Layer 2

Setumpukan kertas mendarat di atas meja ruang klub. Farzan mengambil duduk di samping dengan napas terengah-engah. Tak disangka mengurusi klub bakal sesusah ini, padahal hanya terdiri dari tujuh anggota saja. Ia menarik selembaran paling atas. Berisikan sertifikat alumni terdahulu, tertulis juara satu dalam kompetisi cerdas cermat budaya Jepang di Universitas Airlangga. Saat melihat tahun, ia meletakkan kembali. Kalau tahun 2015 itu sudah kelewatan lama.

Masih tidak mengerti mengapa pembina kali ini menyuruh Farzan meletakkan setumpukan berkas di ruangan klub. Namun, saat melihat bangku pembina tadi memang dipenuhi oleh setumpukan nilai dari tugas para siswa. Mungkin hanya ingin memperluas kapasitas.

Jika itu tujuannya, pikir Farzan. Memandang sekitar, ruang klub yang sedikit luas ini memang masih menyisakan ruang kosong. Terlebih tak seperti klub lainnya yang nyaris barang-barang mereka memenuhi ruangan. Bahkan pernah terbesit dibenaknya kalau ruangan ini dipajang action figure, tapi mustahil juga membawa ke sekolah, terlebih harga mereka yang jauh lebih mahal.

Setelah napasnya teratur, Farzan mengangkat setumpukan kertas itu. Meletakkannya di ujung ruangan. Saat berbalik, tumpukan itu ambruk begitu saja. Ia melirik ke belakang, mendesah. Kini keluhannya semakin menyungutkan api emosi. Saat tengah merapikan, Farzan menemukan selembaran kertas. Kompetisi light novel tahun 2012. Rasanya lama sekali yang satu ini.

Penasaran, ia pun tak jadi merapihkan. Melainkan membongkar tumpukan. Mencari sertifikat kompetisi light novel. Kompetisi itu hingga kini masih bergengsi, persaingan mereka begitu ketat ditambah berbentuk tim.

Jika selembaran itu ada di sini, itu artinya tahun 2012 pernah ada yang mengikuti kompetisi ini. Meski masih bergengsi, namun belum ada pengumuman terbaru mengenai kompetisi di tahun 2021 ini. Semoga saja muncul, siapa tahu bisa mengirim salah satu kandidatnya, Ali.

Selang beberapa menit mencari, rupanya tak ada sertifikat mengenai kemenangan kompetisi itu. Dua kemungkinan mulai bermunculan. Antara tak ikut atau memang kalah. Ternyata tetap tidak ada. Farzan kembali merapihkan tumpukan berkas dan sertifikat itu. Ia kini melangkah menuju jendela ruangan, memandang mentari yang memancarkan cahaya begitu terik. Apa tahun depan bisa bertahan? Sebentar lagi Farzan menginjak kaki di kelas 12, saat itulah seluruh siswa dilarang lagi terlibat dengan kegiatan klub. Ini akan menjadi tahun terakhirnya memimpin klub Bahasa Jepang.

Namun, siapa yang memimpin klub ini ke depannya masih buram. Terlebih sudah banyak yang dibangun dan tidak mungkin akan runtuh dengan sendirinya besok-besok hanya karena sudah tidak menjabat.

Bel sekolah berdenting, lamunan Farzan buyar sekejap. Berbalik meninggalkan ruang sembari mengunci. Sudah terlalu lama ia berada di sini.

***

Pelajaran matematika di kala siang hari begitu membosankan. Sampai-sampai mata sayup ini tak tahan terbuka. Kepala Metha sedari tadi berusaha untuk tetap terangkat memelajari pelajaran yang menjengkelkan. Kenapa juga harus di siang hari? Keluhan itu muncul tiba-tiba dalam pikiran. Teman sebangku Metha, Elaina memukul kepalanya. Terbangun dan sadar sembari memandang sekitar.

"Bisa-bisanya tidur di saat jam pelajaran," gerutu Elaina.

"Habis kenapa juga ada mata pelajara matematika di siang hari? Setidaknya saat sore atau pagi itu otak sedang lagi fresh. Kalau sekarang waktunya tidur siang, jadi pelajaran yang dibawa harusnya lebih ringan," celotehnya sembari menjatuhkan kepala di atas meja. "Rasanya aku salah masuk kelas."

