ada! Keluarga gue gak bakalan hancur! Andai lo gak ada, Nyokap gue gak bakalan pergi! Andai lo gak ada, gue pasti ... Gue di sini, ngerayain ultah nyokap gue," teriakku. Mataku mulai memanas.
Kupandangi Dino, Ia menangis tanpa suara, tanpa ekspresi.
Dia⎯Dino⎯adalah orang yang lahir dari perut Ibuku juga, setelah Reza. Sebelum aku. Dia dan Ayahnya, adalah orang yang membalikkan situasi.
Menyebalkan sekali, kenapa harus kuingat lagi? Kenapa hubungan bodoh ini harus disinggung kembali?
Dino⎯tepatnya Ayahnya, adalah penyebab orang tuaku bertengkar. Penyebab rumah tangga Ayah dan Ibuku hancur, penyebab utama Ibuku depresi. Dan akhirnya mengendarai mobilnya, membawaku, dan meninggalkanku di stasiun. Sendiri. Sampai akhirnya tidak pernah kembali.
"Lo pikir cuma elo yang merasa ditinggalkan? Lo pikir cuma lo yang ...," Dino mengumpat sebentar, dan akhirnya memijit pangkal hidungnya. "K-k-kenapa lo gak coba baca kertas itu?!" ia membentak.
Aku tertawa masam, menahan sesak, dan kemudian berjalan melewatinya. Tak mempedulikan pundakku yang menyambar pundaknya.
Duduk di depan pintu, tak peduli akan debu tebal di keramik lantai, menyandarkan punggungku ke pintu, tak peduli dengan bahannya yang sudah hampir hancur. Dengan kertas di tanganku.
Tapi hanya satu yang hilang, Ibu. Tidak ada lagi Ibu yang duduk di sampingku.
Kepalaku mulai pening, kupaksakan mataku yang lelah untuk membaca tulisan pada lembar-lembar kertas dari Dino.
Tertera deret-deratan tanggal di sudut atas kertas. Namun mataku yang lelah memaksa untuk turun ke bawah, dan langsung membaca isinya.
Tulisan tangan itu.
Refleks, mataku melebar.
"I-i-ini apa?" gumamku tak jelas.
.-.-.-.-.-.-.-.-.
15 Januari.
Halo, Aidan. Ini Ibu.
Bagaimana kabarmu? Ibu harap kamu gak benci sama Ibu. Sekarang Ibu di Seattle, kota kelahiran Ibu. Maaf hari itu Ibu sangat kacau, sampai berniat ingin membawamu ke Seattle. Tapi Ibu sadar, jika ikut membawamu, pasti kamu akan kesulitan di sini bersama Ibu.
Namun maaf Ibu terlambat sadar, makanya Ibu meninggalkanmu di stasiun. Maaf. Ibu terlalu egois. Ibu buat kamu jadi korban karena gak mikir panjang dulu.
Ibu harap kamu di sana baik-baik saja di sana. Ada Ayahmu yang akan menyekolahkan, kan? Semoga kamu sekolah dengan benar, dan mendapat yang terbaik.
Oh iya, tolong balas surat Ibu ya. Ibu ingin tahu kabarmu, Reza, dan juga Ayahmu
.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Dengan firasat buruk yang masih berkelebat, aku memandang Dino yang berdiri di depanku. Cowok itu menatapku dengan pandangan yang kosong, matanya sembab namun ekspresinya sama sekali tidak memancarkan sedih. Hanya datar.
Lalu kemudian cowok itu berkata, "Lo bodoh, Dan. Lo benar-benar bodoh."
Aku menelan ludah gugup, kuletakkan selembar kertas⎯atau lebih tepatnya surat⎯itu ke pangkuanku. Lalu segerah beralih ke kertas di belakangnya
.-.-.-.-.-.-.-.-.-
18 Januari.
Halo, Aidan.
Di sini Ibu baik-baik saja. Sekarang Ibu berada di penginapan kecil yang disewa di pinggir pelabuhan. Uang Ibu belum cukup untuk membayar biaya sewa rumah kos kecil itu.
Tapi mulai sekarang, Ibu akan bekerja keras untuk mendapatkan uang yang cukup. Ibu harap kamu membaca surat ini, walaupun Kamu tidak balas, yang penting kamu membacanya. Ibu mengerti bagaimana perasaanmu, pasti kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.
