Layer 6

Berkeliling Tunjungan Plaza seusai makan siang. Mampir ke beberapa toko hanya sekadar melihat-lihat. Kadang mampir ke tempat bermain di Arizona. Beradu balapan antara Elaina dan Ali. Saat bermain tatapannya serius, memegang setir. Saat layar menunjukkan hitungan angka mundur. Ali semakin mengernyitkan dahi.

Menyentuh angka satu, balapan dimulai. Ali menginjak gas dan dengan cepat memindahkan perseneling. Berakhirnya balapan itu, Ali menang telak. Beda dengan Elaina yang sudah berulang kali kalah.

Sebal mulai menjalar. Pipinya mengembang seperti balon. Saat itu Ali langsung tertusuk. Rasa bersalah mulai merasukinya. Harusnya aku mengalah saja tadi.

"El, kamu enggak apa-apa 'kan?"

Namun, tak ada respon dari Elaina. Kalau sudah begini gawat. Mereka keluar dari Arizona. Elaina melangkah terlebih dahulu dengan rasa sebal. Ali di belakang tak tahu harus berbuat apa kalau sudah begini. Apa lebih baik dibelikan es krim saja? Ali melirik salah satu outlet yang berjualan es krim.

Tak jauh dari outlet, Elaina tengah duduk seorang diri. Dengan wajah mengembang itu masih menunjukkan kesebalannya kalah dari Ali sebanyak dua kali. Padahal hanya gim, tapi saat menang Ali kegirangan seperti meledek.

Sebuah es krim coklat muncul di depan Elaina. "Buatmu, sekarang sudah enggak marah lagi 'kan?" tanya Ali.

Dengan cepat, Elaina meraih es krim itu. Menikmatinya. Ali duduk di sampingnya. Kalau sudah begini berarti tidak ada masalah lagi. Ia turut menikmati es krim itu sambil duduk menghadap pagar pembatas.

Hening menyelimuti mereka. Ali tengah menikmati es krim. Namun kening mengerut, merasakan rasa yang sedikit aneh. Kalau tidak enak, kenapa ramai coba? Akan tetapi, bukannya berhenti malah berusaha menghabiskan. Sayang kalau dibuang begitu saja.

"El, kurasa ada yang perlu kita omongin," kata Ali tiba-tiba menoleh.

"Soal apa?"

Ali berdiri dari tempat duduk, melangkah hingga berhenti di depan Elaina. "Mungkin ini agak egois dan kalau tidak salah kamu dulu seorang ilustrator 'kan?"

Mengangguk perlahan, Elaina bingung ke mana arah pembicaraan ini. Kenapa tiba-tiba membahas soal ilustrator yang tidak ingin dikulik lagi.

"Bagaimana mengatakannya ya? Aku juga bingung." Ali tertunduk sejenak, teringat sesuatu. "Kamu masih ingat soal pamflet kompetisi Light Novel Indonesia itu?"

Elaina kembali mengangguk.

"Kompetisi itu dibuka kembali. Aku baru melihatnya semalam." Ali menyalakan ponsel menunjukkan pada Elaina. "Lomba akan berlangsung sampai bulan Januari."

"Bukannya pada saat itu kamu bilang kompetisi ini sudah tidak ada lagi?"

"Memang, dan tujuanku mengajakmu kemari hanya pergi ke Toko Buku saja, tidak lebih dari itu."

"Lalu?"

Ali menghela napas panjang. "Aku ingin kamu ikut kompetisi itu bersamaku. Namun, aku tidak memaksa kok, hanya pilihanmu saja. Kalau pun kamu tidak ingin aku bisa mencari ilustrator lain, karena kompetisi itu berbentuk tim yang terdiri satu penulis dan satu ilustrator."

Elaina tertunduk. Mengajaknya menjadi ilustrator kembali, padahal ia sudah menguatkan tekad untuk berhenti. Tapi kenapa datang dengan sendirinya?

Apakah pertarungan belum berakhir? Meski keinginan Elaina untuk kembali masih ada, namun ia sengaja menahan diri agar tak pernah lagi menyentuh pentab. Es krim yang diberikan oleh Ali tak dihabiskan. Melainkan dibuang ke tempat sampah yang ada di dekatnya.

"Tapi kalau kamu tidak mau, aku tidak memaksamu," ucap Ali kembali menghabisi es krim, membuang cone ke tempat sampah.

Akan tetapi, Elaina tak menggubris ucapan Ali. Seolah ia tak ingin membicarakannya. Kini dalam benak Elaina tengah terjadi perang antara keinginan batin dan logika. Idealisme dan realisme bertarung melempar peluru.