Harus berbuat apa, Elaina tak tahu sama sekali. Gadis berambut pendek itu sudah terlanjur mengeluh seperti bayi yang merengek minta dibelikan mainan. "Sekarang bagaimana agar aku bisa tetap bertahan sampai jam pelajaran berikutnya?"

"Yang di belakang jangan banyak bicara!" bentak sang guru wanita mengenakan kacamata itu. Jelas bentakan itu mengarah pada Metha dan Elaina yang sedari tadi berbicara saja.

Rasa kantuk Metha dalam sekejap hilang, segara menegakkan pandangan ke papan tulis. Nah sekarang sudah enggak mengantuk lagi itu. Elaina menopang dagu memandang teman sebangkunya.

Sudah tiga bulan bersamanya membuat hari-hari sekolah penuh warnah. Saat masuk pertama kali, Elaina memandang masa SMA penuh dengan warna abu-abu. Ditambah saat itu ia masih terngiang-ngiang soal impiannya yang kandas.

Bertemu dengan Metha adalah keberuntungan, membuat warna di sekitar Elaina menjadi warna-warni. Namun, hanya berlaku pada kehidupannya, tidak dengan impiannya. Sampai saat ini kegagalan itu menggantung di kepala. Padahal sudah delapan bulan berlalu.

Bel kembali berdenting, pertanda pergantian jam pelajaran. Pelajaran matematika yang begitu menyiksa pun telah usai. Metha merenggangkan tubuh yang terbujur kaku sejak tadi. Elaina bernapas lega, guru matematika tadi cukup galak. Jadinya kalau belajar sedikit tegang. Ia menutup buku, memasukkan ke dalam tas.

"El, mau temani aku ke toilet?"

Elaina mengangguk, mengikuti Metha menuju toilet. Elaina hanya berdiri di depan wastafel sembari mencuci tangan. Menanti Metha yang tak kunjung keluar. Di depan cermin wajahnya terpantul dengan rambut panjang hingga menyentuh punggung dan kulit putih bersih dengan bola mata berwarna hitam.

Apakah aku bisa kembali? Terbesit pertanyaan itu di benaknya. Namun, dengan cepat ia menggeleng, membuang pertanyaan jauh-jauh. Berusaha meninggalkan keinginan menjadi ilustrator.

Perjalanan menuju kelas yang berada di lantai dua cukup jauh. Berharap guru mata pelajaran berikutnya belum datang. "El, bagaimana hubunganmu dengan Ali?"

"T-tunggu, itu tidak seperti yang kamu kira, Met. Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya." Elaina menyangkal dengan sedikit gemetar.

"Benarkah? Tapi kulihat kalian begitu dekat. Sampai ada yang mengira kalau kalian pacaran," balas Metha.

"Siapa yang bilang begitu?" Elaina berhenti melangkah.

Metha turut berhenti tak jauh di depan Elaina, berbalik menghela napas. "Siapa lagi kalau bukan teman kelas. Lagi pula menurutku kalian cocok kalau bersama."

"Pasti kamu yang membuat berita aneh-aneh itu?" wajah datar Elaina mulai tergores dengan tingkah Metha si ahli gosip. Benar sekali, semua kabar dapat dengan mudah didapatkannya. Sudah seperti informan saja. Anggota klub Bahasa Jepang juga. Setidaknya ada berbagai persiapan seperti festival di pertengahan semester. Jadinya klub Bahasa Jepang membuka booth dengan berdagang makanan. Padahal informasi resmi baru datang beberapa hari kemudian.

Cukup diandalkan, termasuk apa yang baru saja diucapkan pada Elaina.

"Bukan aku, tapi gosip itu terbentuk dengan sendirinya. Apa lagi Ali pernah blak-blakan datang kemari dan mencarimu dua bulan yang lalu." Metha mengangkat kedua bahu. "Jadi seperti itulah, mereka mengasumsikannya sendiri."

Elaina mendesah panjang, kenapa juga anak-anak kelas harus tahu yang satu ini? Meski begitu sejauh ini tidak ada masalah. Lebih bahaya kalau soal skandal. Semoga saja tidak ada berita semacam itu yang berkeliaran mengenai dirinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top