Layer 1

Jarum jam berdentang dalam gelapnya ruangan, remang-remang cahaya berasal dari layar laptop. Elaina mempertemukan kedua tangannya saling menggenggam dengan erat. Memejamkan mata berharap kali ini mendapat jawaban baik. Di luar sana, hujan deras menyambut minggu pagi. Bersama dengan guntur yang turut memekakkan telinga.

Layar laptopnya terpajang email, sesekali ia melirik jam yang ada di laptop. Menunjukkan pukul 9.50, sepuluh menit lagi pesan itu akan tiba. Degup jantung berdetak kencang tiada hentinya. Ini kemampuan yang dikerahkannya paling maksimal. Menentukan apakah lanjut atau berhenti.

Sepuluh menit telah berlalu. Elaina menggerakkan mouse, crossbar mulai berpindah mendekati tombol refresh. Menghembuskan napas panjang, lalu ia menekan mouse. Sebuah notifikasi baru masuk, tertulis digital art competition.

Elaina menelan ludah, berbagai pikiran negatif akan hasil kompetisi itu membuatnya tak ingin membuka pesan. Namun, inilah saatnya. Momen kebenaran dengan memberanikan diri.

Perlahan Elaina mulai membaca isi pesan itu, hingga tiba pada tabel pengumuman 20 besar yang akan lolos ke babak berikutnya. Ia mencari namanya dengan melihat urutan tabel. Hingga mencapai nomor 20, tak ada satu pun nama Elaina. Tak percaya, ia kembali memeriksa nama dari nomor satu dengan teliti. Lagi-lagi tak ubahnya hasil, masih tetap seperti sebelumnya.

Namanya tak tercantum dalam daftar 20 besar. Ia tertunduk, mematikan laptop. Menutup dengan rapat dan enggan membukanya.

Hari itu merupakan hari buruk bagi Elaina, mengakhiri impiannya dan berfokus pada kenyataan. Imajinasi yang tertuang itu telah sirna begitu saja bagaikan debu pasir yang tertiup oleh angin realita....

***

Delapan bulan telah berlalu, langit cerah menyambut berwarna biru tanpa awan yang menggantung. Angin berhembus mengibaskan rambut Elaina yang panjang hingga menyentuh punggung. Dengan jepit rambut petir di sisi kiri.

Menghela napas, berdiri di dekat pembatas pagar atap sekolah. Satu-satunya tempat yang jarang dikunjungi. Kedua telinga mengenakan earphone. Musik berjudul Melangkah-Moccatune menggema dalam pendengarannya.

Sorot lensa tertuju ke arah depan, berbagai gedung berdiri dengan megah menjulang ke angkasa. Meski tak banyak, Surabaya memang memiliki gedung-gedung tertinggi tertentu dan semua berlokasi di daerah Tunjungan. Paling tidak salah satu di antara gedung-gedung tinggi itu merupakan mal Tunjungan Plaza.

Terdengar derat pintu terbuka, sekejap Elaina menoleh ke belakang. Degup jantung berdetak kencang, dikiranya seorang guru menemukan Elaina di atap. Atap menjadi satu-satunya tempat yang terlarang sebenarnya. Tetapi, jarang ada guru yang menegur mereka. Selama tidak terjadi kecelakaan seperti terjatuh atau bunuh diri.

Sosok lelaki lebih tinggi darinya berdiri, dengan rambut sedikit rapih dan pakaian yang dikeluarkan. Entah itu menjadi tren siswa sekarang atau bukan, namun sosok yang berdiri itu sebaya dengan Elaina. Pada badge berwarna kuning menunjukkan siswa kelas satu. Elaina mengenalinya, teman satu klub Bahasa Jepang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya lelaki itu. Pada nama yang tercantum di dada bertuliskan Ali Gunadhya.

Elaina melepaskan salah satu earphone. "Sedang tidak melakukan apa-apa, memangnya kenapa? Masalah buatmu?"

"Enggak sih, aku sedang tanya-tanya saja." Ali menghampiri Elaina, berdiri di samping. Sorot bola mata berwarna hitam itu memandang gedung menjulang tinggi di depan sana. "Ternyata sekolah ini punya pemandangan indah seperti ini," gumam Ali.

"Kamu sebenarnya sedang berakting atau bagaimana?" Elaina melirik. Memasang tatapan datar. "Perkataanmu sangat aneh, terkesan seperti di anime slice of life."

"Bukannya kamu sendiri juga melakukan hal yang serupa ya?" Ali menyeringai. "Sendirian di atap sembari mendengarkan musik. Seperti siswa yang mengalami perundungan. Bukannya itu juga ciri khas anime slice of life?" tanya Ali yang giliran menangkis balasan Elaina.