Besok Ibu akan pergi mencari kerja di toko-toko kecil. Doakan semoga Ibu cepat mendapat pekerjaan.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Dengan tangan yang bergetar hebat, aku segera membaca surat yang lain.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
10 Februari.
Halo, Aidan.
Bagaimana kabarmu? Semoga baik-baik saja. Sudah berapa minggu Ibu tidak mengirim surat lagi, maaf. Aidan, sekarang Ibu belum juga mendapat pekerjaan, ternyata tidak semudah yang Ibu bayangkan.
Ibu sangat berharap mendapt surat balasan darimu, Ibu merindukanmu. Bagaimana kabar Reza dan Ayahmu? Apa nilaimu di sekolah bagus? Sekarang kamu di mana?
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Apa ini artinya selama ini yang tidak peduli bukan ibu? Apa ini artinya gue benar-benar menyalahkan orang yang ternyata telah menyesal bertahun-tahun lalu?
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
23 Februari.
Halo, Aidan.
Akhirnya Ibu mendapat pekerjaan! Walau hanya pekerja di sebuah laundry, Ibu senang karena akhirnya bisa membeli makanan selain kentang. Ibu juga senang karena hutang uang sewa penginapan dapat lunas sedikit demi sedikit. Ibu juga senang karena bisa membeli selimut tambahan, Ibu tidak lagi merasa kedinginan di malam hari.
Aidan, Ibu akan berusaha lebih keras untuk mendapat uang. Ketika Ibu sudah bisa sukses nanti, Ibu akan kembali ke Jakarta dan menemuimu. Ibu janji, Ibu benar-benar berjanji.
Ibu harap kamu di sana sedang tersenyum.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
Aku mengernyit lebih dalam, kepalaku kutundukkan. Menahan perih yang membuncah, tanganku bergetar. Banyak sekali sesal yang datang.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
29 Maret.
Halo lagi, Aidan.
Hari ini Ibu tidak pergi bekerja. Rasanya badan Ibu panas. Hanya demam biasa saja, mungkin karena kemarin malam hujan deras, Cuma kedinginan saja, kok.
Tapi Ibu harap besok bisa kembali bekerja lagi. Tenang saja, jika uang Ibu sudah terkumpul banyak, Ibu akan membuka usaha dan sukses. Ibu janji bisa kembali ke Jakarta.
Oh iya, kemarin setelah pulang kerja, Ibu mampir ke toko roti dekat penginapan untuk membeli roti kecil, berhubung persediaan kentang Ibu sudah habis. Ibu bertemu seorang gadis kecil yang ternyata bisa berbahasa Indonesia, Ibu berhasil berfoto dengannya, kamu bisa lihat fotonya.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
aku membaca surat berikutnya.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
19 April
Halo, Aidan.
Sudah tiga minggu ini Ibu tidak mengirimkan surat lagi untukmu, maaf. Selama tiga minggu itu, Ibu masih sakit. Demam Ibu masih belum turun.
Tapi hari ini Ibu memaksa pergi bekerja walau masih sakit. Sayang sekali, Ibu ternyata sudah tidak diterima lagi. Ibu dipecat.
Ibu juga belum membayar uang sewa penginapan, jadi Ibu terpaksa dikeluarkan. Tenang saja, untung saja keluarga gadis kecil dari Indonesia itu mengizinkan Ibu untuk tinggal di rumah mereka untuk sementara waktu.
Ibu benar-benar minta maaf, Aidan.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
Dadaku bertambah sesak, rasanya gigiku yang bergemeletuk sudah tidak bisa kutahan lagi.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
10 September.
Aidan, maafkan Ibu.
Ibu harap, kamu bisa bersekolah dengan baik di sana. Ibu harap, kamu bisa mendapat makanan yang enak, tidak seperti Ibu yang tak bisa makan sebelum satu harian bekerja. Ibu harap, kamu tidak kedinginan di malam hari, tidak seperti Ibu yang setiap malam harus membongkar baju untuk menangkal dingin. Ibu harap, kamu tidak kesepian dan punya banyak teman. Ibu harap, kamu selalu sehat dan tidak sakit-sakitan, tidak seperti Ibu yang semakin hari sudah semakin kurus. Ibu harap, kamu tidak membenci Ibu.
Maafkan Ibu yang tidak bisa menepati janji.