Melanjutkan perjalanan, hari sudah masuk senja. Jam di ponsel menunjukkan pukul empat sore.

"Waktunya pulang, El. Terima kasih hari ini mau menemaniku." Ali melambaikan tangan saat mereka tiba di pintu keluar.

Elaina pun melambaikan balik. Penutupan yang benar-benar payah hari ini.

Di dalam bus yang melaju, Elaina duduk menyenderkan kepala di kaca sembari memandang kendaraan yang berlalu-lalang memadati kota. Malam minggu telah tiba dan kini pikirannya masih bergelung dengan ajakan Ali. Apa ini kesempatanku untuk kembali? Rasanya seperti tak bisa keluar dari dunia ilustrasi.

Saat kembali dan ikut kompetisi itu, apa aku bisa tidak mengecewakan Ali? Kini lensa bola mata tertuju pada langit yang gelap. Dari balik jendela, hanya ada satu bintang yang bersinar terang.

Bintang itu bersinar paling terang di gelapnya langit malam. Saat memandang, ingatan masa lalu muncul sewaktu masih sekolah dasar. Menghabiskan banyak kertas hanya untuk mewarnai, membuat lukisan. Sosok Ibu Elaina memandang lukisan dengan bahagia.

Seiring berjalannya waktu, kecintaannya mulai tumbuh. Menginjak kaki di kelas enam. Ia mendapatkan nilai paling tinggi dalam pelajaran seni. Memadukan warna dengan indah, walau hanya sekadar pemandangan alam. Saat SMP ia mulai mencoba-coba menggambar karakter anime.

Hasilnya memuaskan, sampai-sampai ia ingin membuat komik suatu saat. Mencoba peruntungan di Digital Art Competition, percobaan pertama hingga terakhir tak membuahkan hasil sama sekali.

Ia ingin terus menggambar, itulah yang ada di benak Elaina saat ini. Perlahan ia mulai menjauhkan diri dari kaca jendela. Seolah dalam diri mulai terbakar. Di pangkuan, sebuah light novel yang dibelikan oleh Ali terpampang wajah Elaina (Wandering Witch) penuh senyum.

Meski penuh kebahagiaan tapi isinya tidak seperti sampul 'kan? Sudah diputuskan, tak boleh menyerah begitu saja.

***

Menguap begitu lebar di dalam kelas, Ali tiba-tiba menjatuhkan kepala di atas meja. Rasa kantuk yang menyerang begitu luar biasa di pagi ini.

"Oi, tukang tidur, jangan tidur dulu lah." Teman sebangku Ali, Rizal tengah mengingatkan sembari bermain gim.

"Dari pada kamu malah main gim." Ali mengernyitkan dahi, menolehkan pandangan.

Sosok lelaki yang sedikit besar tubuhnya dari pada Ali itu memiliki rambut rapih, namun panjang. Entah kenapa ia tidak pernah mendapat teguran. Apakah ia memiliki bekingan di sekolah ini?

"Setidaknya ikuti aturan sekolah itu yang paling utama." Rizal menyeringai, meletakkan ponsel. Menopang dagu. "Jadi ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Kalau aku bicara pun palingan kamu enggak paham."

"Setidaknya aku bisa jadi pendengar," kata Rizal menunjukkan senyuman.

Ali menghela napas, segera menutup pandangan. "Ya, ya terserah kamu saja."

Rizal memutar bola mata. "Kalau tidak salah kemarin kamu nge-date bareng Elaina?"

"Dari mana kamu tahu?"

"Metha yang memberitahuku," balas Rizal singkat sebelum ia mengangkat ponsel untuk bermain gim.

Belum juga genap bermain, Rizal melirik ke bilik pintu. Sosok perempuan yang baru saja ia sebutkan namanya kini berdiri di sana.

Lain kali aku enggak usah sebut namanya saja kalau begitu. Rizal segera membangunkan Ali. "Hei, dia kemari."

"Siapa yang kemari?"

"Sudahlah lihatlah dulu sebelum kamu menyesal. Kelihatannya obrolan penting yang harus kalian bicarakan." Rizal terus-terusan menggoyangkan tubuh Ali.

"Tidak penting, siapa sih yang kamu maksud?"

Namun, kini Rizal memaksa menarik tubuh Ali. "Sekarang bangunlah dan lihat siapa yang menunggumu?!" nada Rizal meninggi, seolah masih sebal dengan kelakuan Ali di pagi hari.

Saat Ali memandang Elaina berdiri di bilik pintu kelas. Bola mata terbuka lebar. Tumben banget Elaina pagi-pagi kemari. Ada apa kira-kira?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top