Dipikir-pikir benar juga, pikirnya menghela napas. "Tumben kamu ke sini, bukannya kamu lagi mengerjakan cerita pendek baru?"

"Kehabisan ide," balas Ali singkat. Ia bersandar di pagar pembatas, menjatuhkan kepala di atas pagar. Menghirup napas dalam-dalam. "Kadang ada kalanya kita kehabisan ide. Benar 'kan, ilustrator?"

Tak menggubris. Ali sudah mengetahui jika Elaina adalah ilustrator. Semua berawal dari klub Bahasa Jepang. Saat itu Elaina tengah secara tak sengaja membuka galeri berisikan gambar-gambar. Ali yang duduk di belakang tengah menggarap cerita pendek melirik.

"Itu gambaranmu?" tanyanya tiba-tiba. Membuat Elaina nyaris melempar ponsel.

Elaina mengangguk perlahan. "T-tapi kamu jangan bilang siapa-siapa."

"Tenang saja. Jadi kamu mau bikin gambar baru?"

Elaina melirik pada Ali. "Enggak, aku cuma melihat-lihat saja," sudah lima bulan ia tidak menyentuh pentab.

Hingga kini pun Elaina sudah tidak menyentuhnya. Meski dalam dirinya tak tahan untuk mengangkat kembali pena dan menggambar di laptop. Lima bulan itu waktu yang lama, meski sudah diisi oleh kegiatan klub yang padat, tapi tetap saja ia tidak bisa keluar begitu saja. Bagaimana melupakannya?

"El, bagaimana rasanya berhenti?" Ali bertanya.

"Kataku berat, kupikir lebih mudah. Seolah ada yang memanggil dan menahanku jadinya aku sedikit kesulitan untuk lepas dari duniaku," balas Elaina. "Kamu ingin berhenti menulis?"

Ali menggeleng. "Enggak, aku penasaran saja. Ternyata tidak bisa lepas begitu saja ya. Pastinya berat, meski kegiatan klub sekarang sudah lebih padat dari biasanya. Ditambah sebentar lagi akan ada UAS."

Masih ada keragu-raguan dalam diri Elaina. Kenapa ia tak bisa melepaskan yang sudah menjadi keinginannya itu? Apakah pertarungan belum benar-benar berakhir meski ia sudah menyatakan usai?

Ia masih tak paham. Musik Melangkah-Moccatune telah usai menggema melalui earphone. Apa yang membuatnya tak bisa berhenti? Sorot lensa kini tertuju pada langit biru yang membentang. Mengangkat tangan seolah ingin menggapai langit yang luas itu. Menggenggamnya dengan erat.

"Mungkin keputusanmu berhenti itu tidak tepat El," kata Ali tiba-tiba, membuyarkan lamunan Elaina.

Ia menoleh pada Ali, angin kesiur mengibaskan kembali rambut mereka. "Kupikir kamu kurang matang memikirkan itu." Ali berbalik, beranjak dari atap. "Sebentar lagi masuk, sampai ketemu nanti sore."

Perlahan Ali memasuk ke dalam, punggunya lenyap ketika menuruni tangga menyisakan Elaina seorang diri di atap. Apa memang benar begitu?

Bel berbunyi, segera Elaina melepas kedua earphone masuk ke dalam sekolah. Menutup pintu yang berderat dengan keras itu. Dengan langkah kaki yang bergerak cepat, ia menuruni tangga menuju lantai tiga. Setiap lantai yang dilaluinya, terdapat wilayah-wilayah tertentu. Lantai enam merupakan lapangan indoor, lantai lima ruang klub. Lantai empat kelas 12, lantai tiga kelas 11, dan lantai dua merupakan wilayah kelas 10.

Berbagai siswa masih memenuhi lorong setiap lantai. Berbincang mengenai masa remaja yang indah. Elaina terus berlari, melewati siswa-siswa yang di depannya hingga menuju lantai dua, tempat kelas 10 berada. Lantai dua masih dipenuhi oleh lautan angkatan baru tahun pertama. Segera ia menyibak siswa-siswa yang memadati lantai dua itu.

Dasar laki-laki itu menyebalkan! Elaina mengumpat dalam kepala. Kenapa dia muncul di saat aku sedang terjatuh? Seenaknya bilang pilihan berhenti bukan pilihan yang tepat untukku. Sekarang kamu malah mendorongku kembali ke dunia yang telah lama kutinggalkan. Dasar menyebalkan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top