Layer 3

Ali tengah membuka buku tulis yang berisikan kumpulan cerita pendek di ruangan klub Bahasa Jepang seorang diri. Cahaya mentari senja menerobos masuk ruangan klub melalui jendela. Sebuah pena mulai menari di atas kertas yang mengisi ruang kosong.

Tak lama entah mengapa pena-nya terhenti sejenak, kembali membaca bagian sebelumnya. Ia menopang dagu sembari menghembuskan napas panjang.

Sulit juga untuk melanjutkan cerita yang satu ini, terlebih lagi banyak kejanggalan ditambah pembukaan bagian baru pun terkesan datar. Bersandar di kursi melepaskan pena begitu saja. Melipat tangan sedikit mengerutkan dahi. Salah satu kaki diketuk-ketuk berulang kali. Terlalu berat rasanya melanjutkan. Padahal saat di kelas tadi, berbagai ide mulai bermunculan dan mewarnai kepala, sampai ia tak fokus dengan pelajaran.

Dari luar terdengar celotehan nada yang tak asing di telinga. Bahkan tawanya pun sangat familiar. Metha dan Elaina menuju kemari. Meski tidak ada kegiatan klub, tapi Farzan sebagai ketua klub Bahasa Jepang memperbolehkan adik-adiknya menggunakan ruangan sesuka hati, selama mereka mengembalikan kunci.

Gagang pintu berputar, Elaina dan Metha memasuki ruangan. Paling antusias, Metha tiba-tiba menghampiri Ali. "Jadi kamu bersembunyi di sini?" Ia meraih buku tulis yang terbuka lebar di atas meja. Metha mulai membaca. "Cerita baru?" tanyanya pada Ali.

"Kalau sudah tahu kenapa masih tanya?" Ali melempar pertanyaan kembali pada Metha.

"Siapa tahu 'kan?" Metha menyeringai. "Kadang kamu sendiri juga paling sering membaca cerpen lamamu."

Memang sih, mau bagaimanapun Metha belum pernah melihatku menulis cerita pendek. Ali segera mengalihkan pandangan.

"Kamu sudah baca cerpen baru yang ini, El?" tanya Metha pada Elaina.

"Belum sih."

Sembari mereka berbicang, Ali tiba-tiba memandang setumpuk berkas berada di pojok ruangan. Tak menyadari sedari tadi, ia pun bangkit dari tempat duduk. Perasaan kemarin-kemarin tumpukan berkas ini tidak ada. Kenapa tiba-tiba muncul? Melangkah menuju tempat berkas itu berada. Ia bertinggung di depan setumpukan itu, memandang tumpukan paling atas.

Tertulis Sertifikat Pemenang Juara I. Tak disangka dahulu klub ini memiliki orang-orang berbakat. Ali meraih lembaran sertifikat itu. Metha dan Elaina pun turut mengintip apa yang tengah dilihat Ali. Mereka berdua saling melirik penasaran.

"Itu punya siapa?" Metha bertanya penasaran.

"Kakak kelas, dilihat dari tahunnya sih tahun 2012, itu sudah lama sekali. Kak Farzan tidak pernah cerita soal ini," kata Ali, sorot bola mata masih memandang sertifikat itu.

Elaina dan Metha duduk di sisi kiri dan kanan Ali turut melihat setumpukan berkas itu. Ia mengambil salah satu sertifikat. Juara II Lomba J-Song Universitas Negeri Surabaya Tahun 2018. "Ternyata mereka jauh lebih berbakat dari kita ya," gumam Metha.

Elaina mengambil lembar berikutnya, sebuah kebetulan ia mengambil sertifikat Juara I Fanart Universitas Airlangga Tahun 2019. Saat memandang sertifikat itu, ia kembali dibawa pada kejadian delapan bulan lalu, kekalahan yang membuatnya terhenti. Nama yang tercantum, Julia Rani. Pasti dia orang yang hebat. Dalam diri Elaina, rasa insecure itu kembali menyelimuti. "Andai saja aku bisa kembali," gerutu Elaina membuat Ali terdengar.

Namun, Ali memilih untuk pura-pura tak mengetahui apa yang baru saja diucapkan oleh Elaina. Ingin kembali, itulah yang diinginkannya. Berikutnya terdapat lembaran poster tentang kompetisi Light Novel Indonesia (LNI). Antusias, ia segera mengambil poster itu. "Tidak disangka dulu pernah ada yang mau ikut lomba bergengsi ini."

"Pasti sertifikat itu ada di sini 'kan?" tanya Metha dengan yakin.