.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
Aku menangis, tak bisa lagi menahan raung.
Membayangkan Ibu yang setiap hari bekerja keras demi memenuhi janji yang ia buat di stasiun itu, Ibu yang sakit, Ibu yang kehabisan makan, Ibu yang kedinginan di malam hari, Ibu yang bekerja sambil menahan lapar, Ibu yang setiap hari menunggu balasanku.
Aku menunduk, mengeluarkan semua suara. Meremas semua tumpukan surat di telapak tanganku.
Dino benar, Kakakku itu benar. Semua umpatannya tentangku, semuanya benar.
"Di mana lo nemuin semua surat ini?" tanyaku dengan suara serak.
"Gue ke sini kemarin, mengingat besoknya Ibu ulang tahun, kemarin. Hanya untuk mengenang doang, satu-satunya tempat yang beliau sempat tempati. Dan tiba-tiba agen yang menjual rumah ini datang saat gue menelpon minta kunci pintu depan, dia ngasih gue surat ini, dan," Dino menghela napas, "Katanya surat ini sudah ada bertahun-tahun, pengirim pos selalu mengirimnya di kotak surat rumah ini. Mereka tidak tahu harus memberikannya pada siapa. Karena lo, bokap lo, dan Reza sudah pindah ke Singapura waktu itu, jadi mereka menyimpannya sampai ada orang dikenal yang datang kembali."
"Apa lo sama sekali gak punya inisiatif untuk datang ke sini?! Ini rumah lama lo! Kemarin ulang tahun Ibu! Apa lo sama sekali gak punya inisiatif buat nyari Ibu?! Bokap lo punya banyak duit, lo sama Reza disekolahin di luar negeri semenjak Ibu pergi, kalian diobati dari depresi! Sementara gue? Gue susah payah nyari Ibu ke mana-mana, tapi gak pernah ketemu!" Dino berteriak, setiap kalimatnya membuatku semakin tertunduk, diam dengan pandangan kosong, diam dengan beribu sesal. "Masa kecil lo tenang, sementara gue tenggelam dan menderita sendiri! Hidup lo senang, sementar gue sama sekali gak bisa ngelakuin apapun!"
"Lihat surat itu, lihat selama ini bagaimana cara Ibu hidup, lo tahu, dalam setiap suratnya itu, Ibu meminta tolong secara tidak langsung kepada lo dan keluarga lo!" seru Dino "Tapi membalas suratnya saja, kalian tidak."
BUK!
Dino berlari dan meninju pipiku lagi, membuatku terpental ke samping. Nyeri dan pedis menyatu, darah segar mulai mengalir dari sudut bibirku. Namun aku sama sekali belum merasa sakit.
BUK!
Dino mulai meninju, menonjok, menendang, membuat pedih di mana-mana, meninggalkan nyeri di setiap bagian tubuhku.
"Nanti, gue bakal buat lo ngerasain rasanya ingin minta tolong tapi gak ada orang yang bisa lo panggil! Nanti, gue bakal buat lo kehilangan orang yang lo sayang. Untuk yang kedua kalinya." Dino berbisik lirih di tengah pukulannnya
Namun aku tidak melawan.
Namun aku tidak membalasnya.
Hanya diam, menangis tanpa raut. Menangis tanpa ekspresi. Surat-surat terakhir itu, kugenggam dengan erat.
Flashback end.
Aku memejamkan mata kuat, dahiku mengernyit begitu kuingat kejadian bersama si brengsek itu beberapa bulan yang lalu, bahkan sebelum aku kenal Anya.
Mengingat kejadian pertamaku bersama Dino di rumah ini, membuat langkahku ke dalam semakin berat.
Tanganku mengepal kuat, kupaksakan kaki ku melangkah masuk ke dalam rumah itu.
Dan mulailah, pengalamanku untuk yang kedua kalinya, aku masuk ke dalam rumah itu karena panggilan dari Dino.
Bukan cuma ini, aku juga menerima ajakannya karena aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padanya. Bukan hanya satu, melainkan banyak. Dan salah satunya tentang Anya.
Aku merogoh saku celanaku, lalu menemukan lipatan surat-surat dari pertemuan pertamaku dengan si bengis itu di tempat ini.
Surat yang selalu membuatku merasa bersalah. Aku memilah-milah surat-surat itu lalu menemukan satu surat yang kucari, surat dengan tanggal 29 Maret tertera di atasnya.
29 Maret.
Halo lagi, Aidan.
Hari ini Ibu tidak pergi bekerja. Rasanya badan Ibu panas. Hanya demam biasa saja, mungkin karena kemarin malam hujan deras, Cuma kedinginan saja, kok.
Tapi Ibu harap besok bisa kembali bekerja lagi. Tenang saja, jika uang Ibu sudah terkumpul banyak, Ibu akan membuka usaha dan sukses. Ibu janji bisa kembali ke Jakarta.
Oh iya, kemarin setelah pulang kerja, Ibu mampir ke toko roti dekat penginapan untuk membeli roti kecil, berhubung persediaan kentang Ibu sudah habis. Ibu bertemu seorang gadis kecil yang ternyata bisa berbahasa Indonesia, Ibu berhasil berfoto dengannya, kamu bisa lihat fotonya.
Aku membalik surat itu. Di bagian belakang kertas itu terdapat foto ibuku, aku tersenyum sendu sambil menghela napas. Tapi di samping Ibuku, aku melihat seorang gadis kecil tengah tersenyum. Gadis kecil yang wajahnya tidak asing.
Di bagian bawah foto terdapat tulisan:
Seattle, 28 Maret Alina Safira Nathala (Fira) dan Safanya Aluna (Anya)
***
Anya's POV
Aku menyunggingkan senyum kecil.
Aneh sekali. Ternyata buku diary pemberiaannya itu masih kugenggam.
Ini perlu berhenti dan aku harus berhenti mencari orang untuk disalahkan selain diriku sendiri. Karena sudut pandangku, Aidan seolah-olah menjadi orang yang harus disalahkan. Padahal aku yang ditipu perasaan sendiri, Aidan sama sekali tidak melakukan apapun yang salah.
Aidan tidak memberikan harapan sama sekali, tapi aku yang selalu mengganggap perlakuannya seolah harapan.
***
Aku bangkit dari tempat tidur begitu mendengar teriakan Lya dari bawah.
"ANYA!" teriak Lya histeris.
Aku yang terkejut langsung lompat dari tempat tidur, dan segera menuruni tangga dengan lagkah yang tergesa-gesa.
"Lya! Lya! Lo kenapa?!" tanyaku panik. Aku segera mengambil tempat duduk di sofa tempat kakak sepupuku itu duduk.
"Anya, tadi gue dapat telepon dari Nyokap gue!" seru Lya.
Ekspresi penasaranku berubah jadi bingung. "Hah? Aunty Hanna? trus?" tanyaku.
Lya mendecak sambil memutar bola matanya. "Dia bilang," Lya menghela napas sebentar, "katanya dua minggu lagi, gue boleh pulang ke rumah."
Mataku melebar, lalu aku berkata, "Lo mau pulang? Berarti gue sendiri dong? Nyokap-Bokap gue kan belum balik." Aku berujar cemas.
"Tersisa dua pilihan, Anya," ucap Lya. "Lo mau sendiri di sini sampai liburan kenaikan kelas, atau menghabiskan sisa masa SMA-mu di Seattle." Lya bicara lagi, "Waktu TK sampai SD kelas satu, lo kan di Seattle bareng gue. Gak ada masalah, lo udah fasih bahasa Inggris juga."
"Kapan gue harus selesai bikin keputusan?" tanyaku bimbang.
Menghabiskan sisa masa SMA⎯atau bahkan lebih lama⎯adalah hal yang ada keuntungan dan pantangannya.
Kentungannya aku bisa ganti suasana lagi, dan juga tidak sendirian lagi ketika mama dan papaku ada urusan bisnis selama berbulan-bulan seperti sekarang.
Tetapi pantangannya, tidak semudah itu meninggalkan semuanya di Indonesia. Teman-temanku, Kira, sekolahku, dan ehem ... Aidan.
"2 minggu lagi, Anya. Lo harus pilih mau tinggal atau ...." Lya memberi jeda, "pergi ke Seattle."
***
Sedikit lagi bakal terkuak kenapa Aidan 24/7 selalu di dekat Anya mulu! semoga kalian gak bosan dan tolong komen di bawah soal bagian mana yang paling kalian suka dari cerita Sketcher's Secret sejauh ini!c:
🌹,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top