"Kuharap begitu." Mereka pun mulai membongkar setumpukan kertas. Selang sepuluh menit, mereka tak menemukan sertifikat mengenai kompetisi LNI. Sudah mencari berulang kali tetap saja, tak menemukan apa pun. Segera mereka rapihkan kembali setumpuk berkas sertifikat itu.

Ali menghela napas lesu sembari duduk di bangku. "Ternyata tidak ketemu ya. Biasanya antara kalah atau tidak jadi ikut." Napas masih terengah-engah, meski ruangan ber-AC, tetap saja saat mencari hawa dingin itu tak jadi menyerang.

Elaina dan Metha pun juga sama, mereka kelelahan membongkar setumpuk berkas itu. "Aku rasa mereka tidak ikut lomba," kata Metha, "jelas sekali tidak ada sertifikat pemenang atau peserta yang tersimpan."

Tak mendapatkan balasan dari Ali, Metha melirik Ali yang tengah tertunduk. "Ada apa?"

"Kalau tidak salah kompetisi LNI adalah kompetisi yang terakhir kali diselenggarakan pada tahun 2019."

Kedua perempuan itu segera mengangkat kepala, tertuju pada Ali.

"Hingga kini keberadaan LNI sendiri entah bagaimana hilang dimakan zaman. Aku salah satu yang menantikan kompetisi itu," lanjut Ali. "Sekarang sulit menemukan lomba yang membuat novel ringan, ingin sekali aku ikut kompetisi itu."

"Tapi, bukannya kamu pernah ikut lomba novel?" giliran Elaina yang bertanya.

Berdiri dari tempat duduk, Ali melangkah menuju jendela, memandang pemandangan kota dari dalam ruangan. "Memang aku pernah ikut lomba membuat novel, namun ceritaku tidak pernah lolos. Kecuali cerita pendek kebanyakan lolos dan kadang menang." Ia berbalik menghadap Metha dan Elaina yang tengah duduk. "Aku tidak sempat ikut kompetisi LNI karena usiaku belum cukup saat itu."

Elaina tak merespon teringat dengan dirinya delapan bulan yang lalu. Jadi dia lebih banyak jatuh ya? Meski Elaina berulang kali terjatuh, namun justru saat mendengar cerita Ali. Ali paling sering terjatuh. Tapi selama ini selalu menganggap baik-baik saja. Kenapa dia bisa bertahan?

Melirik jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima. Ali kembali ke tempat duduk memasukkan buku tulis dan seluruh alat tulis. "Sudah waktunya untuk pulang."

Metha memandang jam di dingin. "Memang benar sudah waktunya untuk pulang."

Pintu ruang dikunci setelah semua merapihkan barang-barang. Setiba di lorong, "El aku boleh bicara denganmu sebentar?" tanya Ali.

Metha tiba-tiba menunjukkan senyum licik. Kesempatan emas membuat mereka semakin dekat. "Baiklah, aku pulang duluan ya." Ia menepuk pundak Elaina, membisikkan sesuatu, "Semangat PDKT-nya ini kesempatan emas lho."

Refleks tangan Elaina terangkat ingin menampar Metha, namun dengan lihai Metha dapat menghindar dengan mudah. "Sampai jumpa besok." Ia berlari menuruni tangga.

"Dasar menyebalkan," celetuk Elaina. "Jadi kamu ingin bicara apa?" kini lensa tertuju pada Ali.

Melangkah bersama menuju lantai pertama, ruang guru berada di sana. "Besok akhir pekan bisa temani aku ke toko buku?"

"Akhir pekan? Aku enggak ada jadwal sih, harusnya bisa aku menemanimu," balas Elaina. "Tidak seperti biasanya."

Ali menggaruk kepala yang tak gatal itu, bingung ingin merespon apa. Di sisi lain wajah Elaina tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus. T-tunggu apa dia ingin mengajakku kencan? Segera ia mengalihkan pandangan. Bagaimana ini? Degup jantungnya berdetak kencang.

Berada di sampingnya, Ali memiringkan kepala penuh dengan tanda tanya. Tingkah Elaina berubah tiba-tiba. "El kamu enggak apa-apa?"

"Ah, i-iya aku tidak apa-apa kok."

"Tapi wajahmu merah, jangan-jangan kamu demam?" Ali menyentuh kening Elaina. Namun, tak ada hawa panas yang menjalar.

"Ali bodoh!" Elaina berteriak dan meninggalkan Ali dengan wajah yang masih merah merona.

Aku salah apa? Ali menghela napas lesu, kini masalahnya bertambah. Hanya mengkhawatirkannya apa tidak boleh? Hari yang melelahkan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top